10. Adaptasi

Desa gunungpati, 24 Februari 1942

Hawa dingin terasa menusuk kulit Fitri yang kini berbaring pulas diatas tempat tidur milik Wulan, namun acara tidurnya terganggu saat merasakan tubuhnya di guncang oleh seseorang. Ngantuk sekaligus kedinginan Fitri tetap tidur lalu mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, akan tetapi guncangan lembut itu kembali membuatnya terpaksa mengucek matanya sebentar dan melihat siapa yang membangunkannya. Mbah Aminah rupanya.

"Nak Fitri ayo bangun, udah subuh!"

Loading. Gadis itu tidak menyahut namun matanya terbuka dan mengedar ke penjuru ruangan  berakhir tertuju pada Mbah Aminah yang berdiri menunggunya untuk bangun, namun setelah sadar tiba-tiba Fitri terlonjak bangkit membuat wanita tua itu terkejut sampai tak sadar langkah mundur ketika melihat reaksi gadis itu sedangkan Fitri buru-buru memutar tubuhnya ke belakang kemudian meraih tasnya yang bersender di dipan tempat tidur lalu membuka tasnya dan mengambil ponselnya untuk melihat kalender juga jam.

24 Febuari 1942 Pukul 04:00

Seketika Fitri menghembuskan napas gusar tetapi segera sadar ketika menoleh ke arah Mbah Aminah yang masih berdiri disampingnya tapi pandangannya justru tertuju pada ponsel ditangannya. Kembali merutuki kebodohannya ia dengan cepat memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas.

"Benda apa itu? Benda itu besar dan bisa mengeluarkan cahaya?" tanya Mbah Aminah penasaran sekaligus takjub namun sedikit kecewa tidak bisa lihat lebih lama benda yang Fitri pegang barusan. Terlanjur menunjukkan benda dari masa depan terpaksa Fitri menjawab,"Benda yang aku pegang tadi namanya ponsel?" jawabnya singkat.

"Ponsel? Apa itu? Apakah benda itu orang Indonesia yang membuatnya?" Mbah Aminah kembali bertanya dengan raut antusias juga penasaran. Berbanding terbalik dengan Fitri yang justru meringis karena melanjutkan kesalahannya sedangkan dalam hatinya bahkan bingung harus menjelaskan bagaimana jika tahu ponsel yang ia pakai memang buatan indonesia bermerk Advan yang sayangnya kalah kualitas dengan ponsel canggih dari luar negeri, lantas tidak mau pembicaraan ini semakin jauh jari telunjuknya menempel di depan bibir.

"Mbah jangan beritahu soal ini pada siapapun!" kata Fitri.

Seolah gadis itu memberikan peringatan Mbah Aminah langsung paham lalu mengangguk sebelum akhirnya mengajak Fitri untuk shalat subuh dan sarapan. Enggan buat beranjak karena dingin tapi situasi dan tempat sudah beda dengan berat Fitri turun dari atas tempat tidur seraya memakai sepatu seperti memakai sandal kemudian menyusul wanita tua itu yang lebih dulu keluar menuju ke belakang rumah dan tidak sengaja berpapasan dengan Wulan yang baru saja dari belakang memamerkan wajah lugunya yang basah namun dia tidak tampak kedinginan sama sekali. Melihat anak perempuan itu tahan cuaca dingin Fitri sedikit malu namun benar-benar tidak terbiasa dengan cuaca dingin dizaman ini.

"Wulan setelah ini tolong petik cabai dan tomat di kebun samping rumah!" titah Mbah Aminah.

"Iya Mbah," sahut Wulan patuh,"Duluan ya, Mbak!"

Fitri mengangguk,"Mbah aku boleh bantu Wulan metik juga nggak?" tanya Fitri, sudah tidak betah tidak melakukan apapun serta di perlakukan seperti orang penting,"Kalau Ibu tahu kejadian ini pasti dia bakal ceramahiku panjang lebar!" batinnya bergidik membayangkannya.

"Oh Boleh," balas Mbah Aminah seraya membuka pintu belakang.  Namun ketika pintu itu di buka Fitri langsung memeluk tubuhnya saat angin menerobos masuk dan menerba tubuhnya, rasa ingin kembali masuk dan sembunyi di balik selimut seketika berbisik di telinga Fitri tetapi rasa tidak enak karena kehadirannya di rumah ini seolah memaksa Fitri untuk mengurungkan niatnya dan mengekor di belakang Mbah Aminah sampai di depan kamar mandi lalu menunggu untuk giliran.

"Aduh ...  apa di zaman penjajahan desa Gunungpati sedingin ini saat di pagi hari!" batin Fitri menggerutu membuat giginya gemeretak kedinginan. Tidak selang lama Mbah Aminah keluar dalam keadaan serupa seperti Wulan dan melihat Fitri tampak kedinginan, merasa kasihan wanita tua itu menepuk bahu Fitri lalu mengusapnya seolah memberinya kehangatan dan berkata, "Nanti Mbah buatkan wedang jahe untuk hangatkan tubuhmu!" katanya sebelum berlalu meninggalkan Fitri. Hanya mengangguk saja gadis itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi untuk buang air kecil sekaligus ambil air wudhu, sayangnya baru saja tangannya menyentuh air saat hendak mengambil gayung untuk cebok dalam hatinya sudah menjerit kedinginan serta tubuhnya semakin mengigil. Selesai urusan buang air kecil ia memaksakan diri untuk mengambil air dari dalam bak lalu mulai wudhu walau tergesa-gesa, selesai wudhu ia segera keluar dan bergegas masuk ke dalam rumah segera melaksanakan shalat subuh, tidak sampai sepuluh menit Fitri sudah selesai shalat subuh lalu segera keluar menemui Wulan di samping rumah dan menemukan anak perempuan itu tengah memetik cabai.

" Wulan aku ingin membantumu, apa boleh?" tanya Fitri seraya menghampiri anak itu. Wulan menoleh lalu tersenyum mengangguk setelah itu kembali memetik buah cabai yang di ikuti oleh Fitri yang masih berjuang menahan dingin sejak tadi. Setelah buah tomat sudah terkumpul ke dalam keranjang mereka segera pindah ke pot berisi pohon tomat lain yang dengan jelas berbuah sangat banyak. Angin kembali berhembus memainkan ranting-ranting pohon di sekitar mereka ditambah tidak satupun di antara mereka yang membuka suara hingga tomat yang sudah matang berhasil terkumpulkan kemudian di bawa ke dalam, baru saja mereka masuk ke ruang tamu Mbah Aminah sudah keburu muncul sambil membawa dua piring tanah liat berisi kue getuk lindri dan kue ketan manis yang telah di beri alas daun pisang.

"Kalian berdua sarapan dulu ya, pasti lapar." ucap Mbah Aminah seraya meletakkan dua piring tersebut di atas meja yang rupanya sudah hadir nampan berisi teko dan tiga gelas kemudian merebut keranjang yang di bawa Wulan sejak tadi lalu membawanya ke dapur. Fitri dan Wulan menuruti perkataan wanita tua itu namun sebelum itu mereka pergi ke depan rumah untuk cuci tangan lalu kembali ke ruang tamu, Wulan dengan sigap menuangkan gelas milik Fitri lalu memberikannya kepada gadis yang lebih tua darinya.

"T-terima kasih Wulan, dilain waktu aku saja yang melakukannya!" ujar Fitri merasa tidak enak dilayani oleh yang lebih muda darinya.

"Sama-sama. Lagipula sekilas Mbak kelihatan ragu buat ambil air minum, jadi biar aku saja yang menuangkannya untuk Mbak," sahut Wulan, dia lanjut menuangkan teko berisi wedang jahe ke dalam gelasnya dan meletakkan kembali teko tersebut di atas nampan lalu giliran meraih ganggang gelas setelah itu meniupnya sebentar dan meminumnya dengan nikmat. Fitri tidak berkomentar apapun dan mengikuti anak dihadapannya dengan meniup wedang jahe digelasnya yang masih mengepul lalu meminumnya perlahan, rasa hangat segera menyebar ke tenggorokan dan tubuhnya ditambah aroma khas jahe memberi perasaan rileks, minum lagi lalu mengambil salah satu kue getuk lindri dan mengigitnya. Begitu juga dengan Wulan sehingga mereka berdua menikmati sarapan sampai lupa untuk berbagi kepada Mbah Aminah, barulah Fitri sadar saat wanita tua itu kembali muncul membawa dua piring lagi lalu meletakkannya di atas meja.

"Eh maaf Mbah aku nggak sengaja menghabiskan kue ini!" seru Fitri, di tutup mulutnya dengan tangannya karena reflek. Begitu juga dengan Wulan yang baru sadar sedangkan Mbah Aminah yang melihat tingkah mereka hanya tersenyum saja.

"Tidak apa-apa Nak, justru Mbah senang ada yang menghabiskan kue itu. Sudah sering kami makan kue sisa jualan yang tidak habis terjual dan terkadang kami membagikannya ke tetangga agar tidak mubazir di saat ekonomi saat ini sedang krisis akibat perang!" jelas Mbah Aminah, nadanya terdengar sedih. Wanita tua itu ikut duduk bersama mereka lalu meraih teko itu dan menuangkan wedang jahe ke dalam gelasnya kemudian segera meminumnya,"Oh Iya setelah ini Wulan akan berangkat ke pasar, apakah kau mau ikut bersamanya?" Fitri yang tengah mengunyah makanan di mulutnya namun keningnya langsung berkerut mendengar permintaan Mbah Aminah kepadanya, setelah menelan barulah gadis itu balik bertanya,"Lalu Mbah sendiri di rumah?"

"Tubuh Mbah sudah cukup lemah untuk berjalan jauh ditambah Mbah suka batuk-batuk kalau di siang hari jadi nggak bisa jualan, padahal Mas Irwan sudah suruh Mbah buat istirahat banyak tapi Mbah malah terus beraktivitas sama buat kue untuk jualan!" timpal Wulan, mata kecilnya mendelik ke arah wanita tua di sebelahnya seolah tengah menegur.

"Aduh cucu Mbah sudah pintar menegur orang rupanya!" sahut Mbah Aminah pasrah. Melihat perdebatan kecil dua orang dihadapannya Fitri hanya bisa diam menonton sambil kembali meneguk wedang jahenya sampai habis lalu meraih ganggang teko dan menuangkan isinya ke dalam setelah itu meminumnya yang secara bersamaan terbayang wajah Ibu, Mas Riski, Budhe Rara, Pakdhe Kasim dan Rina di rumah sehingga timbul rasa cemas saat membayangkan raut wajah keluarganya. Akan tetapi wajah Fitri berubah pucat ketika membayangkan teman dan para guru di sekolah apabila tahu kalau dirinya menghilang tanpa jejak, namun pikiran buruk itu langsung teralihkan saat mendengar suara ketukan pintu yang tidak jauh dari duduknya.

"Assalammualaikum," suara serak dan berat terdengar jelas dari balik pintu.

"Waalaikumsalam, iya sebentar!" sahut Mbah Aminah seraya beranjak berdiri dan berjalan mendekati pintu itu.

"Wah panjang umur buat Mas Irwan!" cicit Wulan, kembali mengambil kue ketan manis lalu mengigitnya. Fitri yang belum tahu siapa yang Wulan maksud namun segera tahu saat berpaling melihat punggung Mbah Aminah sebelum wanita tua itu mempersilakan masuk seorang pemuda jangkung berkacamata bundar lalu lalu menuntunnya ke tempat Fitri dan Wulan berada. Pemuda jangkung itu memakai kemeja putih polos serta celana bahan berwarna hitam polos namun sedikit memudar akibat sering kena matahari, jangan lupa gaya rambutanya yang kerimis rapi dan tatapan matanya dibalik kacamata yang tegas tapi kalem tapi tatapan itu langsung tertuju saat melihat kehadiran Fitri. Pria itu sejenak menatap curiga kemudian berbisik kepad Mbah Aminah namun Wulan keburu menyapa.

"Pagi Mas Irwan!" sapa Wulan riang seraya melambaikan tangannya.

"Pagi juga, Wulan. Sedang sarapan?" tanya Mas Irwan ramah namun sorot mata coklatnya kembali melayang curiga kepada Fitri karena melihat gaya rambut yang tampak asing.

"Ya begitulah, kebetulan masakan Mbah masih panas. ayo gabung sarapan bersama kami!" ajak Wulan antusias, bocah itu tidak sadar jika Fitri tidak nyaman menerima tatapan seperti itu oleh Mas Irwan. Beruntung Mbah Aminah segera buka suara.

"Nak Irwan perkenalkan dia Fitri!" ucap Mbah Aminah membantu Fitri memperkenal diri."Nah, Nak Fitri pemuda ini bernama Irwan, dia selalu mengobati Mbah juga warga di sini dan dia adalah dokter terbaik yang kami miliki. Mari duduk!"

"Mbah jangan terlalu memuji, sudah tugas saya untuk melayani. Yang perlu Mbah puji adalah para pejuang negara ini!" timpal Mas Irwan seraya duduk di sebelah Fitri tapi sedikit jaga jarak. Fitri hanya tersenyum kikuk menanggapinya lalu memutuskan diam dan melanjutkan makannya serta menyimak pembicaraan diantara mereka.

"Aduh... kue dan masakan di zaman ini enak sekali, rasanya sangat berbeda dengan kue dan makanan di zamanku!" batin Fitri memuji, mulutnya terus mengunyah."Tapi... aku beneran nggak nyaman."batinnya saat melirik ke arah Mas Irwan.

"Ngomong-ngomong saya tidak pernah melihat gaya rambut dan sepatu yang di pakai sepertimu, kau berasal darimana?" tanya Mas Irwan.

"Uhuk... Uhuk...," makanan yang Fitri kunyah tidak sengaja tersedak membuatnya panik lalu buru-buru mengambil gelasnya dan meneguknya dengan cepat. Setelah merasa lebih baik barulah Fitri menjawab.

"Saya dari Jakarta?" jawab Fitri segera mengatur intonasi suara dan bahasa agar sama seperti Mbah Aminah, tapi sayangnya logat modernnya masih bisa terdengar membuat Mas Irwan tertegun. Khawatir pemuda itu akan bertanya lebih jauh Mbah Aminah lantas menyuruh Wulan untuk berangkat bersama Fitri, anak perempuan berambut kepang itu dengan nurut mengajak Fitri beranjak dari ruangan itu dan meninggalkan Mbah Aminah dan Mas Irwan berdua. Hanya mengekor di belakang Wulan ke dapur, setelah Wulan mengambil tempeh yang sudah di letakkan barang dagangan lalu keluar bersama Fitri. Sengaja meninggalkan tasnya di kamar karena tampilannya yang sangat mencolok bagi zaman ini.

"Hati-hati di jalan ya!" ucap Mbah Aminah mengingatkan."Kau juga hati-hati di jalan!" tambahnya saat melihat Fitri muncul sambil bawa tas.

"Lho Mas Irwan sudah pergi?" tanya Wulan. Fitri yang baru sadar tidak melihat pria tadi menunggu jawab dari wanita di hadapannya.

"Iya, baru saja. Katanya banyak laporan sakit yang dia terima dari warga sejak kemarin?" jawab Mbah Aminah. Wulan dan Fitri hanya beroh panjang setelah berangkat menuju pasar dan Fitri kembali mengigil kedinginan.

****

Suara ledakan disusul rentetan peluru bergema di seluruh penjuru wilayah Tarakan di pagi buta. Tentara Belanda banyak yang gugur bergelimpangan akibat serangan dari tentara Jepang yang dengan cepat menguasai wilayah jajahan Belanda.

"Cepat kirimkan pesan darurat?! Kami membutuhkan banyak bantuan!" teriak salah seorang tentara kepada kawanya yang bertugas mengirim pesan seraya kembali menembak dan berhasil mengugurkan lima tentara Jepang, tetapi dengan cepat mendapat tembakan dari salah satu tentara Jepang dan gugur. Pria bermata biru serta rambut pirang sebagai pengirim pesan dengan cepat memutar tuas telepon lalu mengangkat telepon, malangnya secara bersamaan sebuah granat terbang dan jatuh di dekat pria itu berada bersama teman-temanya dan dalam hitungan detik benda bulat itu meledak keras. Sementara itu 1.860 km dari pantai Tarakan kapal penjelajah Naka dan kapal penyerang lainnya terus–menerus menembakkan timah besar dari meriam utama yang mereka miliki ke arah kapal penghancur milik Belanda yang bertugas bagian benteng. Aroma asin berbaur dengan suara ledakan yang saling jual beli hingga salah satu kapal penghancur berhasil di tenggelam oleh kapal penghancur Harusame sedangkan kapal penghancur lainnya sibuk melindungi dan membuka jalan untuk kapal pengangkut yang harus bersandar di dekat pantai dan sekitarnya. Para kapal penghancur milik Belanda tidak menunjukkan tanda menyerah dan terus mengirimkan tembakan di masing-masing kapal lalu di susul torpedo ke arah kapal Naka serta anak buahnya. Bertarung hampir selama 4 jam kemenangan akhirnya jatuh ke tangan Kaigun ( armada jepang ) dan segera bersandar ke pelabuhan Balikpapan. Detik-detik menuju pelabuhan di ruang kendali kapal wakil kapten menarik napas dalam-dalam lalu menghampiri salah satu bawahanya yang bertugas bagian radio kapal.

"Kirimkan pesan kondisi seluruh awak di kapal ini serta kerusakan yang kita terima!" titahnya kepada sang juru radio.

"Baik!" dengan cepat pria bermata sipit memakai seragam cokelat terang melaksanakan perintah atasanya dan segera mengirim pesan kepada seluruh awak kapal. Melihat bawahnya melaksanakan perintahnya ptia itu kembali menghampiri sang kapten yang masih bergeming di tempatnya sambil memandang daratan Balikpapan yang mulai mendekat.

"Sesuai apa yang sudah direncanakan!" ucap Kapten Sutezawa sembari menghembuskan napas lega.

"Tetapi armada ini berhadapan langsung dengan armada yang bersekutu dengan Amerika serikat, apakah kita bisa mengatasinya?" tanya wakil Kapten Nugozawa, sorot matanya sipit tampak khawatir, sadar jumlah lawan semakin bertambah selain Amerika Serikat. Sejenak kapten Sutezawa menoleh sekilas lalu kembali menatap ke depan dan melihat pelabuhan semakin dekat dan balik bertanya,"Apakah kau meragukan kekuatan armada kerajaan Jepang?"

Wakil kapten Nugozawa tertegun lalu buru-buru menjawab,"Tidak?"

"Jangan pesimis dan lihatlah, setelah kita berhasil mengawal kapal pengangkut mendarat di pelabuhan Borneo sesuai perintah Laksamana Nishimura sekaligus memperbaiki seluruh armada yang mengalami kerusakan. Armada ini harus kembali berlayar bersama armada lainnya untuk menguasai perairan pulau Jawa dan menaklukkannya!" ujar Kapten Sutezawa memberi motivasi, ditolehnya ke arah juru radio yang tampak baru saja selesai menuliskan laporan lalu berjalan cepat mendekati sang kapten kemudian menyodorkan kertas laporan tersebut. Pria berusia 29 tahun itu menerima kertas itu dan membacanya dalam diam setelah itu dia kembali berkata,"Kirimkan pesan seluruh armada untuk mendarat segera dan beristirahat, lusa armada penghancur keempat akan bergabung bersama kapal penjelajah Nachi dan Jintsu guna menuntaskan misi!"

"Baik!" juru radio memberi hormat lalu kembali ke tempatnya.

"sebentar lagi kerajaan Jepang akan mengambil alih wilayah ini!" kata Kapten Sutezawa.

Sang wakil kapten mengangguk lalu menoleh ke arah juru kemudi kapal dan juru navigasi,"tambah kecepatan... belok kiri!" titahnya.

"Tambah kecepatan... belok kiri!" Sang juru kemudi kapal memutar arah kemudi ke kiri dengan cepat dan di ikuti oleh kapal lainnya. Kapal bendera penjelajah Naka mulai memasuki wilayah Borneo ( Kalimantan ).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top