All Memories Written On The Stars
30 Desember, 2022
#prompt: Langit Bercerita
Type: Cerpen [1247 kata]
Status: Xiran x Armando from HHF series
***
Selalu ada cerita yang terbit dari setiap cuaca dan musim yang kita lewati berapa tahun ini. Semuanya ... tercatat rapi di setiap bintang di angkasa. Bila mulut ini tidak bisa lagi bercerita untukmu, carilah kisah yang telah langit guratkan untuk kita.
Ranko meringkuk di sofa empuk di depan perapian dalam balutan selimut tebal. Matanya memantulkan lidah-lidah api yang melahap kayu, tapi pikirannya terus berkelana hingga tidak sadar Armando sudah duduk sambil memegang dua cangkir susu cokelat.
"Pantas saja makhluk astral tertarik padamu! Kau terlalu sering mengosongkan pikiran."
"Tuan Kumis, kau salah besar. Pikiran Ran justru terlalu sering terbang bebas tidak terkendali, atau berenang dalam keputusasaan yang dia ciptakan sendiri!"
Armando terkekeh. Cukup geli melihat dua sisi bertolak belakang yang ditunjukkan raut wajah Ranko dan aduan Xirina. "Tumpahkan sedikit padaku."
"Diamlah Xiri. Sejak kapan kau bersekutu dengannya!"
"Apa yang mengganggu pikiranmu, hm?" Armando mengacak-acak rambut di puncak kepala Ranko.
"Hentikan! Kau dan dia sama saja!" Ranko menepis tangan Armando.
"Dia siapa?"
"Calon pacarku."
"Dalam mimpi!" Ranko menggigit ujung jarinya hingga berdarah dan membisikkan kata-kata yang diajarkan Armando padanya untuk membungkam Xirina. "Diamlah kau sampai dua jam ke depan!" Darah segar disemirkan Ranko pada manik bermata tiga.
Percobaan pertama tidaklah terlalu payah. Namun, Ranko ingin muntah. Kepalanya juga berputar untuk beberapa saat dan memasrahkan dipijat-pijat pelan oleh Armando. "Tenang saja, lama-lama kau akan terbiasa. Peringatanku hanya satu, jangan menyegel gadis itu di dekat kolam atau tempat-tempat yang bisa membahayakan dirimu, Ren."
"Saran bodoh apa itu."
"Seharusnya tadi aku membawakanmu es krim saja untuk mendinginkan kepalamu."
"Diamlah ...."
"Aku semakin bersimpati dengan makhluk astralmu itu." Sudut bibir Armando kembali terangkat. Ia tahu betul fase jiwa muda seperti sepupunya. Perasaan yang berayun-ayun sama sekali tidak menyenangkan. Beban tersebut juga diperparah dengan pencampuran dari Xirina sendiri yang sering tidak sinkron.
"Kenapa kau masih di sini, Armando?"
"Kau pikir aku akan pergi setelah melihat kondisimu yang persis gembel?"
"Aku bukan gembel."
"Tampilanmu tidak, tapi di dalammu itu kosong, Ren."
"Aku ... tidak kosong ...."
"Heh. Air matamu lebih jujur daripada mulutmu itu, tahu!"
Ranko buru-buru menghapus jejak yang mengaliri pipinya. "Mana air mata?"
Armando merapat dan memeluk tubuh Ranko yang seolah menyusut menjadi milik anak kecil berusia sembilan tahun dengan tubuh gemetar. "Bodoh. Bila kau menemukan jangkarmu, kenapa kau malah lari darinya."
Tangan Armando mengelus-elus punggung sepupunya dan terus mengulang kata-kata yang sama, "Aku di sini, Ren. Semua akan baik-baik saja."
Deja vu.
Rekaman bintang Leo di langit musim panas membuka kenangan yang terkubur di dasar batin Ranko dan Armando.
Tepat di hari kelam itu, tangan yang menarik Ranko dari dasar danau adalah Armando, bukan tokoh mermaid seperti dalam khayalan. Setelah menerima telepon dari sang sepupu yang nyawanya hampir direnggut ibunya sendiri, ia langsung menerbangkan helikopter.
Penyesalan terdalam Armando adalah tidak bisa menyelamatkan Sherly dari kegilaan dan rengkuhan maut. Kedua, menyelamatkan hati Ranko dari dendam kesumat terhadap ibunya sendiri.
Ujung jari Armando menelusuri bekas luka sepanjang rahang kiri Ranko, membuatnya mengeratkan pelukan pada sang sepupu hingga ada sedikit geliat ingin membebaskan diri darinya. "Maaf, Ren."
Bekas luka panjang tersebut berasal dari ulah Ranko sendiri yang bahkan belum genap berusia sepuluh tahun. Entah bagaimana, ia berhasil menemukan pisau lipat dan ingin menguliti wajahnya sendiri. 'Buang, aku tidak mau muka ini!' adalah teriakan histeris Ranko yang masih terus terngiang hingga sekarang.
***
"Kukira akan mati dalam cekikanmu!"
"Berlebihan." Armando menyodorkan gelas cokelat pada Ranko. "Merasa lebih baik? Sebagai pengacara aku sangat sabar menghadapi klien labil sepertimu."
"Armando, apa aku selabil itu?"
"Ya, aku cukup berbaik hati tidak menyebutmu 'gila', Ren."
"Sebaik apa pun, kau tetap nomor dua!"
"Saya tersanjung, Tuan Muda Ren ...." Armando mengangkat gelasnya sambil merunduk sendiri.
"Kau itu menyebalkan, bukan baik!"
"Sekali lagi terima kasih, Tuan Muda."
"Inilah kenapa kau tidak pernah bisa menggantikan dia."
Kenangan di bawah bintang Aries di musim semi mempertemukan Ranko dan Dominic Dawson di Panti Asuhan Aurora. Awal dari jaring takdir yang entah akan membawa mereka ke dalam permainan maut masing-masing.
Bukan, bukan Ranko yang gila, tapi nasib gila yang terus mempermainkan mereka.
"Waw. Di awal bertemu kau sudah memeluknya?"
"Salahkan Xiri. Hanya saja, aku harus berterima kasih padanya. Bila tidak, mungkin aku tidak akan pernah akrab dengan Dom."
"Ah, namanya Dom."
"Dominic Dawson."
"Dawson?" Gelas cokelat sudah menempel di bibir, tapi Armando batal meneguk minumannya.
"Kenapa? Kau tahu keluarga itu?"
"Mungkin ya, mungkin tidak."
"Sampai sekarang dia tidak tahu keberadaan Xiri. Jadi ... aku bisa apa kalau dia mengataiku gila."
"Bisa kubayangkan." Jakun Armando bergerak sewaktu ia menenggak habis minuman panas yang sesekali menguarkan campuran aroma kopi dan cokelat. Mocha.
Percakapan Ranko dan Armando membawa mereka pada lembaran-lembaran daun kering di musim gugur dalam naungan bintang Sagitarius.
Ranko sempat dibuat kesal sehari sebelum ulang tahunnya karena tidak diacuhkan oleh Dominic. Lelaki itu entah hilang ke mana.
"Pasti karena kau terlalu bergantung padanya seperti kukang di pohon, Ren."
"Jangan mengada-ada."
"Atau dia ... sadar kalau kau itu creepy?"
"Aku akan terbahak-bahak bila Xirina membantingmu lagi!" Ranko menunjukkan raut merajuknya.
"Ok, ok. Balik ke topik terhadap Dom tersayang. Eugh, aku merinding." Armando menggosok-gosok tengkuknya, mual dengan ledekannya sendiri.
"Dasar aneh!"
"Mau bagaimana, warisan keluarga," balas Armando sambil mengangkat bahu. "Dia tidak bilang kenapa menghilang?"
"Dia tidak mau membantuku menyapu daun-daun yang berguguran."
"Hah? Bukankah kau tinggal di apartemen?"
"Aku sering melakukan bakti sosial di beberapa panti asuhan dan panti jompo, semacam itu."
"A-ha. Memang berapa panti?"
"Tahun lalu, sekitar ... lima belas panti. Delapan panti asuhan, sisanya panti jompo."
"Pantas. Aku juga lebih mengasihani pinggangku yang jompo ini."
"Wajar untuk calon fosil sepertimu. Kami masih muda, tahu!"
"Hei, hei, hei! Aku belum lima puluh!"
"Oh iya, maafkan saya, Tuan Empat Puluh Sembilan akhir."
***
Selesai makan malam, Armando sibuk dengan ponselnya. Mungkin ada klien yang menghubungi dan butuh konsultasi masalah hukum dengannya. Ranko kembali menghangatkan diri di depan perapian. Dua jam sudah berlalu dan Xirina terbebas dari belenggu, tapi gadis itu sepertinya merajuk dan tidak mau bermanifestasi meskipun dipanggil berkali-kali.
Kehangatan yang ditawarkan perapian dan sofa empuk, berhasil membuai Ranko. Di saat inilah Xirina keluar. Matanya terus terpaku pada tato kembar berinisial 'D' yang berbentuk apel bila disatukan.
"Ouwh, cute."
Xirina mendongak. Armando terus menatap tatonya. "Tentu saja."
Kepingan ingatan Xirina pada bintang Capricorn di musim dingin tercurah di hadapan Armando yang bersandar di sandaran sofa.
"Apa itu inisial Dominic Dawson?"
"Bisa ya, bisa juga bukan."
Ketakutan Ranko merambah pada ingatan Xirina yang selama ini terkunci rapat. Kesukaannya pada apel berbalut karamel bermula dari dia, sosok yang sama sekali tidak bisa diingat Xirina kecuali inisialnya.
"Semua berkabut, tapi ... ada satu yang sangat jelas tertancap dalam ingatanku."
"Ya, itu adalah memorimu yang paling spesial semasa kau hidup. Bisa di masa sekarang atau ... di kehidupanmu yang sebelumnya lagi."
"Mungkin kau benar. Karena aku mengenal pakaian dia di era Victoria."
"Dominic Dawson di era Victoria?"
"Sayangnya, aku tidak tahu bila inisial 'DD' ini merujuk pada Dominic Dawson yang ada di era ini."
"Apa kalian memiliki jalan hidup yang ... mungkin mirip?"
"Dia memberiku apel karamel dan diadopsi keluarga orang itu? Kalau itu maksudmu, itu benar."
"Kau yakin itu era Victoria? Seingatku apel karamel baru muncul di abad ke-20."
"Anggap saja dia selangkah lebih maju dari zamannya."
"Ya, bisa jadi juga. Apa lagi yang kau ingat?"
"Jenazahku ditemukan di bawah tangga dengan jantung ditembusi pisau oleh seseorang yang cemburu padaku?"
"Gelap sekali."
"Ya. Ran tidak tahu soal ini. Kuharap dia tidak akan pernah tahu."
Armando membuat gerakan menggembok mulut. "Bila itu yang diinginkan klien, pengacara ini hanya bisa menurut."
"Terima kasih."
Ren, Xirina ... kalian benar-benar membuatku cemas ....
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top