Masa Dewasa 2.5 (Nomor Penjual Pai Daging)
Kenapa dia menghapal nomornya? Padahal, kan, nggak jelas mau difungsikan buat apa. Status penjual wanitanya belum difix mau statusnya apa. Seingetku, dia keluarga dekat Eric, tapi simpang siur sama orang asing yang sekedar diancam.
"Maaf, Nona. Saya khawatir begitu pertanyaan Anda terjawab, Anda malah tidak jadi makan."
Mendengar jawaban Manajer Eric, Zoey pun otomatis menghentikan aksi mengunyahnya. Manajer Eric tertawa usai mengatakan lelucon yang tidak lucu tersebut.
'Apa yang Mr. Willson lakukan? Itu, kan, hanya daging kangguru.'
Edmund menaikkan sebelah alis. Sepertinya pria di sana memang ingin bermain-main dengan Zoey. Melihat dia sempat berhenti mengunyah, ia bisa tahu apa yang Zoey pikirkan. Edmund dan Zoey pernah mengecek ruang sebelah di mana tersusun rak-rak berisi botol kaca besar yang menyimpan potongan tubuh manusia. Setiap potongannya diawetkan. Maka, ada kemungkinan bahwa daging di dalam pai adalah daging manusia.
Gadis itu mengarahkan sisa pai ke mulut Manajer Eric tanpa menoleh sedikit pun. Membayangkan di perutnya tersimpan daging manusia yang dicincang, Zoey seketika ingin mual.
Omong-omong, sampai sekarang dia masih bertingkah layaknya gadis buta. Edmund heran mengapa Mr. Willson belum sadar juga bahwa Zoey hanya pura-pura?
Selain itu, interaksi keduanya sangat ambigu, terkadang membuat Edmund berspekulasi sendiri tentang hubungan tidak normal di antara keduanya. Seolah sama-sama bermain korek api dan saling mencium asap satu sama lain. Namun, dari mereka tidak melihat api selain miliknya sendiri.
"Ini belum habis, Nona," ucap Manajer Eric.
"Aku sudah kenyang," balas Zoey.
"Baiklah."
Kemudian, Manajer Eric meraih pergelangan tangan Zoey. Gadis itu cukup terkejut pada apa yang akan Eric lakukan ke depannya. Ia menggerakkan tangan Zoey yang memegang pai daging ke arah mulutnya, sehingga itu tampak seperti Eric sedang disuapi.
"Apa yang kamu lakukan, Manajer?" tanya Zoey dengan nada datar. Tengkuknya merinding. Lidah kasar Manajer Eric menyapu sebagian ujung jari gadis itu.
"Bukankah Anda menyuruh saya makan?"
Zoey mendengus kesal. "Aku memang menyuruhmu makan, tapi tidak dengan menggunakan tanganku. Ambil ini!"
"Then eat with your own self!" instruksinya setelah Manajer Eric mengambil pai daging yang dimaksud.
Tak lama berselang, dari perut Zoey terdengar gemuruh yang memalukan. Sayangnya bertepatan dengan itu, suapan pai daging terakhir telah mendarat di mulut Manajer Eric. Ocehan kakatua di balik jendela turut mengejek kebodohan Zoey, seakan menertawakan tindakan gadis berambut sebahu itu.
"Perut Anda tidak bisa diajak bekerjasama, ya?" goda Manajer Eric sembari tersenyum miring.
Zoey merutuki perutnya dalam hati. Untuk kedua kalinya, gemuruh tersebut kembali terdengar bahkan setelah Manajer Eric menyindirnya terang-terangan. Tanpa sadar ia mengeluh pada Edmund menggunakan tatapan mata.
"Aku tidak mood makan."
"Hmm." Manajer Eric lalu melirik Edmund melalui ekor matanya, membuat sosok di pojok sana tersentak. "Mau bagaimana lagi kalau Anda sedang tidak mood? Haruskah saya membeli menu lain?"
"Ya?" Zoey menyadari lirikan maut Manajer Eric, tetapi tidak berani menoleh. Tubuhnya sedikit tegang.
"Saya akan membeli menu lain yang Anda suka. Mungkin olahan sayur semua ... dan tanpa daging," tekannya.
"Tidak, tidak usah."
"Jangan ada penolakan. Perutmu terus berbunyi seperti tikus kejepit. Anda harus makan meskipun tidak mood." Setelah mengatakan itu, Manajer Eric menoleh pada Edmund.
Pria di sudut ruangan tersebut mengernyitkan dahi. Ia kesulitan menelan saliva tatkala Mr. Willson tiba-tiba beranjak dari kursi dan berjalan mendekat ke arahnya.
'Dia mau apa?' batin Edmund was-was. Kakinya tidak bisa mundur lagi barang satu langkah karena tepat di belakang Edmund adalah tembok.
"Manajer Eric, mau kemana?" tanya Zoey menghentikan langkah Eric. "Aku mendengar langkah sepatumu menjauh, apa kamu mau pergi lagi?"
Eric menoleh cepat. "Saya mau membeli salad."
Mendengar jawaban Manajer Eric ternyata tidak membuat Zoey merasa lega, pasalnya pria tersebut mencengkeram lengan Edmund seakan ingin membawanya ke suatu tempat. Si empu yang lengannya dicengkeram hanya bisa berkeringat dingin.
"Aku bilang tidak usah."
"Tidak bisa. Anda harus makan," kekeuhnya.
Zoey ingin sekali menjewer telinga Manajer Eric yang menebal. Dia sudah enggan mendengarkan perintah Zoey. Ah, mungkin sejak awal perintah gadis itu memang tidak pernah digubris.
"Manajer Eric, tolong dengarkan aku sekali ini saja. Aku tidak bisa kamu tinggal sendirian. Tidak ada siapa-siapa di sini yang bisa aku mintai pertolongan selain Manajer. Terakhir kali ada perawat cabul yang menindasku, setelahnya perawat wanita yang bersikap sangat kasar. Apakah Manajer Eric masih tega?"
Raut wajah Zoey tampak ketakutan dan gelisah seperti anak kecil yang hendak ditelantarkan ibunya. Melihat ekspresi tadi, Edmund hampir saja melupakan fakta, bahwa gadis bermanik abu tersebut adalah mantan aktris yang cukup berpengalaman.
Sejenak, Eric terpaku mendapati permohonan Zoey. Ia langsung mengalihkan pandangan dan menguatkan cengkeraman, membuat Edmund tercekat. "Mana mungkin saya tega membiarkan Nona kelaparan? Kalau begitu, saya mau ke dapur untuk meminta mereka membuatkan salad. Ini tidak akan lama."
"Tapi—"
"Anda tidak sendirian, Nona," ucap Eric memotong. "Saya meninggalkan satu perawat untuk menjaga Anda. Katakan jika dia berani menindas atau bersikap kasar pada Anda, saya akan membuatnya menyesal seumur hidup."
Namun, satu-satunya 'perawat' yang menindas dan bersikap kasar adalah Manajer Eric sendiri. Meski di permukaan ia tampak memperlakukan Zoey dengan penuh perhatian, tanpa sepengetahuan gadis itu, ia selalu menciptakan kesempatan agar Zoey merasa terancam. Manajer Eric mengambil peran seolah-olah dia penyelamat, padahal tidak.
"Nona bisa menunggu, kan?" tanya Eric sembari tersenyum tipis.
Gadis di bangsal mengangguk. "Oke."
Eric pun melepas lengan Edmund. 'Aku selamat', pikirnya. Keduanya segera melemaskan punggung usai bunyi ketukan sepatu Eric benar-benar lenyap.
Zoey mengusap wajah seraya mengamati gerak-gerik Edmund. "Itu bukan akting," akunya, membuat tanda tanya di kening pria tersebut.
"Tatapanmu barusan seakan mendapati bahwa tindakanku palsu. Tapi, permohonan itu benar-benar asli." Zoey mengembuskan napas lelah. "Kau tahu? Kau, hampir saja Manajer Eric mengubahmu jadi salad."
Andaikata Zoey berakting, nasib Edmund tentu tidak akan sebaik ini. Manajer Eric bisa dengan mudah membaca apakah seseorang sedang berakting atau tidak.
"Saya sudah mengatakan ini berkali-kali, Nona. Saat terlelap, bibir Anda seharusnya tidak menutup rapat. Mau saya bantu?"
Gadis itu sontak menutupi telinganya. Telinga Zoey terasa panas sebab terngiang bisikan Manajer Eric ketika ia pura-pura tidur. Eric bahkan berusaha menekan bibir bawahnya menggunakan ibu jari agar mulut Zoey sedikit terbuka.
Mungkin pemikiran ini terbilang sembrono, tetapi Zoey berharap jari milik Manajer Eric bisa masuk ke mulutnya dengan cara yang kasar. Entah kenapa lidah Zoey merasa akrab saat bersentuhan dengan tekstur kulit Manajer Eric yang kapalan.
Tangan perawat wanita yang memaksa Zoey menelan tiga butir obat hingga tersedak juga memiliki kapalan pada jarinya. Bukankah ciri mereka lumayan mirip?
Zoey mengedikkan bahu sembari menatap Edmund yang hatinya masih terguncang. Seharusnya dia tidak kaget, mengingat bagaimana Manajer Eric tadi memasang lirikan yang mematikan ke arahnya. Mungkin tanpa sengaja dia telah menyinggung perasaan Mr. Willson.
Di saat Edmund menyibukkan diri dengan pemikiran konyol, bahwa Eric memiliki perasaan. Zoey memilih menoleh pada kotak pai daging yang Manajer Eric letakkan di nakas. Tertulis nama, alamat, dan nomor telepon pemilik toko. Matanya berbinar. Informasi ini bahkan lebih membantu daripada bertanya pada sang manajer.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top