Masa Dewasa 1.1 (Revised)
Seorang dokter wanita yang baru saja memeriksa kondisi Zoey, segera melaporkan hasil pemeriksaan kepada laki-laki di belakangnya. Dari tadi punggungnya terasa panas karena diawasi. Tangannya juga berkeringat dingin sebab pasien yang berada di tempat ini dulunya adalah bintang terkenal.
"Dia tidak bangun-bangun sejak kemarin," ujar lelaki tersebut sambil memiringkan kepala. Kedua tangannya dilipat di dada.
Dokter itu meneguk ludah. Ekor matanya melirik gorden jendela yang tertutup rapat. Sebenarnya orang gila mana yang membiarkan pasien hidup di kamar tanpa ventilasi udara?
"Pasien demam karena melawan rasa sakit pasca operasi kaki. Dia hanya butuh banyak istirahat. Lalu, pastikan pasien mendapatkan sinar matahari yang cukup. Itu sangat bagus untuk menstimulasi pemulihan tulang."
Tanpa sengaja, ia bertemu mata tajam di depannya. Dokter itu menunduk cepat. Entah kenapa auranya menjadi gelap.
"Sa-saya akan menuliskan resep obat. Tolong Anda minumkan pada pasien ketika dia sudah sadar."
Ia hendak beranjak menuju tas kerja, tetapi aksinya dihentikan. Lelaki itu mengibas-ngibaskan tangan dengan raut wajah enggan.
"Tidak usah. Lakukan itu kalau dia sadar."
"Kalau begitu, saya akan memasang infus untuk hari ini."
Pria itu mengangguk.
"Kakak, sakit ...." Zoey mengigau ketika dokter menusuk punggung tangannya dengan jarum injeksi.
"Maaf. Apakah Anda sudah menghubungi kakak dari pasien? Pasien terus saja mengigau, mungkin pasien merindukan kakaknya. Atau tidak—"
Lelaki itu mendesis. "Sssh! Kenapa Anda begitu berisik, padahal hanya memeriksa?" potongnya.
"M-maaf."
Ia segera menundukkan kepala, kembali fokus mengatur kecepatan infus. Batinnya menjerit memohon agar pekerjaannya cepat selesai. Pria ini memiliki tekanan yang sulit dijelaskan. Hal itu membuat dokter merasa pengap di ruangan tersebut. Ia ingin lekas melangkah keluar dan menghirup udara segar.
"Kakak ...."
Suara lirih yang terulang-ulang membuat dokter merasa iba. Dokter pun mengusap keringat di dahi serta air mata Zoey dengan lembut. Gadis cantik itu tidak mau berhenti memanggil kakaknya. Andai saja ia bisa menghubungi kakak dari pasien.
Melihat sorot mata dokter yang terbawa perasaan, lelaki tadi diam-diam membuka laci, lalu mengambil sesuatu dari sana. Ia mengeluarkan benda tajam dari carbon steel yang tampak mengkilap meskipun di tempat gelap. Ia menoleh pada wanita di samping ranjang dan menghampirinya.
"Dokter Jean." Dia memanggil.
"Ya?" Spontan wanita itu menoleh ke belakang.
Seketika, noda merah menciprati sebagian wajahnya. Dokter Jean mundur selangkah. Ia mendapati lelaki tersebut mengukir senyum ramah tamah. Lalu dilihatnya pisau dapur dalam genggaman pemuda itu masih membekas cairan merah segar.
Dokter Jean terduduk di lantai sambil memegangi leher yang terasa cairan hangat. Kerah putihnya berubah merah cerah. Ia buru-buru merogoh saku jas untuk membuat panggilan telepon. Namun seluruh jarinya gemetar. Sangat sulit menekan nomor dengan benar dengan jari gemetar.
Pria itu tersenyum miring. "Akan sia-sia melakukan panggilan telepon, Dokter Jean. Jarang ada sinyal di dekat hutan."
Dokter Jean lupa bahwa dia sedang berada di rumah dekat hutan. Ia langsung putus asa dan menjatuhkan ponsel genggam, memandang sosok menakutkan di depannya sambil mengatupkan kedua tangan.
"T-tolong ... tolong jangan bunuh saya, Sir." Suaranya memohon.
Lelaki itu merunduk, menyentuh sayatan yang ia buat. Luka sayatan tidak mengenai bagian vital sehingga Dokter Jean masih bisa selamat jika dirawat dengan baik.
"Ssst!" Dia menatap bibir Dokter Jean intens seraya meletakkan jari telunjuk di sana. "Aku tidak akan membunuh siapa pun untuk sekarang, tapi sepertinya inimu harus dijahit."
Sejak awal, Dokter Jean tahu kalau pria itu tidak biasa. Ia mengangguk berkali-kali berharap dirinya dapat lepas dan segera keluar dari ruangan psikopat ini.
"Saya tidak akan menceritakan privasi pasien kepada siapa pun! Sa-saya akan tutup mulut. Saya janji!"
Lelaki itu mengernyit. "Tutup mulut? Dokter Jean, kapan aku menyuruhmu menutup mulut? Aku kan sedang bicara tentang menjahit."
Dokter Jean menangis tanpa suara. Ia menggeleng kuat setelah mencerna kalimat barusan. Sedangkan lelaki di depannya memasang senyum miring.
"Apa ada yang Anda sukai?"
Dia menunjukkan beberapa potret manusia bertubuh cacat. Sontak Dokter Jean menjerit. Semuanya mempunyai satu kesamaan, yaitu bibir mereka tak lagi berbentuk. Dokter Jean langsung membuang muka sebab tak ingin melihat gambar-gambar tidak lazim tersebut.
"Ti-tidak ... tidak! Tidak, saya tidak mau ...."
Dokter Jean melirik pintu kamar yang terbuka sedikit. Jika ia mencoba lari saat lelaki di samping lengah, mungkin dia bisa kabur.
"Hmm, ini sulit," ucap laki-laki itu sambil memegang dagu. "Semuanya terlihat cocok untukmu."
Ia pun berjalan santai ke meja penyimpanan, lalu membuka laci paling bawah. Ia mengeluarkan alat-alat menjahit seperti benang dan jarum. Dokter Jean yang melihat hal itu spontan beringsut ke belakang.
"Anda tahu, seseorang akan kehilangan kaki jika berani melakukan hal konyol," ancamnya tanpa menatap Dokter Jean.
Wanita itu mengurungkan niat untuk lari. Ia mulai kesusahan mengatur napas. Di ruangan yang cukup sempit dan hening, ia hanya bisa mendengar deru napasnya sendiri, serta langkah kaki dari pria asing.
"Tidak ...." Dokter Jean menggeleng pelan saat laki-laki tersebut mendekat.
"Saya tidak belajar ilmu bedah, jadi mungkin rasanya sedikit berbeda karena saya tidak memakai alat bedah. Tapi Anda tidak usah khawatir. Saya sudah sering menjahit sejak kecil. Menjahit sepatu, baju, tas, dan lain-lain."
Lelaki itu mengarahkan jarum besar yang sudah dimasuki benang ke sudut bibir Dokter Jean. Wanita berwajah pucat tersebut menoleh setiap kali jarum diarahkan ke wajahnya. Lehernya terasa sangat ngilu apabila digerakkan, tapi dia tetap melawan. Karena perlawanan itu, lelaki di depannya menaikkan mencuramkan alis sebab kesal.
"Kau mau terus seperti ini, hah? Baiklah, jangan salahkan aku kalau ujung jarumnya menusuk matamu." Kata-katanya terdengar sadis. Ia langsung menarik rambut Dokter Jean dengan kasar, membuat wanita dalam kendali melengkingkan jeritan, terutama saat seutas benang merah bergerak kasar di mulutnya.
Dokter Jean berteriak kesakitan setiap jarum dimasukkan dan dikeluarkan. Itu bahkan lebih menyakitkan ketika dirinya membuka mulut. Dokter Jean menangis sambil menatap raut wajah lelaki di hadapannya yang kelewat datar. Apa dia manusia?
"Ah, berisik! Jahitannya terus robek karena kau teriak-teriak, padahal akan lebih cepat selesai jika kau diam daritadi."
Dokter Jean menangis sesenggukan. Hanya butuh tiga puluh menit untuk membuat wanita itu berhenti berteriak. Jangankan teriak, jahitan penuh di mulutnya tidak memungkinkan Dokter Jean berbicara lagi.
"Inilah akibatnya, kalau Anda mencampuri urusan orang lain tanpa izin."
Malamnya, lelaki berambut cokelat tersebut datang lagi ke kamar Zoey. Ia mengawasi perkembangan gadis itu serta mengganti infus lama dengan infus yang baru.
"Ini di mana?" Tiba-tiba dia terbangun. Gadis bermanik abu-abu membuka kedua belah mata ketika seseorang sibuk membelai wajahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top