Dokter Miller meluruskan bibir. Sekilas kedua alisnya terangkat seakan tidak peduli. Ia bukan orang baru yang berkecimpung di dunia kedokteran. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk mendalami bidang tersebut. Selama itu juga dia menemui orang-orang dengan dunia yang berbeda, bahkan bisa dikatakan sangat kontras. Seperti hitam dan putih.
Eric tertawa singkat. "Saya hanya memuji mata cantik Anda. Kenapa Anda sangat sensitif?"
Sejak Eric menawarkan duduk di ruang tamu, pandangan Dokter Miller langsung menjurus pada kumpulan polaroid yang ditempel di dinding. Mereka terlihat jelas jika dilihat dari tempat duduk Dokter Miller sekarang. Seolah-olah, Eric sengaja menunjukkan hasil jepretannya kepada Dokter Miller.
Gambar-gambar di belakang punggung Eric sama halnya seperti gambar yang kemarin ia pamerkan kepada Dokter Jean. Namun bedanya, hari ini lebih banyak dan lebih beragam.
Dokter Miller menggeleng heran. Ia meraih jaketnya, lantas beranjak dari kursi sofa.
"Permisi."
"Anda sudah mau pergi?" tanya Eric saat Dokter Miller hendak mengangkat tas kerja di sampingnya. Eric menahan tas hitam tersebut.
Pria itu kembali duduk. "Saya kira pemeriksaannya sudah selesai. Apa Anda butuh pemeriksaan lain?"
"Anda terlihat buru-buru."
"Ada klien lain yang harus saya temui," balas Dokter Miller.
"Ah, maaf karena menahan Anda lebih lama. Tapi bisakah Anda menulis resep? Saya butuh resep dokter guna menebus beberapa obat yang saya inginkan. Jadi intinya, saya mau Anda menuliskan nama obat yang saya katakan."
Dokter Miller mengernyit. Jika mengiyakan permintaan Eric, kemungkinan besar dia harus menuliskan resep obat yang tidak ada kaitannya dengan riwayat penyakit pasien.
"Saya tidak bisa melakukannya tanpa melihat keadaan pasien secara langsung."
"Ayolah. Bukankah Anda sudah membaca dokumen yang saya berikan? Saya ingat, dalam dokumen itu tertera keadaan pasien dengan sangat jelas. Saya sendiri yang menyusunnya."
"Tidak, masih belum. Akan lebih jelas kalau melihat pasien langsung."
Eric menunjukkan ketidaksenangannya atas penolakan Dokter Miller. Rahangnya mengeras. "Anda mau menolak saya terus seperti ini?"
"Saya tidak peduli apa pun yang akan Anda lakukan terhadap saya. Namun, saya tidak ingin ikut campur menyangkut apa yang Anda lakukan kepada pasien."
Eric menaikkan satu alis. "Ah, artinya Anda sangat peduli pada pasien, ya? Kalau begitu, kenapa Anda tidak menulis resep obatnya?"
Karena nanti resepnya bukan lagi disebut resep dari dokter, melainkan resep dari orang lain. Dokter Miller tidak bisa menjawabnya seperti itu.
"Padahal saya hanya minta dituliskan obat nyeri kepala dan nyeri tulang."
Dokter Miller tersentak. Benarkah hanya kedua hal itu? Berdasarkan dokumen yang dibaca, pasien memang sering pusing akhir-akhir ini dan mengalami patah tulang sebulan yang lalu.
Eric tersenyum melihat pria di depannya mengeluarkan note dari saku. Dokter Miller mulai menulis obat yang diminta oleh Eric, tetapi tangannya berhenti untuk beberapa saat. Ia lalu menuliskan sendiri nama-nama obat yang dapat bermanfaat bagi mata serta imun pasien, yaitu suplemen dan beberapa vitamin.
Dokter Miller tidak menghiraukan suara decihan dari Eric, ia tetap menulis dengan tenang, kemudian menggeser kertas yang sudah dirobek itu ke arah laki-laki di depannya.
Eric menatap kertas berisi resep obat di meja. Detik berikutnya, ia tersenyum lagi.
"Terima kasih, Dokter Miller."
"Apa saya bisa pergi?" tanyanya setenang mungkin.
"Tentu saja."
Mendengar jawaban Eric, pria tua itu sedikit tak percaya. Eric bahkan mengantarnya sampai pintu keluar. Sebelum ia berubah pikiran, Dokter Miller cepat-cepat menginjak gas.
"Haha, dia takut rupanya," ucap Eric sambil melihat mobil hitam yang melesat jauh.
Ia bersandar di sisi pintu sampai kendaraan Dokter Miller benar-benar menghilang dari ruas jalan. Setelah itu, barulah Eric mengunci pintu rumahnya dari luar.
Di sisi lain, Zoey berhasil membuka mata. Ia berhasil bangun dari mimpi buruk yang terus menghantuinya selama belasan tahun. Air matanya menetes. Kapan mimpi buruk ini akan berakhir?
Dunianya gelap.
Sungguh ironi mengingat dulunya Zoey dikelilingi oleh sinar studio. Ia merindukan bunyi kamera dan cahaya lighting ketika dirinya dipotret.
Ujung jarinya menyentuh bibir, diikuti helaan napas yang cukup dalam. Terbayang kejadian sebelumnya, saat benda kenyal itu menjelajahi leher serta telinga Zoey. Ia juga masih ingat dengan jelas ketika rasa asin dan anyir memenuhi rongga mulutnya. Rasanya menjijikkan. Mungkin kejadian ini akan Zoey ingat seumur hidup.
Tangan Zoey terkepal. Beraninya seseorang melecehkannya!
Zoey pasti akan membalas perbuatan orang itu, tapi pertama-tama, dia harus keluar terlebih dulu dari ruangan ini. Zoey sangat berterima kasih pada kaki kanannya karena sudah membuatnya sulit berjalan.
"Ssh, kenapa kamu tidak sembuh-sembuh?" tanya Zoey monolog.
Biasanya, patah tulang akan sembuh dalam waktu satu sampai dua bulan. Bukankah ini sudah hampir dua bulan semenjak dia terpeleset di tangga?
"Eh? Sekarang tanggal berapa, ya?" gumam Zoey sambil mengernyitkan alis.
Kalau dipikir-pikir, ia juga tidak tahu sekarang hari apa dan jam berapa. Manajer Eric sempat mengatakan, bahwa dirinya pingsan selama dua hari tiga malam. Artinya ... seharusnya sekarang sedang pagi atau siang, kan? Ia akan menanyakan jawaban tepatnya saat nanti bertemu dengan seseorang.
Zoey lantas berjalan pelan seraya meraba apa saja untuk menopangnya berdiri. Apa lantai rumah sakit memang sedingin ini? Zoey tidak menjumpai sandal meskipun kaki kirinya sudah menelusup ke mana-mana.
Akhirnya Zoey berhasil menemukan dinding. Ia tersenyum senang. Namun, sekitar lima menit dirinya meraba permukaan dinding, Zoey kini kelelahan sebab memaksakan kaki yang cedera untuk terus bergerak. Bulir keringat mengalir dari anak rambut. Berkali-kali gadis itu meringis kesakitan, tapi tak kunjung menemukan pintu keluar.
Kenapa kamar pasien dibuat seluas ini kalau rumah sakitnya begitu miskin? Itulah yang dia herankan. Zoey juga diherankan dengan bau darah yang tercium samar, atau seperti bau bangkai.
Sesaat aliran darahnya membeku. Langkah Zoey terhenti karena perasaannya tidak enak. Ia ingin kembali ke ranjang, namun kakinya sudah tidak bisa diajak kompromi. Zoey pun memegang erat tiang infus yang daritadi diseret.
"Permisi, saya butuh bantuan. Apa ada seseorang di luar?" tanya Zoey dengan nada kesusahan. "Manajer Eric? Suster ... dokter ..., siapapun! Ya Tuhan, setidaknya ada suster atau dokter palsu kalau dia ingin mengatur latar tempat rumah sakit."
Zoey menganggap dinding seolah-olah pintu, kemudian ia memukulnya dengan keras, berharap seseorang dapat mendengar. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab panggilan Zoey. Dan tidak ada siapa-siapa di tempat ini yang dapat mendengarnya, kecuali wanita itu.
Eric mengurung wanita itu di ruangan sebelah kamar Zoey. Ruangan mereka hanya dihubungkan oleh papan kayu dengan ventilasi jaring di pintu bagian atas. Mulutnya dijahit sehingga tak bisa teriak, serta tangan dan kaki diikat agar tak bisa lari.
Dokter Jean mengira bahwa ia sedang bermimpi. Mustahil seorang anak perempuan yang masih hidup berjalan sendirian ke arahnya. Mendengar suara Zoey barusan membuat Dokter Jean sadar, gadis itu memang masih hidup.
"Apa tidak ada orang?" Zoey terlihat kebingungan.
"Emmh!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top