The Six Letters

"I don't want to do things. I want to not do things." – April Ludgate

***

Salsa dan Alva tidak bisa berhenti memperhatikan Ranti dengan penuh takjub. Salsa bahkan sampai terharu. Empat tahunan mereka berteman, akhirnya bisa juga mereka melihat Ranti yang sedang pendekatan dengan seorang cowo. Seperti saat ini, saat sedang tumben-tumbennya mereka sedang bisa berkumpul di rumah Salsa, Ranti malah asyik mengobrol lewat handphonenya dengan Ajie. Kadang sambil terkikik geli. Sampai tidak sadar kalau Salsa dan Alva sudah 10 menit diam memperhatikannya.

"Jadi sekarang lo tunggu apa lagi, Ran?" tanya Salsa jahil setelah gemas melihat Ranti tersenyum-senyum sendiri sambil menatap layar handphonenya. Ranti berusaha menutup-nutupi wajahnya sambil menunduk, membuat Salsa makin gatal untuk menggoda.

"Apaan sih lo?" kata Ranti, sambil menahan cengiran.

"Tunggu ditembak," sahut Alva.

"Berisik ah lo berdua. Ngga segampang itu lah ..." kata Ranti sambil menghamburkan tubuhnya ke kasur Salsa.

"Ngga usah dibikin susah lah, Ran ... dia suka, lo suka, yaudah hajar aja," kata Salsa tidak sabar. dia memang yang paling bersemangat melihat Ranti pacaran.

"Hahaha ... lo sangka maling, dihajar. ngga bisa gitu lah."

"Lo masih takut kutukan lo, Ran?"

"Ng ... ngga juga sih. Gue emang anaknya gini."

"Ginii gimanaaa? Takut pacaran?" tanya Salsa geregetan.

"Ngga takut, gimana ya? Gini yaa, suka sama orang sama mau komit kan beda. ya gue ngga mau aja komit pacaran sama orang yang beda prinsip sama gue. jadi ya gue harus tau dulu dong kita tuh sebenernya se-prinsip apa ngga," Kata Ranti mencoba menjelaskan.

"Ntar kalo keburu ilfil gimana?" tanya Salsa lagi.

"Ya logikanya kalo gampang ilfil berarti ngga bener-bener suka dong. Kalo gitu ngapain diperjuangiiiinnn, Salsa baweeeelll ...." kata Ranti jengah.

"Perjuangin lah! Biar gue bisa liat lo pacaraaaannn ..."

"Yeeeehh!!"

"Menurut lo kalo lo pacaran ntar kayak apa, Ran?" Alva tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Hmm ... kayak apa ya? Ya kayak orang pacaran lah. Gue suka sih kalo diperhatiin sama dimanisin gitu. Gue juga seneng merhatiin orang yang gue suka. Kayak ngasih surprise kecil-kecil gitu. Standard banget ngga sih gaya pacaran kayak gitu? Hehehee ..." kata Ranti ikut berandai-andai.

"Suka diperhatiin sama dimanisin tuh kayak dirayu sama Alva gitu maksudnya?" tanya Salsa setengah bengong.

"Hahahaa! Ya nggak lah! rasanya tuh beda kalo yang ngelakuin cowo yang disuka ..." jawab Ranti spontan. Alva mendelik kesal pada Salsa, "Harus ya diingetin kalo pesona gue ngga mempan buat Ranti?"

"Mempan kok, Va ... buat bikin ngakak," jawab Ranti sambil tertawa.

"Jahat lo. Gue masih suka sedih tiap inget ditolak lo dulu nih," Lanjut Alva memasang wajah murung. Pura-pura tentunya.

"Apaan, adanya juga elo tuh yang lari dari gue demi Princess Sofia ..." sambar Ranti. Seketika itu juga Salsa dan Alva tertawa. Sudah bukan rahasia kalau Ranti dan Salsa tidak begitu suka dengan mantan Alva yang satu itu. Perempuan sok lemah yang haus perhatian. Saking hausnya, saat Alva sibuk belajar untuk UTS dia malah mencari perhatian ke cowo lain. Untunglah Alva masih bisa berpikiran sehat dan putus dari cewe itu setelah ketahuan selingkuh dengan tiga cowo yang berbeda.

Hanya dua bulan mereka berpacaran, tapi setelahnya Alva sempat sulit untuk move on. Alva menghabiskan sisa waktunya di kelas 11 dengan menjomblo. Akhirnya Alva pacaran lagi saat kelas 12 dengan perempuan yang lebih baik meskipun akhirnya mereka hanya berpacaran selama enam bulan dan memutuskan untuk pisah baik-baik karena mau fokus pada kelulusan.

"Digombalin Alva juga not bad kok sebenernya," kata Salsa sambil lalu.

"Oh ya? Kamu suka, Sa?" Alva merespon menggoda. Kemurungan palsunya sudah hilang tak berbekas.

"Humm ... menurut kamu?" Salsa menerima godaan itu sebagai tantangan dan menjawab tak kalah menggodanya.

"Aku sih nurutnya sama kamu aja," Alva menyerang dengan sengit, memanfaatkan suaranya yang biasa ampuh untuk menghanyutkan perasaan perempuan.

"Oh ya? Jadi mau aku apain aja?" Salsa pun tidak mau kalah.

"Emang kamu mau ngapain aja?" Alva mendekat sambil tersenyum.

"Aduuuhh ... Kalian yang adu flirting kok gue yang salting ya dengernya," Ranti memotong. Dia memegang kedua pipinya yang sudah merah padam. Alva dan Salsa menatap Ranti sebentar sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.

"Lemah lo, Ran! HAHAHAHAAA!!" Salsa tertawa puas sementara Alva berusaha berhenti tertawa tapi tidak bisa. Ranti langsung tengkurap di kasur Salsa sambil menutup kepalanya dengan bantal.

***

Hari itu weekend pertama dari libur semester mereka. Sementara Salsa sibuk menghadiri event produk dimana dia menjadi salah satu brand ambassador-nya, Ranti sedang membantu Alva dan band-nya di kafe. Ranti memang sering menjadi manager cabutan kalau mereka sedang sibuk-sibuknya. Mereka sudah nge-band sejak SMA dan selama itu juga Ranti suka diminta membantu membuatkan jadwal manggung mereka, kadang bahkan berhubungan dengan klien dan mendata calon klien untuk di follow up.

"Nih, kasih tau Aldy gue udah pisahin mana yang harus di follow up, mana yang udah gue follow up. Terus itu jadwal buat seminggu ke depan. Padet juga ya, Va," Ranti langsung menyerahkan buku notes dan setumpuk berkas berisi jadwal, formulir-formulir, kontrak dan job list band Alva yang sudah dirapihkan.

"Lo kasih sendiri deh ntar, takut ilang gue. Anaknya sebentar lagi ke sini kok."

"Iya nih, nanti gue beliin file holder deh. Kalo kayak gini bisa kececer. Tuh anak kemana sih? Lagian bisa-bisanya deh ninggalin ini semua gini."

"Technical meeting buat manggung weekend nanti. Itu tandanya dia udah percaya sama lo. Gue sama anak-anak aja ngga pernah dibiarin nyentuh itu semua," jawab Alva. Ranti dan Salsa memang cukup dekat dengan teman-teman band Alva. Mereka senang menggoda Salsa, hitung-hitung cek keberuntungan. Siapa tahu Salsa lagi kesambet dan meladeni mereka.

Sementara Ranti? Sudah dianggap hak miliknya Alva dan Aldy. Istilah itu sempat membuat Ranti merasa risih sih, dia kan bukan barang. Tapi Ranti berusaha tidak terlalu sensitif soal itu karena entah kenapa istilah itu memang hanya keluar satu-dua kali di awal-awal dia menjadi manager cabutan. Tebakannya pasti Alva dan Aldy menegur teman-teman band-nya karena mereka berdua tahu Ranti tidak suka.

"Hai, Ran!" Sapa Ilham, salah satu teman band Alva.

"Ham, lo tau Aldy balik kapan ngga?" tanya Ranti to the point.

"Buru-buru banget sih, Ran. Mau kemana emang?" tanya Alva penasaran.

"Posesif ya si Alva. Hahaha ... Aldy udah mau nyampe kok. Tunggu bentar aja," kata Ilham.

"Gue masih harus ngajar. Tukeran jadwal sama temen gara-gara gue UAS kemaren. Masih sejam lagi sih tapi. Yakin udah mau nyampe kan, Ham?" tanya Ranti.

"Yakiiin ... udah lo duduk aja di sini, kalem," kata Ilham sebelum meninggalkan Ranti dan Alva berdua. Sekilas Ranti bisa melihat Ilham menaik-naikkan alisnya pada Alva, memberi kode. Ranti tertawa melihat kode yang tidak berusaha disembunyikan itu.

"Masih aja anak-anak?" tanya Ranti. Teman-teman band Alva memang selalu terlihat menjodoh-jodohkan Alva dengannya. Mereka sering menggoda Ranti dan Alva, atau membiarkan mereka mengobrol berdua.

"Gue udah berhenti berharap mereka bersikap normal sih kalo ada elo," jawab Alva sambil tertawa pelan, "Can't blame them, though. We do look good together, Don't you think?"

"Yea, probably," jawab Ranti cepat sambil memeriksa handphonenya.

"What? Why probably?" tanya Alva seperti tidak rela.

"Kenapa emang? Mau banget keliatan cocok sama gue?" jawab Ranti asal.

"Either you agree or disagree. There's no in between," kata Alva berusaha mencari perhatian Ranti.

"Di opsi jawaban survey sering kok ada kolom buat "Maybe". Di undangan nikahan aja ada," kata Ranti masih dengan mata terpaku pada handphonenya.

"'Maybe' is nothing, Ran. Orang yang milih 'maybe' tuh ngga dapet skor, kayak golput gitu lah," Alva berargumen, membuat Ranti sulit berkonsentrasi.

"Technically, 'Mungkin kita keliatan cocok' kedengeran masuk akal buat gue. Gue mana tau asumsi orang-orang tentang gue? Masa harus gue tanyain satu-satu?" Ranti akhirnya menyerah dan berkonsentrasi pada Alva.

"Tapi gue kan ngga nanya pendapat orang. Gue nanyanya pendapat lo," Alva berargumen sengit.

"Hmm ..." kata Ranti ringan sambil kembali mengecek handphonenya dan sedikit mengetik-ngetik, "Gue pribadi sih ngerasa harusnya kita ngga cocok. Tapi di sisi lain kalo ngga cocok ngga temenan dong ya kita. Agree deh," kata Ranti mengelaborasi jawabannya.

"See? You get my point ... " Alva tersenyum puas sementara Ranti tertawa. Hanya dengan Ranti Alva bisa merasa nyaman mengobrol tentang hal teknis tapi remeh temeh seperti ini. Orang lain sudah keburu malas pasti.

"Lagi ngobrol sama Ajie ya lo?" tanya Alva penasaran.

"Hah? Ngga, kok. Itu temen gue lagi ngingetin gue buat kelas nanti. Sama dia tuh ngasih tugas buat anak-anaknya," Jawab Ranti buru-buru mengetik di handphonenya lalu memasukkannya ke saku celana.

"... Ooooh, sangkain ..." Kata Alva sambil mengangguk-ngangguk.

"Gue ngga selalu ngobrol sama Ajie kali tiap gue liat hape," kata Ranti sedikit salah tingkah. Alva langsung tertawa sendiri. Wajah Ranti mudah memerah kalau sedang malu. Karena itu walaupun dia pintar dia sering sekali menjadi bulan-bulanan Alva dan Salsa. Setelah puas tertawa, Alva kembali menghadap Ranti.

"Menurut lo dia gimana?" tanya Alva penasaran.

"Gimana apanya?"

"Is he 'the one'?"

"I think I'm not there yet ... gue belum ngerasa dia 'the one' sih kayaknya," jawab Ranti. Alva manggut-manggut. Keduanya diam sejenak.

"Va ..." tiba-tiba Ranti memulai kembali percakapan mereka, "How do you know when you meet the one?"

"You just know I guess ..."

"How?"

"Hmm ... everything just seems make sense. You meet them, talk to them, you are interested, then be together. Those all just felt right. It fits." Alva berusaha sebisanya menjelaskan apa yang Ranti mau tahu.

"Hooo ..." kata Ranti bergaya sok paham. Alva mengerutkan alis.

"Ngerti ngga lo?" tanya Alva sangsi.

"Maybe," Kata Ranti tersenyum jahil. Mereka berdua pun tertawa.

"Mungkin orang assuming kita cocok karena lo bisa-bisanya ngeladenin gue yang ngomongnya suka aneh kayak gini ya," kata Ranti setelah selesai tertawa.

"Hahahaa ... iya dan ngga. Iya bahwa kita keliatan cocok karena ngobrolnya nyambung. Tapi ngga ada hubungannya sama ngeladenin omongan lo. Basically ngga ada yang ngga bisa gue lakuin buat cewe, apalagi yang manis kayak lo," kata Alva dengan lancar menyelipkan kata-kata bernada merayu. Ranti langsung bertepuk tangan pelan.

"Smooth, Va. I wonder why you are single right now," kata Ranti betul-betul terkesan dengan kelihaian bermulut manis Alva.

"Just finding the perfect woman. Gue udah males main-main."

"Wuih, gitu dong ... Coba tularin Salsa juga."

"Ngga ah, udah biarin dia berpetualang dulu. Daripada nanti nyesel."

"Ya kalo kejadian kayak sama Rekha dulu juga apa ngga nyesel?"

"Ngga sih, menurut gue." Ranti mengerutkan dahi mendengar ucapan Alva itu.

"Va, lo inget kan apa yang terjadi abis dia sama Rekha? Dia mulai gonta-ganti temen kencan tanpa satupun end up jadi pacar juga sejak putus sama Rekha," kata Ranti mencoba mengkonfirmasi, jangan-jangan Alva hilang ingatan soal kejadian yang menurut Ranti sangat membekas itu.

"Ya, tapi gue rasa Salsa ngga bakal nyesel tentang Rekha."

"Kok bisa?"

"Soalnya gue juga gitu. Ngga nyesel tentang Sofia."

"Loh, apa hubungannya, Va?"

"Well ... What Salsa felt about Rekha is similar with what I had for Sofia. Those times were the first time we know what love is. When we said 'I love you' and we meant it. You won't forget or regret that kind of moment."

"Masa sih? Bukannya malah banyak ya cerita cinta yang bikin nyesel?" tanya Ranti polos.

"Hanya kalo lo belom letting go. Belom move on. Saat lo udah nerima itu sebagai bagian dari masa lalu yang ngebentuk lo sekarang, lo ngga bakal nyesel. Malah ngerasa beruntung pernah ngalamin itu."

"Hmm ... ngga masuk logika gue, Va," kata Ranti jujur. Alva hanya tersenyum melihat Ranti yang nampak bingung.

"I wish you gonna feel it someday ... and still has chance to say it."

"Say what?"

"Those six letters."

Ranti baru ingin bertanya tentang maksud enam huruf yang Alva bilang saat Aldy akhirnya menampakkan dirinya. Tak lama Alva pun dipanggil Ilham untuk siap-siap. Sebentar lagi waktunya manggung. Ranti berinteraksi dengan Aldy sebentar sebelum akhirnya bersiap ke tempat les-nya untuk mengajar. Tapi sejenak ia melihat sahabatnya bernyanyi di panggung kecil kafe.

Ranti mengambil jeda untuk menikmati satu lagu dari band Alva sambil memutar ulang percakapan barusan. Tak lama kemudian Ranti merasakan handphonenya bergetar. Ajie ternyata mengirim pesan untuknya. Ada yang aneh dari perasaan Ranti saat itu. Minatnya untuk membaca pesan Ajie menghilang, seperti orang yang tidak selera makan. Ranti pun memasukkan lagi handphonenya ke kantung celana jeansnya.

***

Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan itu datang, dan bagaimana juga dia bisa pergi tanpa pamit. Satu hal yang Ranti tahu, saat ini dia merasa desakan itu pergi seperti ada kepentingan yang hilang. Hal yang kemarin-kemarin ia rasa menyenangkan kini menjadi sangat hambar.

Kali ini Ranti ingin menghadapinya dengan cara yang berbeda dari saat dia masih anak-anak dulu. Ranti lebih berhati-hati mencerna perasaannya. Dia pun saat ini sudah punya tempat untuk berbagi, untuk meminta bantuan dalam mencari solusi. Karena Ranti bisa pintar dalam berbagai hal, tapi tidak tentang perasaan dan bersosialisasi.

"Ah, kelamaan sih si Ajie ngedeketinnyaaaa ..." kata Alva menyayangkan begitu Ranti mengakui situasinya pada Alva dan Salsa.

"Kok bisa sih, Ran?" tanya Salsa.

"Ngga tau, Sa. Tapi emang biasanya gini ... makanya gue paling ngga mau deketin cowo tuh karena gini," jawab Ranti pasrah.

"Lo nyadar perasaan lo ilang pas gimana, Ran?" Alva gantian menginterogasi.

"Beberapa hari setelah UAS dia nge-chat gue dan gue ngerasa ngga pengen buru-buru ngebales. Lama-lama gue ngerasa ngga pengen ngebales sama sekali."

"Kenapa sih lo? Takut sama dia pas udah makin intens?" Salsa pun makin penasaran.

"Ngga takut ... duh, gue bingung jelasinnya."

"Coba jelasin pelan-pelan," kata Alva menenangkan.

"Jadi tiap ngeliat dia nge-chat gue mikir 'ngapain sih dia masih nge-chat? Kita kan udah ngga sekelas lagi sekarang. Seharusnya udah ngga ada urusan.' Gitu. Gue ngerasa kepentingan gue dan dia itu udah ilang," Ranti tahu bagaimana ini semua terdengar.

"Lo dingin juga ya, Ran ..." Ivan memvalidasi keyakinan Ranti tentang bagaimana penjelasannya itu terdengar. Sesaat ia tidak bisa menjawab dan hanya menerima tatapan tidak percaya dari Ivan. Ranti menunduk.

"Gue juga ngga mau jadi orang yang kayak gini, ngga mau semuanya jadi begini. Those thoughts, I can't help it. It just popped. I don't wanna have those. I want to have something real, like you had. Something that might break me but I count it worthy ..." kata Ranti dengan tatapan sendu pada dua sahabatnya. Suaranya sudah bergetar. Ranti merasa bersalah. Lagi-lagi cerita cintanya berakhir begini. Belum mulai sudah mau menghindari.

"Terus lo mau gimana sekarang, Ran?" tanya Salsa, mencoba mengalihkan rasa sedih Ranti.

"Gue cerita ke kalian karena gue clueless. Jujur gue bingung, nih sampe sekarang anaknya nge-chat gue cuekin terus. Gue ngga tega nyuekin lebih lama lagi, tapi bingung mau diapain." Kata Ranti yang kini berwajah mumet.

"Udah berapa lama lo cuekin?" tanya Alva penasaran.

"Tiga harian, Va." Kata Ranti. Salsa dan Alva langsung bersahutan.

"Mati galau deh tuh anak orang, Ran ..." Kata Alva sambil tertawa prihatin.

"Kalo gue bales takut dibilang ngasih harapan ngga sih?" Ujar Ranti membela diri.

"Ranti manis ..." Alva memposisikan tubuhnya menghadap Ranti, "Lo kalo ngga suka ya bilang ngga suka. Respectfully. Jangan malah ngehindar. Jelasin aja kalo lo cuma nganggep dia temen," Alva mencoba menjelaskan sehalus mungkin agar Ranti mengerti dan tidak bersikap defensif.

"Udah coba bales chat dia sekarang deh. Jujur aja, yang penting jangan ditunda lebih lama lagi," desak Salsa. Ranti pun menurutinya.

"Gue bales gini ya, 'Jie, I respect you so much which is why I have to say this. Gue cuma nganggep lo temen, Jie. Sorry kalo tiba-tiba, sorry juga kalo gue ngeselin.' Gimana?" tanya Ranti. Alva menahan tawanya dan hanya menyisakan seulas senyum yang ditutupi. Situasi ini sedikit lucu baginya, mengingat biasanya Ranti itu yang biasanya mengajari atau bahkan mendikte dia dan Salsa saat belajar bersama. Posisi mereka otomatis berbalik saat membicarakan masalah cinta dan perasaan.

"Yaudah ngga apa-apa gitu aja. Mau kayak gimana juga yang namanya penolakan ngga bakal kedengeran baik kan?" kata Salsa. Ranti pun mengirim pesan itu. Setelah itu ia nampak resah. Tak lama handphonenya berbunyi. Saking kagetnya dia sempat melempar handphonenya beberapa senti lalu memberi isyarat pada Alva dan Salsa bahwa yang menelepon Ajie. Dengan buru-buru Alva dan Salsa menjawab, "Angkat!"

"Halo ... iya, Jie. Humm ... yaa gitu, Jie. Maaf ya gue anaknya gini. Hah? Salah paham gimana? Eh, gimana? Ketemuan?" Ranti langsung melihat Alva dan Salsa, meminta bantuan. Keduanya dengan kompak mengangguk, "Oke boleh. Nanti aja jam lima. Di sana boleh."

Setelah Ranti menutup telepon itu dia langsung berdesah panjang, "Ada ngga solusi selain gue harus ngomong langsung sama dia?"

"Awalnya kan lo udah ngeladenin dia. Setidaknya pas mau cabut baik-baik lah. Pamit." Jawab Alva.

"Tapi technically gue sama dia kan ngga pacaran."

"Tapi lo sama dia kan temenan, Ran. Jangan kabur gitu. Lo sendiri kan yang bilang, lo mau kali ini beda sama waktu lo SMP dulu," Jawab Salsa.

"Mungkin ngebantu kalo lo mikir semisal Ajie itu elo, lo maunya diperlakuin kayak gimana?" Tambah Alva. Ranti pun langsung memikirkan ucapan kedua sahabatnya dan memikirkan langkah selanjutnya.

***

Sejam sudah Ranti bicara dengan Ajie di foodcourt area. Dari jauh Alva dan Salsa memperhatikan mereka. Tiba-tiba Aji berdiri, menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan Ranti. Ranti menyalaminya dengan senyum pahit. Lalu Ajie pun pergi. Setelah Ajie terlihat sudah menaiki eskalator turun, Salsa pun langsung berlari menghampiri Ranti. Alva menyusul dengan langkah yang lebih santai.

"Nolak baik-baik ternyata ngga bikin perasaan jadi lebih baik," Ranti langsung memelas pada dua sahabatnya tanpa basa-basi. Salsa langsung merangkul dan mengelus kepala Ranti.

"Tapi itu yang terbaik."

"Gagal pacaran lagi deh gue," kata Ranti kecewa. Dia tahu kalimat itu memang terkesan berbeda dari apa yang selalu dia percaya bahwa tidak perlu pacaran untuk bisa bahagia. Tapi kali ini memang ada harapan tersembunyi di hati Ranti untuk dapat merasakannya, dorongan untuk selalu ingin dekat dengan seseorang yang cukup kuat untuk membuatnya berkomitmen. Ranti ingin tahu apa rasanya, ingin tahu apa yang telah ia lewatkan.

"Ngga apa-apa, yang penting status naik jadi 'nyaris pacaran'. Hehehe ..." balas Salsa yang lebih ingin iseng ketimbang menghibur.

"I wonder what it truly felt like ... falling in love," kata Ranti menerawang, menyimpulkan keinginannya.

"Aaawww,, Ranti dear, I promise you one day you'll meet the person who makes you want to say those six letters," kata Salsa, kali ini baru berusaha menghibur. Ranti diam sejenak sebelum akhirnya memberontak dari pelukan Salsa karena ada sesuatu yang mengganggunya.

"Okay, what six letters and why  everyone seems so familiar with it?" tanya Ranti gemas. Salsa terbengong sebentar melihat Ranti.

"I love you. It's obvious isn't it?," jawab Salsa. Ranti makin bingung mendengarnya.

"How is that six letters?!" tanya Ranti mulai senewen.

"Like this," Salsa mengetik di handphonenya. Sedetik kemudian Ranti mendapat chat dari Salsa. Isinya adalah tulisan, "I love u". Ranti pun langsung menepuk mukanya.

"It's Y-O-U, not U! it supposed to be eight letters!" kata Ranti gatal mengoreksi.

"Oh my GOD! Kenapa sih harus ngomongin teknis pas lagi kayak gini?! Kita kan ngga lagi di kelas les bahasa inggris lo!" kata Salsa.

"Ya mungkin lo harus ikut kelas gue bareng anak-anak SMP itu. Is that even a thing? The six letters?? Kok gue ngga pernah denger ya?!"

"Six, eight, orang tau lah apa yang kita omongin."

"Clue-nya aja cuma jumlah huruf dan jumlahnya salah. Gimana orang mau tau??"

"Bahasa tuh ngga penting teknisnya bener, yang penting menunaikan fungsinya buat berkomunikasi." Alva mulai berkomentar.

"Tapi ini namanya ngga menunaikan fungsi. Kan karena teknis lo berdua ngga bener gue jadi miskomunikasi ..."

"Ya elo kalo urusan beginian emang lemot sih," balas Alva cuek.

"HOW IS THIS MY FAULT??!" Seru Ranti tidak rela.

"Udah deh, Ran. Masa mau ngehibur lo aja masa gue harus pusing gini sih." Salsa memijat-mijat kepalanya.

Akhirnya mereka bertiga pun seru mengobrol, berdebat dan tertawa-tawa selama berjam-jam. Mungkin kali ini Ranti gagal merasakan crush yang tumbuh menjadi cinta, tapi setidaknya dia masih punya Salsa dan Alva. Ranti merasa cukup. Untuk saat ini rasa-rasanya cukup.   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top