Masa Dewasa 2.2 (Planning Pertama)

Zoey menatap sekilas tiga butir obat di telapak tangannya. Setiap obat memiliki warna, bentuk, dan ukuran yang berbeda.

"Waktunya minum obat," ucap Eric sambil menuangkan air putih.

Mau dilihat dari sudut pandang mana pun. Di kepala Zoey terus terngiang, bahwa tempat ini jelas bukanlah rumah sakit. Tidak ada perawat, apalagi dokter. Lalu obat apa yang selama ini dia telan?

"Apa perlu obat meski sudah sembuh?" tanya Zoey. Detik berikutnya, ia memasukkan obat pemberian Eric ke mulut.

"Nona perlu menghabiskan satu botol obat kalau mau sembuh total. Jika telat minum sedetik saja, gejala pusing dan nyeri kaki Anda akan muncul. Anda tidak lupa kejadian kemarin, kan?" Eric meraih sebelah tangan Zoey, kemudian mengarahkannya pada gelas bening.

Zoey menenggak habis air putih di dalamnya. Ia tampak kesulitan menyembunyikan emosi. Manajer Eric sering menjumpai kondisi Zoey di berbagai kondisi. Zoey meminum air segelas penuh dalam satu tegukan hanya ketika dirinya gugup. Perasaan gugup seharusnya muncul apabila gadis itu merencanakan sesuatu.

Zoey mengusap bibirnya yang basah dengan punggung tangan, lalu menyodorkan gelas kosong ke depan. "Ini yang terakhir. Aku tidak mau minum lagi."

"Kalau boleh tahu kenapa?" Manajer Eric menerima gelas tersebut dengan wajah datar.

"Aku tidak suka efek sampingnya."

Efek samping obat yaitu mengantuk, tetapi Zoey curiga itu bukan obat pereda nyeri atau sakit kepala saja. Melainkan obat tidur.

"Efek samping hanya sementara, Nona."

"Tapi Manajer Eric, aku ...." Zoey menggantung kalimat untuk menutup mulut sebentar. Dia baru saja menguap. "Lihat? Aku mulai mengantuk. Setelah minum obat, aku akan langsung tertidur seperti tikus mati. Aku tidak suka."

"Walau tidak suka, Nona tetap harus minum obatnya. Ini demi kesehatan Nona." Eric menolak dengan tegas. "Bayangkan kalau Nona sakit kepala lagi. Bukankah sangat menyakitkan tanpa minum obat?"

Zoey menggigit bibir bawah. Temperamen Eric sangat suka memaksa. Meskipun apa yang dia katakan benar, entah kenapa sulit sekali membangkang ucapan manajernya.

"Baiklah." Zoey memutuskan.

Ia lalu menjatuhkan kepala ke bantal dan tidur menghadap samping. Zoey memejamkan mata dengan erat. 'Aku akan mencari cara lain.' Dia bertekad.

Manajer Eric tersenyum. "Kalau begitu, selamat beristirahat, Nona."

Zoey tidak membalas ucapan selamat dari Manajer Eric.

Setelah itu, terdengar pintu kamar berderit dua kali. Pria itu sempat menoleh cukup lama untuk melihat punggung Zoey yang naik turun. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Ia harap sang nona tidur nyenyak.

Zoey membuka mata. Sepertinya Manajer Eric sudah pergi. Gadis itu cepat-cepat melepehkan tiga butir obat ke lantai. Ia lalu meludah sebanyak-banyaknya.

Edmund yang menyaksikan hal tersebut dari sudut kamar, hanya bisa menatap kagum. Ia pikir Zoey gadis bodoh dan lemah. Bahkan saat berdebat dengan Eric, gadis itu selalu berakhir mengikuti pendapat lawannya.

Zoey pun membalikkan badan menghadap pintu keluar. Seketika matanya membulat, melihat pria bermasker hitam berdiri di depan pintu. "Edmund?"

Pria itu mendongak. Ia sedikit terkejut karena Zoey tidak berpura-pura menjadi gadis buta di depannya. Sebagai respon, Edmund pun tersenyum hingga matanya tampak sipit.

Zoey menghela napas. Manajer Eric pergi, tetapi menempatkan satu orang untuk berjaga. Zoey lupa dengan keberadaan Edmund karena pria berkulit hitam tersebut jarang bersuara. Terakhir mereka berceloteh adalah saat pertama kali bertemu.

"Kamu tidak mau bicara lagi denganku?" tanya Zoey, memasang wajah muram.

Edmund menggeleng, kemudian memalingkan muka ke tembok. Tiba-tiba terngiang ancaman Eric yang akan mencungkil matanya jika berani menatap Zoey terlalu lama.

"Sejak kemarin kamu menanggapi ucapanku kalau tidak dengan mengangguk, menggeleng, ya tersenyum. Sekarang kamu bahkan tidak mau menatapku. Astaga, kamu membuat mataku pusing." Ia menggerutu dan mengeluh sambil menutup kedua mata dengan telapak tangan.

Edmund mengernyit. 'Apa mata bisa pusing?'

"Hei!" Zoey menarik lengan Edmund.

Pria jangkung itu terperanjat. Dalam sekedip mata, Zoey sudah ada di hadapannya sembari melayangkan tatapan kesal. Kapan dia turun dari ranjang dan berjalan ke sini? Tidak, bukan itu yang perlu dia tanyakan.

Edmund menunduk cepat. Ia memandang ngeri pada tangan putih yang memegang lengannya. Jika melihat hal ini, pasti Mr. Willson akan memotong lengannya, kan?

"Edmund, kamu mengeluarkan banyak keringat. Apa kamu sakit?" tanya Zoey khawatir.

Edmund menepis tangan Zoey saat hendak menyentuh wajahnya. Hampir saja ia kehilangan kepala. Sementara itu, Zoey mencuramkan alis. Melihat tubuh pria dewasa langsung gemetar hanya karena lengannya disentuh, dia berpikir bahwa ini mirip gejala haphephobia.

"Kamu takut kusentuh? Kalau begitu, aku tidak akan menyentuhmu. Jadi kumohon, tenanglah!" bujuk Zoey.

Edmund kembali tenang setelah Zoey mengangkat tangan layaknya tahanan polisi. Pria itu membalas tatapan Zoey dengan tajam, kemudian melirik ranjang. Ia melakukan hal tersebut berkali-kali secara bergantian.

Zoey tidak mengerti. "Kenapa matamu melirik seperti itu?"

Edmund menepuk dahi. Kemudian, memegang kedua bahu gadis di depannya.

"Kamu takut kusentuh, tapi berani menyentuhku?" protes Zoey. Rupanya Edmund bukan pengidap haphephobia. Namun, ketakutan apa tadi yang dia bayangkan? Masih terngiang mata Edmund yang melebar karena takut.

Laki-laki itu menggiring tubuh Zoey menuju tempat tidur. Ia membuatnya duduk di pinggir ranjang. Untung saja Zoey menurut. Ia lalu mengangkat kaki jenjang Zoey satu per satu dan menutupnya dengan selimut. Edmund berusaha menidurkan gadis itu.

Akhirnya Zoey mengerti, bahwa lirikan mata barusan adalah menyuruhnya istirahat.

"Tunggu," tahan Zoey ketika Edmund hendak kembali ke sudut ruang.

Edmund pun urung, lantas berdiam diri seraya menunggu kata-kata yang akan Zoey lontarkan. Lelaki tersebut mengernyitkan dahi tatkala Zoey menyingkirkan selimutnya.

Dari mata Edmund, seolah ia bertanya, "Kenapa kamu turun lagi?"

"Dengarkan aku, Edmund. Aku tidak tahu kenapa kamu mendiamkan aku sejak kemarin, tapi ...." Gadis itu menunjuk pintu kamar. "Aku ingin keluar dari sini."

Edmund tersentak. 'Apa kamu serius? Tunggu, tapi kenapa? Bukankah sebelumnya kamu adalah gadis penurut?'

"Manajer Eric mau membunuhku," ungkap Zoey. Raut wajahnya kelewat serius. Meskipun dia sendiri agak tidak yakin jika mengingat semua perlakuan Manajer Eric yang overprotektif. Namun jika mengingat hubungan antara Manajer Eric dan Geornia, Zoey dapat mengambil kemungkinan paling berbahaya yang bisa saja terjadi.

Sedangkan Edmund sama sekali tak percaya. Andaikan dia bisa tertawa, maka ia akan tertawa sampai perutnya sakit. 'Manajer Eric? Maksudmu Mr. Willson, kan? Kedengarannya mustahil orang itu akan mengincar nyawamu.'

Manajer Eric membawa makanan kesukaan Zoey setiap hari, mengganti pakaian Zoey dengan hati-hati, dan menutup mulut orang-orang, termasuk Edmund, demi melindungi identitas Zoey. Menurut pengamatannya selama tinggal di sini, sikap Mr. Willson justru menunjukkan kepedulian yang sangat besar terhadap gadis itu.

Zoey berdecak menyadari tatapan tidak percaya dari Edmund. "Ck, lupakan! Katakanlah Manajer Eric tidak berniat membunuhku, tapi aku yakin sekali dia pasti membunuhmu. Cepat atau lambat."

Edmund menelan saliva susah. Ia pun mengalihkan atensi. Tanpa sengaja matanya menangkap bayangan gelap dari celah jendela.

Dahinya mengernyit. 'Aneh. Bukankah seharusnya celah itu berwarna terang karena masih siang?'

Zoey menangkup wajah Edmund dan meluruskannya. "Lihat aku, Edmund! Apa kamu sungguh tidak mau pergi? Aku tidak akan memaksa. Kamu bisa menggeleng jika menolak dan mengangguk jika mau, tapi apa pun pilihanmu jangan pernah menghalangiku untuk lari."

Edmund menatap intens kedua iris abu milik Zoey. Dengan penuh tekad, ia pun mengangguk. 'Aku ingin hidup.'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top