What Are The Odds?
"You waited too long to make your move and now you're in The Friend Zone." – Joey Tribbiani
***
"Hai, Mel," begitu kata perempuan blasteran dengan kulit kecoklatan. Rambut yang tebal dan berombak ia warnai dengan warna cokelat gelap dan ia biarkan terurai. Matanya agak sayu, bibirnya sedikit tebal. Sekilas dia terlihat seperti orang yang galak, judes dan mudah kesal. Tapi tak lama setelah ia bersuara, Melisa ternyata adalah orang yang murah senyum dan sangat menyenangkan. Tubuh Alva yang tinggi besar dapat diimbangi dengan tingginya. Membuatnya dan Alva nampak sangat serasi.
"Hai Mel ..." balas Ranti dan Salsa bersamaan. Mereka terpana dengan penampilan Mel. Sepakat sudah, ini adalah cewe Alva yang paling cantik! Sofia kelaut saja kalau dibandingkan dengan cewe ini!
"Akhirnya dikenalin juga gue sama cewe-cewe Alva yang lain," kata Mel sambil menyenggol lengan Alva dengan bahunya. Alva hanya melirik sambil tersenyum malu.
"Hah? Cewe-cewenya? Sok laku lo, Va!" kata Salsa sewot. Gengsinya tidak bisa menerima dinyatakan sebagai pendamping sampingan Alva.
"Emang laku gue mah," jawab Alva cuek.
"Ya asal bukan laku karena obralan ya, Va," celetuk Ranti jahil, membuat Salsa dan Melisa tertawa. Alva hanya tersenyum dan menunduk. Melisa melihat Alva bingung, kok malu-malu sih?
Sore itu dihabiskan dengan interogasi yang cukup hangat. Melisa cepat sekali nyambung dengan Ranti dan Salsa. Mereka sibuk mengobrol meskipun Alva dan anak band-nya sedang tampil di kafe itu. Ranti dan Salsa bergantian meng-update Melisa dengan kisah-kisah memalukan Alva sejak SMA sampai saat ini, diikuti dengan cerita Melisa tentang cara Alva mendekatinya. Lalu mereka tertawa bersama, seperti tiga kawan lama.
Bagi Ranti Melisa seperti segelas cokelat hangat. Menyenangkan, menghangatkan. Benar kata Alva, Ranti menyukai pacar Alva yang sekarang. Sedikit lebih kalem dari Salsa, tapi mungkin itu karena mereka baru kenal. Bercandaan mereka nyambung dan dia tidak membangun tembok dengan Ranti dan Salsa. Di samping itu semua, Melisa nampak sangat mencintai Alva. Ranti bisa melihatnya di binar mata Melisa ketika perempuan itu menyebut naman Alva. Sewaktu mengobrol dengan Mel, tiba-tiba keinginan Alva yang mau memacari cewe cantik dan humble itu jadi terasa masuk akal bagi Ranti.
"Good job, Va!" bisik Ranti sambil mengangkat jempolnya diam-diam pada Alva di belakang Melisa saat dia dan Salsa pulang duluan setelah Alva manggung malam itu. Alva tentu ingin menghabiskan malam minggu itu berdua saja dengan pacarnya sehingga kedua sahabatnya itu menyingkir. Alva membalas dengan senyum, tapi ada yang ganjil terasa di dadanya. Padahal cewe pilihannya lolos dari penilaian Ranti dan Salsa. Biasanya hal tersebut membuatnya lega, malah sedikit bangga karena sudah dianggap lolos standard kedua perempuan yang selalu dianggapnya hebat itu.
"Ranti sama Salsa tuh baik banget ya, Va," kata Melisa sambil menyantap makanannya saat sedang makan malam berdua dengan Alva malam itu.
"Itu karena kamu yang baik, Sayang," jawab Alva sambil menatap pacarnya. Kini perasaan bangga itu muncul, seperti seharusnya.
"Dasar kamu, bisa aja," kata Melisa menjawab manja.
"Mereka berdua ngga akan baik kalo kamunya ngga baik duluan. Percaya deh," kata Alva meyakinkan. Ia ingat betul reaksi Ranti dan Salsa pada Sofia dulu.
"Kalian bertiga tuh deket banget ya?" tanya Melisa santai sebelum menyuap sesendok makanan ke mulutnya.
"Lumayan. Sama lah kayak anak-anak. Kita semua deket dari SMA," Alva menunjuk ringan teman-teman band-nya yang duduk bersama selang beberapa meja dengan mereka.
"Pernah ada apa-apa ngga nih?"
"Apa-apa apa?"
"Loh kok balik nanya sih, Va? Ada deh nih pasti ..."
"Hahaha ... sok detektif kamu! Ngga ada lah ..."
"Tapi mau ada apa-apa?"
"Mau. Sama kamu," jawab Alva sambil meraih tangan Melisa. Nadanya tenang, tapi terasa ketegasan di dalamnya. Entah kenapa jantung Alva berdegup sangat kencang setelah dia mengucapkan hal itu. Semua itu mengalir dari mulutnya secara spontan dan kini ada keraguan di hatinya yang mati-matian ia sembunyikan dari perempuan di hadapannya. Keraguan bahwa itu adalah ucapan yang tepat untuk diucapkan.
Sementara itu, Melisa menatapnya cukup lama tanpa bereaksi apa-apa. Tapi setelah itu Melisa tersenyum.
"Such a lame answer," balas Melisa.
"Lame but true," Alva gigih meyakinkan. Melisa tertawa kecil.
"Kamu selalu tau ya gimana cara ngejawab aku?" Kata Melisa sambil menggeleng pelan. Alva tersenyum puas. Gadis ini selalu dengan jelas menguji Alva dengan cara yang entah mengapa membuat Alva merasa tertantang. Rasanya seperti ada prestasi tersendiri tiap Alva merasa "lulus" ujian dari Melisa. Seperti saat ini.
"Cuma kamu nih, suka bikin ujian yang bikin aku semangat ngerjainnya," kata Alva menyuarakan pikirannya.
"Of course you do. You're good at it," balas Melisa tersenyum sambil mengedipkan matanya pada Alva. Alva langsung tertawa.
Satu lagi keajaiban Melisa bagi Alva. Dia selalu membalikkan posisi dari target gombalan menjadi penggombal. Tapi tidak seperti saat bercanda dengan Salsa, adu gombal dengan Melisa terasa lebih mengalir. Seperti berdansa dalam percakapan manis yang memabukkan. Alva sangat menikmatinya, dia bisa melakukan ini seharian.
Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa ia bisa memutuskan untuk berpacaran dengan Melisa, si gadis pasif agresif yang penuh cinta dan percaya diri. Alva tidak pernah menyukai tipe gadis seperti Melisa sebelumnya. Tapi ternyata setelah dijalani, Alva merasa bahwa ia memilih keputusan yang tepat.
Melisa tahu apa yang dia mau, dan dia mau bersama Alva. Sikap Melisa yang menggoda tapi tegas menarik hati Alva entah sejak kapan. Alva merasa dicintai dan penasaran dalam waktu yang bersamaan. Semua karena perempuan ini. Kini bersamanya, Alva kembali merasakan hangatnya suatu hubungan. Apalagi masih baru pacaran, masih senang-senangnya. Ditambah dengan respon positif dari Ranti dan Salsa, Alva semakin merasa yakin dengan Melisa. Dia tidak menyesal telah memutuskan untuk menjadikan gadis ini miliknya.
***
"Ran, lagi sibuk ngga?" Suara seorang laki-laki mematahkan percakapan Ranti dan Salsa. Ranti menengok dan dia melihat Reza. Senior jurusan yang Ranti tahu saat ini tengah sibuk dengan proposal skripsinya.
"Ngga, Kak. Kenapa?" tanya Ranti penasaran. Mereka memang sudah beberapa kali bertukar pikiran dan Reza sering mengajak Ranti membantu proyek-proyeknya. Ya, Reza memiliki banyak proyek sosial yang diadakan oleh organisasi sosial yang ia bangun.
"Gue lagi mau ikutan kompetisi mobile apps, temanya solusi fasilitas publik. Ikutan mau ngga?"
"Gue bisa bantu apa?" Ranti langsung menghadap ke arah seniornya sementara Salsa lanjut mengobrol dengan teman lain yang berada di sekitar mereka.
"Ngerancang programnya sama bikin proposalnya sekalian sih. Hehehe ..."
"Gue ngga bisa bikin mobile apps, Kak. Kenapa ngga minta temen dari IT aja?"
"Apps-nya nanti dibikinin kalo menang, Ranti. Sekarang kita bikin proposal buat apps-nya dulu. Apa solusi yang bisa kita berikan lewat apps ini dan rencana program kerja setelah launch, yang konseptual dulu."
"Ohh ... kenapa ngajak gue?"
"Gue ngga kebayang ada anak lain yang cukup asyik diajak ngomongin proyek sosial bareng sampe ke tahap implementasinya selain elo," jawab Reza lancar. Ranti tersipu. Dipuji oleh senior yang dikagumi memang menyenangkan.
"Lo bukannya lagi skripsian ya?"
"Proposal skripsi gue udah jadi dan baru semester depan bisa nge-propose. Itu juga gue udah nyolong-nyolong 'bimbingan' sama Mas Eru. Sok-sok ngajak diskusi gitu, hehehe ... makanya ikutan ginian itung-itung ngisi waktu lah," jawab Reza ringan. Ranti menahan nafas, dia selalu tidak habis pikir tentang besarnya kapasitas Reza. Saat dia pikir aktivitasnya sebagai mahasiswa dan pengajar les bahasa Inggris sudah membuatnya cukup kewalahan, Ranti harus dihadapkan oleh laki-laki serba bisa dengan segudang aktivitas itu.
Reza adalah satu dari sedikit laki-laki yang Ranti kagumi. Dengan gaya yang terkesan arogan, Reza selalu percaya diri dalam melakukan sesuatu. Menurut Ranti sih Reza bukan arogan tapi memang berkemampuan tinggi. Apapun yang dia lakukan selalu membuahkan hasil yang gemilang.
Selain sempat menjabat sebagai ketua jurusan dan ketua BEM, Reza juga sering tergabung dalam gerakan lingkungan dan sosial. Reza sudah beberapa kali sukses dalam beberapa proyek antara lain pembangunan jembatan layak sebrang di Desa-desa, zero-waste dengan pengembangan perilaku yang meminimalisir ketergantungan terhadap plastik, sampai menjadi pengajar ke pelosok Indonesia dan berhasil membuat kelas online di sana. Kini Reza pun mengincar lulus dalam waktu tiga setengah tahun dengan title cum laude.
Di tengah semua kegiatannya itu, Reza masih sempat-sempatnya tertarik mengikuti kompetisi. Kompetisi yang ingin Reza ikuti kali ini pun berskala Nasional, dan dalam rangka mengemban misi mengharumkan almamater di kancah Nasional ini dia mengajak Ranti. Ranti merasa sangat tersanjung.
Kalau Ranti ikut serta dan mereka menang, sudah bisa dipastikan mereka akan diundang dalam malam penobatan Mahasiswa Berprestasi (Mapres). Tahun lalu Ranti, Salsa dan Alva menjadi bagian dalam kepengurusan Malam Mapres. Rasanya menyenangkan juga sepertinya kalau tahun ini dia bisa duduk sebagai salah satu Mapres di sana.
Dengan perasaan tegang bercampur bangga akhirnya Ranti menerima tawaran Reza.
***
Ranti dan Salsa sedang sibuk saling goda ketika Alva menghampiri mereka di takor. Dengan tampang penasaran ditambah senyum geli karena kedua sahabatnya itu mengobrol benar-benar seperti tidak menyadari keadaan sekitar, Alva langsung duduk di seberang mereka.
"Ada apaan sih? Berisik tau ngga ..." kata Alva dengan nada ingin tahu.
"Ranti, Va!" kata Salsa seru.
"Kenapa lo, Ran?" tanya Alva.
"Ngga tau nih Salsa, biasa aja kaliii ..." kata Ranti salah tingkah.
"Ranti diajak kerja bareng gebetannya!!" kata Salsa heboh. Serasa ada yang melempar granat ke arah mereka dan meledak tepat di jantung Alva.
"HAH?!" kata Alva spontan dengan pelototan yang penuh rasa terkejut.
"Bukan gebetan gue, apaan sih lo?!" kata Ranti malu. Sialnya Alva melihat seulas senyum terpampang di wajah Ranti meskipun tengah sewot dengan ucapan Salsa.
"Bukan gebetan gimana?! Itu si Reza, Va ... manusia perfect versi Rantiii ... ngajak Ranti ikutan kompetisi Nasional! Ihiy, asyik nihhh ... drama pedekate dimulai! Ranti pedekate take one, rolling, Action!!" Salsa jadi seru sendiri tanpa menyadari pandangan tidak percaya Alva pada Ranti. Perut Alva mulas sementara Salsa sibuk menggoda Ranti dan Ranti pun sibuk menyangkal.
"Ngga usah didengerin, Va! Biasa aja kaliiii ..." Ranti kembali mengulang kata-katanya. Tanda bahwa Ranti memang sulit untuk menyangkal godaan Salsa ... karena godaan itu benar. Alva merasa makin mulas dan matanya terasa panas. Seketika dia merasa tidak enak karena tidak memberi reaksi yang seharusnya.
"Cie Ranti ..." hanya itu yang bisa Alva katakan sambil menarik bibirnya mati-matian sampai wajahnya menyunggingkan senyum. Demi apapun, itu adalah senyum terberat yang pernah Alva lakukan. Alva takut pada dirinya sendiri, pada perasaannya saat ini.
"Udah dong, Va ..." Ranti menunduk malu. Dia tidak menyangkal Alva. Dia bahkan tidak berusaha menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Salsa salah. Bahwa Reza bukan manusia sempurna bagi Ranti. Bahwa Ranti tidak berniat pedekate. Tidak ...
Tentu saja Alva tahu tentang Reza. Senior yang satu itu kelewat aktif dan berprestasi di kampus. Dia pasti ikut serta dalam kepengurusan acara kampus yang biasa Alva dan kedua temannya ini ikuti. Tentu saja Alva tahu bagaimana pandangan Ranti tentang Reza. Bagaimana kekaguman Ranti pada laki-laki yang dianggapnya tak terjangkau itu.
Seketika itu juga Alva tidak jadi merasa lapar. Tubuhnya menolak makanan seperti pikirannya menolak ekspresi Ranti sebagai ekspresi kasmaran pada Reza. Kini Alva menyadari bahwa perasaan itu ada untuk Ranti. Bukan karena dia sedang flu ataupun tidak enak badan.
***
Banyak yang Alva pikirkan di kamarnya sendirian akhir-akhir ini. Dalam rumah yang sepi karena Ayahnya dinas lagi ke luar kota. Sudah nyaris seminggu dia berpikir sendiri tentang perasaannya. Dia sedikit menjauhkan dirinya dari siapa saja. Pesan Melisa dibalas sewajarnya, tapi telepon pacarnya itu tidak pernah diangkat. Beberapa saat kemudian dia akan mengirim pesan kembali untuk meminta maaf.
Benar juga, terlepas dari seberapa seringnya Melisa menghubungi Alva, Alva seolah amnesia kalau dia sudah memiliki pacar. Akhir-akihr ini energinya hanya berpusat untuk memikirkan seseorang: Ranti. Sahabatnya sendiri. Kini mungkin tengah dekat dengan seorang laki-laki. Hal yang seharusnya membuat Alva turut senang, entah kenapa malah membuat dirinya seperti didera asma mendadak berkali-kali.
Ranti dan Reza seharusnya menjadi kabar baik. Toh kemarin-kemarin Alva baik-baik saja saat Ranti dekat dengan laki-laki lain. Dengan Ajie ... Refal ... walaupun Alva ingat kembali bahwa Ranti dan Refal mungkin menjadi alasan utama mengapa ia memacari Melisa. Saat itu Alva merasa butuh pengalihan dan Melisa ... sungguh pengalihan yang terbaik yang pernah dia dapatkan. Mana mungkin Alva menyia-nyiakannya bukan?
Kini Alva berpikiran seperti seorang brengsek. Apa maksud ini semua?? Jangan bilang kalau dia sedang mempermainkan seseorang saat ini. Jangan bilang Melisa hanya pelarian karena dia tidak pernah bisa mendapatkan Ranti?
DEG
Seketika jantung Alva berkedut kencang sekali memikirkan hal itu. sangat kencang sampai-sampai dadanya terasa ngilu. Itukah yang sedang Alva rasakan? Keinginan untuk mendapatkan Ranti? Mengapa harus Ranti?? Mengapa tidak bisa gadis lain???
Apa karena harga diri Alva yang terus merasa tertolak ketika Ranti mengarahkannya untuk mendekati Sofia dulu? Alva memang tidak pernah menceritakannya pada siapapun, tapi dulu Alva sempat merasa bahwa Ranti adalah perempuan manis yang ingin ia miliki. Saat perempuan manis itu berkata bahwa dia tidak memiliki perasaan khusus terhadap Alva, naluri Alva yang pertama kali muncul adalah menyelamatkan muka. Itulah kenapa dia menuruti Ranti untuk mendekati Sofia.
Atau justru karena kini mereka telah menjadi sahabat, makanya Alva merasa semakin kenal dan nyaman dengan perempuan manis itu? Toh Alva selalu merasa bahwa Ranti adalah perempuan yang istimewa. Persahabatan mereka selama ini pun telah membuktikan bahwa apa yang Alva rasakan itu benar. Ranti adalah perempuan yang mengagumkan di matanya. Terlalu mengagumkan sampai-sampai Alva merasa dirinya tidak bisa menjangkau bahkan ujung kaki Ranti. Terlalu menyilaukan sampai-sampai bisa menjadi sahabat dekat Ranti saja sudah membuat Alva merasa beruntung.
Tapi kenapa sekarang persahabatan ini jadi terasa tidak cukup? Kenapa sesak itu datang tiap Alva mengingat Ranti dan sadar bahwa kini mereka tidak bersama?
Dengan gusar Alva bangun dari kasurnya dan segera memanaskan mobil. Alva tidak mampu lagi memikirkan ini semua berlarut-larut. Alva pun berangkat dengan terburu-buru ke rumah Ranti. Perasaannya sudah tidak bisa dibendung lagi. Ia harus tahu apakah dia punya kesempatan. Apakah mereka punya masa untuk bersama. Apa Ranti merasa hal yang sama. Semua itu tidak bisa ia jawab sendiri.
Ketika Alva sampai di depan rumah Ranti, dadanya berdebar sangat kencang. Tangannya dingin dan basah. Tapi alva tidak berniat mundur. Now or never. Alva pun dengan nekat mengetuk pintu rumah Ranti meskipun setiap ketukan seperti menghasilkan gempa dan menggetarkan tubuh besar Alva.
"Hai, Va ..." Ranti membuka pintu. Senyumnya berbaur dengan ekspresi bingung. Kacamatanya melorot sampai nyaris ke ujung hidung dan rambutnya sedang diikat ekor kuda, memperlihatkan lehernya yang ramping dan jenjang. Alva menahan nafas melihat ekspresi manis Ranti ketika gadis itu membenarkan letak kacamata dengan jari telunjuknya.
"Hai ... Ran ... boleh masuk?" balas Alva gugup.
"Boleh, tapi ada Kak Reza ngga apa-apa ya?"
Serasa disambar petir Alva mendengarnya. Jatuh sudah posisi istimewanya sebagai satu-satunya cowo yang pernah menyambangi rumah Ranti.
"Udah nerima tamu cowo lo sekarang," tanya Alva dengan nada menggoda meskipun dalam hati ia mengharapkan penyanggahan dari Ranti. Tapi Ranti hanya menunduk sambil tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya yang memerah. Dada Alva seperti keruh melihat Ranti saat itu.
"Don't smile like that ..." Ngilu, Alva membatin miris menyadari wajah manis itu tersipu bukan untuknya. Setelah ribuan kata manis yang dia tujukan untuk Ranti. Setelah semua perhatian dan gombalannya, Ranti memilih untuk memberikan ekspresi itu kepada orang lain. Tidak pernah Alva merasa babak belur dan tidak berdaya seperti saat ini.
"Yaudah deh gue ngga mau ganggu," kata Alva sambil berusaha tegar. Dipaksakan wajahnya untuk tersenyum walaupun rasanya sudah sekaku semen kering.
"Va," Ranti menahan Alva dengan menggenggam pergelangan tangan Alva. Hati alva berdesir merasakan sentuhan itu.
"Ada apa, Va?" tanya Ranti lembut. Ranti menangkap tatapan yang tak biasa dari Alva. Tatapan sedih dan kesepian kalau Ranti tidak salah menebak. Tapi tidak bisa Ranti tangkap apa sebabnya. Apapun itu, Ranti harus tahu apakah sahabatnya itu membutuhkannya.
"It can wait ..." jawab Alva singkat sambil tersenyum, gelagatnya bersikeras menjauhi Ranti dan sesegera mungkin kembali ke mobilnya. Alva hanya ingin pulang dan kembali sendirian.
***
Alva sangat terkejut menemukan Melisa di depan rumahnya, menunggu entah sejak kapan. Wajah Melisa langsung berseri melihat Alva keluar dari mobilnya. Jantung Alva berdebar melihat senyum tulus itu.
"Mel? Kamu kok di sini?" tanya Alva.
"Nungguin kamu lah," jawab Melisa.
"Kok ngga ngasih tau aku kamu mau ke rumah?"
"Umm ... surprise?"
"But I wasn't at home."
"Ya aku tadinya ngga tau kalo ngga ada orang di rumah kamu."
"Ya makanya kenapa ngga nelpon sih?" Alva buru-buru mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumahnya. Jantungnya berdebar kencang melihat perempuan itu. Perempuan yang seharusnya mendominasi pikirannya, yang harusnya dapat menghentikan keinginannya untuk mendatangi rumah Ranti tadi. Sebersit rasa tidak nyaman muncul di hati Alva saat bertanya-tanya mengapa ia tidak mengindahkan pikiran tentang Melisa tadi?
"Va, aku ngga lama kok," Melisa menahan Alva. Mereka pun berdiri di depan pintu rumah Alva. Melisa menggunakan waktunya sejenak untuk mempersiapkan diri entah untuk apa, yang jelas wajahnya nampak sangat tegang. Alva menunggu dengan debaran yang makin kencang di hatinya.
"I ... wanna give you this," kata Melisa dengan suara yang sedikit bergetar. Tangannya meraih tangan Alva dan menyerahkan sebuah kotak. Alva mengamatinya lebih dekat dan ternyata kotak itu adalah sebuah kotak musik orgel. Alva tersenyum, tertarik dengan benda yang berada di tangannya. Dia memutar tangkai kotak musik tersebut dan perlahan nada-nada terlantun membentuk satu lagu anak-anak yang sangat familiar; You Are My Sunshine.
"I was hanging out with my friends when I saw this. Terus tiba-tiba inget kamu ... Hahaha, ngga jelas banget ya aku," kata Melisa salah tingkah. Alva bisa merasakan ketegangan Melisa, membuat jantungnya berdetak makin kencang.
Lagu ini pernah ia nyanyikan untuk Melisa saat mereka sedang santai dan bermain gitar bersama, berujung dengan duet yang sangat berkesan bagi Alva karena Melisa secara spontan bernyanyi mengimbanginya. Saat itu sebenarnya Alva hanya berniat menggoda Melisa, tapi mereka menjadi seperti saling menggoda lewat musik dan nyanyian itu. Saat itulah kali pertama Alva merasa bahwa ia nyaman dan ingin terus menghabiskan waktu bersama Melisa, meskipun Alva masih menebak-nebak apakah rasa itu cukup untuk menjadikan perempuan itu miliknya.
Kali ini pun secara spontan Melisa datang, memberinya sesuatu dan mengatakan bahwa Melisa baru saja mengingatnya di suatu tempat dan waktu yang random. Getaran di hati Alva tidak terbendung lagi. Tubuhnya tergerak maju dan memeluk perempuan yang tengah gugup dan kikuk di hadapannya. Alva merasakan lengan hangat Melisa yang membalas pelukannya.
"Emang brengsek ngga tau diuntung lo, Va," kutuk Alva dalam hati. Ia makin membenamkan wajahnya di pundak Melisa yang kini makin erat merangkulnya. Seumur hidup Alva belum pernah merasakan dirinya dicintai sebegitu besar oleh seseorang seperti saat ini. Kini rasa bersalah menghantuinya. Ini salah Alva. Karena dia bermaksud jelek dan mengikuti keegoisannya, sekarang perasaannya menjadi tidak keruan begini. Nyaris saja ia menyakiti Melisa, perempuan berharga yang menghargainya lebih dari siapapun.
Entah apa yang ia harapkan dengan mencoba mengungkapkan perasaan yang datang tiba-tiba ini pada Ranti. Padahal perasaannya ini belum pasti, belum tentu sudah ia terjemahkan dengan benar. Lagipula ada Melisa, gadis yang selalu siap untuk berada di sisinya kini. Harusnya ini cukup. Tidak, ini cukup. Ini yang terbaik.
Apapun yang terjadi pada Ranti dan Reza, Alva tidak ingin lagi peduli. Kini dia memiliki Mel, dan Mel memilikinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top