Bab 8

Raja Darius siang itu sedang bersantai menikmati hari liburnya, saat tiba-tiba saja ia mendapatkan kunjungan dari keponakannya. Keningnya yang seharusnya sudah keriput itu mengernyit heran. Caleste, anak dari adik sepupunya sekaligus satu-satunya keponakan berguna yang ia miliki tidak pernah mengunjunginya tanpa membawa berita penting.

"Bawa dia kesini."

"Baik Yang Mulia."

Caleste adalah anak yang akan mendatanginya hanya untuk keadaan genting, seperti invasi dari kerajaan tetangga atau pemberontakan dari keluarga bangsawan. Meskipun itu adalah hal yang mustahil.

"Aku harap, aku tidak menggangu waktu istirahat Paman kerajaan." Suara yang intonasinya tidak begitu familiar, membuat Raja Darius menaikkan sebelah alisnya. Caleste adalah tipe orang yang mengungkapkan perasaannya lewat nada bicaranya.

Jika Caleste tersenyum lebar namun suaranya tajam dan penuh penekanan, itu artinya ia sedang marah dan siap menebas kepala lawan bicaranya. Suara yang diucapkan dengan berbinar-binar dan penuh semangat, baru pertama kali ia dengar.

Caleste tersenyum lebar menatap Raja Darius, ditangannya sebuah buntalan bulu dipeluk dengan erat.

"Tidak masalah, kemari duduk. Bagaimana kabarmu? Ku dengar beberapa hari yang lalu seseorang mencoba mencelakaimu."

"Hah, itu hanya goresan biasa. Ngomong-ngomong aku menemuimu untuk meminta izin mengantarkan benda ini pada Nona Leira."

Benda yang Raja Darius kira adalah buntalan bulu, ternyata seekor kucing putih bermata biru. Kucing yang cantik. Namun, ia mengernyit tidak suka dengan permintaan Caleste. Bagaimanapun juga, ide tentang kedekatan Caleste dan Leira adalah sesuatu yang harus dihindari.

"Di lingkaran sosial bangsawan perempuan, memelihara seekor kucing sedang menjadi tren. Benda ini dikirimkan oleh ibuku sebagai ucapan terimakasih, karena Nona Leira telah mengobati ku." Caleste mengangkat kucing berbulu putih itu. Memamerkan kecantikan hewan yang akhir-akhir ini menjadi buruan para sosialita di kalangan bangsawan kelas atas.

"Itu adalah permintaan yang cukup sulit." Raja Darius mengelus dagunya dengan bimbang. Kucing bukan hadiah dari Caleste, melainkan dari adik iparnya. Menolaknya tanpa alasan jelas akan memunculkan permusuhan dengan Duke Agrient, yang tergila-gila pada istrinya.

"Kucing ini benar-benar hangat untuk dipeluk di cuaca yang dingin seperti saat ini, dan kudengar juga kucing bisa membantu meredakan stress." Caleste mencengkram leher belakang kucing itu, yang berusaha keras untuk melarikan diri. Ia memberikan tatapan mengancam pada hewan itu, membuat kucing itu mengeong dengan keras.

"Kucing bisa meredakan stress?"

"Ya."

Raja Darius ingat jika ia diberitahu jika akhir-akhir ini berat badan Leira terus menurun, dikarenakan stress yang memperburuk keadaan tubuh lemahnya. Leira bisa mati kapan saja, jika terus dibiarkan. Dan itu akan menjadi akhir bagi kehidupan panjang yang ia idam-idamkan.

Berbeda dengan Raja Darius yang sedang bimbang, Caleste tampak kacau dengan pertarungan batin yang ia lakukan dengan kucing putih itu. Ia memaki dalam hati, melihat pamannya terlihat berpikir dengan isi kepalanya yang ia ragukan entah masih berfungsi atau tidak.

Ini menyebalkan. Jika orang di depannya bukanlah kakak dari ayahnya, Caleste sudah pasti akan menamparnya dan menyuruhnya untuk segera bicara.

Sedangkan kucing di pangkuannya terus memberontak dan mencakar tangannya.

"Ibuku mengalami stress akhir-akhir ini dan Ayah membawakannya seekor kucing, itu benar-benar ampuh menghilangkan stress." Ya, untuk sebagian orang. Tapi untuk manusia seperti Caleste, kucing akan menjadi sumber stress berkepanjangan.

"Sejujurnya tidak masalah jika memberikan hadiah lain, tapi kucing adalah makhluk hidup yang membutuhkan perawatan. Kondisi keuangan istana saat ini sedang tidak terlalu bagus." Itu adalah penolakan yang halus.

Namun Caleste bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia tetap memamerkan wajah yang ramah dan penuh senyuman. "Itu bukan hal yang sulit, kediaman Agrient akan mengirimkan tambahan dana secara berkala untuk keperluan kucing ini."

Raja Darius memicing, ia mencium bau-bau mencurigakan dari Caleste.

"Hah. Baiklah, kau boleh memberikannya."

"Kalau begitu aku akan mengantarkannya sendiri. Kau ikuti aku." Caleste menunjuk pada asisten Raja Darius.

"Aku harap kau juga tidak keberatan aku meminjam asisten mu Paman." Caleste mengulas senyuman cerah.

"Ya, terserah." Raja Darius mendesah lelah.

***

Peta kerajaan Inkarsia terbentang di atas meja, Hellen melingkari beberapa bagian di peta dengan tanda merah.

"Dari beberapa catatan yang kita teliti, kristal Ratu Eleanor disembunyikan di tanah keluarga Raven." Hellen menatap bagian peta yang di lingkari merah.

"Keluarga Raven adalah salah satu bangsawan yang mendukung Pangeran kedua, akan sulit untuk melakukan pencarian di sana."

"Itu akan mudah jika yang melakukan pencarian hanya satu atau dua orang."

Lelaki berambut merah itu mengernyit bingung. "Bukankah itu lebih beresiko dan menyita banyak waktu?"

"Karena kristal Ratu Eleanor sensitif terhadap kekuatan sihir hitam, ini akan menghemat lebih banyak waktu pencarian. Theodore bisa membantu dan melindungi ku dalam waktu bersamaan."

"Kalau begitu anda harus berhati-hati,  keluarga Raven sangat mudah tersinggung jika mengetahui anda berkeliaran di wilayah mereka."

"Tidak masalah, Theodore ada bersamaku. Apa masalah selanjutnya?" Hellen mengambil tumpukan kertas di atas, matanya memicing tidak suka saat melihat salah satu laporan bawahannya.

"Kenapa pemasukkan dari Desa Arkana semakin berkurang?"

"Itu karena Pangeran Caleste membangun jalan di Albana dan memasang pajak lebih murah di sana sehingga para pedagang mulai menggunakan jalan itu daripada melewati Desa Arkana." 

"Faktor lainnya adalah karena penduduk Desa Arkana tidak berprilaku ramah dan bertindak semena-mena pada para pedagang, dan jalan dari Albana menuju Hollras lebih dekat."

Hellen berdecak kesal, ia sudah memperingati ini sejak dulu pada penduduk desa Arkana untuk bersikap lebih ramah pada orang luar. Namun mereka terlalu sombong karena menjadi pusat jalur perdagangan antara kerajaan-kerajaan besar.

Desa Arkana berada di salah satu wilayah yang ia kuasai, Hellen mengeluarkan banyak dana untuk perawatan desa itu setiap tahunnya.

"Apa dampak jangka panjang yang akan kita dapatkan jika terus memberikan dana perawatan yang besar ke sana?"

"Itu akan berpengaruh pada keuangan yang anda miliki, memotong biaya perawatan secara signifikan akan menjadi solusi yang cukup bagus." Theodore menjawab pertanyaan Hellen dengan suara tenang.

"Ya, saya setuju dengan Tuan Muda Viska." Viscount Eria—pria berambut merah berseru dengan semangat.

"Desa Arkana tidak lagi memiliki harapan, setelah jalan di Albana dibangun."

"Baiklah, aku akan mengurangi dana untuk perawatan desa itu. Untuk saat ini kalian bisa kembali, aku harus membicarakan sesuatu dengan Theodore."

"Semoga Dewi Ashet selalu memberkati anda."

Setelah semua orang, Hellen menghela nafas kasar. "Beri aku sebuah pelukan." Ia merentangkan tangannya, mengundang Theodore masuk kedalam pelukannya.

Theodore, tanpa bicara langsung menuruti keinginan Hellen. Ia memeluk gadis itu dengan erat. "Anda telah bekerja dengan keras."

"Ini demi masa depan yang indah." Hellen bersenandung dengan bahagian.

***

Suhu tubuh yang tinggi, nafas yang terengah-engah dan kepala yang berdenyut seperti dihantam oleh batu. Leira mengerang kesal. Ia tidak bisa tidur, karena tubuhnya tidak membiarkan Leira tidur.

Leira sedang berpikir banyak hal tentang kemarin malam. Ia tidak pernah ingat, jika Caleste memiliki ketertarikan pada lawan jenis selain pada kekasihnya yang akan mati di pertengahan cerita.

Caleste adalah bajingan nyentrik yang banyak menghina orang-orang dan keberadaan manusia, di dalamnya kepalanya. Leira tahu seberapa kasar kalimat yang tidak Caleste ucapkan saat bertemu dengan banyak orang.

"Nona, anda seharusnya tidur setelah minum obat." Marianne yang sejak tadi bolak-balik memeriksa Leira mengernyit aneh, karena gadis yang biasanya selalu tidur sepanjang hari malah terus terjaga dan dalam keadaan demam tinggi.

"Hah, aku sedang mencoba tidur." Leira memejamkan matanya, berusaha untuk tidur. Namun ia tidak benar-benar ingin tidur.

Leira terus kepikiran tentang alur asli dari novel yang ia baca. Sebagai karakter sampingan yang memiliki pengaruh besar pada alur novel, Leira tidak bisa benar-benar membelokkan alur utama agar ia terhindar dari kematian tragis.

Caleste adalah penjahat utama di dalam novel, yang tindakannya akan berpengaruh besar pada alur cerita. Lelaki itu menyukainya, lalu bagaimana dengan kekasihnya?

Kematian kekasih Caleste akan berdampak besar pada alur cerita. Caleste yang awalnya tidak terlalu tertarik pada kelakuan pemeran utama, mendadak memiliki tujuan yang jelas. Memusnahkan dua orang yang telah membunuh kekasihnya.

"Nona, seseorang meminta anda untuk bertemu."

"Siapa?" Bukan Leira, tapi Marianne yang lebih dulu bertanya.

"Ah, Pangeran Agrient."

Leira yang awalnya berbaring langsung duduk tegak, membuat dua orang di dalam ruangan itu mengernyit heran.

"Aku akan menemuinya." Leira mengulas senyum manis.

"Tapi anda sedang demam." Count Erkan terlihat ragu.

"Itu tidak akan masalah jika Ca—Pangeran Caleste yang menghampiri ku di kamar."

"Saya akan menyuruhnya kesini, Marianne tutup tirai ranjangnya."

Leira menyandarkan tubuhnya dengan nyaman. Marianne menuruti perintah Count Erkan, ia membuka ikatan tirai ranjangnya.

"Semoga Dewi Ashet memberkati anda."

"Tidak perlu memberi salam seperti itu." Suara Caleste yang terdengar ramah, menyapa gendang telinga Leira.

"Saya akan membawakan anda minuman."

"Nona Leira, aku dengar kau sedang menderita demam. Aku harap, kedatangan ku tidak mengganggumu." Suara Caleste terdengar ramah.

"Tidak masalah, ini hanya demam biasa." Leira lebih sering sakit dibandingkan tidak. Ia menghabiskan hari-harinya di atas kasur, hampir sepanjang hidupnya. Tubuhnya lebih lemah dari kebanyakan orang.

"Omong-omong, lihat apa yang aku bawa." Caleste menyibak tirai ranjang tanpa malu-malu, lalu meletakkan sebuah keranjang di pangkuan Leira.

Di belakangnya, Count Erkan hampir berteriak melihat kelakuan Caleste. Ia hendak menegurnya, namun karena reaksi Leira yang positif Count Erkan mengurungkan niatnya.

Leira membuka keranjang yang Caleste berikan. Matanya berbinar, melihat sesuatu di dalamnya. "Kucing!" Ia memekik dengan senang.

Kucing itu mengeong lembut saat Leira mengangkat tubuhnya keluar dari keranjang. "Ahh, lucunya."

Hewan itu menyeruduk tangan Leira. Meminta dielus.

"Count Erkan bisa kau suruh Alberto, lelaki yang berdiri di luar untuk mengambil barang di kereta."

Caleste menatap Count Erkan dengan senyuman, berbanding terbalik dengan matanya yang menatap lelaki itu dengan sorot mengancam.

"Baiklah." Count Erkan menipiskan bibirnya, terpaksa menuruti perintah Caleste.

"Aku tidak tahu jika pengawal mu laki-laki."

"Kebanyak ksatria perempuan berada di bawah perintah Putri Hellen, dan dia tidak terlalu menyukaiku." Kucing di pangkuan Leira mendengkur senang, Caleste menatap hewan itu dengan mata memicing.

"Omong kosong, tidak semua ksatria perempuan berada dibawah perintah Putri Hellen." Caleste menyilang kan kakinya, duduk dengan angkuh.

"Yah, tidak masalah mau itu laki-laki atau perempuan. Mereka sama saja untukku."

"Tentu saja berbeda dan harus berbeda, kau tidak boleh menatapku seperti kau menatap perempuan."

Leira menatap Caleste dengan sebelah alia terangkat. Tentu saja ia melihat laki-laki dan perempuan dengan cara berbeda. Namun, melihat wajah Caleste.

"Tentu saja berbeda." Leira berkedip lalu memalingkan wajahnya, pipinya bersemu merah saat mengingat sesuatu.

"Hei, kau kenapa? Lihat aku." Caleste cemberut, melihat Leira yang menolak menatapnya.

"Yang Mulia, Nona Leira." Marianne memicing curiga melihat tirai kasur yang terbuka lalu jarak antara Caleste dan nonanya juga terlalu dekat.

"Ini minuman anda Yang Mulia."

"Terimakasih, kau boleh menyimpannya di meja dan bisa tolong tinggalkan kami? Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan Nona Leira." Caleste mengulas senyuman yang mampu membius banyak wanita.

"Baik." Marianne hanyalah perempuan biasa, yang dengan mudah terpesona pada kecantikan seseorang. Ia langsung menurut tanpa banyak membantah.

Leira menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang, ia mengelus kucing putih yang terlihat semakin nyaman di pangkuannya. Memiliki wajah yang  cantik benar-benar dapat menyelesaikan delapan puluh persen permasalahan hidup.

"Kau tidak boleh menggunakan wajahmu untuk memanipulasi seseorang." Leira berkomentar.

"Omong kosong." Caleste mendengus geli.

"Bagaimanapun juga, kau harus menggunakan wajahmu semaksimal mungkin."

"Tidak ada gunanya memiliki wajah cantik untukku."

"Ada!" Caleste menyangkal dengan cepat.

"Seperti apa?"

"Membuatku menyukai mu, contohnya." Caleste tersenyum lebar.

****

Halooo!

Akhir-akhir ini aku lagi semangat nulis, karena cerita ini bentar lagi klimaks. Bagian terbaik yang udah aku persiapkan sejak lama wkwkwk

By the way, makasih buat yang mampir terutama yang udah vote dan komen!

See u next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top