Black Onyx File: Gravitation
8 Januari, 2023
#prompt: Tentang Aku dan Teman Sekamar
#Montly Writing for Blackpandora_Club
Type: 1,176 kata [minimal 300 kata]
Profile:
1. Jae - Goblin kelas Beginner (Sedang mencari alasan untuk menjadi manusia)
2. Yang - Goblin kelas Intermediate (Gagal menjadi manusia pada misi ke-10)
3. Inseo - Gumiho berusia 900 tahun (dalam perjalanan menjadi manusia)
***
"Ada berita apa, Lize?" Lize berpaling dan menemukan E'Rheaze berdiri di sampingnya sambil menadahkan tangan.
Boraserium teronggok manis di atas sarung tangan putih yang dipakai E'Rheaze. Bila Lize tidak menelan kristal seukuran kacang kedelai itu, suara asistennya akan mirip nyamuk yang berkeliaran di sekitar kepala, mencari celah untuk menancapkan hidung setajam jarumnya untuk mengisap darah.
Sekali telan, Boraserium langsung membesarkan tubuh Lize hingga seukuran manusia normal. Ia sedang memerhatikan kristal-kristal yang tergantung seperti buah siap panen pada sebuah pohon raksasa yang mereka tanam bersama beratus-ratus tahun lalu. Beberapa kristal belum berpendar karena belum mendapatkan esensi cerita.
Untuk saat ini, ada lima kristal yang pendarnya mirip kunang-kunang. Kristal Amethyst yang berisi esensi cerita Dullahan Katrina Lara yang tergantung di dekat dua kristal merah dan ungu. Kristal milik Jin--Bloodstone--yang pendarnya paling malas dibandingkan Purple Topaz milik Hyun.
"Menarik." Gurat senyum tipis Lize semakin dalam sewaktu satu kristal hitam tahu-tahu muncul di dekat cabang milik trio manusia yang memilih menggunakan kristal bertuah untuk mengubah nasib--percintaan--mereka.
"Onyx?"
"Ya, ada pendatang baru."
"Benar. Ini menarik."
***
Setiap butir jam pasir merekam pertemuanku denganmu. Di saat itu pula percakapan dan cerita kita kusimpan rapi di dalam relung hati sebagai kumpulan kenangan bersamamu.
Koleksi yang kuberi judul 'Kenangan Indah'.
Apa kau tahu? Aku tidak menyesal telah menukar sisa umurku untuk mendapatkan keajaiban ini.
Apa kau tahu? Aku ingin terperangkap di dalam gelas waktu ini karena aku sudah menemukan diriku yang ditarik oleh gravitasimu.
---
Di kamar tidur yang juga sekaligus ruang kerja, sosok pria tinggi berpakaian serba hitam tengah membolak-balik file dari tiga foto manusia--Jin, Karla, dan Hyun.
"Demi Bos yang selalu sendirian!" Jae tidak bisa meredam lagi rasa jijik yang meletup dalam dirinya akibat membaca profil Hyun yang harus ia jemput paksa.
Jae, si pemegang lencana hitam Onyx, mendapatkan tugas untuk mengembalikan target ke dunia dia berasal. Lebih tepatnya ke tubuh asli milik Hyun. Rekan kerja sekaligus teman sekamarnya, terus melirik dan sesekali menggeleng. Celoteh dan dengkus kesalnya menjadi polusi suara di ruang sepi mereka.
"Hati-hati, jangan sampai dia mendengarmu, Jae." Yang akhirnya bersuara mengingatkan. "Kekacauan apa lagi yang dilakukan dua makhluk itu?"
Jae menutup map dan dilempar begitu saja di atas meja kaca. "Siapa? Manusia setengah siluman dan Pixie yang kehilangan sayapnya itu?"
"Ya. Akhirnya mereka bergerak lagi, kan?"
Jae berdecak, "Tidak tanggung-tanggung korbannya ada tiga."
Mulut Yang hanya membentuk 'wow' tanpa suara.
"Yang, kau pernah berurusan dengan mereka, bukan?"
"Ya, sebelum aku bertemu denganmu."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mengumpulkan perasaan. Perasaan rumit manusia."
Jae ingin tertawa mendengar ucapan tersebut terlontar dari Yang. Apanya yang rumit bila mereka tidak pernah merasakan sendiri semua perasaan yang konon bisa membuat dunia seseorang jungkir balik atau gila sekalian bila tidak berhasil mengontrol atau menekannya. Sampai sekarang ia tidak mengerti dengan beberapa rekannya yang masih bersusah payah menjalankan misi-misi berat demi bisa menjadi manusia.
Kenapa meninggalkan privilege sebagai Goblin dan menjadi makhluk lemah dan tidak berguna seperti manusia, apakah akal sehat mereka sudah tergerus habis selama beberapa ratus tahun ini?
Teman baiknya, Inseo si rubah berekor sembilan, bahkan memiliki keinginan yang sama--membuang karunia umur panjangnya demi menjadi manusia. Bayangkan, cukup satu jentikan jari dan para manusia setara dengan ubi. Terkubur dalam tanah. Masih mending menjadi ubi, setidaknya tidak mati sia-sia karena bisa menjadi makanan atau hidup kembali bila ada yang menanam. Sudahlah, Jae tidak ingin belajar cara menanam ubi hingga bisa dikonsumsi. Untuk apa susah-susah belajar bercocok tanam bila bisa dibeli dan dimakan langsung.
Di mana letak untungnya menjadi manusia? Riwayat mereka berakhir dalam perut cacing dan jadi penyubur tanah. Bukankah cita-cita Inseo sangat sia-sia?
Apa hebatnya manusia, kenapa daya tarik mereka sangat besar?
"Apa yang kau pikirkan? Jangan membuatku merinding." Yang melempar tatapan penuh selidik. "Meski pikiranmu aman dariku, bukan berarti aku tidak bisa menerka."
"Ck. Yang, kenapa kau membatalkan niat untuk menjadi manusia juga?"
Yang berdiri dan mendesah kasar, seolah Jae sudah menekan tombol yang salah dengan pertanyaannya. "Kalau sudah gagal, ya gagal. Mau bagaimana lagi."
"Apa yang terjadi?" Jiwa detektif mengusik Jae untuk tahu lebih dalam mengenai teman sekamarnya.
Mereka tinggal di apartemen terbengkalai yang sekarang menjadi sarang Goblin. Meski tampak terbengkalai di mata para manusia, apartemen yang mereka huni setara dengan hotel bintang lima. Karena fasilitas ini juga yang membuat mereka harus banting tulang mendapatkan pekerjaan demi membayar sewa. Yang memang lebih muda tiga ratus tahun dari Jae, tapi menang pengalaman.
Siapa yang menyangka bila akan ada kasus seperti Jae. Pria jangkung ini, sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana ia mati dan hal apa yang membuatnya tidak bisa meninggalkan dunia manusia. Untung saja dia ditemukan lebih dulu oleh Inseo di dalam hutan. Terlambat sedikit, esensi hidupnya pasti habis diserap oleh pohon raksasa pemangsa jiwa-jiwa tersesat yang malang.
Memang agak mengherankan dan kelam bila Jae bisa terdampar di dalam hutan yang sering didatangi manusia. Bukan, bukan untuk berkemah atau dipakai sebagai tempat berlatih bertahan hidup. Justru sebaliknya, mereka kehilangan alasan untuk hidup dan mengundang Grim Reaper menjemput lebih awal.
Jae berani bersumpah demi esens hidup yang masih tersisa bila ia tidak pernah memberikan jiwanya secara sukarela pada Grim Reaper. Namun, pernyataan ini masih perlu pembuktian lebih lanjut. Ada bekas jeratan di lehernya. Pertanyaan berikut adalah, jasadnya tidak pernah ditemukan. Jadi, hanya ada dua pilihan--Jae korban pembunuhan atau ... memang ia sendiri yang mengakhiri hidup.
Kebingungan yang melingkupi kasus Jae terletak pada warna aura dari sisa esens hidupnya itu. Pertama, manusia yang sengaja mengakhiri hidup seharusnya menjadi makhluk astral pendendam. Jae justru menjadi Goblin beraura hitam, bukan warna umum seperti merah atau hijau. Belum lagi ketika diminta untuk memfokuskan diri untuk memadatkan esens hidup tersebut, terbentuklah kristal Onyx sebesar kotoran hidung seorang manusia.
Ya, itu dulu. Sekarang, kristal tersebut sudah sebesar telur ayam dan menjadi penghuni lencana yang selalu tersimpan rapi dalam mantel hitam panjangnya. Berkat Inseo, dia bisa bertemu dengan Yang dan dari sinilah perjalanannya untuk mencari memori yang hilang dimulai.
"Jae, sepertinya aku tahu kenapa kau memegang Onyx."
"Kenapa?"
"Kita bertemu bukanlah kebetulan. Anggap saja seperti sebuah ... keajaiban."
"Seperti deja vu. Langsung ke intinya, kau membuatku mual." Jae meraih map di hadapan mereka dan mengguncang-guncangnya. "Bacalah sendiri. Ucapanmu mirip dengan pikiran manusia bernama Hyun di sini."
"Ya, aku tahu. Sebelum kau sewot sendiri, aku sudah membacanya lebih dulu."
"Kalau sudah tahu, kenapa masih kau ulang? Jangan jadi peniru!"
"Tidak. Kurasa ... aku punya banyak kesamaan dengannya."
"Hiya, hiya. Aku merinding sekarang. Kalau ini yang kau maksud dengan perasaan rumit, aku tidak tahu lagi yang 'picisan' seperti apa."
Yang menarik ujung bibirnya. "Ini salahku karena membiarkanmu mengisap kesinisan seseorang lebih dulu sebelum perasaan lain."
"Ya, ya, ya. Ingatkan aku untuk tidak pernah mencoba apa itu--melodis, modis, atau apalah ...."
"Melankolis."
"Ya, itu. Dari deskripsi yang ada di buku kamus Bos saja, membuatku tidak ingin mencicipi perasaan itu."
"Terima kasih, Jae."
"Untuk apa?"
Bukannya menjawab, Yang justru semakin melebarkan senyum dan berjalan ke arah dapur. "Aku butuh tendangan kafein sebelum rapat nanti. Kau mau?"
"Ya. Double espresso untukku." Jae tahu membedakan antara senyum kepura-puraan untuk menyembunyikan emosi dan senyum tulus.
Senyum tulus? Tapi, untuk apa?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top