Masa Dewasa 1.9 (Revised)
Napas panas dan berat memenuhi telinga Edmund. Terdengar seperti mau mati. Pria itu mulai merasakan nyeri luar biasa di bekas tusukan. Hanya sedikit pergerakan, tetapi dampak rasa sakitnya membuat Edmund mengerang. Ia bahkan tetap kesakitan meski dalam keadaan tidak sadar.
Edmund meneguk saliva susah tatkala membuka mata di ruangan yang penuh bau amis. Karena disumpal kain, mulutnya tak bisa berteriak pada saat melihat potongan daging tercecer di lantai. Lebih tepatnya, di bawah bed yang masih ditempati wanita dengan seragam khas dokter umum. Namun warna pakaian yang seharusnya putih berubah menjadi merah darah. Saat Edmund mengamati dengan baik bagian perutnya, itu tersayat lebar seolah seseorang telah berusaha melihat semua isiannya.
'Siapa dia?' batin Edmund bertanya.
Dengan luka seperti itu, kemungkinan besar dia sudah mati. Ia juga tidak mendengar napas di ruangan ini dari wanita itu kecuali berasal dari napasnya sendiri. Aroma amis yang menyengat, menandakan jasad tersebut sudah lama dibiarkan. Berdasarkan panggilan dari Mr. Willson, pria itu menjebak tim ambulans dengan laporan seorang teman yang mengalami pendarahan di bagian perut. Ternyata dia juga korban dalam kejahatan Mr. Willson.
Edmund bertanya-tanya apa yang sedang direncanakan Mr. Willson. Pria itu tidak langsung membunuh, justru menyekapnya di tempat tertutup. Tidak hanya itu. Dia juga merawat luka Edmund yang ia perbuat sendiri meski terkesan asal-asalan. Dia melakukan pengobatan kasar seolah hanya untuk membiarkan dirinya hidup. Kalau terus seperti ini, lambat laun Edmund bisa mati.
"Sial, kenapa demamnya belum juga turun?!"
Edmund mendengar suara amukan Mr. Willson. Lantas ia mengalihkan pandangan ke arah pintu ruangan ini, di atasnya terdapat celah yang mungkin menghubungkan ruang ini dengan ruang Mr. Willson berada.
Di sisi lain, Eric mengkerutkan alis saat angka termometer naik ke 40,5 derajat celsius. Sudah dua hari Zoey demam tinggi sejak ia tertidur menelan pil. Selama itu pula Zoey tidak membuka mata. Eric sangat merindukan suara Zoey ketika memanggilnya "manajer".
Eric menendang nakas samping tempat tidur. Ia sangat kesal sekaligus frustasi. Padahal Zoey telah ia rawat sebaik mungkin, tapi kenapa? Bukan hanya obatnya bekerja sangat lambat, tapi juga suhu tubuhnya tak kunjung turun. Atensinya langsung tertuju pada botol obat yang menggelinding jatuh dari meja nakas ke bawah tempat tidur. Zoey merasa pusing setelah minum obat, membuat pria itu berspekulasi bahwa ada yang salah dengan obat yang ia pesan.
Suara bising di ruangan sebelah membuat Eric menoleh cepat. Lelaki itu kemudian berjalan menuju pintu ruangan tersebut dengan amarah yang masih memuncak. Tusukan di dada kiri nyatanya belum cukup menghilangkan nyawa seseorang. Lagipula, Eric memang bukan pembunuh ulung. Dia hanya asal tancap.
Bunyi deritan pintu menyadarkan Edmund. Dirinya terlalu fokus melepas ikatan tali di pergelangan tangan, sampai tidak waspada dengan kedatangan Eric.
"Daya tahan hidupmu benar-benar luar biasa ya, Edmund," puji Eric seraya melangkah lebar, mendekati posisi Edmund.
Edmund terduduk di sudut ruangan. Tak jauh dari posisi samping, terdapat belahan kaki kursi yang patah. Tiap bagian kursi hancur usai dihantamkan ke tembok. Meski tubuhnya kini lebih bebas bergerak, ia tetap tidak bisa melarikan diri karena masih lemah. Entah sudah berapa lama ia terkurung di tempat ini.
"Kau mau kabur?" tanya Eric menunduk.
Sebelah kakinya menginjak dada Edmund, membuat si empu mengerang sakit. Dapat ia rasakan luka yang belum menutup sempurna kembali terbuka dan mengalirkan cairan merah. Eric melihat darah itu menembus kain putih yang membalut lukanya. Senyum miring seketika terukir, terlebih melihat kilat perlawanan di kedua manik Edmund.
Eric setengah berjongkok, menatap kilatan perjuangan Edmund dalam bertahan hidup. "Bukan sekali ini aku menghadapi manusia-manusia merepotkan."
Mr. Willson mengambil patahan kaki kursi yang tergeletak di dekat Edmund. Pria di depannya melebarkan mata. 'Apa yang mau dia lakukan?' batin Edmund merinding.
Tanpa ekspresi, Eric mengayunkan belah kayu tersebut ke kaki Edmund. Sontak terdengar erangan yang lebih kuat. Namun bahkan pria itu tak mampu berteriak sebab kain sialan menghalangi mulutnya. Napasnya menderu tatkala tulang keringnya terasa ngilu. Mr. Willson mengecek bekas pukulan tersebut setelah memukulnya berkali-kali hingga kayunya patah. Ia menelengkan kepala saat hanya mendapati baretan luka yang tidak seberapa.
"Sayang sekali, aku tidak bisa mematahkan kakimu karena jenis kayunya terlalu lemah." Mr. Willson membuang bagian kayu yang masih ia pegang ke belakang. "Tapi itu cukup untuk membuat luka memar."
Ini bukan hanya luka memar. Perlahan ia dapat melihat perubahan tulang keringnya merah dan bengkak. Sepertinya ia mengalami fraktur ringan. Kemungkinan dia tidak bisa berjalan norman selama beberapa minggu. Edmund masih mengatur napas, mencoba meredam rasa sakit dengan mengalihkan perhatiannya ke hal lain. Setidaknya Mr. Willson tidak berniat membunuhnya.
"Kau masih mau kabur atau tidak?" tanya Eric sekali lagi.
'Bagaimana aku bisa menjawab dengan mulut ini?' batin Edmund sabar.
Ia menatap tajam wajah Mr. WIllson seakan di matanya terdapat laser pembasmi untuk melubangi wajah tersebut. Melihat kegigihan Edmund, membuat Eric tertarik memberikan pria itu kemudahan. Toh, dia nanti akan mati.
"Jangan kira aku telah membiarkanmu hidup karena tidak langsung menghabisimu. Aku hanya menyimpanmu untuk kemudian mengambil organ dalammu yang masih segar hidup-hidup. Dengan begitu, pembeliku pasti akan senang," ucapnya mengingatkan sembari melepas ikatan kain yang menyumpal mulut Edmund.
Pria itu mengetatkan rahang sebelum membuka mulutnya "... katakan."
"Apa?"
"Katakan, kenapa Anda melakukan hal ini?" teriak Edmund. Detik berikutnya, ia berteriak karena menahan nyeri di bagian dada sebelah kiri.
Eric tampak acuh tak acuh. "Memang apa yang kulakukan?"
"Anda membunuh mereka semua, rekan-rekan saya!"
Mata biru itu melotot, membuat Eric ingin mencongkelnya. Suara tawa lolos begitu saja dari mulut Eric, menggema ke setiap sudut ruangan. Ia malah teringat akan sorot mata Dokter Miller yang tenang. Itu sangat kontras, mungkin seperti ini juga jika ia mendapati rekan-rekannya mati.
"Apa kau punya bukti bahwa aku yang membunuh mereka?" tanya Mr. Willson, membuat Edmund terdiam.
Tidak ada bukti konkret. Namun secara tidak langsung, dia telah membunuh Bridie, Helena, dan wanita yang satu ruangan dengannya. Jasad wanita tersebut bisa menjadi bukti paling nyata, tetapi juga tidak cukup menjadi bukti kuat karena belum bisa menunjukkan bahwa Mr. Willson adalah pelaku yang membuat jasad menjadi seperti itu. Dia bisa menghilangkan jejak dalam sekejap dengan membakar tempat ini.
Satu-satunya yang tersisa yang masih bisa disebut bukti kuat adalah seorang saksi. Edmund bisa saja melaporkan dugaan kejahatan Mr. Willson. Namun dalam hal ini, Edmund bahkan belum menyaksikan secara langsung terkait kejahatan apa yang pernah Mr. Willson lakukan. Itu sungguh membuatnya geram, padahal semua korban meninggal sudah di depan mata.
Di tengah pikiran yang kalut, tiba-tiba terdengar rintihan pelan seorang wanita. "Apa Anda punya pasien?" tanya Edmund spontan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top