Mabuk (?)
Taxi yang Delia tumpangi berhenti di sebuah tempat penitipan anak . TPA Sumber Bahagia. Begitulah yang tertulis di papan nama bagian depan tempat itu. Siapa pun pemilik tempat itu Delia ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya. Gadis itu tidak bisa membayangkan kalau Aninda tidak ada yang menjaga selama ia bekerja.
"Dia ada di dalam," ucap seorang wanita muda usia 20 tahunan pada Delia.
Delia mengikuti langkah gadis di depannya ke sebuah ruangan. Di sana seorang gadis berusia dua tahun sedang bermain dengan wanita paruh baya. Tidak ada anak lain di ruangan itu yang artinya Delia adalah orang terakhir yang datang menjemput. Beruntung dua pengasuh ini sangat baik hati dan mau menjaga adiknya sampai ia datang.
"Ninda sayang," ucap Delina membuat gadis kecil itu berlari dan memeluk kakinya. Delia mengangkat tubuh kecil itu dalam gendongannya. Hanya gadis ini yang bisa membuat Delia tersenyum.
"Terima kasih telah menjaganya. Kami pulang dulu."
"Hati-hati di jalan."
Delia melambaikan tangannya pada dua wanita itu. Taxi yang ia tumpangi perlahan menjauh dari tempat penitipan anak. Aninda yang ada di dekapannya pun perlahan memejamkan mata. Delia tersenyum melihat adiknya terlelap. Dia pasti lelah bermain seharian.
Taxi tiba-tiba berhenti. Seorang pria masuk dan duduk di samping Delia. Mau tidak mau gadis itu harus meggeser duduknya untuk memberi tempat bagi pria itu. Delia menatap lekat pria yang ada di sampingnya. Ia memang sedang kesal dengan Rangga-bosnya- tapi bukan berarti ia harus terbayang-bayang akan pria itu. Mana mungkin Rangga naik taxi yang sama dengannya?
"Kenapa menatap saya seperti itu?" Suara baritone itu sukses membuat Delia sadar bahwa ia tidak menghayal. Pria yang duduk di sampingnya adalah bosnya -Rangga.
"Bapak kenapa naik taxi?" tanya Delia. Gadis itu enggan menjawab pertanyaan Rangga sebelumnya.
"Kamu gak lihat mobil saya mogok?"
Delia menutup kedua telinga adiknya saat Rangga berbicara dengan nada tinggi. Tatapan Rangga kini tertuju pada gadis kecil yang ada di dalam dekapan Delia.
"Bapak bicara jangan keras-keras dong, gimana kalau anak ini bangun?"
Rangga menghembuskan napas pelan. "Maaf."
Rangga memalingkan tatapannya dari Delia. Bisa-bisanya dari sekian ratusan taxi yang ada di Jakarta dia malah terjebak dengan Delia.
"Minta maaf yang tulus dong, Pak."
"Terus saya harus bagaimana?" Delia kembali menutup telinga Aninda.
"Tuh,'kan nge-gas lagi."
Rangga menatap Delia dengan tatapan menusuk. Delia diam-diam mencuri pandang pada bosnya. Meski tampan Delia tidak tertarik dengan pria itu, seharusnya Rangga menjadi incaran para gadis di kantornya seperti di film-film yang pernah ia tonton. Namun sedetik kemudian Delia menepuk jidatnya saat sadar bahwa pegawai di kantor kebanyakan pria.
"Jangan berpikir yang macam-macam. Saya tau apa yang kamu pikirkan."
Delia memiringkan kepalanya untuk melihat ekspresi Rangga. Pria itu melirik Delia melalui ekor matanya. Ingin rasanya Rangga segera turun dari taxi sekarang juga.
"Bapak dukun? Kenapa bisa tau apa yang saya pikirkan?"
"Tertulis jelas di jidat lebar kamu."
Delisa spontan mengusap jidatnya. Mana mungkin ada tulisan di jidatnya, Rangga pasti berbohong. Delia mendekap erat Aninda yang mulai bergerak gelisah. Rangga menatap Delia dan anak kecil itu bergantian. Rasa ingin tahu Rangga tentang anak itu pun muncul. Seingatnya saat menerima data diri Delia dengan jelas gadis itu mencantumkan single dalam statusnya. Bagaimana mungkin ia sudah memiliki anak sebesar ini?
"Anak kamu?" tanya Rangga membuat Delia menoleh.
Rangga tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Jika benar anak itu adalah anak Delia maka Rangga dengan mudah memecatnya dengan alasan pembohongan. Bibir Rangga mengulas senyum saat ide itu muncul di kepalanya.
"Kepo."
Hanya satu kata bisa membuat senyum Rangga menghilang dalam sekejap. Rangga benar-benar kesal.
"Kamu harus lebih sopan sama atasan. Kamu tidak mau saya pecat, 'kan?"
"Maaf Pak, tapi ini di luar kantor. Selain itu bapak juga bertanya tentang masalah pribadi saya jadi tidak sopan rasanya bertanya seperti itu."
Rangga mengusap dadanya mencoba sabar menghadapi Delia. Gadis ini sangat sulit dimintai jawaban, sangat terbelit-belit. Taxi berhenti di depan restaurant. Rangga segera keluar dan bicara dengan supir taxi. Sejenak ia menatap Delia yang sedang mengusap punggung anak kecil itu. Rangga teringat lagi dengan keinginan ayahnya yang menginginkan cucu. Rangga segera mengenyahkan pikiran itu dan segera masuk ke dalam restaurant mengingat ia sudah terlambat.
***
Delia menatap buku tabungan yang ada di tangannya. Melihat digit angka yang tercetak dalam buku itu membuat ia tersenyum kecut. Tabungannya menipis tapi tanggungannya tidak berkurang sama sekali. Delia harus berpikir lagi bagaimana cara mendapat uang tambahan. Pandangan Delia tertuju pada Aninda yang sedang bermain di lantai.
Ponsel Delia bergetar, sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Ragu-ragu Delia mengangkatnya. Akhir-akhir ini marak terjadi penipuan online. Dia harus berhati-hati agar tidak terbujuk rayuan.
"Halo."
"Delia? Ini aku Saras."
"Eh? Saras? Ada apa?"
"Enggak cuma kangen saja. Kamu sibuk? Aku ingin bertemu."
"Tidak, tapi...."
"Sebentar saja."
"Baiklah, kirim saja alamatnya."
Sambungan berakhir. Ponsel Delia bergetar sebuah pesan dari Saras yang berisi alamat. Delia mamatut diri di depan cermin. Ia pun menghampiri Aninda kemudian menggendongnya. Delia bersiap untuk pergi.
"Aninda sayang di rumah Bi Siti sebentar ya. Kakak mau pergi."
"Tidak mau."
"Kakak pergi sebentar, gak akan lama," bujuk Delia. Gadis kecil itu mengeratkan pelukannya pada leher Delia. Ia merajuk tak ingin ditinggal. Delia tidak mungkin membawa Aninda bersamanya. Delia menghubungi temannya yang bernama Saras. Beruntung temannya mau mengunjungi rumah Delia untuk sekadar bertemu setelah sekian lama berpisah.
***
Langit malam yang cerah membuat Rangga betah berlama-lama di balkon kamar. Anggin yang dingin ditemani secangkir kopi susu membuat ia tenang sejenak. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama saat mendengar suara ayahnya dari balkon sebelah. Rangga mengernyitkan dahinya saat Dharma duduk di kursi sambil berpuisi diiringi suara gitar. Bait puisi itu seakan menyindir diri Rangga.
"Cucu oh cucu. Kapan tangan lemah ini akan menimangmu?"
Rangga segera masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Selalu saja seperti itu. Ayahnya tidak pernah berhenti mengusik kehidupan pribadinya. Tidak ada hari tanpa menginginkan cucu. Rangga menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, pikirannya tertuju pada Delia dan anak kecil dalam gendongannya.
"Apa yang aku pikirkan?" Rangga menggeleng untuk menghilangkan segala ide aneh yang singgah di kepalanya.
***
Delia meneguk habis bir yang tersisa dalam gelasnya. Ini bertama kalinya ia minum alkohol yang membuat kerongkongannya panas. Saras kembali menuangkan bir ke dalam gelas Delia.
"Kau suka birnya?"
"Tidak, rasanya aneh tapi hangat."
"Mau minum lagi?"
"Aku tidak akan minum lagi. Besok pagi aku harus bekerja," ucap Delia.
"Jangan terlalu serius. Kau butuh hiburan Delia. Lihatlah tubuhmu begitu kurus sejak terakhir kali kita bertemu," ucap Saras. Gadis itu tidak henti-hentinya menegak bir yang ada di gelasnya.
"Itu dulu Saras. Sekarang semua sudah berubah. Kau tau aku sangat menyesal menolak beasiswa kuliah saat itu. Aku pikir bekerja akan lebih baik untuk hidupku."
"Tapi nyatanya bekerja butuh selembar kertas bukan?" tanya Saras.
"Ya, tapi setidaknya masih ada pekerjaan yang bisa aku lakukan."
Saras memperlihatkan jam tangan miliknya. "Kau tau berapa herganya?"
Delia menggeleng. Jangankan jam tangan, jam dinding saja dia tidak punya. Delia menatap Saras yang terlihat mulai mabuk.
"Jam tangan ini harganya jutaan. Kalau kau mau mendapatkan uang yang banyak hubungi saja temanmu ini." Saras menepuk dadanya sambil tertawa namun Delia dengan cepat membungkam bibirnya dangan tangan. Aninda sudah tidur akan sangat sulit menenangkan balita itu kalau menangis.
"Bagaimana caranya?" tanya Delia
Saras tersenyum dan membisikkan sesuatu di telinga Delia. Mata gadis itu membulat saat tahu apa yang dilakukan teman lamanya.
"Benarkah kau mendapat uang sebanyak itu?" tanya Delia
Saras mengangguk. "Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan. Tidak perlu susah-susah mencari kerja."
Delia terdiam. Gadis itu meremas kedua tangannya. Jantungnya berdebar-debar. Delia masih mempertimbangkan tawaran dengan uang menggiurkan seperti yang Saras katakan.
***
Seperti biasa sebelum pergi bekerja Delia akan menitipkan Aninda di tempat penitipan anak. Delia mengusap perutnya yang terasa mual ditambah kepalanya mulai pusing. Delia berjalan pelan menuju ruang kerja Rangga. Bosnya akan marah kalau ia terlambat membersihkan ruangan.
Rasa mual dan pusing yang Delia rasakan semakin menjadi membuat dia terhuyung ke belakang. Dengan sigap Rangga yang baru masuk ke ruangannya menangkap tubuh kurus Delia.
"Hei, kamu kenapa? Sakit?" Rangga mengguncang tubuh Delia. Gadis itu menutup mulutnya saat perutnya mulai bergejolak. Delia mencoba melepaskan tangan Rangga dari tubuhnya namun pria itu memegang lengannya erat.
"Kenapa diam saja? Kamu kenapa?"
Delia yang sudah tidak bisa manahannya lagi terpaksa memuntahkan isi perutnya. Rangga mengeram dan melepaskan Delia begitu saja. Delia segera berlari menuju kamar mandi setelah terbebas dari bosnya. Rangga merogoh ponselnya untuk menghubungi seseorang.
"Bawakan satu set pakaian untuk saya. Cepat!" Rangga berteriak marah. Baru saja ia tiba di kantor Delia sudah membuat masalah.
"Gadis itu sepertinya mau dipecat lebih cepat."
Rangga membuka jas dan kemejanya. Ia membuang kemeja itu sembarangan. Pintu kamar mandi terbuka. Delia keluar dengan keadaan lebih baik.
"AAAAA...." Delia memekik saat melihat Rangga bertelanjang dada. Delia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Kenapa bapak buka baju?" tanya Delia. Gadis itu melihat Rangga melalui celah jari-jarinya.
"Kamu pikir saya nyaman memakai pakaian kotor." Rangga mendekati Delia membuat gadis itu melangkah mundur.
"Hari ini kamu membuat saya marah."
Delia berlutut di depan Rangga yang membuat pria itu tersenyum. Delia yang ada di depannya kini tak berdaya.
"Jangan pecat saya, Pak."
"Kenapa saya tidak boleh memecat kamu?"
"Karena... karena bapak tidak akan mendapatkan karyawan seperti saya yang bisa memasak, membersihkan ruangan dan menemai bapak."
Rangga terkikik geli. Delia terlalu percaya diri. Rangga bisa menemukan karyawan seperti Delia lebih dari sepuluh. Rangga mendekati Delia dan berjongkok di depannya. Belum sempat ia berujar, pintu ruangannya diketuk. Rangga berdiri tepat saat pintu terbuka lebar.
"Pak Rangga, ini pakaian yang bapak minta," ujar Rendi.
Tatapannya tertuju pada Delia yang bersimpuh dekat kamar mandi. Melihat Rangga yang tidak mengenakan atasan membuat Rendi bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada mereka berdua?
Tbc
Kelanjutannya Bisa baca di KBM ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top