Bab 2
Leira memiliki serangkaian kegiatan yang harus ia lakukan hari ini. Sebagai pemilik darah emas, tubuh Leira lebih lemah dari kebanyakan orang. Sedikit udara dingin di musim gugur dengan mudah membuatnya flu.
Oleh karena itu, setiap seminggu sekali Leira harus pergi ke kuil untuk mendapatkan obat dan energi suci dari pendeta agung agar stress yang Leira alami tidak bertambah buruk. Stress dapat mempengaruhi sistem imun tubuhnya, yang telah lemah sejak awal.
Leira merapatkan jubah yang membungkus tubuhnya. Ia menunggu pendeta agung yang sedang mengobati beberapa bangsawan, di dampingi oleh pelayan dua pengawal dan Count Erkan yang bertanggung jawab atas keselamatannya.
"Maaf membuat anda menunggu Nona Leira, saya memiliki banyak pekerjaan yang harus di selesaikan terlebih dahulu."
"Tidak masalah." Leira tidak keberatan menunggu. Mentransfer energi suci, menyita cukup banyak waktu. Pendeta agung setidaknya harus menyelesaikan pekerjaan penting, sebelum menemui Leira.
"Kalau begitu, mari saya antar anda ke ruangan Saintes." Suster itu mengulurkan tangannya. Leira meraihnya tanpa keraguan.
"Kami akan menunggu anda disini, seperti biasa Nona." Marianne, pelayannya melambaikan tangannya.
Leira mengekor di belakang pendeta, yang membawanya ke ruangan Pendeta Agung. Ruangan yang di gunakan untuk Leira, selalu tempat khusus yang sulit dijangkau oleh orang-orang.
"Silahkan Nona, saya akan menunggu di luar."
Leeira hanya mengangguk, ia mendorong pintu bercat coklat dihadapannya. Ruangan di dalamnya cukup luas dengan nuansa putih. Ada beberapa lemari berisi obat-obatan dan beberapa dokumen tersimpan dengan rapi.
"Selamat pagi Nona Leira, anda terlihat lebih segar dibandingkan minggu lalu." Pendeta Agung Agnes menyapanya dengan ramah.
"Bagaimana kabarmu selama seminggu ini?"
"Biasa saja." Leira naik ke tempat tidur, ia duduk dengan kaki menggantung. Matanya memperhatikan Agnes yang sibuk mencampurkan beberapa cairan.
"Baiklah, kita mulai saja. Tolong minum ini." Agnes menyodorkan gelas kecil berisi sesuatu yang tadi ia buat.
Leira menerimanya dengan enggan, lalu meminumnya dengan wajah berkerut. Cairan itu berbau harum, namun rasanya benar-benar mematikan indera perasa. Perasaan tenang dan nyaman menghampiri Leira setelah minuman itu melewati tenggorokannya.
"Silahkan berbaring, saya akan menyalurkan energi suci pada anda."
Leira menurut. Ia berbaring di atas ranjang dengan nyaman. Tubuhnya terasa melayang saat energi suci dialirkan ke tubuhnya.
"Kau bertemu dengan seseorang kemarin, apa itu benar?"
"Mhm."
"Siapa namanya."
"Caleste Agrient."
"Apa yang dia bicarakan padamu?" Agnes terus melemparkan pertanyaan. Wajahnya mengulas senyuman manis.
"Dia bilang aku cantik dan berjanji akan membawakan ku kucing." Leira berkedip lugu.
"Apa tanggapan mu tentangnya?"
"Dia cantik, tapi seorang penjahat."
"Yah, jadi jauhi dia oke?"
"Mhm."
***
Caleste menatap tumpukan kertas dihadapannya dengan ekspresi jelek. Pekerjaan yang tidak ada habisnya, membuatnya benar-benar kesal dan ingin memukul orang-orang menyebalkan. Seperti Alberto misalnya.
"Hanya mengurus hal sepele seperti ini saja kau tidak berguna." Caleste menggerutu pedas.
"Tapi tulisan tangan saya tidak secantik tulisan anda Tuan Muda."
"Meniru gaya tulisan tangan seseorang adalah hal yang sangat dasar, saat aku berusia delapan tahun ada ratusan surat yang aku kirimkan pada orang-orang dengan menggunakan nama ayahku." Caleste mendengus.
Itu karena kau bajingan yang mengerikan. Alberto ingin meneriakkan serangkaian makian untuk Caleste, namun ia menahannya mengingat atasannya adalah seorang penderita gangguan jiwa.
"Jika saja kau sama dengan manusia yang hanya bisa membebani bumi seperti orang-orang di luaran sana, aku sudah menendang mu dari hadapan ku sejak lama. Bersyukurlah, karena aku bukanlah orang yang tidak memiliki hati."
Alberto yang berdiri di sudut ruangan, hanya mampu tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri di dalam hati. Memiliki atasan seperti Caleste terkadang, tidak menyehatkan untuk jiwa dan raganya.
"Bagaimana perkembangan perdagangan senjata ke kerajaan Hollras?" Caleste bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas. Tangannya dengan cekatan memilah surat penting yang hanya membutuhkan tanda tangannya, dan laporan yang harus ia periksa dengan teliti sebelum menandatanganinya.
"Cukup baik, ada beberapa kendala karena pengiriman barang ke Hollras menghabiskan banyak waktu."
"Jalan mana yang diambil?"
"Desa Arkana, jaraknya satu hari dari wilayah Agrient."
"Hngh, aku sudah mendiskusikan pembangunan jalan di hutan Albana dengan ayah sebagai jalur perdagangan. Dia menyetujui rencana itu dan akan memberikan kucuran dana yang besar, bagaimana menurutmu?" Caleste memutar kepalanya. Menatap Alberto yang berdiri di sudut ruangan.
"Itu ide yang hebat, hutan Albana berada di wilayah kekuasaan Agrient. Jarak antara Albana ke Hollras lebih dekat dibandingkan dengan Desa Arkana. Kita juga bisa memasang pajak jalan untuk pedagang yang ingin menggunakan jalan itu."
"Itu hebat bukan, aku baru saja memikirkan ini beberapa hari lalu. Pajak masuk ke Desa Arkana benar-benar mahal, para penduduk juga benar-benar sombong dan menjengkelkan. Jika kita membangun jalan di Albana, dan memasang pajak lebih murah dibandingkan Arkana. Desa itu akan hancur karena para pedagang akan menggunakan jalan kita yang lebih dekat dan lebih murah." Caleste menjelaskan dengan panjang lebar. Wajahnya menunjukkan kebanggaan yang tidak akan dimiliki oleh siapapun.
"Tapi bukankah membangun jalan dari Agrient menuju perbatasan Hollras akan menghabiskan banyak materi?" Meskipun Agrient adalah keluarga yang kaya. Membangun jalan yang memotong hutan besar seperti Albana, merupakan proyek skala besar.
"Kau ingat tambang batu Count Efran yang aku beli di pelelangan Minggu lalu?"
"Ah, saya mengerti. Anda sudah merencanakan semuanya dengan sempurna ternyata." Alberto mengangguk paham. Ia mengerti kenapa ide membangun jalan itu bisa muncul di kepala Caleste.
"Berikan ini pada Ayahku." Caleste menyerahkan tumpukan laporan yang telah ia periksa pada Alberto.
"Anda sudah menyelesaikannya?" Alberto bertanya dengan takjub.
"Hanya orang bodoh yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengerjakan pekerjaan seperti ini."
Alberto menahan keinginannya untuk memutar bola matanya, mendengar omong kosong Caleste. Selain ayahnya, semua orang normalnya memeriksa delapan laporan penting dalam waktu yang lama.
"Ngomong-ngomong, cari tahu perempuan bernama Leira yang tinggal di istana."
"Leira? Maksud anda gadis pemilik darah emas."
"Darah emas?" Caleste membeo dengan tatapan bingung.
"Benda yang dikirim oleh istana setiap dua hari sekali, namun selalu anda buang karena tidak membutuhkannya." Alberto menjelaskan sama bingungnya. Tidak biasa untuk mendapatkan tugas dari Caleste, untuk menyelidiki seorang perempuan.
"Apa Leira yang kau maksud memiliki rambut putih, kulit pucat dan wajah cantik?"
"Hngh, saya tidak terlalu yakin. Terakhir kali Nona Leira terlihat masih memiliki rambut hitam. Itu saat acara keagamaan dua tahun lalu."
"Kenapa aku tidak tahu."
"Bukankah anda bilang jika semua perempuan di dunia ini terlalu jelek untuk anda lirik?" Alberto berucap dengan miris.
"Tapi dia cantik, keberadaannya mencolok diantara manusia lainnya." Caleste cemberut. Tidak terima jika ternyata, Alberto telah lebih dulu mengetahui keberadaan Leira dibandingkan dirinya.
"Nona Leira hanya keluar dari istana saat ada acara keagamaan. Sedangkan anda seperti manusia tidak beragama yang bahkan tidak pernah berdoa, bahkan saat pergi ke medan perang." Alberto tersenyum masam.
"Pantas saja aku hampir tidak pernah melihatnya." Caleste bersenandung bahagia.
"Kapan acara keagamaan selanjutnya dilangsungkan?"
"Dua minggu lagi, anda ingin menghadirinya?"
"Tentu saja, sebagai pendosa setidaknya aku harus menghadiri acara itu untuk menyucikan jiwaku yang sudah ternoda." Caleste tertawa senang. Terlihat menakutkan di mata Alberto.
***
Leira berkedip pelan. Matanya berkunang-kunang, efek dari menerima energi suci. Tubuhnya juga terasa sedikit melayang dan ingatannya tertata dengan berantakan. Ia mengerutkan keningnya.
"Berapa lama aku ada disini?"
"Mungkin sekitar dua belas jam."
Leira memperbaiki posisinya. Ia duduk dengan wajah linglung.
"Saya akan melakukan pemeriksaan kedua, tolong ulurkan tangan anda."
Leira menurut. Agnes mengeluarkan sebuah jarum perak kecil berwarna, ia menusukkannya tepat di nadi Leira. Mendorong benda itu perlahan kedalam. Saat jarum itu kembali dikeluarkan, warnanya telah berubah warna menjadi hitam.
Agnes mengulas senyum lebar. "Selesai, terimakasih atas kerjasama anda Nona."
"Ya, tidak masalah." Leira diam-diam mengeluh dalam hati. Ia benar-benar tidak menyukai hal ini. Setiap selesai menerima energi suci, pikirannya menjadi lebih tenang namun tubuhnya terasa lebih berat.
"Kalila, antar Nona Leira pada Count Erkan." Suster yang tadi mengantar Leira, masuk kedalam ruangan.
"Baik. Mari Nona." Suster itu dengan sabar menuntun Leira berjalan.
"Rasanya, aku semakin lemah tiap harinya." Leira mengeluh pelan.
"Itu adalah efek memiliki darah, seperti yang anda ketahui jika anak-anak yang terlahir dengan darah biasanya meninggal saat berusia empat tahun. Sebuah keajaiban anda bisa bertahan sampai dewasa."
Leira bergumam sebagai jawaban. Suster terus menuntunnya keluar dari ruangan itu. Tidak terlalu jauh dari pintu, Marianne dan Count Erkan telah menunggunya.
"Biarkan aku yang membawanya." Count Erkan mengangkat tubuh Leira. Gadis itu terlihat seperti akan jatuh kapan saja.
"Terimakasih atas kunjungan anda Nona." Suster melambaikan tangan pada mereka.
Leira menyandarkan kepalanya. "Kepalaku sakit." Ia mengeluh pelan.
"Itu pasti efek obat yang anda konsumsi." Count Erkan menyahuti keluhan Leira.
"Aku ingin memuntahi wajah seseorang." Leira berkedip polos saat Count Erkan menghentikan langkahnya. Pria yang dua belas tahun lebih tua darinya itu, menatap Leira dengan mulut setengah terbuka.
"Anda tidak bisa melakukan hal itu." Count Erkan melanjutkan langkahnya. Menjadi penjaga Leira sejak gadis itu masuk ke istana, ia cukup tahu bagaimana perangai gadis itu. Sedikit tidak sopan dan terlalu blak-blakan.
"Aku tahu, tapi kali ini aku serius." Bibirnya yang pucat mengulas senyum pahit.
"Orang-orang di dunia ini, pantas untuk aku muntahi." Itu hanya bisikan kecil, namun Count Erkan dapat mendengarnya.
"Mereka busuk, menjijikan para bajingan yang tidak seharusnya menyentuhku."
Suaranya kecil namun penuh dengan kebencian yang mendalam. Count Erkan tidak menjawab. Bagi orang-orang, Leira adalah seorang dewa dan pahlawan yang harus menyelamatkan mereka dari sebuah kematian. Namun dari sudut pandang Leira, ia hanyalah gadis lemah yang dikelilingi oleh monster.
Leira hanyalah anak berusia tujuh tahun saat ia dipaksa untuk menjadi seseorang yang memberikan keabadian, pada orang-orang. Ia dipaksa meninggalkan dunia penuh warnanya sejak dini. Di usianya yang keduapuluh dua, tubuh Leira telah dipenuhi oleh bukti keserakahan manusia.
Leira tidak bisa memilih jalan untuk hidupnya sendiri. Itu sangat menyedihkan.
***
Aloo!
Saya nggak tahu ini ada yang baca atau nggak, but love you buat yang udah luangin waktu dan baca cerita ini.
See u next time ~(つˆДˆ)つ。☆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top