Bab 10.2
Upacara kedewasaan para bangsawan muda selalu dilakukan di istana, setiap tahunnya. Acara itu dilakukan sebagai salah satu bentuk usaha untuk menjalin lebih banyak relasi, antar bangsawan muda di masa depan sekaligus memperkenalkan mereka di pergaulan kalangan atas.
Acara ini sangat penting, karena setiap gerak-gerik yang dilakukan bangsawan muda akan menjadi kesan pertama mereka dan penentu bagi masa depan mereka.
Caleste telah melakukan upacara kedewasaan sembilan tahun lalu. Ia melakukannya saat diusia lima belas tahun, dua tahun lebih cepat dari kebanyakan orang. Namun meskipun begitu, ia tetap diwajibkan untuk tetap menghadiri acara ini karena bersamaan dengan ulang tahun raja.
"Hah, tempat ini sedikit panas." Carla mengibaskan kipasnya.
Karena Caleste tidak memiliki kekasih untuk dijadikan partner, ia selalu datang bersama ibunya. Persetan dengan orang-orang yang menganggapnya seperti anak kecil. Caleste suka menjadikan ibunya partner, dia masih sangat cantik.
"Saya memberi salam pada nyonya Duchess dan Duke muda." Seorang wanita tiba-tiba menghampiri mereka dengan senyuman lebar, di belakangnya seorang gadis muda mengikutinya dengan wajah malu-malu.
"Countess Rogan." Carla memberi sapaan dengan senyuman hangat, Caleste mengangguk singkat.
"Sudah lama sejak saya melihat anda di pesta kebun yang Ratu adakan."
"Ya, akhir-akhir ini aku sedang sibuk jadi tidak sempat keluar dari rumah."
Caleste memperhatikan interaksi antara ibunya dan Countess Rogan dengan wajah bosan. Ibunya merupakan salah satu wanita dengan pengaruh besar, di kalangan nyonya bangsawan tida heran jika keberadaannya selalu dicari-cari.
Belum lagi, penampilannya yang sangat unggul benar-benar menjadi magnet kuat yang menarik banyak orang.
Caleste sering mendengar cerita dari kakeknya, tentang masa muda ibunya yang benar-benar penuh dengan pernyataan cinta dari lelaki. Ibunya telah membakar banyak surat lamaran tanpa berkedip sekalipun. Cesar adalah laki-laki beruntung yang bisa mendapatkan wanita secantik ibunya.
"Caleste. Kau masih ingat dengan Rosalia, teman main mu saat kau masih kecil? Dia baru saja pulang dari Hollras setelah lima tahun belajar di sana." Carla menarik lengan baju putranya.
"Ah....." Caleste melirik perempuan yang berdiri di samping Countess Roga sekilas. Ia tidak ingat sama sekali.
"Tidak, sejujurnya aku benci mengingat semua anak perempuan yang pernah hadir di masa laluku. Jadi tidak ada satupun dari mereka yang aku ingat." Caleste menjawabnya tanpa ragu. Wajah gadis itu terlalu pasaran, Caleste benar-benar tidak bisa mengingatnya.
"Ya Tuhan, kau memang selalu seburuk itu saat mengingat seseorang. Jangan dengarkan Caleste, dia suka berbicara omong kosong." Carla tertawa sambil mengibaskan kipasnya. Countess Rogan dan putrinya ikut tertawa dengan canggung.
"Aku akan pergi mencari angin segar." Celeste meletakkan gelas minumannya sembarangan. Ia harus segera keluar. Harga dirinya akan terluka jika ia terlihat bergaul dengan para wanita.
"Ya, segeralah kembali."
Caleste meninggal ibunya, yang diiringi dengan tatapan kecewa dua wanita lain.
"Hah, pesta adalah tempat yang menyebalkan." Caleste butuh angin segar. Berada di ruangan yang penuh dengan manusia, dan tatapan serakah para bangsawan membuat orang suci seperti Caleste merasa kotor menghirup udara yang sama dengan mereka.
Tempat sempurna untuk menghirup udara yang bersih dan segar, adalah balkon. Caleste menatap pemandangan sekitar untuk beberapa saat sebelum akhirnya menaiki pembatas dan melompat ke sisi lain. Jaraknya cukup jauh, namun tidak ada yang tidak bisa Caleste lakukan.
"Heh, aku seharusnya melakukan ini sejak awal. " Caleste kembali menaiki dinding pembatas balkon. Ia terus melompat dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Menghindari mata para penjaga istana.
Tujuannya adalah kastil di bagian barat istana. Tempat tinggal Leira.
Caleste melompat turun dan mendarat tepat di taman yang menjadi tempat pertama kali ia bertemu dengan Leira.
Caleste seharusnya menyelinap langsung saja saat kumpulan orang tidak berguna, mencoba menghalanginya di pintu utama saat mendatangi tempat ini untuk kedua kalinya.
Setelah memeriksa sekitar, Caleste melenggang masuk kedalam kastil. Dari luar, penjagaan benar-benar ketat sangat berbanding terbalik dengan keadaan di dalam.
Karena tidak mungkin untuk masuk ke kamar Leira lewat pintu depan, Caleste harus memanjat pohon agar bisa melompat ke balkon kamar Leira. Caleste tidak akan melakukan sesuatu yang aneh, ia hanya akan melihat sebentar lalu kembali ke tempat pesta.
Caleste hanya penasaran. Sungguh.
"Nona, saya akan meyimpan makan malam anda di meja." Suara pelayan Leira terdengar, saat Caleste hendak mengintip.
Leira belum tidur, padahal ini sudah cukup larut.
Butuh beberapa waktu menunggu pelayan Leira, keluar dari ruangan. Namun, belum sempat Caleste mengetuk pintu balkon. Seekor kucing putih, yang ia berikan pada Leira munggu lalu mendesis seolah-olah melihat musuh yang sudah lama tidak ia temui.
Kucing sialan itu!
"Apa yang kau lakukan di sana, datang ke kasur."
Di kamar, Leira berbaring di atas kasur dengan tubuh yang di tutupi oleh selimut. Ia melihat kucingnya yang terus mendesis ke arah balkon. Leira ingin memeriksa apa yang terjadi, namun kakinya mendadak mati rasa memikirkan ia harus melangkah.
"Siapa itu?" Leira bertanya dengan dingin. Bayangan seseorang yang berdiri di balkon, membuat Leira sadar jika ada seseorang di sana—entah itu manusia atau bukan.
"Tentu saja aku."
Caleste. Bajingan satu itu, berdiri di balkon dengan seringai lebar.
"Apa yang kau lakukan disini?" Leira menatap datar Caleste.
"Tentu saja untuk melihat wajah cantikmu." Caleste menyeringai semakin lebar. Ia hendak menarik pintu balkon, namun terkunci.
"Jangan masuk."
"Hah, kenapa? Kau tidak merindukan ku setelah satu Minggu berpisah?" Caleste bertanya dengan wajah yang dibuat terlihat terluka.
"Heh, tentu saja tidak. Aku khawatir kau akan langsung memotong leherku begitu pintu itu terbuka." Leira bergeser dari posisinya ke ujung ranjang. Lebih dekat ke arah balkon.
"Kenapa aku akan memotong lehermu?" Caleste bertanya dengan panik. Apa seseorang memberitahu tentang rumor jika Caleste membunuh semua wanita yang ia dekati?
"Bajingan sombong seperti mu, mungkin merasa sakit hati setelah aku tampar kemarin. Lalu kau datang ke sini setelah memikirkan serangkaian penyiksaan yang akan kau lakukan padaku." Leira tidak melemparkan tuduhan tanpa dasar. Di dalam novel, Caleste adalah orang jahat bahkan sebelum menggila karena sakit hati.
"Khusus untukmu, aku akan memberikan pengecualian dan tidak akan membunuhmu bahkan jika kau menampar ku lagi. Sekarang buka."
"Sejujurnya, meskipun menyenangkan melihatmu berada di sekitarku. Saat ini aku sedang tidak ada dalam suasana hati yang baik untuk meladeni mu."
Dari kasur, Leira dapat melihat Caleste yang menetralkan ekspresinya. Lelaki itu menarik kursi di balkon ke posisi dimana ia bisa melihat Leira dengan jelas.
"Aku tidak tahu apa yang menimpamu hari ini, aku bisa membantu menaikkan suasana hatimu sampai kau bisa dengan sukarela mengijinkan aku masuk ke kamar."
"Ceritakan tentangmu," ucap Leira tiba-tiba.
"Kenapa aku harus?"
"Aku hanya ingin tahu bagaimana dirimu dari sudut pandang mu sendiri."
Caleste, manusia paling narsis di dalam novel. Penulis mengambil sudut pandangnya saat Caleste menunjukkan sisi jahat dan menyebalkannya saja. Leira cukup penasaran apa yang Caleste pikirkan tentangnya.
"Kenapa aku harus bercerita tentang ku?"
"Jika kau tidak ingin menceritakan itu, maka enyah lah."
Caleste memandang Leira dengan bingung. "Sejujurnya tidak ada yang menarik tentangku. Sejak bisa menulis dan membaca sendiri, yang aku lakukan adalah membaca banyak buku di perpustakaan. Lalu saat berusia tujuh tahun, aku pergi ke akademi."
"Bukankah usia tujuh tahun terlalu kecil untuk pergi ke akademi?" Di Inkarsia, normalnya bangsawan akan mengirim anak mereka ke akademi saat berusia sembilan atau sepuluh tahun.
"Itu karena tidak ada yang menarik di rumah, dan aku juga menghindari latihan pedang bersama ayahku yang gila."
"Kenapa? Ayahmu adalah pahlawan perang, banyak orang yang ingin diajari langsung olehnya. Kau benar-benar anak yang tidak bersyukur!"
Caleste melengos. "Dia adalah guru yang buruk, aku tidak pernah suka belajar darinya."
"Lagipula, saat kecil aku berencana untuk menjadi salah satu menteri di Inkarsia. Jadi berlatih pedang di akademi juga cukup. Aku hanya perlu lebih giat belajar, agar bisa menjadi menteri." Cita-citanya saat kecil muncul, karena kakeknya merupakan mantan menteri keuangan. Caleste menyukainya karena kakeknya adalah orang yang luar biasa.
"Cita-citamu cukup unik untuk anak berusia tujuh tahun. Jadi, sekarang kau adalah seorang menteri?"
"Tidak, itu hanya impianku saat kecil. Menjadi menteri, artinya aku bekerja di bawah raja. Aku tidak suka bekerja menjadi bawahan."
"Lalu apa yang kau lakukan setelah lulus dari akademi?"
"Belajar menggunakan pedang dengan ayahku. Aku tidak memiliki mana atau kekuatan suci, sebagai kemampuan khusus. Jadi aku harus menjadi seorang ahli pedang, agar tidak menjadi manusia tidak berguna." Hari dimana Caleste lulus dari akademi adalah pertama kalinya ia merasakan kecewa.
Sejak kecil, Caleste selalu di beritahu jika ia adalah anak yang spesial. Ayahnya adalah pahlawan perang dan ibunya merupakan wanita tercantik di Inkarsia. Ia terlahir dari keluarga yang sangat kaya, yang secara otomatis membuatnya memiliki kehidupan sempurna.
Mendapati dirinya menjadi orang yang tidak memiliki bakat spesial, membuat Caleste kecewa. Ia bahkan cemburu pada sepupunya—Theodore, karena memiliki energi suci yang melimpah.
"Karena kau anak yang pintar, seharusnya itu lebih dari cukup untuk menjadi manusia berguna."
"Ya, aku tahu. Aku hanya kesal karena aku tidak memiliki apa yang mereka miliki."
"Ck, betapa ambisiusnya." Leira mencemooh.
"Ngomong-ngomong kau sudah terlihat sedikit lebih santai. Apa sekarang kau akan mengizinkan aku masuk?" Caleste menatap Leira dengan mata yang berkilau penuh harapan dan senyum manis yang sering anak kecil gunakan.
"Heh, tidak akan. Ini sudah malam dan aku akan segera tidur, kau bisa datang kesini lain kali." Leira menyeringai lebar.
"Hei!"
"Kucing kemari, sekalian tutup tirai balkon." Kucing putih yang awalnya hanya duduk memperhatikan Caleste dengan penuh permusuhan, kini berjalan dengan angkuh seraya menggigit ujung tirai.
Sebelum tirai sepenuhnya tertutup, kucing putih menatap Caleste lalu membuang muka sebelum akhirnya menutup tirai sepenuhnya.
Kucing sialan itu baru saja mengejek Caleste!
***
Ini tuhh lanjutan bab yang kemarin, karena terlalu pendek. Waktu itu nggak di publish di satu bab karena hilang dan aku males ketik ulang udah gitu lagi sakit mata juga.
Terus inget kalau tiap bab yang ada di publish, selalu aku salin dan simpan di drive. Dan untungnya aku sempet salin bab 10 ke drive, jadi sisa bab 10 yang nggak ke publish masih ada.
Anyway, aku masih hiatus sampai dua Minggu ke depan yaa.
Makasih buat yang udah nungguin.
See u next chapter~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top