6. Tanpa Di Sadari


Balikpapan,23 Januari 1942

Perairan selat makassar yang bergelombang tenang seketika bingung akan kedatangan sepuluh kapal jenis perusak dengan bendera matahari bersinar yang tidak lama lagi tiba di Balikpapan borneo ( Kalimantan ) bersama 15 kapal mengangkut yang diantaranya mengalami kerusakan ringan, kapal perusak Asagumo akibat bertarung di tempat lain serta kapal pemimpin konvoi berjenis kapal penjelajah Naka, juga membawa dua divisi kapal penyampu ranjau dan dua pemburu kapal selam guna berjaga-jaga jika musuh mereka; Amerika Serikat juga berada di perairan ini. Di atas kapal penjelajah Naka dalam ruang komando dua pria berseragam putih khas angkatan laut juga memakai topi berwarna senada yang terlihat jelas adalah petinggi kapal tersebut dan sedang memandang laut di hadapan mereka.

TOK... TOK... TOK

"Permisi."

Semua yang ada diruangan itu berpaling termasuk dua pria tersebut ke arah pintu baja ringan yang dibuka lalu masuk seorang awak kapal memakai seragam abu-abu gelap dengan bendera kecil dilengan bajunya serta memakai topi yang depannya sedikit di tekuk, pria itu memberi hormat kepada sang pemimpin kapal yang langsung dibalas oleh atasannya.

"Pesan dari pesawat pengintai arah 900 meter depan dari posisi kapal konvoi banyak ranjau kapal yang menyebar di sekitar perairan borneo, beri perintah untuk kembali. Lalu pesan lain dari pesawat pengintai dua bahwa di bibir pantai dan sekitarnya terlihat banyak artiteri. Izin kembali ke kapal penjelajah Naka." Di turunkan kertas itu dan segera bersikap siap tegak. Salah satu pria berseragam putih itu menatap sejenak lalu mengangguk, "Saya terima pesannya dan izin di terima. beritahu jika badai tiba-tiba datang!" balas pria tersebut.

"Siap laksanakan!" pria pembawa pesan itu langsung memberi hormat dan kembali di balas oleh pria tadi setelah itu keluar dari ruangan tersebut dan melaksanakan perintah.

"Laksamana Nishimura kita harus sigap menghadapi musuh baru kita dan sepertinya Amerika Serikat ikut andil dalam pertempuran ke depannya tidak peduli ada dimana kita berada!" ucap pria berpakaian sama dengan pangkat komandan letnan. Pria yang di sebut Nishimura sekali lagi memandang laut biru di hadapannya dari jendela ruang komando melihat kapalnya membelah laut, narik napas dalam-dalam sesaat lalu berkata, "Pertempuran sekaligus resikonya harus siap kita hadapi, entah dengan hasil yang sangat terhormat maupun harus harakiri. Misi kita adalah mengambil alih wilayah kaya minyak untuk keperluan kita selama perang pasifik. Kembali ke posisi masing-masing dan bersiap untuk bertempur!" titahnya. "Tukar posisi dan perintahkan kepada awak kapal ranjau untuk membersihkan ranjau di jalur armada ini." Suara lonceng segera terdengar ke penjurua kapal membuat di antara para awak yang sedang bersantai seketika beranjak ke posisi yang mereka tugaskan.

****

Fitri terbangun dari tidurnya saat merasakan perutnya tiba-tiba keroncongan juga merasakan suasana hangat menenangkan di sekitarnya memandang kembali ke arah luar jendela melihat hujan sudah berhenti kemudian dirogohnya tas yang dia pangku setelah itu mengambil ponselnya untuk melihat jam. Akan tetapi keningnya seketika berkerut dalam ketika melihat kalender yang tertera di layar ponselnya.

Tanggal 23 Januari 1942

"Perasaan Hpku baik-baik saja? Atau jangan-jangan kena air hujan!"batin Fitri curiga seraya mendongak ke langit rumah, khawatir ada yang bocor kemudian segera memeriksa data dalam ponsel itu dengan harap tidak rusak. Dia menarik napas lega setelah merasa ponselnya masih berfungsi dengan baik lalu mengatur kembali kalender ke tanggal 19 Desember 2016. Usai atur kalender ponsel dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas dia beranjak bangkit menuju pintu depan, baru saja Fitri keluar dari rumah itu alangkah terkejutnya melihat sepeda motor milik Budhe Rara tidak ada di sana dimana dia meninggalkannya saat berteduh. Bingung sekaligus panik Fitri mencoba memeriksa ke sekitar rumah dan menyadari tanah yang ia pijak terasa kering juga tidak menghirup aroma hujan, bersih. Tidak sampai disitu Fitri juga merasakan hawa panas yang menyengat, seperti tidak peduli Fitri dengan cepat merogoh tasnya mengambil ponselnya dan berniat menghubungi Budhe Rara atau Kak Riski namun sayangnya ponselnya tidak menemukan sinyal.

"Biasanya di lereng gunung masih ada sinyal walau hanya lemah, tapi ini sama sekali tidak ada!"batin Fitri penuh tanya." Ah sial banget aku hari ini, terpaksa harus jalan kaki dan cari tumpangan!" gerutu Fitri sembari kembali merogoh tasnya mengambil dompet lalu menghitung beberapa lembar uang yang Budhe Rara kasih sebelum berangkat dan kemudian segera meninggalkan rumah itu yang disambut dengan jalan tanah menurun ke bawah. "Bukannya pas datang jalan ini beraspal ya!" kini pertanyaan lain muncul dalam benak Fitri saat melangkah menuruni jalan dan melihat jalan lain yang serupa dan kembali di buat terkejut melihat banyak pohon yang tumbuh sangat lebat serta lebar jalan hanya setengah meter beralas tanah. Perasaan curiga segera muncul namun Fitri mengabaikannya dengan berpaling ke tasnya yang masih setia tersampir di bahunya lalu merogoh dan mengambil lagi ponselnya setelah itu menyalakannya lalu mengarahkan ponsel itu ke atas. Fitri tampak serius saat mencari sinyal sampai-sampai dia memutar tubuhnya kemudian menurunkan benda pipih itu dengan wajah ditekuk saat tidak berhasil mendapat sinyal.

"Aduh... bagaimana cara hubunginnya kalau sinyal nggak ada." gerutu Fitri sembari memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kemudian beranjak dari sana menuruni jalan kemudian menelusuri jalan pertama yang dia lalui, kecurigaan Fitri semakin besar ketika tidak melihat rumah warga maupun kendaraan yang lewat.

"Setahuku jam segini masih ada kendaraan tapi mengapa...ah!" mata Fitri menangkap sosok anak perempuan berjalan ke arahnya sambil membawa nempeh di atas kepalanya, walau jaraknya sedikit jauh namun Fitri dapat melihatnya dengan jelas sosok tersebut. Akan tetapi matanya malah tertuju pada pakaian yang dipakai anak perempuan itu, ah bodoh amat, pikir Fitri segera menghampiri anak itu.

"Dek... Dek!" panggil Fitri. Merasa dipanggil anak tersebut bergegas menghampiri Fitri, namun saat anak itu mendekat ia menatap takjub melihat pakaian Fitri yang sangat mencolok kemudian pindah ke tas serta sepatu yang Fitri pakai. Begitu juga Fitri yang memerhatikan pakaian anak itu yang tampak sangat kuno dan asing tetapi dia tidak peduli dan langsung bertanya, " Dek lihat rumah warga di sekitar sini nggak?"

Anak perempuan itu terkejut mendengar nada pertanyaan Fitri yang memakai bahasa indonesia namun dengan aksen yang sangat berbeda tapi anak itu langsung paham dan menjawab, "Rumah warga? Di sekitar sini tidak ada rumah warga, kalau Mbakyu maksud ada di bawah lereng gunung ini. Mbakyu ini sebenarnya siapa? Bajunya bagus sekali, tas dan sepatu Mbakyu juga sama bagusnya. Wulan tidak pernah lihat barang sebagus itu. Apakah Mbakyu seorang bangsawan?" anak itu tanpa sadar memperkenalkan diri kepada Fitri dan balik bertanya.

Giliran Fitri yang kaget mendengar anak dihadapannya bertanya balik dengan aksen yang sangat berbeda dengan aksen yang dia gunakan sehari-hari, tapi sama halnya dengan Wulan dia langsung paham maksudnya dan mengeleng kepala, "Tidak, apa kau yakin di sekitar sini tidak ada rumah warga juga sepeda motor dan mobil!"

"Sepeda motor!" beo Wulan tidak mengerti. Dengan patah-patah anak itu menggeleng serta raut wajahnya yang tampak jelas tidak tahu, Fitri berseru kecewa hingga matanya jatuh pada tempeh diatas kepalanya, di atasnya terdapat beberapa bungkus daun jati yang ditusuk lidi sebagai penganti karet.

"Adek jualan apa?" tanya Fitri penasaran, tangannya siap merogoh tasnya untuk mengambil uang dari dalam dompet. Ia sedikit merasa kasihan dengan Wulan karena melihat wajah anak itu yang penuh keringat. Wulan tersenyum ramah kemudian menjawab,"Jualan Nasi Rames, Mbakyu?" tapi matanya menatap lamat dompet yang Fitri pegang sebelum akhirnya ia segera menurunkan nempeh dari atas kepalanya. Fitri beroh panjang mendengarnya dan langsung teringat makanan itu sering dibuatkan oleh Budhe Rara saat berkunjung juga Ibu jika Fitri minta dibuatkan.

"Berapa Nasi Ramesnya?" Fitri tanya lagi, sudah buka dompet dan siap tarik uang disana.

"Satu golden, Mbakyu?" jawab Wulan singkat. Fitri mendadak bingung. Satu golden? Berapa itu? pikir Fitri tidak mengerti. dengan ragu Fitri mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah lalu memberikannya kepada Wulan, giliran Wulan yang bingung melihat uang kertas yang Fitri berikan sampai-sampai ia membolak-balik uang itu. Fitri yang melihatnya tampak heran,"Anak ini kenapa sih? Kayak baru lihat uang kertas saja!"

"Dek!" panggil Fitri.

"Bank Republik Indonesia!" kata Wulan membaca tulisan dari uang itu lalu berpaling ke arah Fitri dengan pupil mata melebar seolah tidak percaya apa yang dia lihat, "Mbakyu, uang apa ini? Kenapa di sini ada tulisan INDONESIA?" tanya Wulan.

"Pertanyaan apa itu? Masa kamu tidak tahu, Indonesia sudah lama merdeka 71 tahun yang lalu. Adek tinggal dimana sih sampai nggak tahu yang beginian?" Fitri balik bertanya, heran. Pertanyaan yang Fitri lontarkan berhasil membuat Wulan terkejut dan mulutnya sedikit terbuka.

"A-Apa? Indonesia merdeka 71 tahun yang lalu!" Wulan tidak dapat menutupi keterkejutannya dan Fitri mengangguk.

"T-Tapi sekarang masih di tahun 1942!" Ujar Wulan,"Sekarang tanggal 23 Januari!"

Mengira anak ini menglindur Fitri menghela napas lalu menggeleng kepala,"Bukan, dek, Sekarang tahun 2016 tanggal 19 bulan Desember!" bantah Fitri. " Mana dek nasinya!"

Anak perempuan itu baru sadar lantas dengan gerakan pelan ia memberikan salah satu bungkus Nasi Rames kepada Fitri yang langsung menerimanya tanpa ragu seraya mengucap terima kasih,"Kembaliannya buatmu saja!" ucap Fitri yang setelah itu berjalan melewati Wulan begitu saja menuju bawah lereng gunung dan berniat mencari kendaraan untuk mengantarnya pulang.

"23 Januari 1942? Yang benar saja, anak itu pasti lagi ngelindur. Aduh mana nggak ada kendaraan di sekitar sini lagi!" gerutu Fitri dalam hati seraya terus melangkah. Akan tetapi langkahnya langsung terhenti saat hatinya mendadak punya firasat buruk. Di pandangnya sesaat bungkusan daun jati berisi Nasi Rames yang di bawanya langsung ia masukkan ke dalam tas lalu beralih merogoh isi tasnya mengambil ponselnya untuk melihat kalender. Mata Fitri seketika terbelalak kaget tidak percaya melihat tanggal, bulan dan tahun yang sebelumnya sudah dia setting berubah lagi jadi tanggal 23 bulan Januari dan Tahun 1942. Seketika perkataan Wulan terngiang ditelinganya, rasa janggal serta curiga menyeruak dalam hati dan pikirannya tapi tidak lama Fitri dikejutkan dengan suara pesawat yang melintas di atasnya membuatnya mendongak ke langit, meski jauh namun Fitri dapat melihat pesawat itu yang berjumlah lima dengan suara asing tapi dia mengenalinya.

"Pesawat akrobatik ya? Tapi, apa sebaiknya aku balik ke rumah tadi. Firasatku nggak enak!"

Beberapa saat menimbang dengan pikirannya akhirnya Fitri memutuskan untuk kembali dan menaiki jalan menanjak menuju rumah itu. Akan tetapi di lain tempat Wulan yang baru saja tiba di sebuah rumah kayu sederhana bergegas masuk ke dalam rumah.

"Assalammualaikum Mbah!" panggil Wulan seraya meletakkan tempeh di atas bangku dipan kayu saat duduk maka berbunyi berderit. Suara langkah sandal yang bergesekan dengan lantai terdengar dari dalam rumah dan muncul seorang wanita tua berkebaya serta memakai kain sungket sebagai rok keluar setelah cucunya memanggilnya.

"Waalaikumsalam, oh syukurlah kau sudah pulang, Wulan!" sahut Nenek itu dan melihat barang dagangan yang Wulan bawa masih ada beberapa yang belum terjual. Wulan dengan sigap mengeluarkan sebuah kantung kain berisi uang lalu memberikannya kepada wanita tua itu.

"Mbah tahu nggak? Tadi di jalan Wulan bertemu Mbakyu manis, dia memakai pakaian aneh tapi sangat menarik selain itu tadi dia juga beli Nasi Rames kita pakai uang yang sangat berbeda dengan uang kita sekarang. Tapi yang paling aneh lagi dia juga bilang kalau sekarang tahun 2016, sayangnya Wulan lupa tanggal dan bulan yang Mbakyu itu katakan!" celoteh Wulan.

Mbah Aminah—nama wanita tua itu duduk di sebelah Wulan hendak menghitung uang terkejut mendengarnya, "Apa? Dimana kau bertemu dengannya?" tanya Mbah Aminah.

"Di jalan menuju rumah Kakek Redjo,Mbah?" jawab Wulan pendek."Dia juga tanya kendaraan yang bernama "Sepeda Motor!" lanjutnya. Raut wajah Mbah Aminah tidak paham, diletakkan kantung itu di atas pangkuannya lalu memiringkan posisi duduknya menghadap cucu perempuan satu-satunya dan berkata. "Wulan, Kakek Redjo sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Apa kau bisa tunjukkan uang yang kau maksud kepada Mbah!"

Anak perempuan itu kaget namun dengan nurut mengambil uang yang disaku bajunya lalu segera mengeluarkan uang tersebut dengan warna cokelat mencolok setelah itu menyerahkan uang tersebut kepada Neneknya.

"Kata Mbakyu uang itu dari bank Republik Indonesia yang sudah merdeka selama 71 tahun!" timpal Wulan.

"A-Apa? Indonesia sudah merdeka selama 71 tahun!" ulang Mbah Aminah semakin terkejut. Wulan mengangguk membenarkan.

"Apa kau yakin? Apakah Mbakyu yang kau katakan tadi masih ada di sana?" tanya Mbah Aminah tidak percaya. Wulan menggeleng kepala,"Dia sudah pergi?" jawabnya. Mbah Aminah tampak kecewa mendengar jawaban cucunya itu.





.
.
.
.
.
.
.

Bersambung...

Maaf untuk bagian ini agak pendek. Jangan lupa vote ya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top