Infinity

"Boyfriends and girlfriends will come and go, but this is for life" - Phoebe Buffay

***

Ranti, Salsa dan Alva bersahabat karena perpaduan antara takdir dan pilihan. Takdir yang membuat Ranti menemukan Salsa saat menangis waktu itu. Takdir juga yang membuat Rekha, mantan Salsa saat SMA, memilih Alva untuk dikenalkan pada Ranti.

Tapi Ranti lah yang memilih untuk mendatangi Salsa. Salsa pula yang memilih untuk berteman dekat dengan Ranti setelahnya. Lalu Alva memilih untuk mendekati Sofia ketimbang Ranti setelah diyakinkan oleh Ranti sendiri. Setelah itu semua seperti mengalir, pada akhirnya mereka saling memilih satu sama lain untuk bersahabat sampai sekarang.

***

Tiga tahun lalu ...

Salsa membukakan pintu kamarnya untuk Ranti. Matanya bengkak dan hidungnya merah. Ranti menatap cemas dan Salsa sangat membenci tatapan itu. Bagi Salsa tatapan itu seperti menghakiminya. Salsa langsung berbalik dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal sambil tengkurap di atas kasurnya.

"Rekha nge-chat gue. Sorry to hear that, Sa," kata Ranti bingung mau berkata apa. Salsa mengangkat kepalanya dan memasang wajah heran.

"Ngapain dia nge-chat elo?" tanya Salsa penasaran.

"Nyuruh jagain elo," kata Ranti singkat. Salsa lalu tertawa. Tawanya cukup lama, membuat Ranti cukup khawatir.

"Katanya perasaan dia ke gue udah ilang, Ran. Sok care banget nyuruh lo jagain gue," kata Salsa sambil tertawa sinis.

"Ya kan bukan berarti dia ngga care sama lo, Sa" jawab Ranti.

"Lo tuh temen gue apa temennya Rekha sih?! Kok malah ngebelain dia?!" Salsa meledak, tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Maksud gue ngga gitu, Sa ..."

"Sekarang gue tanya deh, sekarang lo kesini sebagai temen gue atau temennya Rekha?!" tanya Salsa tegas. Emosinya belum stabil karena baru diputuskan Rekha yang sudah terlanjur dia cintai.

"Gue ngga pernah jadi temennya Rekha, Sa. Sorry kalo lo ngerasa gue kurang suportif ya," jawab Ranti lembut. Dia tidak mengambil hati perlakuan kasar Salsa padanya. Ranti tahu saat ini hati Salsa sangat sakit.

"Bulan depan tuh kita mau setahunan loh, Ran. Mana pernah gue pacaran selama ini. Gue kira dia orangnya, cowo yang tepat buat gue. Cowo yang ngga bakal nyakitin gue. Bego gue emang, bego banget!!" Salsa langsung bercerita dengan penuh emosi. Ranti merasa dadanya nyeri melihat Salsa yang sedih dan marah dalam waktu yang bersamaan. Ranti belum pernah merasakan apa yang saat ini Salsa rasakan, tapi kalau dada Ranti saja sudah nyeri apa kabar hatinya Salsa?

Ranti duduk perlahan di sebelah Salsa, diam saat sahabatnya itu menangis, menceritakan detail bagaimana dia diputuskan, mengutuki Rekha dan memeluk bantalnya erat-erat. Ranti tidak berani menatap Salsa, dia juga tidak berani mengatakan sesuatu. Setelah beberapa saat, tangis Salsa mereda.

"Sa, gue bingung ..." kata Ranti.

"Bingung kenapa lo?" Balas Salsa lemah.

"Jadi kan lo sedih nih, tapi marah juga. Gue mau meluk lo tapi gue takut dimarahin ..." jawab Ranti polos. Wajah Salsa sudah basah tidak keruan karena penuh air mata. Hidungnya perih dan matanya merah dan bengkak. Tapi mendengar Ranti membuatnya tertawa terbahak-bahak.

"Ah, ngeselin lo, Ran! Gue sedih gini malah ngelawak! Sinih!" Kata Salsa sambil menarik Ranti dan memeluknya. Ranti pun membalas pelukan Salsa.

"Cup ... cup ... semangat ya, Sa," kata Ranti canggung sambil menepuk punggung Salsa.

***

"Ran, one day lo bakal nangis-nangis ke gue karena patah hati. Sebelum hari itu tiba lo mending jangan nge-judge gue dulu deh. Rasain dulu, baru balik ngomong ama gue lagi," kata Salsa. Dia baru saja berpacaran dengan juniornya, Arga, hanya lima hari setelah putus dari Rekha.

Ranti berusaha bicara pada Salsa tentang kekhawatirannya buru-buru pacaran serta tentang ketidakpedulian Salsa pada sekolah yang saat itu dinilai Ranti tidak tepat waktu. Ujian Nasional sebentar lagi, bukan waktunya berlarut-larut soal asmara.

Ranti patah semangat bicara pada Salsa. Sepertinya Ranti akan selalu dianggap orang luar oleh Salsa tiap berusaha membicarakan kekhawatirannya. Kalau begitu terus Salsa bisa-bisa menjauh. Ranti harus melakukan sesuatu ...

***

"Ran, ngapain di sini?" Rekha yang kebingungan menghampiri Ranti yang nampak diam-diam mengintip kelasnya.

"Eh, Kha. Ada Alva ngga?" Tanya Ranti.

"Ada sih, bentar. Va!" Rekha langsung memanggil Alva dari luar kelas.

"Ran, soal Salsa ..." kata Rekha yang langsung dipotong oleh Ranti.

"Lagi gue handle ya, Kha. Lo ngga usah khawatir," kata Ranti.

"Sorry jadinya gini, Ran," Rekha berkata dengan wajah penuh penyesalan.

"Ngga usah minta maaf sama gue. Cuma kalo lo udah mutusin keluar dari kehidupannya Salsa, I hope you keep it that way. Ngga usah dateng-dateng lagi ngajak dia temenan atau peduli sama dia. She doesn't need that," kata Ranti tajam. Rekha menatapnya sambil terlihat berpikir keras sebelum akhirnya mengangguk.

"Kenapa nih? Hai, Ran," suara Alva memecah suasana yang sudah agak tegang tadi. Ranti langsung tersenyum pada Alva. Rekha pun berpamitan dan masuk kelas.

"Va, gue tau kita udah ngga begitu deket setelah lo jadian sama Sofia-,"

"Yea, you and Salsa aren't the biggest fans of her," kata Alva yang menyiratkan bahwa dia tahu bahwa Ranti dan Salsa menyimpan ketidaksukaan pada Sofia.

"Well, to be fair, so is she to us," balas Ranti. Dia masih mengingat bagaimana Sofia berusaha menjauhkan Alva dari Ranti dan Salsa dulu saat mereka berpacaran.

"Okay, fair enough. Tapi sedih juga gue kalian tetep jauh abis gue putus dari dia," balas Alva.

"Oke, lebay. Kita masih suka ngobrol di OSIS juga padahal. Tapi gue ngerti poin lo, gue sama Salsa bakal minta maaf properly nanti. Sekarang gue butuh bantuan lo. Please?" Kata Ranti memohon. Alva berpikir sebentar.

"Lo butuh bantuan apa?" tanya Alva penasaran.

"Va, gue khawatir sama Salsa. Gue tau lo temennya Rekha, tapi ..."

"Tapi?"

"Gue bingung jelasinnya, Va. Gue takut lo ngga ngerti."

"Try me."

"Oke. Sejujurnya gue ngga ngerti soal itu semua. Jatuh cinta, patah hati, gue ngga pernah ngalamin itu dan ngga pernah mencoba. Gue ngga punya cukup empati untuk ngomong sama Salsa saat ini. Gue tau dia butuh seseorang, Va. Tapi gue, semau apapun gue buat ngehibur dia, gue tau kalo gue bukan orang yang tepat."

"Jadi lo pikir gue orang yang tepat?"

"Gue ngga tau siapa lagi yang cukup deket sama dia selain elo. Please hear her out ..."

***

"Hai, Sa ..." sapa Alva saat Salsa duduk sendiri di tribun lapangan basket.

"Ngapain lo?!" Salsa yang masih menganggap Alva sebagai teman Rekha langsung antipati terhadapnya. Alva sudah menduganya, tapi ia tetap mencoba. Bayangan Ranti yang memohon membuatnya tak tega.

"Galak banget sih, Sa. Kan yang baru putus bukan cuma lo doang," kata Alva memainkan kartu 'sama-sama baru putus'nya. Strateginya berhasil, tatapan Salsa melunak.

"Iya sih. Gue udah denger. Sorry ya, Va," jawab Salsa.

"Ngga apa-apa, putusnya baik-baik kok. Dia mau fokus buat kuliahnya. Ngincer jadi anak teknik dia."

"Terus lo gimana? Terima aja gitu?"

"Ya mau gimana lagi?"

"Berarti lo ngga bener-bener sayang, Va sama dia."

"Ya ... somewhere in our heart I think we both know that."

"Know what?"

"That we're not in love to each others."

"Terus kenapa pacaran lo berdua?"

"Sama-sama butuh. Gue butuh dia buat ngelupain Sofia, dia butuh gue karena udah lama ngga pacaran."

"Lo tuh serius ya sama Sofia dulu?"

"Gue sama Sofia ... sekonyol apapun hubungan gue di mata orang-orang, I really fall for her."

"... Sorry, Va."

"I used to think that I'm so stupid and worthless. Kayak sampah. Gue cuma mau make sure lo ngga ngerasain hal yang sama, Sa."

"Gue ngga tau harus ngerasa apa lagi, Va. Perasaan gue kebas."

"I know ..."

"I thought we're at the same place, Va ..."

"I know, Sa. I'm so sorry you have to feel this ..."

"Is it gonna be better? This pain that hurt so much, will someday it be vanished?"

"Someday, when you decide to learn how to deal with it, it could be gone. But for this time, don't spend your time alone. Lo ngga bisa ngelaluin ini sendirian aja, dan udah ada temen yang siap nemenin lo tuh."

"Ranti?"

"Ranti minta gue ngomong sama lo. Dia care banget sama lo, Sa. The fact that she can't help you hurt her a lot."

"Bingung sih gue, Va ..." kata Salsa sambil menatap ke atas. Wajahnya sudah lebih cerah, hatinya juga sudah lebih lega.

"Bingung kenapa?"

"Kalo gue ke dia, bisa-bisa gue diajak belajar buat ngelupain Rekha."

"HAHAHAHA!" Alva pun tidak tahan untuk tidak tertawa.

Ucapan Salsa tidak salah sama sekali. Ranti memang berstrategi untuk membuat Salsa mengerahkan seluruh fokusnya untuk kelulusan dan masuk kampus negeri.

"Mulai sekarang kerahin semua tenaga dan fokus lo buat lulus UI. Bimbel bareng gue, pulang sekolah belajar bareng dulu, pokoknya sisa satu semester ini belajar sampe mabok!" kata Ranti berapi-api. Salsa dan Alva yang duduk di hadapannya hanya bisa bengong. Setelah beberapa saat Alva mengacungkan jari seperti murid yang bertanya pada gurunya. Ranti mengadah memperhatikan Alva.

"Kenapa harus UI?" tanya Alva.

"Oh-" Ranti sedikit tercengang dengan pertanyaan Alva sebelum akhirnya nampak bersemangat lagi, "Ya ngga harus UI sih. Kebetulan gue mau masuk Komunikasi UI. Tapi kalo lo berdua ngga suka kita bisa research tentang kampus lain dan jurusan-jurusan yang sesuai buat kalian. Yuk, mau ke mana? UNPAD? ITB? Biar sekalian nyari info ngekos di Bandung? Atauuu ..." mendengar rencana kelulusan Ranti yang makin panjang, Salsa langsung menghentikannya.

"Ngga usah, Ran. Kita ke Komunikasi UI aja yuk," sanggah Salsa cepat. Alva pun mengangguk-angguk cepat. Ranti tersenyum puas.

"It's worth it, guys. Trust me," kata Ranti yakin.


***

Saat ini

"Nginepnya rame-rame kan, Sa?" tanya Ranti. Salsa seperti pura-pura tidak mendengar. Kelas siang Salsa dan Ranti baru dibatalkan karena dosen mereka sedang berhalangan hadir sedangkan Alva tidak ada jadwal kuliah siang itu. Mereka bertiga pun memutuskan untuk pulang bersama dari Depok dan bersantai di kamar Salsa seperti biasa. Tapi niat itu harus tertunda karena Salsa dengan ringannya berkata bahwa akhir pekan ini dia akan menginap di sebuah Villa di puncak dengan pacarnya.

"Sa ... rame-rame kan?" Ranti mengulang pertanyaannya sambil memaksa Salsa agar menatap matanya.

"Berdua aja," jawab Salsa pelan sambil berusaha terlihat sibuk dan tak acuh. Seolah ini bukan masalah besar. Ranti langsung gusar sementara Alva masih diam saja.

"Lo tau gue ngga mungkin ngebiarin lo pergi gitu aja kan?"

"Ngga ada urusannya lagi, Ran sama lo. Udah deh lo fokus sama Refal aja, gue bisa handle urusan ini sendiri."

"Kenapa tiba-tiba gini sih, Sa?"

"Ngga tiba-tiba Rantiiii ... villanya udah terlanjur di book terus tau-tau temen-temen kita pada sibuk. Jadi cuma bisa berdua aja."

"Gue ngga sibuk, gue ikut deh sama lo dan cowo lo itu."

"Apaan sih, Ran?! Gue bukan anak kecil, ngga perlu di baby-sit!"

"Lo tuh bahkan belom sepercaya itu sama tuh cowo, tau-tau udah mau nginep-nginepan berduaan aja."

"Kata siapa gue belom percaya?"

"Buktinya lo belom ngenalin dia ke gue sama Alva kan?"

"Karena belom sempet."

"Lo bahkan ngga pernah nyebut nama cowo ini depan kita. Selalu pake 'cowo gue'. Kenapa, Sa?"

"Ran, as far as I know lo bukan nyokap gue ya. Jadi please tau batas lo, lo ngga bisa ngatur-ngatur gue. Udah deh ngga usah lebay, I'll be careful," Salsa yang sudah kepalang emosi mendorong sahabatnya menjauh dan memperlihatkan mimik kesalnya. Ranti tidak bisa menjawab. Dia khawatir, Salsa tahu dia khawatir. Tapi mereka berdua memutuskan untuk saling diam sebelum mereka saling menyakiti dengan kata-kata.

"How careful do you think you could be?" tiba-tiba Alva memecah keheningan. Salsa dan Ranti langsung menengok ke arahnya, mereka bisa merasakan aura yang berbeda dari diri Alva. Tatapannya yang tajam pada Salsa, wajahnya yang tanpa senyum, serta nada suara yang serius membuat Salsa dan Ranti tegang. Alva yang seperti sedang marah mendekati Salsa sampai mereka saling berhadapan.

"Bisa apa lo kalo diginiin?" tanya Alva. Sebelum Salsa bertanya balik apa maksudnya, Alva sudah menarik pergelangan tangan Salsa dengan kasar dan melemparnya ke kasur.

"Alva!" Ranti spontan berteriak melihat Alva berlaku kasar. Tapi seolah tuli, Alva tidak menggubris teguran Ranti dan menaiki tempat tidur. Dia menindih kaki Salsa sehingga Salsa kesulitan bergerak. Saat Salsa mulai ketakutan dan mencoba memukulnya dengan kedua tangan, Alva langsung menangkap tangan itu dan menahannya di atas kasur, membuat wajahnya menjadi begitu dekat dengan wajah Salsa.

Alva menatap Salsa tanpa memperlihatkan tanda-tanda kalau dia sedang bercanda, membuat Salsa sangat ketakutan. Salsa mencoba melepaskan diri dari Alva, tapi Alva terlalu kuat menahan tubuhnya. Perbedaan kekuatan ini membuat Salsa patah semangat, tanpa sadar ia menangis dan berharap bahwa Alva tidak akan melakukan apa-apa kepadanya.

"Alva, sadar! Lepasin!" Ranti dengan serampangan memukul-mukul Alva dan berusaha melepaskan tangan Salsa dari genggaman Alva sehingga membuat laki-laki itu memutuskan kontak mata dengan Salsa. Pandangannya beralih kepada perempuan yang sedang sekuat tenaga menarik tangannya agar dapat melepaskan Salsa. Selang beberapa waktu, Alva pun melepaskan Salsa. Ranti langsung menghambur memeluk Salsa yang masih gemetar ketakutan. Sesaat mereka percaya bahwa laki-laki itu bukan sahabat mereka.

"Udah gila ya lo, Va!" kata Salsa bergetar menahan tangis. Pandangan Alva yang sebelumnya tajam dan dingin melunak, tapi tidak berkurang ketegasannya

"Gue bahkan ngga pake seluruh tenaga gue tadi karena gue emang ngga mau ngapa-ngapain lo, dan ada Ranti di sini yang ngelindungin lo. Asal lo tau, kejadian kayak gitu bisa terjadi bahkan pas awalnya ngga ada niatan. Tau kenapa? Karena ada kesempatan. Lo jangan pernah ngasih kesempatan. Don't say you'll be careful so yo could be careless." sehabis berkata seperti itu Alva langsung beranjak dari kamar Salsa.

"Such a bold move to make a point ..." kata Ranti sambil menepuk-nepuk punggung Salsa, berusaha menenangkan.

"Gue takut banget tadi, gue kira dia beneran mau ngapa-ngapain gue, Ran," jawab Salsa sambil memeluk Ranti erat.

"Iya gue ngerti. Tapi lo juga harus tau, Sa ... kita berdua tuh tadi khawatir banget sama keputusan lo."

"Iya ... gue ngerti, Ran."

Keduanya masih berpelukan dalam waktu yang sangat lama. Meredam ketakutan mereka dan menenangkan diri. Dalam hati jantung Ranti berdebar keras dan cepat tiap mengingat Alva. Apa yang Alva lakukan hanyalah memberi gambaran sebelum Salsa benar-benar menyesal nantinya, tapi mengetahui Alva bisa sekasar itu membuatnya terkejut. Kalau Ranti saja begini, saat ini Salsa mungkin sudah takut sekali dengan Alva.

Tidak, tidak boleh dibiarkan. Dalam hati Ranti merasa harus berbuat sesuatu untuk memastikan agar hubungan Salsa dan Alva baik-baik saja setelah saat ini.

***

Handphone Alva berbunyi, ia pun langsung menjawab teleponnya, "Kenapa, Ran?"

"Bukain pintu dong, Va," jawab suara dari seberang ponselnya. Alva mengerutkan alis bingung. Dia pun segera menuruni tangga dan membuka pintu rumah. Di balik pintu dia mendapati Ranti yang sudah berdiri gusar.

"Gue 10 menit nungguin di depan situ masa. Bel rumah lo rusak ya?" Tanya Ranti langsung menghambur masuk ke rumah Alva.

"Kayaknya. Gue tadi ngga denger apa-apaan sih."

"Nanti lo cek gih."

"Iya gampang." Alva mengikuti Ranti sampai mereka di sofa. Lalu mereka pun duduk bersama. Mereka memang sering berkunjung ke rumah masing-masing, jadi kadang tidak terlalu jelas juga siapa tuan rumahnya siapa tamunya.

"Bokap lembur?" tanya Ranti, mengingat saat ini sudah jam setengah sembilan malam.

"Dinas ke Jogja," Jawab Alva ringkas. Ranti langsung manggut-manggut. Agak menyesal rasanya mengapa dia tidak memilih menghubungi Alva lewat telepon saja.

Ia menghabiskan sepanjang sore untuk membujuk Salsa agar membatalkan rencana liburan berdua itu. Tidak sulit sebenarnya setelah apa yang dilakukan Alva sebelumnya. Tapi Salsa lalu membuka sesi curhat yang sangat panjang tentang pacarnya ini. Sadar-sadar sudah jam delapan malam.

Ranti ingin menyelesaikan urusan ini secepat mungkin makanya ia memutuskan untuk membicarakannya dengan Alva malam ini juga. Tapi canggung sekali rasanya datang malam-malam begini ke rumah cowo saat tidak ada orang lain di rumah.

"Kenapa, Ran?" Alva menyadarkan Ranti dari lamunannya.

"Eh ... oh, ngga. Gue mau ngasih tau kalo Salsa ngga jadi pergi ke Villa itu."

"Oh ... syukur deh."

"Thanks ya, Va." Ucapan ini dibalas tawa kecil oleh Alva.

"Salsa masih marah sama gue?" tanya Alva. Ranti mengangguk pelan.

"Yaudahlah ..." kata Alva pasrah.

"Va ... minta maaf ya sama Salsa," kata Ranti hati-hati. Alva langsung memasang wajah tak rela.

"Gue ngga salah. Apa yang gue lakuin itu buat ngelindungin dia, sesuatu yang harusnya bisa dia lakuin sendiri kalo aja dia ngga bego tiap kali pacaran," jawab Alva kesal.

"Tapi caranya kan ngga harus kayak gitu, Va. Lo ngomong sama dia ya? Minta maaf," desak Ranti lagi.

"Dia masih mau emang temenan sama gue?"

"Nanti gue bantu ngomong juga sama dia. Udahan ya berantemnya, please?" kata Ranti. Alva menatap Ranti, lagi-lagi perempuan ini memohon padanya dan membuatnya tak tega.

"Emang lo ngga takut sama gue?"

"Gara-gara tadi? Ngga. Gue ngerti kenapa lo gitu walaupun caranya agak kasar."

"Mungkin karena lo ngga berada di posisi Salsa," Kata Alva. Sedetik setelah ia berkata demikian, ia mengurung Ranti dengan kedua tangannya di sofa. Kini wajah mereka menjadi sangat dekat. Alva bisa melihat Ranti memelototinya sambil melesak ke sofa.

"Kalo gue gini, apa yang lo pikirin tentang gue?" Alva menyeringai. Entah kenapa dia ingin sekali menggoda Ranti yang menurutnya begitu naif. Tidak jauh berbeda dengan Salsa, Ranti pun sekarang dengan beraninya berkunjung ke tempat laki-laki sendirian. Saat Alva sedang sendirian di rumah pula. Alva menebak Ranti yang mudah salah tingkah pasti ketakutan didekati seperti ini.

Cup.

Tanpa sempat mempersiapkan pertahanan, Ranti mendaratkan kecupan di pipi Alva. Alva langsung mundur dan terkejut. Kesempatan itu diambil Ranti untuk berdiri.

"Gue ngga suka berada di posisi harus nge-judge temen sendiri. So I just let you do your way, and I do mine. Terserah deh kita masing-masing mikir apa, yang jelas kita tau it all based on good will," Kata Ranti yang diluar dugaan malah terlihat sangat tenang. Alva tertawa terbahak-bahak. Sahabatnya yang satu ini memang sulit sekali ditebak.

"Jangan ketawa aja lo. Make sure you call her," Ranti mempertegas kembali tujuannya mendatangi Alva saat itu. Alva berhenti tertawa dan menjawab, "Will do."

Setelah Ranti pulang, Alva masih termenung sejenak. Ia mengingat kembali kecupan Ranti yang masih terasa di pipinya. Ia lalu tertawa sendiri. Ranti si salting-an kini membuatnya salah tingkah.

Bener-bener udah ngga dianggep cowo ya gue sama Ranti ...

***

"Maaf ya, Beibh ..." kata Alva dengan suara yang dalam dan lembut.

"Iya aku maafin, Hun. Tapi kamu jangan gitu lagi, aku takut ..." Kata Salsa merajuk. telapak tangannya sudah menyentuh pipi Alva.

"Apa gue membuat kesalahan dengan membuat kalian baikan?" Sela Ranti dengan memasang wajah mual.

"Ranti sayang salting lagi?" Salsa mulai menggoda Ranti.

"Kamu kenapa, Manis?" tambah Alva.

"Gue eneg sama lo berdua," jawab Ranti cuek.

"Ah, eneg tapi nyium juga," kata Alva.

"ALVA!" seru Ranti.

"Eh nyium apa nih?!" tanya Salsa

"Ranti mulai nakal, Sa," lanjut Alva.

"Ngga gitu, aduuuuhhh!!" dan Ranti pun pusing kembali karena kedua sahabatnya yang baru baikan ini bersekongkol menggodanya. Sementara Salsa dan Alva pun sibuk mengatai Ranti dan menikmati ekspresi salah tingkah sahabat mereka itu. Akhirnya situasi kembali normal bagi mereka.

***

"Ran, kalo ternyata nanti gue sama Alva lulus UI sementara lo ngga lulus gimana?" Suatu hari saat belajar bersama sepulang sekolah, Salsa tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang sekilas terpikir lalu membuatnya kepikiran.

"Mana mungkin lah," tukas Alva.

"Just saying. Kan ada faktor 'luck' juga yang bermain di ujian-ujian kayak gini. Kalo misalnya Ranti ngga se-hoki kita gimana?" Balas Salsa.

"Gimana apanya dulu nih? Kalo sedih sama kecewa mah pasti lah" Ranti mencoba menjawab.

"Lo bakal sebel ngga sama gue dan Alva? Lo jadi ngejauh ngga?" Tanya Salsa makin terlihat penasaran.

"Hmm ... gue ngga mau mikir sejauh itu sih. Sekarang gue mau belajar terus dan sugestiin diri supaya kita bertiga bisa lulus semua," jawab Ranti.

"Tapi kalo ngga bisa?" Alva akhirnya ikut penasaran.

"Kalo semisal gue ngga lulus ya gue tetep cari cara biar bisa terus ngumpul bertiga lah. Coba ikut ujian tahun depannya lagi misalnya. Gampang lah itu mah. Toh itu yang selalu kita lakuin kan?" Lanjut Ranti.

"Emang yang selalu kita lakuin apaan?" Tanya Alva bingung. Salsa langsung melihat Ranti. Sesaat Ranti diam karena berpikir pertanyaan Alva itu bercanda. Tapi ternyata tidak. Ranti pun tersenyum.

"Milih buat terus temenan," jawab Ranti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top