Bab 7

Itu adalah malam yang berbintang, saat Leira menyusup keluar dari kamarnya. Dua hari lalu, Caleste membisikkan sebuah jalan tikus yang bisa membawanya keluar dari istana dengan aman. Jalan itu berupa sebuah terowongan yang ditutupi oleh semak-semak, berada di bagian belakang istana yang terbengkalai.

Leira tidak berniat kabur, ia tidak memiliki fisik sekuat itu untuk bertahan di jalanan tanpa uang sepeserpun. Mati kelaparan adalah skenario paling buruk, yang tidak pernah ia inginkan. Ia benci merasakan perasaan seperti itu.

Leira hanya ingin berjalan-jalan sebentar dengan bebas layaknya orang biasa, dan bukannya tahanan rumah yang harus memberikan darahnya untuk manusia-manusia di Inkarsia.

Terowongan itu benar-benar gelap, dan untungnya tidak becek ataupun berlumpur. Leira tidak berjalan terlalu lama. Sisi lain dari terowongan itu berada di pinggir hutan. Dari tempat ini, Leira juga bisa melihat keramaian ibukota kerajaan yang sebelumnya hanya bisa ia lihat di waktu-waktu tertentu.

"Hey!"

Leira terkesiap saat seseorang tiba-tiba saja menepuk pundaknya.

"Kau hampir mengagetkan ku."

"Tapi pada akhirnya kau tidak kaget, 'kan?" Caleste mengulas senyum menyebalkan.

Leira mendengus. "Huh, tetap saja."

"Kau harus menunda kekesalan mu dulu, kita harus segera pergi sebelum prajurit berpatroli ke wilayah ini." Caleste mengeluarkan mantel berwarna putih, yang akan menghalangi angin malam menyerang tubuh Leira.

"Ah, sudah kuduga kau benar-benar terlihat semakin cantik dengan warna putih. Aku penasaran bagaimana penampilan mu dengan gaun pernikahan nanti."

"Kau salah, aku akan terlihat cantik baik memakai atau tidak memakai apapun." Leira mengibaskan rambutnya. Jubah ini benar-benar hangat, ia bisa berdiri di luar semalaman jika seperti ini.

"Karena kereta terlalu mencolok, kita akan pergi ke pusat ibukota dengan kuda."

Caleste menarik kuda hitam yang membawanya kesini, ia mengelusnya hewan itu beberapa kali. Caleste melirik Leira, matanya memberikan isyarat agar mendekat.

"Tidak masalah jika kita menaiku satu kuda yang sama, 'kan?" tanya Caleste. Ia cukup yakin jika Leira tidak bisa menaiki kuda sendirian, mengingat dimana ia hidup selama ini.

"Ya, tidak masalah." Leira mendekati Caleste. Ia cukup gugup karena ini adalah pertama kalinya Leira akan berkendara menggunakan kuda.

"Jangan terlalu kaku saat duduk di atas kuda, atau dia akan melempar mu."

"Oke, aku mengerti."

"Injak ini dan cobalah naik, aku akan membantumu jika kau kesulitan." Leira menurut, ia mengikuti setiap instruksi yang Caleste berikan. Namun karena ini adalah pertama kali baginya, Leira mengalami banyak kesulitan.

"Ini sulit!" Leira mengerang putus asa.

Caleste menatap Leira yang masih berusaha menaiki kuda dalam diam.

"Sebelumnya, aku minta maaf."

Leira menoleh. Belum sempat ia menanyakan maksud dari Caleste, ia dikejutkan oleh tindakannya yang tiba-tiba saja mengangkat tubuhnya dana mendudukkannya di atas kuda dengan mudah.

"Ah! Kenapa kau tidak melakukannya sejak tadi?"

Caleste hanya bergumam tidak jelas lalu ikut menaiki kuda. "Tidak masalah jika aku memeluk mu?"

"Tidak, kalau bisa peluk aku dengan erat." Leira mengulas senyum manis. Akan berbahaya jika jatuh dari kuda, lalu terinjak sampai mati. Itu adalah akhir hidup yang sangat tidak keren.

"Tentu saja." Caleste bersenandung pelan. Tangan kirinya melingkari pinggang Leira, sedangkan tangan kanannya memegang tali kekang.

Leira memejamkan matanya, saat kuda yang ia tunggangi mulai bergerak dengan cukup kencang. Jarak antara istana dan ibukota kerajaan cukup jauh, jika ditempuh dengan jalan kaki. Namun jika menggunakan kendaraan seperti kereta atau kuda, waktu ke ibukota kerajaan akan terasa sangat singkat.

Mereka berhenti di tempat penitipan kuda. Caleste turun terlebih dahulu. Saat ia hendak membantu Leira, gadis itu telah lebih dahulu melompat turun dari kuda.

"Ayo kita ke alun-alun." Leira menarik ujung mantel yang Caleste gunakan. Matanya berkilat penuh antusias, terlihat begitu manis.

Caleste melirik gadis itu sekilas. Sudut bibirnya terangkat. Ia sudah menduga jika Leira dengan pancaran kehidupan, seribu kali lebih menarik daripada biasanya. Penampilan gadis itu saat ini, mampu membuat semua perempuan sadar jika mereka jelek.

"Untuk apa pergi ke alun-alun, tidak ada yang menarik di sana sebelum tengah malam. Kita makan terlebih dahulu." Caleste merangkul Leira, menarik gadis itu agar masuk kedalam salah satu restoran.

"Hey, aku tidak mau makan di tempat mewah seperti ini. Ayo kita cari makanan lain." Leira menurunkan lengan Caleste dari pundaknya.

"Ngh, baiklah." Caleste mengangguk setuju, ia membiarkan Leira menariknya ke manapun kaki gadis itu melangkah.

Ibukota selalu menjadi tempat paling aktif di Inkarsia, bahkan saat malam hari.

Mata Leira berbinar saat melihat salah satu stand yang menjual makanan. Terlihat begitu menggoda.

"Ayo kita beli itu!" Leira langsung menyeret Caleste untuk mendatangi stand itu.

"Aku ingin yang ini." Leira menunjuk makanan berbentuk bulat  yang sedang di goreng.

"Hey, kau mau tidak?"

"Ya, berikan aku satu."

"Apa kalian ingin menambahkan karamel diatasnya?" tanya penjual itu.

"Ya, tambahkan karamel yang banyak."

Sejujurnya Caleste tidak terlalu suka makanan manis, namun melihat Leira berbinar-binar melihat makanan itu. Mungkin karamel tidak terlalu buruk,  karena Leira terlihat lebih manis dibandingkan makanan itu.

"Harganya dua keping perak."

Leira mengambil makanan yang penjual berikan, dan Caleste membayarnya.

"Punyamu."

Caleste terus memperhatikan ekspresi antusias Leira mencoba makanan manis itu.

"Uhhh rasanya sangat enak, kau harus mencobanya!" Leira menatap Caleste dengan mata yang berkilau penuh semangat.

Menggemaskan.

Caleste menatap makanan ditangannya sejenak, lalu mencobanya. "Ya, ini enak meskipun terlalu manis."

Keduanya melanjutkan perjalanan, dengan Leira yang terlihat antusias sepanjang jalan. Ia terus berbicara dan sesekali bertanya pada Caleste, yang untungnya ia sedang memiliki suasana hati bagus sehingga menjawab pertanyaan itu dengan sabar.

Caleste sebenarnya membenci manusia berisik dan orang yang bertanya tentang hal yang tidak berguna. Namun untuk Leira, ia akan memberikan sedikit toleransi. Hanya sedikit, sungguh.

"Ini terlihat sangat cantik untukmu." Caleste memasangkan jepit rambut berbentuk bunga yang terlihat sangat cantik di rambut Leira.

Mereka sedang berada di stand penjual aksesoris. Leira terlihat sangat bersemangat, melihat pernak-pernik perempuan yang tidak pernah bisa ia pakai. Istana hanya memberinya beberapa gaun berwarna monoton yang kebanyakan hanya digunakan untuk mendatangi kuil, dan selebihnya adalah gaun tidur yang nyaman dan ia digunakan sepanjang hari.

Leira menyentuh jepit yang Caleste pasangkan, dengan lembut. "Ya, sejujurnya tidak ada yang tidak terlihat cantik padaku."

Caleste terdiam sejenak, laku tertawa. "Kau benar."

"Ya Tuhan, kalian benar-benar pasangan yang manis."

Celetukan penjual aksesoris membuat Caleste tersenyum miring. "Terimakasih." Ia berucap dengan suara cerah.

Di sisi lain, Leira tidak repot-repot menanggapi ucapan si penjual. Ia menatap cermin di tangannya, mengagumi bentuk dari jepit yang terpasang di rambutnya. Sejujurnya, jepit itu mungkin akan semakin cantik jika saja rambutnya berwarna hitam.

Leira benci melihat warna rambutnya yang hampir seluruhnya memutih. Lagi pula, kenapa harus dia juga yang menerima efek samping memiliki darah emas. Benda itu tidak memiliki kegunaan untuk dirinya sendiri dan hanya bermanfaat untuk orang lain. Tidak ada timbal balik padanya, dengan memiliki benda ini di dalam tubuhnya.

Leira menghela nafas kasar, tiba-tiba saja ia merasa berat untuk melanjutkan kehidupan tidak berguna ini.

"Jangan memikirkan hal yang tidak penting, ayo kita ke alun-alun. Akan ada Opera di sana, kau ingin melihatnya bukan?"

"Ya."

Caleste menyambar tangan Leira, membawa gadis itu pergi ke alun-alun.

Leira menatap jari-jari Caleste yang membungkus tangannya. Jika sesuai dengan alur novel, dipertengahan alur menuju klimaks yang artinya sebentar lagi Caleste akan kehilangan kekasihnya. Ia penasaran, gadis mana yang mampu menarik perhatian laki-laki seperti Caleste.

Meskipun ia cukup manis pada Leira, Caleste memiliki lidah yang pedas dan cenderung menyakiti perasaan seseorang. Ada banyak wanita yang menyukai penampilan Caleste yang cantik, namun tidak cukup kuat untuk menerima segala bentuk penghinaan tersirat dari kata-katanya yang benar-benar membuat siapapun meminta ampun.

"Hey," panggil Leira tiba-tiba.

"Hm?"

"Wanita seperti apa yang kau sukai?"

"Kenapa bertanya seperti itu? Kau ingin mencoba memataskan dirimu untukku?" Caleste melirik Leira dengan geli.

Leira mengerutkan keningnya marah. "Bermimpi lah terus, sampai rambutku kembali berwarna hitam!"

"Hah? Jadi kau ingin menunggu rambutmu kembali hitam, untuk memantaskan diri untukku?" Caleste tertawa dengan puas melihat Leira yang seperti singa betina, siap menggigitnya.

"Jangan kesal." Caleste menekan pipi Leira dengan lembut.

"Aku tidak kesal," ucap Leira tersinggung.

"Ngomong-ngomong aku suka."

"Apa yang kau suka?" Leira menepis tangan Caleste di wajahnya.

"Aku suka melihat wajahmu yang kesal, marah, tersinggung terutama wajahmu yang terlihat sangat bahagia. Aku suka semuanya."

***

Haloo!
Aku lagi semangat nulis, jadi bisa publish bab terbaru secepatnya.

Sebenernya aku rada geli sih nulis bab yang kebanyakan gula kayak gini, malu sendiri pas bacanya
#efekkelamaannggakpunyaayang

By the way, makasih buat orang-orang yang udah singgah dan baca terutama yang udah komen dan kasih vote

Love you deh buat kalian!

See u next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top