8 Bukti
Sore sudah tiba sementara di rumah tidak berpemilik Fitri mencoba menghubungi Kak Riski, Budhe Rara juga Pakdhe Kasim secara bergantian namun gagal karena tidak ada sinyal di tempatnya berada, selain itu dia kembali mengatur kalender dalam ponselnya. Akan tetapi kalender itu kembali lagi ke tanggal yang sama sebelum akhirnya ia mematikan layarnya, rasa curiga serta tidak percaya jadi satu dalam pikirannya saat ini setelah melihat sendiri desain rumah, suasana dan pakaian yang dipakai para warga di temuinya pasar tadi. Di pandangnya sepatu ketsnya lalu memandingkannya dengan kaki para warga di pasar.
"Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Batinnya bingung seraya mendongak ke langit yang berubah jadi jingga, suasana hangat dan tenang disekitarnya tapi tidak lama saat rasa panas dan lapar terasa disekujur tubuhnya. Baru teringat bahunya terasa pegal akibat tas yang sejak tadi dia bawa serta keringat deras dibalik bajunya memaksanya untuk pergi ke belakang, namun setibanya di belakang Fitri baru ingat kalau air dalam bak mandi sudah kosong saat membersihkan bak dari jentik nyamuk. Lantas diedarkan matanya ke lantai kamar mandi mencari penyumbat bak dan melihatnya di dekat lubang air.
"Yeuh... harus nimbah air dulu." gerutunya dalam hati saat mengambil penyumbat bak itu lalu menutup lubang bak mandi, selain itu ia juga melihat ada lubang berbentuk persegi dengan perosotan yang mengarah ke dalam bak. Penasaran Fitri keluar dan melihat ada wadah mirip pot yang nempel di tembok seperti penganti kran air yang biasa mengisi air dalam bak. Mau tidak mau Fitri harus nimbah air guna mengisi bak mandi hingga penuh, suara kerekkan sumur berderik saat gadis itu menurunkan ember ke dalam sumur lalu menariknya lagi sampai ember itu terlihat setelah itu mengambilnya dan menumpahkannya ke dalam wadah yang ada di belakangnya, sengaja Fitri membelakangi wadah tersebut agar lebih mudah. Karena merasa tidak terbiasa kedua lengannya terasa pegal dan kram ditambah dengan perutnya yang tiba-tiba berbunyi, sayangnya ia mencoba bertahan untuk mengisi bak mandi hingga penuh. Sudah terlalu lelah dan pegal Fitri masuk ke dalam kamar mandi memastikan air dalam bak sudah terisi penuh dan rupanya baru terisi setengah membuat Fitri kecewa melihatnya. lantas ia kembali ke luar dan kembali masuk ke dalam rumah mengambil pakaian setelah itu kembali ke belakang.
"Aduh nggak ada sabun mandi," gerutu Fitri lagi ketika sudah masuk tapi tidak melihat benda yang selalu ia lihat saat di kamar mandi.
Dengan sangat terpaksa gadis itu segera menutup pintu dan membersihkan diri memakai gayung batok kelapa, namun dengan perasaan tidak tenang sesekali Fitri mendongak ke atasnya dimana ada lubang cukup besar di sana sehingga cahaya matahari sore masuk ke dalam kamar mandi. "Duh, jadi khawatir ada yang ngintip aku lagi mandi," tidak sampai 30 menit Fitri sudah selesai mandi lalu keluar memakai kain sungket yang hanya menutup bagian dada hingga bawah lutut serta rambutnya yang sempat di ikat kini tergerai dalam kondisi basah, selain itu Fitri sengaja tidak memakai alas kaki karena takut sepatunya basah selain itu ia juga tidak menemukan sandal di rumah ini. Dengan langkah hati-hati Fitri masuk ke dalam menuju kamar dimana tasnya yang sengaja diletakkan dekat dapur dan tidak lupa membawa pakaiannya yang kotor, di kamar ia menatap lamat pakaian yang bertumpuk di atas tempat tidur sambil berpikir lalu berpaling ke arah lemari kayu dalam posisi pintu terbuka memperlihatkan isinya tinggal celana dalam pria dan wanita. Dengan ragu diambilnya celana dalam wanita setelah itu memakainya kemudian mengambil kain sungket bermotif batik juga kebaya berwarna merah. Sedikit tidak nyaman dibagian dada sebab tidak memakai bra tapi mau tidak mau Fitri terpaksa melakukannya karena pakaian dalamnya kotor dengan keringat.
"Assalammualaikum... permisi."
Baru saja pakaian itu terpasang ditubuhnya Fitri tersentak kaget mendengar suara tamu di depan rumah,"Siapa yang datang? Waalaikumsalam!" Dalam kodisi rambut basah ia bergegas memakai sepatunya lalu pergi ke depan untuk mengetahui siapa yang datang, ketika pintu itu dibuka sosok anak perempuan berdiri di depan rumah, Wulan. Anak itu terpaku di tempatnya ketika melihat pakaian kebaya yang dipakai Fitri.
"Lho, pakaian dan sepatu Mbakyu yang itu kemana?" tanya Wulan penasaran.
Sadar dengan tatapan Wulan barusan dengan enteng Fitri menjawab,"Di belakang? Ada apa datang kemari," Fitri balik bertanya.
"Wulan disuruh Mbah buat ajak Mbakyu datang ke rumah. Wulan tadinya ragu buat datang kemari sebab mengira Mbakyu sudah pergi, tapi Wulan coba pergi dan tidak sengaja lihat Mbakyu naik ke bukit kecil dimana rumah alm Kakek Reodjoe berada. Jadi Wulan datang ke sini?"
Tertegun mendengar informasi dari Wulan, pantas saja dirinya sejak tadi tidak melihat pemilik rumah ini membuat hatinya merasa tidak enak hati memijam pakaian tanpa izin walau pemilik pakaian dan rumah ini sudah meninggal, akan tetapi Fitri juga sejak tadi tidak melihat sosok yang Wulan makasud.
"Kalau boleh tahu Kakek Reodjoe meninggal karena apa?" tanya Fitri penasaran.
"Oh, dia sudah lama gugur ketika ikut perang bersama para pejuang melawan pasukan belanda di wilayah sekitar semarang?" jawab Wulan jujur.
Fitri termangu sementara hatinya penuh dengan pertanyaan kini telah terjawab satu, tapi pertanyaan lain malah bermunculan dalam pikirannya. Suara perutnya tiba-tiba berbunyi, samar tapi sayangnya Wulan terlanjur mendengarnya membuat anak itu tersenyum lebar sedangkan Fitri yang merasakannya menahan malu.
"Ayo Mbakyu mampir ke rumah Wulan!" ajak Wulan, sadar membuat orang yang lebih tua darinya malu.
Yang diajak malah diam sekaligus bingung hingga terlintas sebuah ide muncul, memanfaatkan anak itu Fitri tersenyum mengangguk menerima ajakan Wulan namun sebelum itu gadis itu menyuruh anak itu menunggunya sebentar guna mengambil tasnya di dalam yang setelah itu bergegas masuk ke dalam. Wulan tentu menunggu sembari melihat ke sekitar, tidak sampai lima menit Fitri kembali keluar membawa tas selempangnya dan memakai sepatunya kemudian mengajak Wulan untuk berangkat. Menelusuri jalan yang lebarnya hanya setengah meter Fitri menatap takjub pemandangan di sekitarnya yang tampak sangat asri dengan banyaknya pohon serta semak-semak belukar yang tumbuh lebat, selain itu ia juga melihat banyak pohon bambu di kiri dan kanan jalan yang berderit akibat kena tiupan angin.
"Apakah semua tumbuh selebat ini!" gumam Fitri, matanya terus mengedar ke sekitarnya melihat yang tidak pernah ia lihat saat di kota. sayangnya ucapan Fitri berhasil di dengar oleh Wulan yang berjalan di sebelahnya dan langsung menjawab.
"Tumbuhan di sini memang selebat ini ,Mbakyu. Jadi tiap musim hujan terasa sangat dingin?" jawab Wulan."Apa Mbakyu tidak pernah melihat tanaman ini?" dia balik bertanya.
Fitri menggeleng kepala, enggan menjawab. Wulan berniat bertanya namun diurungan saat melihat belokan di depan sana menuju ke jalan lain, lantas anak perempuan itu mengajak Fitri melewati jalan tersebut dan Fitri menurutinya lalu mengikuti bocah itu. Saat melewati jalan tersebut Fitri termangu melihat ke depan sana yang terlihat sebuah rumah mirip dengan rumah Kakek Reodjoe yang memiliki desain dari bambu, kayu dan anyaman kecuali atapnya yang terbuat dari genteng tanah liat, selain itu di sekitar rumah tersebut dikelilingi pepohonan selain itu dibagian teras rumah memiliki banyak pot bunga dan pot pohon cabai termasuk di samping rumah sehingga tampak adem dan nyaman.
"Assalammualaikum." Wulan mengucap salam ketika berdiri di depan pintu rumahnya sedangkan Fitri yang berdiri di belakangnya kembali mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Waalaikumsalam!" Fitri berpaling ke arah pintu yang bersamaan di buka lebar-lebar dan melihat seorang wanita tua berkebaya lusuh serta rambut yang digulung ke belakang. Matanya yang tampak sayu itu menatap ramah Wulan, namun menatap tanya saat melihat Fitri yang berdiri di belakang Wulan membuat Fitri reflek tersenyum kikuk.
"Wah lihat ada tamu rupanya. Mari masuk," ajak wanita itu kepada Wulan dan Fitri dengan ramah.
Tanpa pikir panjang Wulan mengamit lengan Fitri lalu membawanya masuk ke dalam kemudian menyuruhnya untuk duduk disalah satu kursi kayu ruang tamu, dengan canggung Fitri duduk di kursi yang Wulan maksud sedangkan pandangannya lanjut mengedar ke ruangan tersebut yang hanya memiliki luas 1X5 meter dengan dinding yang terbuat sama seperti diluar serta beberapa barang antik yang dipajang, mata Fitri menatap lamat barang-barang tersebut dengan mata takjub, barulah ia berpaling saat mendengar suara langkah menuju ke tempatnya berada dan melihat wanita tua itu muncul dari dalam membawa nampan berisi teko dan tiga cangkir bermotif bintik-bintik berwarna hijau putih serta sepiring berisi kue yang kemudian meletakkannya ke atas meja kecil tepat di depan Fitri sebagai pembatas antara ia dan wanita tua itu.
"Kamu yang dibicarakan Wulan tadi siang ya?" tanya wanita itu sambil menatap ramah kepada Fitri, sayangnya mata sayunya tampak menyelidik.
Sejenak Fitri bingung mendengar pertanyaan yang wanita itu lontarkan kepadanya namun ketika Wulan muncul membawa piring berisi kue lain dan hadir di ruangan itu kemudian ikut bergabung bersama mereka barulah Fitri sadar apa yang dimaksud wanita itu.
"Apakah Wulan menceritakan sesuatu kepada nenek!" Fitri malah balik bertanya.
Sekali lagi Fitri berhasil membuat wanita itu kaget mendengar aksen bahasa yang sangat berbeda terlebih mendengar Fitri menyebutnya 'Nenek' bukan Mbah, tetapi wanita itu dapat mengerti lalu menjawab, "Benar, Mbah sempat kepikiran tentang cerita yang cucu saya katakan tentangmu dan sepertinya terbukti setelah mendengar jawabanmu. Apakah kau memakai bahasa indonesia yang sangat berbeda?"
"Iya!" balas Fitri.
"Gaya rambut dan alas kaki yang kau pakai itu apakah kau keturunan belanda? Tapi kelihatannya kau bukan keturunan itu?" tanya wanita tua itu penasaran sambil nunjuk ke arah sepatu yang Fitri pakai. Tapi detik kemudian wanita itu tersadar akan sesuatu,"Oh sungguh tidak sopan saya yang lupa memperkenalkan diri, perkenalkan namaku Aminah. Kau boleh memanggilku Mbah Aminah," Mbah Aminah memperkenalkan diri.
Dalam hati Fitri mengaduh sebab untuk pertama kalinya mendengar kalimat paling sopan itu namun ia memperkenalkan diri, "Namaku Fitri. Mbah boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa itu!"
"Apakah sekarang tanggal 23 Januari 1942?" tanya Fitri, sengaja mengulang pertanyaan yang sama hanya untuk memastikan.
Mbah Aminah mengangguk, Fitri menarik napas dalam-dalam, "Begitu ya, selain itu Aku sebenarnya bukan keturunan belanda tapi asli keturunan indonesia. Dan gaya rambut ini biasa ada dikalangan cewek remaja di zaman modern juga sepatu ini sering dipakai saat olahraga?"
Kening Mbah Aminah berkerut sedangkan Wulan sama tidak pahamnya dan bingung mau bicara apa, akan tetapi detik kemudian alis putihnya terangkat ketika mendengar sebuah fakta yang mengejutkan. "Apa kau datang dari masa depan?" tanya Mbah Aminah.
Tanpa pikir panjang Fitri mengangguk mengiyakan setelah itu ia berpikir sejenak dan setelah itu kembali berkata,"Tapi sebelum itu boleh aku menginap di sini!"
"Oh boleh... boleh, Sudah lama sekali kami tidak menerima tamu dan menginap di rumah ini. Kau bisa tidur di kamar Wulan, dia jarang sekali tidur di kamarnya karena takut tidur sendirian semenjak kedua orang tuanya gugur akibat serangan pasukan belanda di tempat tinggalnya!"
"Terima kasih dan maaf sudah membuat Mbah repot," ucap Fitri merasa tidak enak.
"Tidak kok, ayo di minum tehnya nanti keburu dingin. Lalu ini ada kue. Maaf ya, Mbah hanya bisa menjamumu dengan makanan seadanya," sahut Mbah Aminah muram.
Buru-buru Fitri menggeleng kepalanya,"Tidak kok kebetulan perut saya lapar sejak tadi. Saya minta kuenya ya." gadis itu meraih salah satu kue di atas piring anyaman bambu beralas daun pisang kemudian langsung mengigitnya.
"Lezat sekali, kue apa ini?" tanya Fitri, kembali mengigit kue itu lagi sampai habis,"Boleh aku tambah lagi!"
Mbah Aminah tertawa kecil,"Itu kue getuk lindri, ambillah sesukamu. Wulan nanti ajak dia pergi ke kamarmu," titah Mbah Aminah kepada Wulan yang duduk di sebelahnya. Setelah mengatakan itu wanita tua itu segera menuangkan teko berisi tea manis ke dalam cangkir lalu memindahkannya ke hadapan Fitri yang masih asyik mengunyah kue, melihat itu Fitri tersenyum canggung dan segera menelan makanannya setelah itu mengambil cangkir didepannya. Akan tetapi ia keburu meletakkan kembali cangkir itu karena masih panas saat memegang ganggangnya, setelah merasa kenyang Wulan mengajak Fitri untuk pergi ke kamarnya dengan semangat.
Rumah yang tidak terlalu besar dan hanya memiliki dia kamar saja sisanya ruang tamu, dapur dan kamar mandi yang sama seperti rumah Kakek Reodjoe. Ketika tirai polos penganti pintu itu disibak oleh Wulan Fitri menatap kamar itu dengan lamat melihat satu tempat tidur dan satu lemari kayu kecil yang berada di sebelah tempat tidur serta jendela di sisi tempat tidur dengan kain menutup setengah jendela dan luas kamar itu hanya 3x8 meter.
"Mbakyu Fitri!"
"Apa?" Fitri menoleh ke arah anak itu
"Apakah di masa depan indonesia benar-benar sudah merdeka?" tanya Wulan penasaran sekaligus berharap.
Bibir Fitri semula terbuka tapi terkatup lagi ketika sadar sesuatu yang sangat penting dan tidak sengaja ia langgar, di gantikan dengan senyuman gadis manis itu menjawab. "Nanti saja ya, Mbakyu beritahu. Tapi sebelum itu besok bisa temani Mbak berkeliling!" pinta Fitri.
"Iya Mbak, kalau begitu Wulan ke dapur dulu ya mau bantu Mbah masak," pamit Wulan langsung balik badan dan meninggalkan Fitri sendirian di dalam kamarnya. Sepeninggal Wulan raut wajah Fitri seketika berubah jadi pucat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung....
Assalammualaikum, hei semuanya. Hmm sepertinya Author tidak sadar kalau di dalam cerita yang Author buat ada sebuah teka-teki di bagian akhir. Mungkin di antara semuanya bisa membantu Author untuk memecahkan teka-teki tersebut.
Jangan lupa tinggalkan komentar, vote dan follow-nya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top