Bab 4
Koreksi kalau ada typo dan kalimat rancu!
***
Inkarsia adalah kerajaan yang seluruh penduduknya menyembah Dewi Perdamaian-Ashet. Setiap tahunnya, acara keagamaan untuk meminta perlindungan pada Dewi perdamaian selalu diselenggarakan dengan mewah. Ada banyak perwakilan dari kerajaan tetangga yang sama-sama menyembah Dewi Perdamaian, ikut menghadiri acara itu.
Dua hari sebelum acara keagamaan dilaksanakan, Leira akan pergi ke kuil. Sebagai pemilik darah emas, Leira adalah satu-satunya manusia yang jiwanya paling dekat dengan Dewi Ashet.
Ratusan tahun lalu, dimana pemilik darah emas belum lahir. Dunia berada dalam keadaan yang mengerikan.
Peperangan dan wabah penyakit mematikan hampir memusnahkan peradaban manusia. Dokter dan orang-orang yang terlahir dengan kekuatan suci hanya sedikit, membuat umat manusia benar-benar berada di ujung tanduk. Sedangkan para pemimpin kerajaan saling berperang, memperebutkan wilayah kekuasaan yang subur dan kaya. Mengabaikan rakyat yang tersiksa dan kelaparan.
Dewi Ashet adalah sosok yang lembut, baik penampilan ataupun hatinya. Ia selalu berusaha melindungi umat manusia, tanpa pandang bulu. Namun karena larangan langit untuk para dewa-dewi menyentuh dunia fana secara langsung, Dewi Ashet hanya mampu memberikan bantuan melalui perantara seorang gadis yang tinggal di kuil-Nya.
Saat gadis itu tumbuh semakin besar. Tubuhnya memiliki sebuah keunikan, dimana ia tetap hidup saat jiwanya hampir pecah. Keretakan pada jiwa manusia tidak dapat di sembuhkan dan memiliki dampak yang buruk pada tubuh. Bahkan seorang ksatria dengan tubuh kuat pun akan berteriak dengan sangat keras, jika jiwa mereka retak bahkan jika hanya sedikit.
Gadis itu tetap mengerjakan semua tugasnya, tertawa dan bercanda dengan teman-temannya. Sedangkan jiwa di dalam tubuhnya hampir pecah. Hal yang lebih mengejutkannya, beberapa bulan kemudian jiwa gadis itu kembali utuh tanpa keretakan sedikitpun. Itu adalah hal yang mustahil, namun benar-benar terjadi.
Gadis itu memiliki jiwa yang kuat. Membuat Dewi Ashet berani melakukan hal yang sangat beresiko, yaitu mentransfer sebagian dari kekuatan dan potongan jiwanya.
Di dalam novel dijelaskan jika kekuatan dan jiwa Dewi Ashet yang telah diberikan pada gadis itu, tidak kembali begitu tubuh yang ditempati telah mati. Seseorang akan lahir dalam tenggang waktu yang cukup lama dan mewarisi jiwa serta kekuatan Dewi Ashet.
Untuk mendapatkan perhatian dari ayahnya, di dalam novel Hellen mencari cara untuk memindahkan kekuatan dan jiwa Dewi Ashet kedalam tubuhnya. Namun sayangnya yang ia dapatkan adalah kutukan kuno yang menyebar dengan cepat di Inkarsia.
Leira yang menjadi pemilik darah emas saat itu, menjadi buruan semua orang. Darah emas menjadi satu-satunya benda yang dapat menghilangkan kutukan.
Sebagai pemeran utama, tentunya Hellen menjadi orang pertama yang mendapatkan Leira pertama kali. Bersama dengan kekasihnya, Hellen bertindak layaknya manusia kejam. Ia mengorbankan tangan kanan Leira, untuk menghilangkan kutukan di tubuhnya.
Rakyat Inkarsia yang memburunya, datang sepuluh menit setelah Hellen berhasil terbebas dari kutukan.
Di pertengahan alur cerita, novel romansa picisan itu berubah menjadi cerita pembunuhan yang berdarah. Orang-orang kehilangan akal dengan rasa sakit yang mereka derita akibat kutukan kematian, sehingga mereka berubah menjadi iblis dalam bentuk manusia.
Orang-orang memukul Leira dengan brutal, menusuknya dengan pisau tajam dan mencekokinya dengan obat yang menyebabkan pendarahan tidak berhenti. Tidak hanya sampai itu saja, mereka menggantung tubuh Leira di tiang. Darah emasnya mengalir kedalam kolam berisi air suci.
Selain Leira, sisa orang di dalam novel adalah manusia tanpa otak ataupun hati nurani. Jika kisah percintaan manis yang penulis ceritakan hilang, Hellen hanyalah gadis menyebalkan yang egois dan pemeran utama laki-laki adalah manusia tolol yang dibutakan oleh cinta dan dendam.
"Nona Leira, anda tidak boleh melamun." Marianne menegur pelan. Ia menghampiri Leira yang sedang duduk di depan cermin. Tangannya dengan cekatan memakaikan sebuah jubah putih yang menutupi rambut. Terdapat beberapa bordiran dari benang emas, menghiasi jubah itu.
"Hanya sebentar, tidak akan menjadi masalah. Lagipula melamun itu salah satu kegiatan yang menyenangkan." Leira bersenandung pelan.
Acara keagamaan akan segera dilaksanakan. Orang-orang dari berbagai kalangan, telah berkumpul di aula. Leira mengintip keramaian dari balik tembok. Ia selalu gugup melakukan hal ini, meskipun bukan yang pertama kalinya.
Saat gugup, terkadang Leira merasa kepalanya mendadak berdengung dan ia ingin pingsan.
"Jika aku absen tahun ini, apa tidak akan masalah?"
"Tidak bisa, sebentar lagi acaranya akan segera dimulai."
"Mari Nona." Suster—entah siapa namanya, menyeret Leira untuk masuk ke aula.
"Hngh, kenapa orang sepertiku harus mengemban tugas berat seperti ini!" Ia mengeluh dengan sedih. Leira Introver, ia tidak terlalu suka berada di keramaian yang membuatnya tertekan.
"Bagaimana jika tiba-tiba ada sebuah bom bunuh diri yang akan membunuh banyak orang nanti?!" Leira berkata dengan acak.
"Anda tidak perlu bicara omong kosong, itu tidak akan terjadi." Bukan suster yang menjawab, tapi pendeta Agnes yang menyahuti ucapan kacaunya.
"Jika itu terjadi dan kaki kiri ku hancur, artinya itu adalah kesalahan kalian!" Leira berteriak frustasi.
"Jangan terlalu khawatir tentang hal seperti itu Nona."
Leira menatap Pendeta Agnes dengan mata yang menyipit tidak suka, ia membuang muka lalu mendengus.
Pendeta Agnes yang melihatnya hampir memutar bola mata malas. Leira adalah gadis manis yang jujur saat ia lemah, dan saat tubuhnya sehat Leira lebih seperti gadis liar dengan mulut menyebalkan.
***
Caleste duduk di kursi paling depan, dekat dengan podium. Alberto datang ke kuil pagi-pagi untuk mengamankan dua kursi terdepan. Keinginan Caleste yang benar-benar tidak masuk akal, menambah beban pekerjaan yang menjengkelkan.
Beberapa bangsawan yang telah rajin mengunjungi kuil, menatap Caleste seolah-olah lelaki itu seseorang yang telah salah tempat. Mereka semua tahu jika satu-satunya pewaris keluarga Agriente adalah seorang pendosa yang tidak pernah menginjakkan kakinya di kuil.
Mendapatinya menghadiri acara keagamaan, membuat bangsawan sedikit terkejut dan heran. Apalagi keberadaannya yang menggunakan pakaian hitam, benar-benar kontras dengan orang-orang. Tidak. Sebenarnya tanpa memakai pakaian hitam saja, Caleste tetap akan mendapatkan pusat perhatian. Sifatnya yang eksentrik, membuat orang dengan mudah memperhatikannya.
"Aku tidak suka udara di dalam kuil." Caleste sedikit mengeluh dengan suara rendah. Banyaknya orang di dalam ruangan, membuat suhu di dalam kuil meningkat. Caleste tidak menyukai udara panas, karena ia akan berkeringat dan itu menjijikkan.
"Sudah saya bilang tadi, tempat ini tidak akan cocok untuk anda."
Caleste mendengus tidak suka. Matanya fokus ke podium. Beberapa pendeta telah muncul entah darimana—ia tidak peduli. Mereka mengucapkan serangkaian kalimat dari bahasa suci Inkarsia.
Suara pendeta yang lembut hampir membawa Caleste mengantuk, namun bau minyak yang tajam membuatnya kembali terjaga. Selain udara yang panas, kuil ini juga berbau minyak yang sangat ia benci.
Orang di dalam aula langsung berdiri begitu para pendeta keluar dan seorang gadis dengan jubah putih, yang ujungnya disulam dengan benang emas. Rambut hitamnya yang hampir semuanya memutih, berayun-ayun dengan indah.
Caleste bukan seorang yang taat. Satu-satunya alasan ia datang ke kuil, adalah untuk melihat gadis yang dengan berani telah mencuri perhatiannya. Leira. Satu dari dua perempuan cantik yang pernah ia lihat di dunia ini.
Setelah pertemuannya dengan Leira yang tidak disengaja, istana menutup akses masuk ke daerah taman yang pernah ia kunjungi. Bertemu dengan gadis itu di istana adalah hal yang mustahil.
"Anda tidak boleh menatap Nona Leira seperti itu." Alberto yang berdiri di sampingnya, berbisik dengan suara sepelan mungkin.
"Seperti apa?" tanya Caleste. Ia melirik Alberto tanpa peduli.
"Seperti orang cabul." Alberto sedikit meringis. Jika bangsawan lain melihat Caleste, mereka akan tahu bagaimana tatapan tuannya pada gadis yang berdiri di podium.
"Bagaimanapun juga Nona Leira termasuk kedalam properti milik keluarga kerajaan. Ji—"
"Sejak kapan manusia bisa menjadi seperti barang yang memiliki pemilik?" Caleste bertanya dengan acuh. Matanya menatap lurus Leira yang membaca kitab Dewi Ashet.
"Hanya karena dia tinggal di istana dan Raja membiayai kehidupannya, Leira tidak bisa dianggap sebagai properti pribadi. Dia memberikan darahnya yang berharga sebagai bayaran yang terlalu mahal, untuk hal-hal sepele."
Alberto bungkam. Itu adalah pandangan yang cukup asing untuk rakyat Inkarsia. Sejak tiga ratus tahun lalu, anggapan tentang Leira yang merupakan barang atau properti pribadi keluarga kerajaan telah diterapkan. Leira yang saat itu lahir, memiliki tubuh yang lemah dan membutuhkan banyak obat-obatan mahal untuk tetap hidup.
Keluarga kerajaan Inkarsia menjadi pihak pertama yang memberikan bantuan. Kuil Dewi Ashet yang awalnya tempat netral dan independen, perlahan-lahan mulai terpengaruhi oleh kekuasaan Inkarsia. Mulai saat itu pula setiap Leira yang lahir, menjadi milik keluarga kerajaan. Dan itu juga menjadi awal kehidupan hancur yang akan mereka miliki, bahkan sebelum lahir.
"Dia sangat cantik." Caleste bergumam pelan.
Bulu mata Leira bergetar saat ia dengan teliti membaca setiap huruf yang ada dalam kitab suci. Gadis itu seperti peri. Terlihat indah dan murni, bahkan jika tangan-tangan kotor manusia menorehkan najis di tubuhnya.
Wajahnya yang cantik, memberikan perasaan familiar pada Caleste. Hatinya bergetar dengan sebuah kenyamanan.
Sebuah ilusi muncul di kepalanya. Leira yang terlihat sedikit lebih tua, memeluk bayi. Tatapannya pada bayi itu sama seperti saat ibunya menatap Caleste, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Namun ilusi indah yang Caleste lihat, perlahan-lahan berubah menjadi menyedihkan. Seorang wanita dengan pakaian yang berlumuran darah, menangis pilu seraya memeluk tubuh anak kecil yang telah setengah hancur. Suaranya melukai nurani Caleste yang sangat jarang ia pakai.
"AWAS!"
Caleste tersentak saat Alberto mendorong tubuhnya, sampai terjatuh ke lantai. Ia mengerang saat menyadari sebuah pisau menancap di perpotongan lehernya. Cukup dekat dengan tenggorokannya.
"Dasar manusia menyebalkan." Caleste menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang ia derita. Ia menarik pisau itu dengan kasar. Darah merembes membasahi pakaiannya.
"Anda seharusnya mencabut pisaunya sekasar itu!" Nyonya bangsawan yang berdiri di samping Caleste berteriak dengan ngeri.
Caleste melepaskan lapisan terluar pakaian yang ia pakai. Kemeja hitam yang ia gunakan, menutupi warna darah yang mencolok di kulit Caleste yang putih.
"Tuan Muda, anda baik-baik saja?!" Alberto menghampiri Caleste dengan panik. Ia mengeluarkan sapu tangan untuk menghentikan pendarahan Caleste.
"Kami sudah menangkap pelakunya!" Ksatria suci yang bergerak cepat, menggusur pelaku yang telah melemparkan pisau kearah Caleste. Matanya berkilat marah. Dia akan dibawa ke pengadilan, untuk menerima hukuman yang setimpal.
"Hanya seorang ksatria biasa, berani menyerang bangsawan. Sungguh cari mati."
"Duke Agriente akan marah mendengar hal ini." Para bangsawan terus berbisik. Mereka mencemooh kebodohan ksatria itu, yang hanya menggunakan sedikit otaknya.
Caleste mengernyit saat ia menekan lukanya dengan sapu tangan. Itu cukup sakit sejujurnya. Darah yang keluar cukup banyak. Caleste beruntung karena tusukannya tidak berada di titik yang fatal.
"Aku akan mengobati lukamu." Suara halus itu terdengar lebih seperti perintah dibandingkan permintaan.
Orang-orang menoleh. Putri kedua Inkarsia, Hellen. Mereka langsung menunduk memberi penghormatan. Ia adalah satu-satunya anak perempuan raja yang bisa menggunakan sihir dengan banyak aliran. Sihir penyembuhan yang ia miliki juga berada di tingkat atas.
Caleste menatap gadis itu dengan sebelah alis yang terangkat. "Aku tidak mau." Ia menjawab pendek.
Orang-orang menatap Caleste dengan mata terbelalak. Menolak kebaikan sang putri, termasuk sebuah kejahatan yang tidak tertulis.
"A-apa maksudmu?"
"Sejujurnya, aku lebih suka diobati oleh Nona Leira dibandingkan menggunakan sihir yang akan menghabiskan banyak energi anda." Caleste menjawab dengan acuh. Ia melemparkan sapu tangan Alberto yang telah basah oleh darah.
Dari tempatnya, Caleste dapat melihat Leira yang berdiri di podium sejak tadi dengan wajah tidak peduli memasang ekspresi kaget.
"Anda bersedia kan Nona." Caleste tersenyum dengan sangat manis pada gadis yang masih berdiri di atas podium.
****
Alo!
Saya baru kembali dari liburan semester yang lumayan panjang, jadi baru bisa update.
Semoga suka!
Makasih buat yang udah mau mampir dan baca.
Love u<3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top