5 Kabut Dan Hujan

Desa gubungpati,19 Desember 2016

Pagi terasa sangat buta namun suara ayam jantan menyambut kedatangannya, selesai shalat subuh Fitri bergegas pergi ke dapur untuk membantu Budhe Rara menyiapkan sarapan, meski angin bertiup menusuk kulit karena lokasinnya berada di daerah perbatasan antara Kota Karangan dan Gunungpati gadis itu mengabaikan rasa dingin itu asal dapat makanan enak buatan Budhenya. Setelah semua menu makanan sudah tersaji di atas meja tidak selang lama Kak Riski segera muncul dari atas tangga kemudian duduk di salah satu kursi meja makan, pemuda itu menguap sesaat.

"Baru bangun, Kak?" tanya Fitri. Segera duduk di sebelah Kak Riski, dia sekilas melihat ada garis hitam di bawah mata Kak Riski seolah mengatakan kalau dia baru saja bergadang.,"Habis bergadang ya?" Fitri tanya lagi. Kak Riski mengangguk lalu kembali menguap kembali walau sebentar lalu mengambil piring di atas meja makan serta lauk-pauk, Fitri memilih diam karena tahu Kakaknya jelas masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang sejarawan yang lantas mengikuti Kak Riski mengambil piring di atas meja makan serta lauk-pauknya. Tidak selang lama Rani segera muncul memakai piyama bermotif hello kitty dan ikut gabung bersama mereka berdua yang kemudian disusul oleh Budhe Rara kecuali Pakdhe Kasim.

"Budhe, Pakdhe Kasim mana?" tanya Fitri saat tidak melihat pria tersebut. Wanita muda berusia 29 tahun yang baru saja mengambil sepotong tahu goreng ke atas piringnya mendongak kemudian menjawab,"Pakdhemu sudah berangkat sebelum subuh tadi, ada masalah serius di pabriknya. Jadi dia ke sana?"

Fitri beroh pendek setelah itu mulai sarapan. Suasana hangat ditengah dinginnya pagi disertai dengan makanan enak buatan Budhe Rara membuat Fitri sangat menikmatinya. "Budhe, hari ini Fitri ingin jalan-jalan ke tempat wisata Gunungpati. Apakah boleh Fitri ke sana?" tanya Fitri.

"Naik apa kau ke sana?" Kak Riski tiba-tiba bertanya sambil memasukkan potongan tahu dan sambal ke dalam mulutnya.

"Naik motor? Motor Budhe nganggur kan?" gadis manis itu menoleh ke arah Budhe Rara, menatap harap kepada wanita itu.

"Nganggur sih, tapi hati-hati kalau pergi ke sana. akhir-akhir ini Budhe dengar disana kadang hujan dan berkabut?" jawab Budhe Rara sembari memperingatkan sekaligus mengizinkannya. Toh motor Budhe Rara adalah motor keluaran era 80an. Tentu saja petugas polisi lalu lintas tidak akan menilang motor tua itu dan tidak menarik untuk ditilang. Fitri tersenyum senang mendengarnya kemudian segera menghabiskan sarapannya. Selesai sarapan Fitri segera bersiap-siap untuk berangkat, begitu juga dengan Kak Riski yang harus kembali ke museum untuk melanjutkan pekerjaan. selang beberapa menit Fitri sudah siap dengan baju T-Shirt lengan panjang berwarna biru dongker serta memakai celana panjang berwarna hitam garis biru rambutny selalu dia diikat satu, tidak ketinggalan tas berukuran kecil yang pakai kemarin ke museum. Namun setelah semuanya siap seketika dia teringat dengan tugas yang belum dikerjakan, Fitri langsung menghampiri kopernya yang tergeletak disudut kamar lalu segera membukanya, memperlihatkan isinya yang hampir kosong dan buku bersampul merah putih itu ada didalamnya, diambilnya buku itu dengan berat hati setelah itu dia menukar tas lain berukuran sedang lalu memasukkan buku serta tempat pensil ke dalam tas. Setelah semua sudah siap gadis itu segera keluar menuju garasi rumah dimana Budhe Rara memarkirkan sepeda motornya kemudian pamit berangkat, sepanjang perjalanan tidak ada yang Fitri lihat selain suasana pagi yang cerah menuju tempat wisata yang populer di gunungpati. Setengah jam kemudian akhirnya gadis itu hampir sampai di tujuan, tetapi baru saja Fitri mengarahkan motornya menelusuri jalan yang menanjak dia terkejut melihat gumpalan asap putih tipis menyambut kedatangannya dari atas juga sebelah kanan jalan.

"Ah apa yang dikatakan Budhe Rara benar, aku harus berhati-hati!"batin Fitri waspada memutuskan untuk mengurangi kecepatan sepedanya sementara kabut dihadapannya terus bermunculan dan mulai menghalangi pandangannya hingga selang lama merasakan banyak tetesan air jatuh mengenai permukaan kulit tangannya. Panik, gerimis hujan telah turun gadis itu bergegas mencari tempat untuk berteduh kemudian naik mengikuti jalan beraspal yang tidak terlalu ramai dilalui kendaraan, ditengah kepanikan ia merasa lega melihat jalan aspal dengan lebar setengah meter mengarah ke atas bukit dimana sebuah rumah berbahan kayu dan bambu yang tampak sangat kuno mengintip dari balik pepohonan. Tanpa pikir panjang Fitri mengarahkan motornya ke rumah itu dan memarkirkannya kemudian bergegas berteduh, hujan langsung turun dengan deras disertai angin yang berembus kencang membuat gadis itu kedinginan.

"Mudah-mudahan hujannya cepat reda," Gumam Fitri berharap sambil menatap langit kelabu. Dipeluk tubuhnya dengan erat sedangkan hatinya merutuki karena lupa memakai jaket. Sambil menunggu ia mengamati teras rumah yang tampak sangat tua melihat bahan bangunan yang memakai kayu juga bambu berukuran besar namun kesan zaman tempo dulu yang kental, tanpa sadar ia mulai tertarik dengan gaya arsitektur bangunan tersebut kemudian tertuju pada pintu keprak rumah yang tertutup. Baru saja berpaling menatap langit tiba-tiba angin berembus sangat kencang disertai suara petir bergelegar membuat Fitri reflek menutup kedua telinganya dengan tangan dan tersentak mendengar suara pintu dibanting saat hembusan selanjutnya lebih kuat menerpa. Sesaat Fitri menoleh lalu menunggu melihat salah satu penghuni keluar untuk menutup pintu itu dan mungkin Fitri dapat minta izin untuk numpang teduh, namun setelah menunggu hampir 30 menit dia tidak melihat satu pun penghuni rumah itu keluar.

"Apa tidak ada orang di rumah?"pikir Fitri heran.

Seperti ada magnet yang menarik Fitri untuk mendekati pintu tersebut, daun pintu yang terbuka lebar memperlihatkan kondisi dalam rumah yang penuh dengan daun kering serta pasir dan debu yang berserakan di lantai dan perabotan rumah, melihat langsung kondisi didalam sana Fitri berniat tidak ingin masuk ke dalam tanpa izin, akan tetapi hujan semakin lebat disertai embusan angin yang bertiup makin kencang membuat air hujan mengarah ke gadis itu seolah memaksanya masuk ke dalam rumah itu. Bersamaan dengan masuknya Fitri ke dalam sebuah kabut putih segera turun menutupi area rumah yang perlahan mulai menghalangi pemandangan serta aroma khas hujan menyambut indra penciuman Fitri. melihat ke luar jendela tampak jelas kabut putih itu yang semakin tebal di antara air hujan yang turun makin lebat. Masih sabar menunggu hujan reda Fitri memutuskan untuk duduk sebentar di kursi kayu ruang tamu yang berdebu sangat tebal tetapi mata cokelatnya sesekali melihat arah ke luar setelah itu berpaling memerhatikan disekelilingnya dengan penasaran melihat banyak perabotan rumah yang tidak pernah Fitri lihat sebelumnya, hanya lampu minyak yang Fitri kenali namun tampak sangat klasik.

"Sebaiknya aku hubungi Budhe Rara buat kasih kabar!" batin Fitri seraya merogoh tasnya, berniat mengambil ponselnya. Akan tetapi suara petir kembali menggelegar kuat dan kencang membuat gadis itu terkejut setengah mati dan buru-buru mengambil ponselnya lalu mengaturnya ke dalam mode pesawat, menenangkan jantungnya akibat suara petir tadi Fitri tidak bisa berbuat banyak selain duduk menunggu sambil lihat keluar jendela rumah yang berbentuk sama dengan pintu utama. embusan angin dingin yang berseberangan dengan hawa hangat membuat Fitri merasa nyaman sampai tanpa sadar kedua matanya mulai terasa berat untuk berjaga.

"Apa aku tidur dulu aja kali ya? Suasananya enak banget, tahu gini mending bawa makanan hangat sama camilan sambil nunggu hujan reda!"tanpa sadar mulutnya menguap lebar kemudian memejamkan matanya sejenak sembari menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Langit ruang tamu yang memamerkan genteng tanah liat yang disanggah kayu menjadi penglihatan terakhir Fitri sebelum akhirnya tertidur dalam posisi duduk.

.
.
.
.

Bersambung...

Hai readers, untuk bahasa asing author memakai google translet. Entah itu benar apa nggak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top