Memento

15 Desember, 2022
#prompt: Belanja

Type: Cerpen [1123 kata]

Status: Xiran - Dom from HHF (Halloween Hunting Festival Series)

***

Terhapus dari benak seseorang yang mengisi relung hati adalah ketakutan terbesar bagi Ranko Sawa. Jangan salah paham dulu, ini bukan tentang cinta ataupun hal-hal yang bisa membuat kehidupan orang normal jungkir balik akibat perasaan rumit yang satu itu.

Meski begitu, Ranko tidak ingin terhapus dari ingatan seseorang dari masa lalu. Sosok yang menjadi sumber kekuatannya untuk terus hidup dan bertahan dalam dunia kejam dan kelam. Dunia yang diberikan sang ibu telah menorehkan luka mendalam yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Kenangan buruk yang ditinggalkan mungkin akan berbuah pengalaman yang jauh lebih buruk lagi di masa depan.

"Ran, jangan terus mendatangkan kutuk menghampiri!" omel Xirina. "Tidak bisakah kau menikmati hidup sedikit?"

Langkah Ranko yang santai dan cenderung menyeret alas sepatu, langsung menjelma tergesa-gesa akibat matanya yang tiba-tiba berbinar melihat apel berlapis karamel di balik kaca toko penjual aneka jenis permen. Ya, binar mata seperti diisi bintang-bintang tersebut bukanlah perasaan Ranko, melainkan Xirina.

"Cepatlah, Ran!"

"Pelan-pelan, Xiri!" Ranko sempat terantuk bata yang terangkat dari jalan setapak yang mereka lewati. Beruntung kelenturan dan koordinasi tubuh yang cukup bagus, berhasil menghindarkannya dari tercekluk dan menggelinding dari tangga. Setidaknya, jatuh anggun seperti kucing jauh lebih baik, daripada merelakan bokong bersua permukaan lantai yang keras.

***

Sembilan tahun lalu. Panti Asuhan Aurora.

Ranko dan dua anak panti asuhan, yang terpaut lima tahun lebih tua darinya, diberi tugas untuk berbelanja keperluan ulang tahun salah satu anak pendana terbesar, Dominic Dawson. Seperti biasa, bisa keluar dari panti yang menurut dua orang itu adalah suatu berkah sekali setahun. Jadi, hasil akhirnya sudah bisa ditebak bila semua kegiatan berbelanja diserahkan begitu saja pada si bungsu.

Apakah mereka peduli bila belanjaan sebanyak itu bisa diangkut oleh bocah yang mirip penderita anemia akibat kulitnya yang pucat, kurus nan ringkih itu? Sama sekali tidak. Apakah Ranko bisa mengadukan perbuatan mereka? Sama sekali tidak. Apakah Ranko akan mengadukan mereka pada Kepala Panti? Sekali lagi, tidak.

Mobil sedan hitam yang ditumpangi Dominic tiba berselang lima belas menit dari kepergian rombongan Ranko. Tanpa pikir panjang, Dominic meminta lokasi tempat mereka akan berkeliling mencari semua kebutuhan pesta. Mencari bocah pendek di antara kerumuman tempat belanja yang selalu ramai seharusnya menjadi kendala. Namun, tidaklah demikian bagi Dominic. Hanya ada satu tempat yang dipikirnya akan menghemat waktu mencari.

Langkah enteng Dominic menjelma menjadi langkah tergesa akibat rintik-rintik kecil yang berubah menjadi guyuran hujan di siang hari yang terik. "Hujan Rubah?" Beruntung ia tahu ke mana harus berlari dan berteduh.

Dominic sampai di depan kedai kecil yang menjual permen apel berlapis karamel. Toko Permen Mementos adalah nama yang tertera pada papan kayu yang nyaris lapuk dimakan lumut. Ia menunggu sambil bersandar di tembok dan memasukkan kedua tangan di dalam saku mantel panjang. Praktis peraduan curahan air yang mengenai atap seng menjadi melodi siangnya.

Aroma air hujan yang bertemu tanah dan karamel bersaing menggelitik hidung Dominic, bertepatan dengan gemerincing bel dari pintu yang baru saja terbuka. Dugaannya tepat bila akan menemukan Ranko di tempat ini. Ia ingin segera menghampiri sosok bocah yang selalu memakai baret dan sepatu ungu, tapi dikagetkan oleh adu mulut yang terjadi antara Ranko dan Xirina.

"Xiri! Tunggu sampai rumah baru makan!" Ranko menjauhkan satu permen apel karamel menjamah mulutnya sendiri.

"Lama!" protes Xirina dan kembali menggerakkan tangan Ranko untuk mendekatkan permen ke mulutnya.

"Xiri!"

"Berisik!" Xirina berhasil membuat Ranko menggigit permen favoritnya, mengabaikan sang inang yang masih berusaha melawan dan tidak sudi mengunyah serpihan-serpihan manis di dalam mulut. "Kunyah!"

"Tidak mau!"

Perlawanan Ranko berakhir sewaktu matanya membentur Dominic yang sudah berdiri di depan mereka, mengabaikan ekspresi bertanya—atau ingin menceramahi seperti biasa— sosok idolanya. "Dom!" Mata bulat Ranko semakin bulat dan bercahaya.

Berdekatan dengan Dom, Ranko dan Xirina bisa menjadi sekutu—sepertinya—karena mereka sepakat untuk tidak bertingkah macam-macam dan memancing kecurigaan. Ranko tidak ingin dicap sebagai orang aneh dan diomeli tanpa alasan. Sebaliknya, Xirina ingin menjaga citra supaya tidak dibenci.

Sambil menunggu hujan reda, mereka duduk di bangku panjang kayu di depan toko permen. Ranko—Xirina—setengah berdendang sambil menggigit apel karamel kelimanya, tidak peduli dengan gigi sang inang yang sudah meraung-raung ngilu. Jadi, bisa dibayangkan apa yang ada di benak Dominic Dawson sewaktu melihat ekspresi bocah yang lebih muda lima tahun darinya.

Sesekali berdendang riang lalu berganti meringis sambil memegangi pipi. Tersenyum senang dan mengambil apel karamel keenam dan berakhir bercucuran air mata.

"Orang gila yang ekspresif." Dominic, atau biasa dipanggil Dom, melayangkan tangan untuk mengacak-acak rambut Ranko.

Ranko menoleh cepat dan merengut. "Jangan mengacak rambutku!" Jemari mungilnya sibuk menyisir rambut hitam yang hampir mencapai bahu.

Bukannya mengikuti kemauan Ranko, Domnic justru terdorong untuk mencubit dan menepuk dua pipinya yang menggembung. "Memangnya kau bisa apa?" tantangnya, tidak mau kalah.

Kegemasan Dominic berbuah teriakan kesal dari sang korban yang mengancam tidak mau berbicara dengannya lagi bila tidak segera dilepas. Sesaat, Xirina sempat mengambil alih dan tersenyum manis, lalu memeluk Dom.

"Heh, lepas!" Dominic berusaha membebaskan diri sambil celingukan, berharap tidak ada yang menyaksikan adegan yang dirasanya memalukan. Ia tidak terbiasa dengan afeksi seperti ini. "Kalau tidak lepas, aku yang tidak akan bicara lagi padamu!" ancamnya.

Pelukan Ranko—Xirina—semakin erat. "Dom wangi karamel. Nyaman ...." gumamnya sambil memejamkan mata Ranko dan menghirup dalam aroma dari pewangi pakaian Dominic.

"Kau ini!" Sadar tidak bisa keluar dari kurungan lengan kecil Ranko, Dominic merangkulnya. Dalam benak sudah terbersit untuk mengatakan Ranko adalah adiknya bila ada mata yang menatap curiga pada mereka.

Bagaimana bila ada yang menganggap dirinya orang yang mengincar anak perempuan di bawah umur?

***

Tiga tahun lalu. Panti Asuhan Aurora.

Di tengah danau yang membeku Ranko mengeratkan balutan syal tebal di lehernya. Kepulan asap tipis mengambang setiap ia mengembuskan napas dan menghilang, digantikan kepulan asap baru. Telinganya merah akibat gigitan hawa dingin yang mengigit.

Ia tidak peduli, matanya berbinar dan tertuju pada kepingan-kepingan salju yang perlahan tercurah dari langit. Beberapa langsung luruh di permukaan sarung tangan wool tebal. Beberapa menggelitik ujung hidungnya sebelum hilang tak bersisa.

"Ke mana earmuff yang kubelikan, Ran?" Tangan seseorang membekap kedua telinga Ranko, menyalurkan kehangatan yang merambat dan menyusup hingga ke sanubari. "Kau ingin telingamu diamputasi besok, hah?"

Si pemilik suara selalu dideskripsikan Xirina sebagai pria bersuara karamel—manis, lembut dan menggoda. Memang aneh bila suara diasosiasikan dengan aroma. Namun, ia bersumpah bila sosok yang masih berdiri di belakang adalah permen apel karamel, maka dia dengan senang hati menandaskannya dalam hitungan di bawah satu menit.

"Lupa." balas Xirina. Ada perasaan bersalah karena telah mengabaikan kondisi tubuh Ranko. Nostalgia yang memenuhi relung hati membuai sang inang hingga jatuh tertidur di depan perapian.

Karena tak kunjung bangun, Xirina membawa tubuh Ranko menyusuri jalan setapak dan berakhir di tengah danau. Jejeran pohon pinus di bawah naungan langit sendu di musim dingin, mengingatkannya pada tempat yang biasa ia habiskan di masa liburan bersama sang ayah, membuat lubang dan memancing ikan.

"Kau ini!"

"Maaf." Sudut bibir Ranko terangkat akibat merespon emosi Xirina yang senang mendapatkan limpahan perhatian Dominic. Kebiasaan pria itu mengomel sudah menjadi hal yang biasa, karena seperti itulah bentuk perhatiannya.

Perlahan Xirina menuntun tapak tangan Ranko untuk menumpuk punggung tangan Dominic dan menggengam jemarinya yang bersarung tangan hitam. Ia berputar dan mereka saling tatap. "Sudah saatnya tiup lilin?"

"Belum. Mau sampai kapan kalianpara bocahterus merayakan ulang tahunku?"

"Kalau belum, lalu kenapa sampai—" Xirina tidak sempat menyelesaikan kalimat karena pipinya terbenam di dada Dominic. Menyusul ke sini ....

"Apa lebih hangat?" Entah apa yang merasuki Dominic hari ini, tapi pelukannya semakin erat hingga sosok yang lebih pendek meronta minta dilepas.

Ranko sudah kembali dari tidur panjangnya dan terkaget-kaget terbangun dalam dekapan erat Dominic. "Dom ...?" Ranko mengerjap beberapa kali. "Ada apa?"

Dominic melepas pelukan. Kelopak matanya berkedut sejenak, seolah merasa ada yang salah pada dirinya. Setelah mendesah singkat ia memijit batang hidung sambil menengadah. "Maaf, Ran. Entah mengapa aku merasa tidak akan pernah melihatmu lagi ...."

Ujaran Dominic hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

"Kau bilang apa?" Ranko berjinjit sambil menyendengkan telinga.

"Tidak apa-apa. Ayo, kita kembali sebelum kau jadi boneka salju di sini!" Dominic memasangkan earmuff yang ia kenakan pada Ranko dan menaikkan tudung berbulu dari jaket tebalnya.

Tangannya yang bersembunyi di dalam kantong jaket menggenggam sebungkus permen apel berlapis karamel.

Masih banyak waktu. Nanti saja kuberikan padanya.

***

earmuff: benda mirip bando yang dipakai untuk menutupi telinga.

tercekluk: tergelincir dan jatuh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top