Rencana Rangga
Dengan cekatan Delia membersihkan buku-buku itu. Saat ia menata kembali buku itu pada tempatnya tanpa sengaja ia melihat sebuah foto terjatuh. Penasaran Delia pun memungutnya dan membalik foto itu untuk melihatnya. Seketika Delia menutup bibirnya mencegah suara tawa yang lolos dari bibirnya. Di foto itu terlihat Remaja bertubuh gempal tengah tertawa memperlihatkan gigi ompongnya. Sangat menggemaskan sekali anak laki-laki itu. Di pojok bawah tertulis nama Rangga Putra Wijaya. Sontak Delia menatap bosnya yang masih asik membolak-balikkan kertas.
Jadi Pak Rangga dulunya gemuk? batin Delia.
Gadis itu memasukkan foto ‘aib’ bosnya itu ke dalam saku. Ini akan menjadi senjata bagi Delia kalau saja bosnya berbuat ulah. Rangga yang melihat Delia diam di depan rak bukunya pun segera mengintrupsinya.
“Saya tidak membayarmu untuk melamun,” kata Rangga tanpa menatap Delia.
“Maaf, Pak.” Delia kembali melakukan pekerjaannya sampai pukul 10.00 Delia sudah menyelesaikan tugasnya. Dilihatnya Rangga membersihkan berkas yang berserakan di atas meja kerja. Beberapa menit lagi Rangga akan meeting. Rangga menatap Delia membuat gadis itu menunduk.
“Kamu sudah selesai?” tanya Rangga.
Delia hanya bisa mematung saat melihat tubuh tinggi dan atletis yang menjulang di depannya. Delia masih belum percaya kalau Rangga dulunya gemuk . Delia yakin bosnya pasti berusaha keras untuk menurunkan berat badan. Tapi jujur saja Delia jadi gemas dengan foto itu, apa tidak masalah kalau dirinya menyimpan foto Rangga waktu remaja?
“Sudah, Pak,” jawab Delia cepat dan tegas. Rangga mengangguk dan membuka dompetnya. Pria itu mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan. Delia hanya diam menatap uang berwarna merah itu. Begitu mudahnya Rangga mengeluarkan uang dari dompetnya, Delia saja harus berpikir puluhan kali untuk mengeluarkan uangnya dari dompet walau hanya sekeping koin. Bukan karena pelit, tapi untuk menghemat pengeluarannya.
“Ini uang untuk kamu beli bahan makanan. Saya mau makanan rumah yang enak dan hygiene. Mengerti?”
Delia mengangguk dan menerima uang dari bosnya. Rangga menatap Delia sekilas sebelum pergi. Sepeninggalan Rangga, Delia pun pergi ke swalayan untuk membeli bahan makanan. Sejujurnya ia belum tahu apa yang akan dia masak. Sebuah troly di dorongnya untuk melihat-lihat sayuran segar. Sebuah ide terlintas di pikirannya saat melihat pokcoy segar. Setelah membeli sayur, Delia pun membeli daging dan beberapa penyedap makanan.
***
Pukul 12 siang Dharma sudah sampai di tempat penitipan anak. Seperti biasa ia akan membawakan anak-anak cemilan. Yuni atau yang akrab dipanggil Mbak Yu menyambut hangat kunjungan Dharma.
“Terima kasih telah berkunjung lagi, Pak Dharma,” ujar Mbak Yu
“Aku sudah bilang akan sering berkunjung menemui anak-anak. Kau tau di rumah sangat sepi.”
Dharma berjalan melihat anak-anak bermain dengan riang diikuti oleh Yuni di belakangnya. Dahram berhenti saat melihat seorang gadis kecil tertidur di pojok ruangan. Yuni yang tahu arah pandang Dharma pun menjelaskan tentang anak kecil itu.
“Namanya Aninda, dia berusia 2 tahun. Di Balita yang tidak pernah rewel kecuali pampersnya penuh. Dia akan tidur setelah susunya habis.”
“Apa dia anak baru?” tanya Dharma.
“Tidak, dia masuk sekitar 6 bulan yang lalu. Hanya saja sebelum jam 12 dia sudah dijemput oleh kakaknya, jadi Anda tidak pernah melihatnya.”
“Apa dia belum dijemput?”
“Sepertinya dia akan pulang sore hari. Kakaknya baru saja diterima bekerja hari ini.”
Dharma mengangguk dan pergi melihat anak-anak lainnya.
***
Semua mata menatap Delia ketika gadis itu masuk ke gedung tempatnya bekerja. Dua kantong tas belanja ditentengnya menuju dapur yang ada di lantai dua. Delia dengan cekatan menata bahan belanjaan dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk masak. Gadis itu punya waktu satu jam sebelum rapat berakhir.
“Lo ngapain bawa barang banyak gitu?” tanya seorang pria yang tadi pagi bertanya padanya. Delia tersenyum menanggapi pertanyaan pria itu.
“Aku harus masak untuk Pak Rangga.”
Pria itu mendekati Delia yang masih asik mengupas bawang. Sebenarnya Delia risih dilihat seperti itu tapi mau bagaimana lagi pria itu punya mata untuk melihat, tidak mungkin Delia melarang.
“Gue belum tahu nama lo. Gue Riki,” kata pria bernama Riki itu sambil menjulurkan tangannya. Delia menyambut tangan pria itu. “ Aku Delia,” jawabnya.
“Ya sudah gue mau kerja lagi. Semoga bos suka masakan lo,” ucapnya. Delia hanya mengangguk sebagai jawaban. Riki pun pergi membawa gelas berisi air di atas nampannya. Delia melanjutkan memasak. Beruntung ia pernah bekerja di restaurant sebagi pencuci piring sedikit banyaknya dia tahu resep masakan yang dibuat sang koki. Kalau diingat-ingat lagi Delia sangat rindu suasana restaurant tempat ia bekerja dulu. Andai saja ibunya masih sehat mungkin Delia akan betah bekerja di sana.
Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan waktu 11.35, Delia segera mengolah ayam yang dibelinya. Tepat pukul 12.45 gadis itu selesai menata masakannya di atas piring. Delia bergegas membawa makanan itu ke ruangan bosnya.
Namun sial, Delia lagi-lagi harus bersabar saat melihat lift karyawan tertempel tulisan rusak. Mau tidak mau Delia harus naik tangga untuk bisa sampai di lantai 6 tempat di mana ruang bosnya berada. Mimpi buruk apa dirinya semalam sampai harus naik tangga dua kali hari ini. Bisa-bisa tubuh kurusnya semakin kurus.
“Sabar Delia, kamu perempuan kuat,” ujarnya menyemangati diri.
***
Suara tawa terdengar di sebuah ruangan. Bukan ruang meeting tapi ruang CCTV. Rangga dengan santainya melihat ke layar monitor bagaimana Delia naik tangga menuju ruangannya sambil membawa makanan. Rendi yang melihat tingkah bosnya yang berbeda dari biasanya hanya bisa menggelengkan kepala.
Beberapa menit lalu meeting telah selesai, bukannya kembali ke ruangan Rangga malah memilih berdiam diri di ruang CCTV, yang lebih anehnya lagi pria itu sengaja menyuruh seorang karyawan menempelkan tulisan rusak di lift lantai dua. Rendi pikir bosnya mulai tidak waras.
“Kau lihat, gadis itu akan segera angkat kaki dari perusahaan ini. Aku bisa merasakannya,” ujar Rangga. Rendi menatap layar monitor, entah kenapa ia merasakan hal sebaliknya. Rendi pikir gadis itu akan bertahan jika dilihat dari tekadnya.
“Anda mau ke mana?” tanya Rendi saat melihat Rangga beranjak dari duduknya. Senyum masih tersungging di bibir Rangga. Rendi jadi khawatir dengan bosnya. Rangga belum pernah bertingkah aneh seperti ini.
“Saya mau ke ruangan ,” ucapnya sambil berlalu begitu saja. Rendi masih setia mengekori Rangga dari belakang. Senandung kecil keluar dari bibir Rangga. Betapa bahagianya dia hari ini.
Pintu ruangan Rangga terbuka, dilihatnya Delia berdiri di depan meja kerjanya membawa nampan. Rangga menormalkan ekspresi wajahnya sedatar mungkin. Pria itu berjalan mendekati Delia yang kini menatapnya.
“Makan siangnya sudah siap, Pak,” kata Delia.
“Saya lupa beritahu kamu kalau saya sudah makan,” jawab Rangga.
Seketika wajah Delia berubah masam, siapa yang suka dipermainkan seperti ini. Jauh-jauh dia pergi ke swalayan, memasak sepenuh hati berharap bosnya akan menyukai masakannya tapi nyatanya ia harus menelan pil pahit. Bisa-bisanya pria itu mengatakan bahwa dia sudah makan. Kenapa Rangga tidak memberitahunya?
“Baiklah, saya bawa ke bawah lagi,” kata Delia.
“Oh, tidak masalah. Rendi akan menghabiskannya, jadi biarkan saja. Letakkan di atas meja,” kata Rangga. Delia mengangguk kemudian memberikan struk beserta sisa uang belanja pada Rangga.
“Kalau begitu saya permisi dulu.” Delia keluar dari ruangan itu dengan lemas. Padahal dia ingin mendengar bosnya memuji hasil masakannya. Delia menghentikan langkahnya saat mendengar suara lift ketika ia akan menuruni tangga.
“Bukannya lift itu rusak?” gumam Delia. Apa dia sedang dikerjai oleh bosnya? Dengan langkah terhentak Delia kembali ke ruang Rangga. Diketuknya pintu itu dengan sabar. Setelah mendapat jawaban Delia pun masuk ke dalam dan menghampiri Rangga yang sedang memunggunginya. Rangga berbalik dan menatap Delia penuh tanya.
“Saya ingin mengembalikan sesuatu,” kata Delia menyerahkan foto yang ia dapatkan tadi. “Saya permisi.”
Rangga mengambil foto yang diberikan Delia. Alangkah terkejutnya ia melihat foto masa remajanya yang selama ini ia sembunyikan dari orang-orang dan sialnya Delia sudah melihat foto itu.
“Ada apa , Pak?” tanya Rendi saat melihat Rangga berdiri kaku.
“Argh!” teriak Rangga meluapkan rasa malunya.
Wajah Rangga berubah pucat. Pikirannya benar-benar kacau setelah Delia memberikan foto itu. Rangga pikir telah menghilangkan foto itu sejak lama, namun nyatanya foto itu tersimpan di dalam bukunya. Rendi yang melihat bosnya terdiam pun tak berani bicara. Suasana hati Rangga sedang kacau, salah-salah ia bisa dipecat.
“Aku akan mengusir gadis itu. Segera.”
***
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Delia saat mendengar keadaan ibunya yang semakin tidak terkontrol. Beberapa menit yang lalu pihak rumah sakit memberinya kabar bahwa ibunya kembali mengamuk untuk yang kedua kalinya.
Delia hanya bisa melihat ibunya dari balik pintu. Ia takut kalau ibunya akan mengamuk jika melihatnya. Satu tahun yang lalu adalah peristiwa tak terlupakan bagi Delia. Ibunya pulang setelah bertahun-tahun pergi tanpa kabar. Delia semakin terpuruk saat tahu bahwa ibunya menikah lagi dan memiliki seorang putri yang berusia satu tahun.
Delia ingin tertawa mengetahui fakta bahwa diusianya yang ke dua puluh empat tahun ia memiliki seorang adik kecil yang sebenarnya lebih pantas menjadi anaknya. Saat itu semua masih normal. Dia bekerja di sebuah restaurant dan ibunya di rumah menjaga adik kecilnya.
Namun keadaan normal itu tidak berlangsung lama. Berita kematian ayah tirinya membuat sang ibu frustrasi. Delia tidak bisa meninggalkan adiknya dengan sang ibu. Emosi ibunya mulai tidak terkendali dan ibunya menjadi gila.
“Sebesar itukah cintamu padanya? Kamu rela meninggalkan anakmu dan sekarang kamu meninggalkan dirimu sendiri. Mama kenapa kamu lakukan ini padaku?” gumam Delia.
Tatapan lurus Delia tertuju pada perempuan yang tertidur di atas ranjang pasien. Bibirnya pucat, ada lingkaran hitam di kedua matanya. Seorang pria meghampiri Delia. Pria itu menepuk pelan bahu Delia membuat gadis itu menoleh.
“Emosinya sudah stabil, apa kamu mau ke dalam?”
“Tidak, Dok, saya harus menjemput Aninda sebelum sore,” sahutnya.
“Baiklah, hati-hati di jalan.”
“Saya permisi.”
Delia beranjak pergi dengan langkah cepat. Terlalu lama melihat kondisi ibunya membuat hatinya terasa sesak.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top