Bab 6

Koreksi typo dan kalimat rancu.

Selamat membaca!

Padang rumput itu terlihat indah. Caleste menurunkan pandangannya, pada wanita yang duduk beberapa langkah darinya. Tubuhnya terlihat rapuh dan kecil.

"Berapa kali kehidupan yang telah aku jalani?" Rambut putih wanita itu sedikit berayun, saat angin menerpanya dengan lembut.

"Lebih dari dua puluh." Mulut Caleste terbuka sendiri. Ia terkejut, namun tidak bisa membuat reaksi lain.

"Itu sudah sangat lama. Kita mungkin seharusnya berhenti setelah ini." Tubuh wanita itu sedikit bergetar, suaranya terasa berat seolah-olah telah membawa ratusan ribu ton beban selama hidupnya.

"Aku juga sudah mulai lelah dengan akhir yang selalu kita dapatkan." Suara wanita itu mulai ikut bergetar. Dia akan menangis. Secara batin, Caleste mulai panik dan cemas. Ia tidak pernah berhadapan dengan wanita menangis.

Namun berbeda dengan pikiran Caleste yang berkecamuk, tubuhnya merespon dengan sangat cepat. Wanita yang entah siapa itu, dalam sekejap telah berada dalam pelukannya.

"Aku berjanji ini yang terakhir." Suara Caleste yang secara tiba-tiba keluar, terdengar penuh keraguan.

Lalu, pemandangan padang rumput yang indah berubah menjadi medan perang yang mengerikan. Darah dan mayat bergelimpangan. Caleste berada di sana, masih memeluk wanita yang sama. Namun dalam kondisi berlumuran darah—

emas?

"CALESTE!"

Teriakan itu menarik Caleste dari alam bawah sadarnya. Nafasnya tersengal-sengal. Pemandangan mengerikan itu berubah menjadi langit-langit di kamarnya.

"Kau baik-baik saja?" Suara lembut seorang wanita membuat nafas Caleste perlahan-lahan membaik.

"Aku baik—"

"Kau sedang sakit."

Ucapan Caleste dipotong dengan tajam. Carla—wanita yang berdiri di samping kasurnya, menatap Caleste dengan wajah khawatir. Yah, sejujurnya wanita itu selalu khawatir dengan apapun yang Caleste lakukan.

"Kau terluka dan telah diracuni."

"Ibu, ini hanya luka biasa yang sering aku dapatkan." Sebagai anak satu-satunya dari Duke Agriente dan pewaris takhta kerajaan Inkarsia yang ke-6, mendapatkan percobaan pembunuhan dari berbagai pihak adalah hal yang telah Caleste dapatkan sejak ia keluar dari perut ibunya.

"Tetap saja kau bisa mati dan meninggalkan aku sendirian." Carla mengusap wajah putranya dengan lembut.

"Jangan terlalu sering membahayakan dirimu sendiri."

"Ini yang terakhir, aku janji." Atau mungkin tidak. Caleste tidak pernah menepati janjinya dengan benar.

"Ngomong-ngomong, apa kau bermimpi buruk?" Carla menyeka keringat di wajah putranya.

"Mn." Caleste bergumam pelan, menikmati belaian hangat tangan ibunya.

"Seberapa buruk?"

"Yha, cukup buruk sampai-sampai aku ingin muntah." Caleste mengerutkan keningnya saat mengingat mimpinya. Pemandangan itu mengerikan namun setiap kali mengingatnya, Caleste merasakan sebuah kepuasan dalam diri. Ia ingin melihatnya lagi, secara langsung. Namun harus dia yang menciptakan pemandangan itu.

"Kau sedikit demam, dokter sudah memeriksa keadaan mu dan telah mengganti perban di lehermu. Kau sebaiknya istirahat, aku akan mengantarkan sarapan kesini." Carla mengusap puncak kepalanya, lalu meninggalkan Caleste yang masih merenung.

Ini aneh.

Mimpi yang Caleste alami, terlalu nyata untuk menjadi bunga tidur. Bau bunga di padang rumput, aroma menenangkan dari tubuh wanita dalam pelukannya, dan bau anyir darah yang menusuk. Rasanya seolah-olah ia pernah mengalaminya.

Caleste membuang nafas kasar, lalu kembali menjatuhkan tubuhnya keatas kasur.

***

Leira bersenandung pelan. Ia menatap langit-langit kamarnya, yang berwarna putih. Hari sudah hampir siang, Leira sedang menunggu Marianne yang berjanji akan membawakannya camilan.

Leira sebenarnya ingin berjalan-jalan keluar, tapi kakinya terlalu berat untuk dibawa melangkah. Leira berguling-guling di atas kasur. Kebosanan ini akan membunuhnya suatu hari nanti, jika ia terus-menerus begini.

"Nona Leira."

Mendengar suara yang sangat akrab. Leira langsung bangkit, matanya berkilat dengan penuh kebahagiaan.

"Marianne!"

"Nona, anda dipanggil oleh Yang Mulia."

Binar kebahagiaan di mata Leira langsung lenyap. Bulu matanya yang panjang sedikit bergetar. Leira tidak menyukai raja yang selalu menatapnya dengan cara yang membuatnya tidak nyaman. Ia juga tidak menyukai raja yang memiliki wajah yang jelek, membuat matanya cukup terganggu.

"Ugh, kepala ku sedikit sakit." Leira berguling ke tengah kasur, menarik selimutnya dan bersiap untuk tidur siang yang jarang ia lakukan.

"Nona, anda telah menolak perintah Raja untuk bertemu sebanyak tiga kali." Marianne menghela nafas lelah melihat keengganan Leira. Setiap tindakan yang gadis itu lakukan, selalu berimbas padanya.

"Nona." Marianne memelas.

Leira membuang nafas kasar. Ia berguling kembali ke samping, sampai terjatuh dari kasur. Wajahnya yang cantik ditekuk untuk menunjukkan kekesalannya.

"Baiklah. Setelah ini aku ingin parfait yang enak." Leira membuang wajahnya ke samping.

Marianne tersenyum cerah. "Tentu saja! Kalau begitu kita ganti gaun anda."

Leira hanya menggunakan gaun tidur berwarna putih. Ia jarang mengganti gaun tidurnya, jika tidak keluar dari kamar. Lebih dari setengah pakaiannya, adalah baju tidur yang nyaman untuk digunakan bermalas-malasan.

Persetan dengan kehidupan di istana yang penuh dengan etika. Leira bukan bangsawan, baik di dunianya ataupun di dunia ini. Ia hanya anak panti asuhan yang kebetulan berwajah cantik dan nilai plus di dunia barunya, Leira memiliki kemampuan yang tidak pernah diinginkan olehnya.

"Saya akan menyisir rambut anda terlebih dahulu, duduklah disini." Marianne adalah pelayan yang cekatan. Kehidupan Leira tanpa Marianne di dunia ini, akan mirip seperti anak terlantar di jalanan.

Leira terbiasa bermalas-malasan, sampai hal remeh yang seharusnya bisa ia kerjakan sendiri di ambil alih oleh Marianne. Yha, meskipun terkadang Marianne bertindak sangat menyebalkan. Ia sebenarnya sangat baik pada Leira. Menganggapnya sebagai sosok adik, yang harus ia jaga dan urus.

Bukan hanya dirinya saja, Leira yang asli juga menyukai Marianne. Pelayannya itu akan mati terbunuh, setelah mencoba melindungi Leira dari orang-orang yang mencoba memeras darahnya sampai mati.

"Selesai, anda tinggal ganti baju dan pergi ke ruang takhta. Count Erkan sudah menunggu anda di depan."

"Kau tidak ikut?"

"Tidak. Saya akan membuat parfait di dapur untuk anda."

Leira bergegas mengganti gaun tidurnya, dengan dress semi formal berwarna biru.

Count Erkan telah menunggu Leira di depan ruangan, seperti yang Marianne katakan.

"Anda terlihat manis." Count Erkan bergumam penuh kekaguman melihat Leira yang didandani dengan tipis. Pemandangan yang sangat jarang bisa dilihat.

Leira berkedip pelan, pipinya mendadak terasa panas saat Count Erkan melemparkan sebuah pujian begitu Leira muncul.

"Huh, aku selalu terlihat manis kapanpun." Leira memalingkan wajahnya, ia berjalan dengan cepat mendahului Count Erkan.

Ruang takhta terletak sangat jauh dari tempat tinggal Leira, mengingat posisinya di istana hanyalah tamu tetap yang sewaktu-waktu bisa ditendang keluar saat tidak lagi dibutuhkan.

Darius—raja Inkarsia, merupakan seorang penyihir yang kuat. Jenis sihir yang ia kuasai, adalah pengikatan. Sihir yang cukup langka dan sangat berbahaya. Raja Darius bisa membuat siapapun dan apapun yang bernyawa dengan syarat tertentu, menjadi budaknya dengan sihir pengikatan.

Sebagian orang dengan pengaruh besar di Inkarsia, telah menjadi korban dari sihir Raja Darius.

Hanya segelintir orang yang tidak bisa diikat oleh sihir pengikatan, karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Keluarga Agrient, yang dilindungi oleh Dewa Perang tidak akan bisa diserang oleh sihir yang masuk kedalam kategori jahat. Lalu ada tokoh utama—Theodore, yang merupakan pemimpin dari ksatria suci.

Raja Darius tidak bisa memperbudak seseorang yang terhubung dengan Dewa dan kekuatan suci yang besar. Leira juga menjadi pengecualian, karena tubuhnya menetralkan segala jenis sihir dan kutukan.

"Saya akan menunggu anda di sini Nona."

"Mn." Pembicaraan antara Leira dan Raja Darius, bersifat rahasia dan haram didengarkan oleh pihak ketiga.

Leira masuk ke ruang takhta dengan jantung yang berdetak dengan kencang. Ia benar-benar membenci Raja Darius. Wajahnya yang jelek, kelakuannya yang busuk dan apapun yang ia lakukan selalu membuat Leira ingin berlari menjauh.

Raja Darius adalah penyebab dari krisis eksistensial yang Leira alami sejak ia datang ke dunia ini.

"Semoga Dewi Ashet selalu melindungi Matahari Inkarsia." Leira bukan bangsawan, etika yang ia miliki saat berhadapan dengan raja cukup buruk.

"Tidak perlu terlalu formal. Ngomong-ngomong, kau semakin tinggi sejak terakhir kali kita bertemu." Raja Darius mengulas senyum lebar.

"Aku mendapatkan laporan jika kemarin keponakan ku, memintamu untuk mengobatinya. Apa kalian saling mengenal?"

"Tidak."

"Jawabanmu tidak sesuai dengan pertemuan yang kalian lakukan beberapa minggu lalu."

"Itu hanya sebuah ketidaksengajaan."

Raja Darius mendengus. "Bagaimana pun caranya, kau harus menjauh dari anak itu. Kau tahu apa konsekuensi yang akan kau dapatkan, jika menentang ku."

****

Haloo!
Ada yang masih baca nggak sih?
Makasih buat yang masih nungguin yaa.

Bab ini aku dedikasikan untuk Serenade33  yang katanya kangen Caleste. Meskipun Caleste nya muncul sebentar wkwkwk.

See you next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top