Bab 9
Koreksi typo dan kalimat rancu.
Marianne sedang membereskan hadiah yang diberikan oleh Caleste pada Leira. Ada puluhan aksesoris rambut yang terbuat dari permata, berapa gaun, mantel dan sepatu yang hampir semuanya berwarna biru dan ungu. Ia sedikit meringis melihat semua itu.
Sebagai seorang pelayan yang sejak awal hanya melayani Leira, Marianne tidak pernah memegang barang-barang mewah. Raja Darius adalah orang pelit, yang menukar tempat tidur dan tiga kali makan untuk tubuh Leira.
Lelaki yang seharusnya sudah masuk liang lahat itu, hanya akan memberikan beberapa gaun putih polos untuk Leira sebagai tambahan. Benar-benar manusia yang menyebalkan.
Terkadang Marianne harus mengeluarkan uang pribadinya, saat Leira meminta makanan manis jika Count Erkan sedang mengambil cuti. Marianne tidak bisa menolak permintaan Leira. Dia matanya Leira hanyalah gadis malanh, yang dipaksa memberikan pengabdian pada kerajaan.
Marianne masih ingat bagaimana keadaan Leira, saat gadis itu datang untuk pertama kalinya ke istana. Di usianya yang ke tujuh tahun, Leira datang ke istana. Ia masih kecil dan begitu polos. Hari-harinya di habiskan dengan bermain di taman.
Leira menghabiskan waktu di istana dengan bahagia bersama Marianne, sampai Raja Darius memerintahkan untuk mulai mengambil darahnya dua hari sekali. Leira mulai sering menangis sejak saat itu.
Bayangan Leira yang manis dan ceria perlahan mulai memudar. Tubuhnya sangat lemah, setelah darahnya secara berkala diambil. Leira kecil, lebih sering berada dalam keadaan demam.
Awalnya Marianne tidak ingin terlalu peduli, selama gajinya tidak bermasalah Marianne hanya akan memberi Leira perlakuan yang sewajarnya. Ia memberinya makan, merawatnya saat sakit dan bermain bersama saat Leira mengajaknya.
Namun bagaimanapun juga, Marianne tidak sekeras itu. Malam dimana Leira yang berusia delapan tahun menangis tersedu-sedu, sambil memeluk selimut di tengah-tengah badai membuat Marianne sedikit iba.
"Apa yang membuat anda menangis?" Itu adalah pertanyaan yang terdengar cukup jahat. Marianne jelas-jelas tahu apa penyebab tangisan anak itu, namun ia tetap melontarkan pernyataan bodoh.
Leira kecil, mengangkat wajahnya yang kuyu. Mata anak itu memerah, dan air mata terus mengalir. Dengan suara yang terbata-bata, Leira mulai berbicara.
"Aku tidak suka disini, aku ingin kembali ke kuil. Di istana, tidak ada yang memelukku saat tidur. Aku ingin tidur bersama Nenek Pendeta." Leira kecil adalah pribadi yang ceria dan aktif. Ia jarang menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Mendapati seseorang memergokinya menangis, membuat Leira bersusah-payah untuk menghentikan tangisnya. Namun gagal.
"Jika anda kembali ke kuil juga tidak akan ada yang memeluk anda. Pendeta Sina, telah meninggal tahun lalu." Marianne mendekati ranjang, ia duduk di samping Leira.
"Tapi aku ingin pulang, aku tidak ingin ada di istana. Ada banyak orang jahat disini, mereka terus melukai ku." Leira menunjukkan kedua tangannya yang terbungkus perban.
Saat itu, Marianne tidak mengatakan apapun dan hanya memeluk Leira. Gadis itu tidak lagi memiliki tempat pulang, ataupun seseorang yang akan memeluknya.
"Aku tidak suka berada di sini, aku benci orang-orang istana."
Marianne menjadi satu-satunya orang yang menyaksikan bagaimana perubahan Leira yang awalnya periang, perlahan berubah menjadi murung dan semakin layu.
Leira sering meratap dalam diam, menikmati rasa sakitnya sendirian dibawah selimut saat malam hari. Saat rambut Leira berubah menjadi putih, ia hanya menatapnya di cermin dengan ekspresi terkejut hanya untuk sesaat.
"Marianne." Panggilan Leira, membuat bayangan masa lalu berpencar. Ia segera menghampiri ranjang.
Leira masih demam, namun saat Caleste datang siang tadi ia mendadak sembuh dan dipenuhi energi.
"Anda butuh sesuatu Nona?"
Leira yang masih dalam keadaan setengah tidur, menarik kucing di sampingnya kedalam pelukan yang lebih erat.
"Aku...." Leira terdiam cukup lama. Kucing di pelukannya meringkuk dengan nyaman.
Marianne bergegas mengambil wadah, bersamaan dengan Leira yang bangkit lalu hampir muntah di kasur jika saja Marianne tidak cukup sigap.
"Ah, sial. Itu sangat sakit." Leira hanya memuntahkan cairan di perutnya, itu menyakitkan.
Leira kembali menjatuhkan tubuhnya keatas kasur, ia meringis saat perutnya terasa sakit. Kucing putih mengeong pelan, saat tidurnya terganggu.
"Maaf membangunkan mu, kau boleh tidur lagi." Leira membelai kucing putih, hingga hewan itu tertidur. Beberapa saat kemudian, Leira kembali tertidur.
Marianne menarik selimut, untuk menutupi Keira. Lalu kembali duduk di sofa di kamar itu. Saat Leira sakit, Marianne jarang meninggalkannya. Tidak pernah.
***
"Kalung ini tidak lebih cantik darimu."
Caleste menatap pasangan tua serasa pengantin baru dihadapannya dengan mata bosan. Carla, ibunya yang cantik serta lembut dan Cesar—ayahnya yang tinggi dan besar. Keduanya selalu seromantis ini, bahkan jika Caleste berada dihadapan mereka.
Caleste mengusap pipi kirinya yang di tampar oleh tangan Leira, siang tadi setelah dengan iseng ia goda.
"Kau membuang terlalu banyak uang untuk hal seperti ini."
"Omong kosong, kau pantas mendapatkannya."
Caleste meringis dalam hati melihat wajah ayahnya yang tetap datar dan kaku, berbanding terbalik dengan kalimatnya yang mampu membuat obat terpahit menjadi semanis gula.
"Minggu lalu Ratu mengincar kalung ini, darimana kau mendapatkannya?"
Kalung yang Carla gunakan, terbuat dari permata berwarna biru yang dihiasi oleh berlian kecil. Modelnya juga terlihat anggun dan tidak norak. Jika Caleste tidak salah ingat, harganya mampu membeli sebuah rumah mewah di pinggiran kota.
"Ya, aku tahu. Aku bersaing mendapatkan benda ini di pelelangan dengan Ratu."
"Kau seharusnya tidak boleh seperti itu, aku khawatir Ratu akan mencari masalah denganku dan Caleste di pergaulan kalangan atas." Carla berucap dengan raut tidak suka. Akhir-akhir ini Ratu sering mengganggunya di pesta kebun yang ia adakan.
"Jika dia membuat masalah, Ibu tinggal beritahu aku." Caleste menyeringai lebar. Ia mungkin akan memanah kaki kirinya atau menggantung kepala seseorang yang masih berlumuran darah di depan kamarnya, membakar kebun wanita itu juga terdengar menyenangkan.
"Jangan seperti itu bagaimanpun juga, Ratu adalah bibimu."
Caleste bersenandung pelan. "Ngomong-ngomong, kenapa Ayah ada disini?"
Cesar merupakan orang yang bertanggungjawab atas keamanan kerajaan. Karena beberapa tahun terakhir Inkarsia melanggar perjanjian damai dengan kerajaan tetangga dengan cara menginvasi mereka, ada banyak negara yang menyimpan dendam dan berusaha menerobos pertahanan Inkarsia. Dan Cesar dibutuhkan di sana perbatasan, agar kedamaian di Inkarsia tidak hancur.
"Aku sedang cuti."
"Aku juga sepertinya harus mengambil cuti," gumam Caleste pelan.
"Kau cuti dari pekerjaan apa memangnya?" Cesar mendengus geli mendengar gumaman putranya.
"Hei! Meskipun aku terlihat santai, ada banyak pekerjaan yang aku lakukan." Caleste tersinggung.
Caleste tidak pernah benar-benar memiliki pekerjaan resmi. Ia menggantikan ayahnya hanya saat sedang bosan atau ketika memiliki ide cemerlang, untuk mendapatkan lebih banyak uang. Sesekali Caleste akan mengawasi pekerjaan pamannya yang mengurus perusahaan kakeknya.
Caleste sebenarnya adalah seorang pengangguran, yang kebetulan dilahirkan dengan sendok perak di mulutnya.
"Sibuk menguntit seorang gadis?" Cesar menyeringai, melihat reaksi Caleste yang menegang.
"Kau memata-mataiku?"
"Caleste, menguntit seorang gadis?" Carla bertanya dengan antusiasme yang begitu mencolok.
"Jika tidak salah gadis itu adalah pemilik darah emas."
"Ah, itu artinya kita memiliki kepercayaan yang berbeda." Carla menghela nafas kecewa.
"Tidak ada peraturan yang melarang pernikahan berbeda kepercayaan." Cesar mengusap kepala istrinya.
"Ahhh! Omong kosong apa ini, kalian berbicara seolah-olah aku akan langsung setuju menikah secepatnya!" Caleste tersinggung dengan percakapan kedua orangtuanya. Terutama ibunya. Dia seperti orang yang akhirnya bahagia, setelah lama putus asa.
"Lalu apa niatmu menguntit seorang gadis? Jangan jadi orang cabul." Carla melemparkan tatapan dingin pada putranya.
"Aku tidak pernah bilang aku menguntit seorang gadis!"
"Jadi kau menuduh Ayahmu berbohong?" Carla menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak apa-apa sayang. Caleste memang selalu seperti ini padaku."
"Kau memang seorang pembohong, dasar sialan!"
"Caleste! Kau tidak boleh memaki Ayahmu seperti itu!"
***
Hellen menatap lingkaran sihir yang telah ia buat, menarik tidak ada kesalahan sedikitpun dalam coretannya. Karena di Inkarsia penggunaan sihir gelap, Helle harus menyegel kemampuannya yang satu ini agar tidak dihukum atas tuduhan pemberontakan.
"Theo, mundur lah sedikit. Sihir gelap sensitif terhadap kekuatan suci." Theodore yang berdiri dibelakangnya menurut.
Hellen menyayat telapak tangannya, menjatuhkan beberapa tetes darah keatas lingkaran sihir. Ia menyatukan kedua tangannya, lalu membacakan sebuah mantra.
Lingkaran sihir yang telah digambar Helle perlahan-lahan menyala tiap goresannya, dengan warna merah terang.
Theodore kembali mundur saat muncu angin besar dan berputar-putar disekitar Hellen.
KHEUGH!
"Tuan Putri!"
Hellen menutup mulutnya tepat ketika ia memuntahkan seteguk darah. Cahaya di lingkaran sihir perlahan-lahan meredup. Sihir hitam yang ia miliki adalah salah satu yang terkuat. Setelah lama menyegel kekuatan itu, tubuhnya akan perlu waktu lama untuk beradaptasi kembali.
"Anda baik-baik saja?" Theodore menghampiri Hellen.
"Aku baik-baik saja, mungkin butuh waktu seminggu untuk tubuhku bisa beradaptasi dengan sihir hitam." Hellen menatap pergelangan tangan kirinya yang kini terdapat sebuah tanda hitam yang melingkar.
"Tetap saja." Theodore bergumam pelan.
"Apa yang kau pikirkan, aku tidak selemah itu." Hellen menampar bahu Theodore dengan senyuman cerah.
"Baiklah, maafkan saya."
***
Hellen sama Theodore itu baik, kayaknya. Jadi jangan benci mereka :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top