Mogok Makan

Rangga berbalik menuju lift diikuti Rendi dan Delia di belakangnya. Semua karyawan yang melihat Delia masuk ke dalam lift khusus pimpinan menatap iri pada gadis itu. Apalagi para perempuan yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari itu kini merasa kesal melihat Delia pergi bersama pimpinan mereka yang tampan dan misterius.

Pintu lift terbuka, Rangga berjalan santai menuju ruangannya. Selama mengekori Rangga, Delia tidak pernah berpaling dari punggung tegap itu. Mungkin Delia merasa dirinya menjadi wanita aneh yang mengagumi punggung seorang pria. 

“Kau bisa membersihkan ruangan ini. Jika hasilnya memuaskan maka kau diterima,” ujar Rangga membuat Delia tersadar dari lamunannya. 

“Baik,” ujar Delia. Seorang office boy datang menghampiri untuk memberikan alat-alat keersihan yang dibutuhkan. Delia menggulung lengan kemejanya, dengan cekatan gadis itu membersihkan ruangan yang setara dengan dua kali lipat luas kamarnya. 

Rangga memperhatikan gerak-gerik Deli yang gesit dalam membersihkan dan menata ruang kerjanya yang berantakan. Rendi yang berdiri di samping Rangga mulai membisikan sesuatu pada bosnya.

“Dia sangat terlatih. Apa Anda akan mererimanya?” tanya Rendi. Rangga masih fokus melihat gerakan Delia yang entah kenapa terlihat sangat indah. Liukan tubuhnya setiap kali berdiri dan berjongkok seakan menghipnotisnya.

“Kita lihat saja nanti,” jawab Rangga. Delia menatap ruangan itu puas. Semuanya sudah bersih dan tertata rapi di tepatnya. Dengan bangga Delia berjalan mendekati Rangga yang masih berdiri di ambang pintu. Delia mendongkak menatap pria yang menjulang tinggi di depannya. 

“Aku sudah selesai. Bagaimana? Apa Anda puas dengan hasil kerjaku?” Delia tersenyum lebar saat Rangga mengangguk. Ia yakin akan diterima bekerja di perusahaan ini. 

“Saya suka dengan pekerjaanmu. Rapi dan bersih. Kau diterima bekerja di sini mulai besok. Datang jam 8 pagi dan temui saya di ruangan ini. Kamu boleh pergi,” kata Rangga. Delia memekik senang akhirnya keinginannya terwujud untuk bekerja di sebuah perusahaan. Saking senangnya wanita itu tanpa sadar mencium tangan Rangga dan Rendi bergantian. 

“Terima kasih atas kesempatannya. Aku permisi dulu,” ujar Delia sebelum melenggang pergi dari ruangan itu. Rangga terdiam kaku saat tangannya dicium. Seumur hidup belum pernah ada yang mencium tangannya. Ini mengingatkannya saat Rangga duduk di sekolah dasar. Rangga selalu mencium punggung tangan ibunya sebelum masuk ke dalam kelas. Lagi-lagi Rangga mengingat almarhum ibunya. 

“Pak, apa Anda yakin menerima wanita aneh itu?” tanya Rendi. Rangga melenggang masuk ke ruangannya tanpa menjawab pertanyaan Rendi. Pria itu duduk di kursi hitam kesbesarannya.

“Kita lihat saja seberapa lama ia tahan bekerja dengan saya,” sahut Rangga dengan senyum tipis. Rendi tahu bosnya tidak semudah itu mengubah keputusan. Ia sangat kukuh dengan keputusannya. Rangga pasti sedang merencanakan sesuatu. 

***

Senandung kecil terdengar dari bibir Delia. Dengan langkah ringan gadis berusia 25 tahun itu menyambangi sebuah tempat penitipan anak. Seorang wanita paruh baya menghampirinya. 

“Kamu sudah pulang? Bagaimana apa kau di terima?” tanya wanita itu penasaran. Delia dengan wajah murungnya kini duduk di sofa ruang tunggu. Wanita itu terlihat khawatir dengan keadaan Delia yang berantakan. “Tidak apa-apa, di luar sana masih banyak pekerjaan yang bisa kamu kerjakan. Mungkin belum jodoh,” ujarnya sambil mengelus punggung Delia.

“Hahahaha.” Tawa Delia pecah membuat wanita itu menatapnya bingung. Apa Delia frustrasi karena ditolak terus? Gadis itu semakin hari tak bisa ditebak. 

“Mulai besok aku akan bekerja.” Mendengar jawaban Delia membuat wanita itu segera menempelkan tangannya di dahi Delia. Mungkin saja gadis itu sedang sakit. Ia mengkhawatirkan kondisi mental Delia yang mungkin sedang terganggu karena lama menganggur.

“Kamu tidak bercanda, ‘kan?” Delia menggeleng membuat senyum haru terlihat di wajah wanita itu. Mereka berpelukan menyalurkan rasa bahagia akhirnya status pengangguran Delia resmi menghilang. Setelah perjuangan sana-sini menghabiskan biaya print dan map untuk memasukkan surat lamaran di beberapa perusahaan yang terkadang berakhir di tempat sampah kini terbayarkan dengan diterimanya Delia di sebuah perusahaan pakaian pria sekelas Ralph Lauren. Ya, meski perusahaan itu masih di bawah merek terkenal.

“ Di mana Aninda, Mbak Yu?” tanya Delia. Dia sudah rindu dengan adik mungilnya yang masih berusia 2 tahun. Ia merasa bersalah setiap kali meninggalkan balita cantik itu di tempat penitipan anak selama ia mencari pekerjaan. Delia berjanji pada dirinya untuk menjaga Aninda sepenuh hati dan memastikan balita cantik dan menggemaskan itu tidak kekurangan gizi dan kasih sayang.

Seorang perempuan seusianya tengah menggendong Aninda. Delia segera mengambil alih untuk menggendong sang adik. “Terima kasih telah menjaga Aninda dengan baik. Kami pulang dulu,” pamit Delia pada pengasuh adiknya. 

“Hati-hati di jalan. Aninda baru minum susu mungkin dia akan ketiduran saat perjalanan pulang,” ujar Mbak Yu pada Delia.

“Tentu. Kami pergi dulu.” 

Tepat saat Delia berjalan keluar area penitipan sebuah mobil hitam masuk ke pekarangan. Seorang pria berambut putih keluar dari dalam mobil dengan senyum sumbringah saat melihat anak-anak bermain dengan riang. 

“Selamat datang, Pak Dharma,” sapa Mbak Yu pada pria itu. 

Pria yang dipanggilnya Pak Dharma itu mengangguk dan memejamkan mata sejenak. “Aku merasa hidup kembali saat berada di tempat ini. Kamu merawat mereka dengan baik,” ujar  Dharma. 

“Itu sudah kewajiban saya. Mari masuk dulu.” 

Dharma dan beberapa pengawalnya pun masuk ke dalam tempat penitipan anak. Senyum dan tawa tidak pernah berhenti keluar dari bibir pria tua itu. Ia merasa senang melihat anak-anak bermain dan tertawa bersama. Dharma semakin mantap dengan keinginannya untuk mendapatkan cucu. 

*** 

Udara panas di dalam angkot membuat Delia gerah, bahkan Aninda pun tidak jarang menangis karena kepanasan. Dengan sabar Delina mengipas-ngipas tangannya berharap Aninda mendapatkan angin segar. Beruntung angkot yang ditumpanginya berhenti dekat tempat tujuan. Delia pun segera turun menggendong Aninda yang menangis.

“Jangan menangis lagi. Cup… cup… cup….” Delia mengusap-usap punggung kecil itu dengan lembut. Seketika tangis Aninda mereda membuat Delia lega. “Kita jenguk mama dulu, ya, sayang,” ujarnya lembut. 

Delia masuk ke gedung rumah sakit jiwa. Ini adalah kegiatan rutinnya setiap minggu mengunjungi ibunya. Dari luar kamar Delia bisa melihat seorang wanita sedang melamun menghadap jendela. Rambut panjangnya terlihat kusut, tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya. Delia beranjak pergi namun seorang perawat menghampirinya. 

“Ibu Denisa sejak tadi pagi tidak mau makan. Kami sudah membujuknya tapi dia mengamuk,” ujar perawat itu. Delia sangat mengenalnya, bahkan mereka sudah menjadi teman sejak mama Delia dirawat.

“Lisa aku boleh minta tolong jaga Aninda sebentar? Aku mau bertemu mama.”

“Kamu harus berhati-hati, suasana hatinya mungkin tiba-tiba berubah.”

Delia mengangguk dan memberikan Aninda pada Lisa. Delia membuka pintu sangat pelan tanpa bersuara sedikit pun. Ia tidak mau mamanya terganggu akan kehadirannya. Delia tersenyum lebar saat Denisa menatapnya. Wajah cantik yang dulu sering dipoles bedak kini terlihat pucat. Delia mencoba duduk di samping Denisa. Mamanya hanya diam seakan Delia tidak pernah hadir di sisinya.

“Aku boleh sisir rambut mama?” tanya Delia.

Denisa terdiam menatap jendela dengan pandangan kosong. Delia mengambil sebuah sisir dari laci meja. Dengan lembut ia menyisir rambut panjang Denisa yang mulai rontok. Delia tersenyum tipis melihat penampilan mamanya jauh lebih baik. 

“Aku pulang dulu, Ma. Aku rindu mama,” ujar Delia. Gadis itu memeluk Denisa erat. Bagaimana pun juga wanita ini yang telah melahirkannya. 

 “Ma, aku janji akan merawat Aninda dengan baik. Apa pun aku lakukan untuknya,” gumam Delia 

*** 

Sinar rembulan masuk melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Gorden putih selembut sutra membelai tangan Rangga yang sejak tadi terlipat di depan dada. Pikiran pria itu menerawang, berkelana pada kejadian pagi tadi. Ada perasaan aneh saat bibir wanita itu mencium tangannya. Rangga tidak bisa melupakan rasanya bahkan sudah beberapa kali ia mencuci tangan dengan air tapi tetap saja rasanya tidak berubah. Seolah bibir wanita itu menempel di tangannya.

Apa ini efek dari tidak pernah pacaran? Rangga menutup jendelanya. Angin terasa semakin dingin membuat tubuhnya meremang. Dengan langkah gontai pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja untuk menghubungi seseorang. 

“Tolong atur ulang jadwal meeting saya ke siang hari,”ujarnya pada seseorang di seberang. Rangga memutuskan panggilannya setelah mendapat jawaban dari orang tersebut. Pikiran Rangga kacau. Tuntutan dari ayahnya yang terus meminta cucu sudah seperti rentenir penagih hutang. Kalau tidak dibayar tentu tahu akibatnya. Rangga keluar dari kamarnya bermaksud menemui Dharma.

Pria itu khawatir jika ayahnya masih mogok makan. Penyakit maag yang diderita Dharma cukup serius, dia tidak mau ayahnya mual-mual sepanjang hari. Langkah lebarnya terhenti saat mendengar suara Dharma di dalam kamar. Pintunya sedikit terbuka memudahkan Rangga untuk mengintip orang-orang yang ada di dalam sana.

“Ingat, jangan sampai lupa. Kalau ada yang berani mengatakan pada Rangga kalau saya hanya pura-pura, maka kalian akan saya pecat,” ancam Dharma pada ketiga orang yang ada di depannya. Sudut bibir Rangga tertarik ke atas. Ia merasa lega mendengar aksi mogok makan itu hanyalah settingan dari ayahnya. Sebagai wujud protes karena sampai saat ini Rangga belum mewujudkan keinginan ayahnya untuk memberi cucu yang banyak. Jangankan sepuluh seperti permintaan Dharma, satu saja Rangga belum terpikirkan.

Rangga segera beranjak dari kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya. Satu fakta terungkap membuatnya bisa memejamkan mata malam ini. Rasa gelisahnya berkurang dan Rangga bersyukur mengetahui hal itu. 

“Baiklah ayah, kita buktikan siapa yang akan memenangkan pertandingan ini,” gumam Rangga. 

Ia yakin ayahnya akan kalah lagi dan Rangga pastikan ia tidak akan mendengar kata cucu keluar dari bibir ayahnya. Rangga tidak akan menikah meski bibir Dharma berbusa memintanya untuk mencari pasangan hidup. 

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top