Awal Pertemuan

     Rambut hitam klimis tersisir rapi membuat Pria itu semakin memesona. Jas hitam licin kini melekat di tubuh seorang Rangga Putra Wijaya. Bahkan semut pun akan tergelincir saat menapaki kakinya pada jas itu. Rangga menatap pantulan dirinya di depan cermin, wajah yang tergolong  tampan itu tidak sedikit pun menyunggingkan senyum. Namun sial karismanya tidak memudar sedikit pun. Rangga walau pun bukan pria yang hangat tapi tatapan matanya bisa membuat para wanita terpesona hanya dengan sekali lirik. 

     Rangga menarik ujung jasnya, memastikan bahwa penampilannya sudah rapi dari ujung kepala sampai ujung kaki. 

Tok… tok…tok

    Rangga menoleh saat mendengar pintu kamar diketuk. Perhatiannya kembali pada rolex yang sedang dipakainya. “Masuk.” Hanya butuh satu kata untuk membuat pintu itu terbuka. Seorang pria muda masuk ke dalam ruangan dengan pakaian rapi. 

“Mobilnya sudah siap, Pak,” ucapnya. Rangga berbalik sambil memperbaiki dasinya yang sedikit miring. Setelah selesai bersiap Rangga pun beranjak turun ke ruang makan diikuti pria berjas tadi.

“Selamat pagi, Ayah,” sapanya pada pria beruban yang tengah membaca koran.  Tidak ada sahutan dari pria yang dipanggilnya ayah. Rangga sepertinya tidak ambil pusing dengan hal itu.  Rangga menarik kursi yang berseberangan dengan sang ayah dan mulai menikmati sarapannya.

      Rangga melirik sarapan ayahnya yang masih utuh tak tersentuh. Sambil menghela napas panjang Rangga pun akhirnya menyerah, ia tidak bisa terus didiamkan oleh ayahnya seperti ini.

“Ayah tidak makan?” tanya Rangga lembut berharap sang ayah melunak. Tapi sayang itu hanya sia-sia. Ayahnya masih bungkam. Bahkan tidak melirik sama sekali.

“Ayah.”

“Ayah mau cucu.”

Rangga menghembuskan napas dalam-dalam, kedua tangannya mengepal kuat. 

“Ayah, saya mohon  jangan mulai lagi,” ujarnya.

“Sudah berapa kali ayah bilang padamu untuk memberikan cucu. Ayah tidak mau makan sebelum kamu setuju memberikan ayah cucu,” ujar pria itu tanpa mengalihkan perhatian dari koran pagi yang sedang ia pegang. 

“Saya pergi dulu, tolong habiskan sarapan Ayah.” Dengan kesal Rangga pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Ini bukan pertama kalinya sang ayah meminta cucu padanya. Setahun belakangan ini ayahnya semakin gencar mendesaknya untuk memberi cucu. Jangankan untuk memberi cucu pacar saja Rangga tidak punya.

        Setelah kepergian anaknya, Dharma―ayah Rangga―melipat kembali koran yang sempat ia baca judulnya dan menyimpannya di atas meja. Dengan lahap ia menghabiskan sarapannya. Tekadnya sudah bulat untuk mendapatkan cucu tahun ini. Segala cara akan dia tempuh untuk mendapatkan keinginannya.

“Jangan katakan saya Dharma Putra Wijaya kalau tidak bisa mewujudkan keinginan saya,” ucapnya entah pada siapa.

*** 

          Rangga memijat pelan kepalanya. Pekerjaan menumpuk belum lagi ayahnya yang kembali berulah membuat dia sedari tadi gelisah. Ayahnya seakan tidak ingin tahu apa yang membuat Rangga memutuskan belum menikah atau mungkin tidak akan menikah. 

“Anda baik-baik saja?” tanya Rendi―asisten Rangga. Pria yang ditanya hanya memalingkan wajahnya ke jendela mobil, melihat banyaknya kendaraan yang menunggu lampu menyala hijau kembali membuat kepala Rangga berdenyut. Ia bisa gila jika terus seperti ini.

“Ayah mogok makan lagi,” ujarnya sambil menutup mata. Rendi melirik bosnya dari kaca yang ada di atasnya. Wajah tampan itu terlihat lesu sebulan belakangan ini. 

“Tuan Dharma pasti akan makan kalau sudah bertemu dengan anak-anak di tempat penitipan,” kata Rendi.

“Apa ayah sering ke tempat itu?” Rangga menegakkan tubuhnya. Setahu Rangga ayahnya mendirikan tempat penitipan anak di dekat panti asuhan. Rangga pikir ayahnya tidak pernah berkunjung ke sana.

“Tentu. Akhir-akhir ini Tuan Dharma lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak dari pada main golf.”

     Mendengar ucapan Rendi membuat Rangga semakin was-was. Apa karena itu ayahnya ingin  minta cucu? Bermain golf bisa dibilang bagian hidup ayahnya. Permainan itu adalah hobi yang bisa menghilangkan stress. Jika ayahnya sudah berpaling pada anak-anak itu berarti Dharma benar-benar serius ingin memiliki cucu. Rangga harus menyelidiki lebih lanjut.

“Tolong suruh orang kepercayaanmu untuk mengawasi ayah selama di tempat penitipan anak,” kata Rangga.

“Baik, Pak.”

     Selama perjalanan menuju kantor tidak sedikit pun Rangga  bisa tenang. Sebuah pesan pun ia kirim pada pelayannya untuk menanyakan kondisi ayahnya. Dalam sekejap Rangga menjadi lemas setelah membaca balasan dari pelayannya yang mengatakan ayahnya tidak mau makan sama sekali. 

     Ibu ada apa dengan suamimu, batin Rangga. Jujur saja ia merindukan wanita yang telah melahirkannya. Setelah kematian ibunya 5 tahun lalu membuat hidupnya berubah. Ayahnya sering sakit-sakitan sehingga diusia Rangga yang ke 25 tahun  ia harus memegang kekuasaan sebagai manager pemasaran, dan sekarang ia sudah menggantikan posisi ayahnya sebagai pimpinan. 

     Pintu mobilnya terbuka, Rangga memperbaiki jasnya sebelum keluar dari mobil. Seperti hari biasa ketika berpapasan para karyawan akan menyapanya. Menundukkan sedikit kepala dan tersenyum lebar. Hal itu sudah menjadi budaya di kantor Rangga.

“Kalian tidak bisa seenaknya mengubah ketentuan! Saya bahkan sudah mendapat pesan untuk diterima bekerja di sini.” 

      Teriakan itu sukses menghentikan langkah kaki Rangga. Di sebuah ruangan yang terbuka terdengar jelas suara seorang perempuan yang sedang marah. Rangga menatap ruangan itu tanpa berniat untuk masuk. 

“Maaf Mbak, ini ketentuan baru yang diinginkan bos kami. Jadi kami mohon maaf Anda belum bisa diterima di perusahaan ini. Masalah pesan itu kami mohon maaf sekali lagi.” Suara pria itu terdengar lembut dan mencoba menenangkan.

“Aku mohon. Aku sangat perlu pekerjaan ini. Bukankah aku sudah lulus administrasi dan interview? Seharusnya aku sudah bisa di terima tapi kenapa tiba-tiba aku ditolak?” Wanita itu masih kukuh Ingin diterima kerja. Tentu saja dia ingin keadilan.

“Sudah saya katakan ini peraturan baru dan kami hanya menerima karyawan pria, mohon dimengerti.”

“Aku sungguh membutuhkan pekerjaan ini. Anda bisa melihat pekerjaanku dulu jika Anda puas izinkan aku bekerja di sini,” rengeknya. 

     Rangga masih mematung di tempatnya untuk mendengar kelanjutan dari pertengkaran kecil itu. Inilah sebabnya ia tidak suka ada wanita di kantor. Mereka hanya makhluk pemaksa yang suka menangis ketika keinginan mereka tidak dituruti. Menurut Rangga seharusnya wanita berdiam diri di rumah, menjaga dan merawat anak, bukannya bekerja.

       Dua satpam masuk ke dalam ruangan itu. Keadaan semakin gaduh saat wanita itu berteriak histeris. Rangga bisa melihat perlawanan gadis berambut panjang itu saat diseret paksa oleh kedua satpam. Namun sayang Rangga tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

“Lepaskan aku! Kalian tidak bisa seenaknya mengubah peraturan seperti itu. Wanita pun bisa bekerja lebih baik dari pria. Jangan mendeskriminasi para wanita, kami berjuang karena kalian para pria tidak  bisa bertanggung jawab!”

                Ucapan itu  membuat   Rangga menghentikan langkahnya. Seolah tersentil dengan pernyataan itu Rangga pun berbalik. Rangga tidak terima kalau wanita itu mengatakan pria adalah makhluk lemah yang tidak bertanggung jawab.

“Tunggu,” ujar Rangga membuat teriakan wanita itu mereda. Kedua satpam pun mulai mengendorkan pegangannya dari tangan si wanita. Dengan langkah tegas Rangga mendekati wanita itu. Tatapan keduanya bertemu. Bahkan wanita itu secara terang-terangan menatapnya penuh keberanian. 

“Siapa namamu?” tanya Rangga. Wanita itu mengernyit dan menunjuk dirinya sendiri. “Ya, kau. Siapa lagi.” Kedua security itu pun melepaskan tangan si wanita. 

“Namaku Delia Putri.” Wanita bernama Delia itu memperbaiki penampilannya yang terlihat acak-acakan. Dengan penuh percaya diri Delia melangkah mendekati Rangga yang berdiri beberapa meter di depannya. 

“Kmau ingin bekerja di perusahaan ini?” tanya Rangga. Delia mengangguk membuat senyum Rangga tersungging di bibirnya. Rangga memasukkan tangan kirinya ke saku celana dengan santai Rangga memberikan gadis itu sebuah tantangan.

“Kamu akan saya terima bekerja di perusahaan ini jika kamu bisa membersihkan ruangan saya dengan cepat, bersih dan rapi,” kata Rangga membuat wanita itu menaikkan satu alisnya.

“Kamu siapa?” tanya Delia. 

“Saya Rangga Putra Wijaya, pimpinan di perusahaan ini.” Dengan bangga Rangga memperkenalkan dirinya. Perempuan itu harus diberi pelajaran agar tahu bahwa pria lebih bisa diandalkan dari wanita. 

“Be-benarkah?” 

      Rangga semakin senang mendengar Delia bicara terbata-bata. Lihatlah, baru beberapa menit lalu Delia berteriak tapi sekarang gadis itu tunduk seperti kucing polos yang sedang dielus kepalanya. Wanita sama saja, batin Rangga.

“Ikuti saya.”

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top