Chromatic Scale

"I was completely flustered, I came off like an idiot." – Ben Wyatt

***


"What do you have in mind?" tanya Ranti di awal diskusinya dengan Reza malam itu. Kali itu adalah kali pertama Ranti menerima tamu laki-laki di rumahnya yang bukan Alva si anak hilang, anak tempat dia mengajar les, ataupun pembimbing OSIS. Mama dan Papa Ranti sampai kaget. Mereka lalu sibuk mengawasi dari jauh. Sementara Kak Ari rasanya ingin pura-pura tidak kenal saja dengan Mama dan Papa yang keasyikan bergosip di meja makan sambil memperhatikan interaksi Ranti dan Reza yang berada 100 meter di depan mereka.

"Something simple," Reza menjawab tidak jelas meskipun wajahnya menunjukkan semangat yang menular pada Ranti.

"Such as?" dengan sabar Ranti melakukan pancingan. Bicara dengan Reza memang susah-susah gampang. Biasa lah orang pintar, selalu nyentrik.

"What do you think?" Reza malah balas memancing.

"Ini proyeknya siapa sih?" ujar Ranti gusar. Dalam bayangannya Reza sudah memikirkan beberapa ide yang nantinya bisa dipakai untuk brainstorming.

"Kita lah," Jawab reza singkat. Ranti merasa mati kutu mendengar kata "kita" dari Reza. Rasanya semakin lama Ranti menjomblo, semakin lemah dia pada ucapan laki-laki. Makin mudah ke-geer-an dan berpikir terlalu jauh. Padahal besar kemungkinan bahwa sebenarnya maksud Reza biasa saja.

"Gue pikir lo udah mikirin at least mau bikin apps dibidang apa gitu, Kak," kali ini Ranti mencoba memperjelas pancingannya.

"Gue kepikiran bikin buat pendidikan sih. Sesuatu yang bisa ningkatin minat baca mungkin, mengingat sering banget akhir-akhir ini gue denger kalo Indonesia darurat membaca," akhirnya Reza mulai memberi bahan brainstorming yang cukup banyak untuk Ranti. Mata Reza berbinar saat dia menjelaskan itu semua, membuat kegusaran Ranti hilang. Berkomunikasi dengan Reza memang susah-susah-gampang bagi Ranti. Tapi justru itu yang membuat Ranti sangat tertarik kalau sedang bicara dengan laki-laki yang satu ini.

"Mau bikin e-book reader?" tanya Ranti.

"Udah banyak ngga sih? Kecuali kalo e-book readernya bisa ngasih e-book gratis, mungkin bagus."

"Kalo nyewain e-book gimana?"

"Kayaknya salah satu penerbit gede udah bikin deh yang kayak gitu."

"... Kalo bikin perpus online terus bukunya e-book gimana?"

"Okay ... bedanya sama nyewain e-book apa?"

"Bedalah, Kak. Kalo nyewa kan bayar per buku yang dipinjem, kalo perpus lebih kayak minjemin aja. Kalo lewat batas peminjaman baru denda."

"Hmmm ... lucu sih."

"Lucu lah."

"Lucu deh lo," kata Reza sambil menyenggol bahu Ranti dan Ranti langsung skak mat! Tidak bisa membalas lagi karena terlalu deg-degan.

"Yaudah gue cek appstore sama play store dulu, lo coba bikin deskripsi dari apps ini ya, nanti kita diskusiin challenge dan opportunity-nya" lanjut Reza yang tidak menyadari bahwa Ranti sedang mati kutu karena kalimatnya tadi.

"Oke ..." kata Ranti singkat. Dalam hati dia merasa belum pernah se-excited ini mengobrol dan berdiskusi dengan laki-laki. Habisnya, dia belum pernah sekalipun bisa dekat dengan laki-laki yang ia kagumi. Sekarang laki-laki itu malah datang menghampiri.

Reza adalah cowo yang beda buat Ranti. He's intellectually challenging and doesn't mind facing Ranti's critical thoughts. Selama ini hanya Alva dan Salsa yang mau diajak mengobrol teknis dan random, itupun kadang keduanya tidak bisa mengimbangi Ranti. Tapi Reza bukan hanya bisa mengimbangi, dia bahkan mampu memancing ketertarikan Ranti untuk berdiskusi lebih lanjut.

Keseriusan Ranti bisa ditanggapi dengan canda yang pintar oleh Reza. Kadang, malah Reza yang bersikap lebih kaku saking bingungnya dengan jokes receh. Bersama Reza, Ranti merasa mereka bisa saling melengkapi. Tektokan bola percakapan mengalir dengan cara yang tak hanya menyenangkan, tapi juga memuaskan. Belum lagi penampilan Reza yang selalu bersih dan rapi serta posturnya yang tinggi dan tegap, selera Ranti banget deh pokoknya!

Diskusi malam itu mungkin nampak seperti dua orang yang sedang mengerjakan tugas kampus, atau membuat proyek tugas akhir. Terlalu konseptual dan banyak menggunakan istilah-istilah teknis. Tapi tidak bagi Ranti. Hatinya berbunga-bunga. Hal ini adalah hal yang paling mendekati kencan yang menyenangkan untuknya, mengingat dia belum pernah mengencani seseorang secara resmi sebelumnya. Ranti tak berhenti tersenyum selama berdiskusi dengan Reza, membuat seniornya itu juga makin bersemangat.

Keduanya larut dalam percakapan proyek kompetisi yang menyenangkan. Telepon Salsa malam itu tak digubris Ranti sama sekali. Dalam hati Ranti membatin untuk membalas telepon itu nanti malam. Nampaknya nanti malam Ranti harus bergadang...

***

Alva membuka pintu setelah bel rumahnya terdengar beberapa kali.

"Thank you, Vaaaa ..." Salsa langsung menghambur masuk menuju ruang keluarga Alva.

"Lo cari sendiri ya tapi. Gue males ngegali tumpukan buku lama," jawab Alva. Matanya mengikuti Salsa, memastikan bahwa Salsa membuka lemari buku yang benar. Salsa harus membuat paper dan dia membutuhkan buku kuliah semester satu. Sayangnya Salsa tidak pernah membeli buku tersebut dan buku yang dia pinjam dari Ranti pun sudah lenyap entah di mana. Untung Alva masih menyimpan buku tersebut di tumpukan buku-buku bekasnya.

"Hai, Va!" suara riang yang Alva kenal itu membuat nafasnya berhenti. Alva membalikkan tubuhnya dan dia menangkap sosok tubuh mungil dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi seri yang manis sekali. Alva baru menyadari betapa rindunya dia pada sosok itu setelah saat ini mereka berhadapan dan Alva harus mati-matian bersikap biasa dan tidak menghambur memeluk.

"Hai Ran, apa kabar lo?" jawab Alva tenang sambil membalas senyum Ranti.

"Kangen! Sombong banget sih lo akhir-akhir ini! Beneran ngga ketemu sama sekali loh kita dua minggu ini ..." jawab Ranti merajuk. Tidak berlebihan, biasanya juga begitu. Tapi hati Alva kali ini sedang tidak biasa, sehingga dia langsung mengalihkan pandangannya dan bergegas mendekati Salsa. Alva menunggui Salsa sambil bersender di pinggir piano dekat lemari bukunya.

"Ngga sombong gue, lagi sama-sama sibuk aja kali. Elo udah selesai bikin proyek sama Reza?" tanya Alva setelah dia merasa jaraknya dan Ranti sudah cukup jauh.

"Udah submit. Tinggal tunggu pengumuman. Doain ya!" kata Ranti bersemangat.

"Pasti," kata Alva tanpa maksud berbasa-basi. Alva tergoda untuk membantu Salsa mencari buku yang dia perlukan karena bagi Alva saat ini progress menemukan buku itu sangat lambat. Bisa keburu ketahuan kalau Alva ada apa-apa terhadap Ranti kalau begini. Belum sempat Alva selesai berpikir, Ranti berjalan mendekati Alva. Tiap langkah Ranti membuat debaran di jantung Alva semakin kuat.

"Gue baru ngeh lo punya piano di rumah lo, Va," kata Ranti begitu sudah berada di hadapan Alva lagi. Ranti meminta ijin untuk membuka tutup piano dan Alva membukakan piano itu untuk Ranti.

"Kan emang pada jarang ke rumah gue karena di rumah gue jarang ada orang," lanjut Alva. Ya, sehari-hari Alva lebih sering sendiri. Ayahnya sering ditugaskan ke luar kota sementara ibu Alva sudah meninggal sejak usia Alva tujuh tahun. Kenyataan itu yang sering membuat Ranti bersikap seolah-olah seperti ibu kepada Alva. Ranti sendiri tidak bisa membayangkan kehilangan orang tua di usia semuda itu.

"Di rumah gue juga jarang ada orang lo semua pada betah tuh lama-lama di sana," Salsa menyahut sambil tidak berhenti bekerja. Orang tua Salsa sendiri memang sibuk mengurus usaha keluarga, usaha yang mereka harapkan bisa Salsa ambil alih kelak mengingat dia anak satu-satunya keluarga mereka. Tapi entahlah, sampai sekarang belum ada tanda-tanda Salsa berniat meneruskan usaha tersebut.

"Di rumah lo ada Bi Miyem," balas Ranti. Bi Miyem yang dimaksud adalah kepala pembantu di rumah Salsa. Sehari-hari sering berkeliling rumah dan memastikan kalau rumah dan seluruh isinya berada dalam keadaan baik. Sesekali mereka berpapasan dengan Bi Miyem dan mengobrol bersama sebelum Bi Miyem memutuskan untuk kembali bertugas.

Ya, orang tua Salsa memang kaya sekali sampai-sampai anak semata wayangnya sangat dimanjakan dengan berbagai fasilitas. Semuanya keperluan Salsa biasa disediakan Bi Miyem dan tiga pembantu lainnya dari pagi sampai malam. Mungkin karena itu Salsa jarang berpikir kritis tentang apa yang perlu ia lakukan dan apa yang tidak. Sudah ada Bi Miyem yang biasa bertugas melakukan itu semua.

"Iya juga ya ..." jawab Salsa sekenanya. Fokusnya masih terpusat pada buku yang ia butuhkan itu. Ranti langsung memberi perhatian kepada piano Alva lagi.

"Lo bisa mainin ini?" tanya Ranti penasaran sambil menunjuk piano Alva.

"Bisa dikit, dulu kan gue les," jawab Alva singkat. Ranti manggut-manggut

"Gue baru ngeh kalo selain nyanyi karaoke, gue ngga ngerti apa-apa soal musik," Ranti memberi pengakuan yang sedikit menggelitik bagi Alva. Jarang Ranti berkata "Ngga ngerti" atau "Ngga tahu". Sekali-sekalinya bilang begitu malah terhadap bidang yang Alva tekuni.

"Padahal sahabat lo sendiri musisi ya?" kata Alva menyindir.

"Ya bukan ngga tau sama sekali. Kalo soal lagu sama genre musik mah gue ngerti lah. Tapi teori musik tuh teori yang belom pernah gue sentuh sama sekali. Kayak piano gini, kenapa ada tuts item kenapa ada tuts putih, itu gue ngga ngerti," kata Ranti polos. Salsa berhenti sejenak saking kagetnya mendengar pengakuan itu.

"Seriously?!" Alva terbelalak tidak percaya. Tanpa sadar senyumnya mengembang dan membuat Ranti kesal.

" ... Lo ngga perlu sebahagia itu sih kalo ada hal yang gue ngga tau," ucapan ini dihadiahi tawa puas oleh Salsa. Sial sekali dia harus sibuk berjibaku dengan buku-buku. Dalam hati dia berharap Alva tidak akan membiarkan hal ini begitu saja. Ini kesempatan yang bagus untuk menggoda Ranti sampai puas.

"Oh, gue harus bahagia. Pertama kalinya gue jadi lebih pinter dari lo!" kata Alva sumringah. Salsa mengangguk-angguk meskipun kepalanya sudah makin dalam merogoh lemari buku.

"Ya ... ya ... I give you that. Sekalian jelasin lah, kenapa ada tuts item sama putih?"

"Emang dulu pas sekolah lo ngga pernah diajarin teori musik pas pelajaran kesenian? Ngga mungkin banget!" Alva masih tidak habis pikir dengan kenyataan bahwa teori musik Ranti benar-benar sekosong itu.

"Ih, SMA kan emang ngga ada seni musik, adanya tari sama kerajinan tangan! SMP sama SD gue musiknya dijadiin ekstrakulikuler. Ya gue ngga ikutan karena ngga tertarik."

"Takut bengong sendiri karena ngga ngerti ya?"

"Heh! Gue belajar sebentar doang juga bisa! Udah buruan kasih tau bedanya apaan ini tuts putih sama item!" Ranti mulai kehilangan kesabaran dengan godaan Alva sementara Alva tidak peduli dan terus tertawa. Salsa pun tertawa mendengar percakapan itu. Pokoknya kalau Ranti digoda atau mati gaya, semua jadi bahagia.

"Tuts item itu buat nada kromatis. Jadi dari satu nada ke nada lain jaraknya sama, setengah. Total ada 12 nada," kata Alva setelah puas tertawa. Alva menjelaskan sambil menekan 12 tuts yang dimaksud. Mendengar penjelasan itu Ranti langsung manggut-manggut. Kini dia makin tertarik.

"Kok di sini ngga ada tuts itemnya?"

"Soalnya dari E ke F jaraknya udah setengah. Gitu juga dari B ke C." kata Alva sambil memencet tuts E, F, B dan C berturut-turut.

"Oooohhh ... kenapa bisa beda-beda gitu ya?"

"Ya emang aturannya begitu."

"Tapi kedengerannya ngga seaneh kayak C sama C-setengah ini ya?"

"Cis. Itu dibacanya Cis, C#" kata Alva tersenyum menahan tawa. Dia benar-benar senang karena merasa superior sekarang. Perasaan langka jika bicara dengan Ranti.

"Ngga usah ketawa, sebentar lagi gue lebih expert dari lo," balas Ranti judes.

"Hahahaha! I dare you, Ran."

"Ya jawab dulu kenapa kalo E ke F kedengerannya lebih normal dari yang tuts putih ke tuts item?"

"Ya ngga tau, mungkin karena lo jarang denger C ke Cis dinyanyiin kali. Kan kalo Skala C sering tuh dinyanyiin, "doremifasolasido" gitu. Makanya jarak setengah dari "mi" ke "fa" sama dari "si" ke "do" kedengeran lebih wajar, soalnya sering dinyanyiin secara sadar."

"Jadi si tuts item itu selalu ada tapi jarang ada yang sadar?" tanya Ranti. Alva tidak tahu bagaimana cara menjawab bahwa mungkin kesadaran orang tentang tuts hitam lebih besar daripada yang Ranti pikir.

"Ya pencet aja biar bunyi. Jadi pada sadar kan?" itulah jawaban yang dipilih Alva sambil memencet salah satu tuts hitam. Ranti terdiam sejenak, pandangannya seperti menerawang. Tiba-tiba Ranti tersenyum sendiri, membuat Alva kaget dan bingung.

"Kenapa lo? Kesurupan?" tanya Alva sedikit ngeri. Ranti langsung mengerutkan dahi, tapi tidak lama. Dia lalu tersenyum lagi.

"Kayaknya tuts item gue kepencet, Va," kata Ranti malu-malu. Mata Alva panas, dia tahu apa maksudnya. Apalagi kalau bukan tentang perasaan Ranti ke Reza. Tubuhnya membatu sementara hatinya panik karena tidak tahu harus bereaksi apa setelah mendengar perktaan Ranti barusan.

"GILA DANGDUT ABIS LO, RAN! HOEK, ENEG GUEEE..." Belum sempat Alva berkata apa-apa, dia sudah keduluan oleh Salsa yang tidak kuat setelah mencuri dengar omongan Ranti itu. Alva menengok pada Salsa sekilas, lalu seolah baru sadar dia pun tersenyum lebar. Berpura-pura geli pada apa yang Ranti bilang barusan.

"Berisik lo! Ngerti kan sekarang perasaan gue kalo lo berdua lagi ngegombal?!" balas Ranti defensif. Wajahnya sudah merah dan dia menjadi sangat salah tingkah.

"Ngga cocok lo, Ran, ngegombal gitu! Eneg banget asli, bikin mual," kata Salsa lebih santai setelah mendekati kedua sahabatnya dengan menggenggam sebuah buku. Akhirnya ketemu juga buku yang dia cari dari tadi. Lemari buku pun sudah ditutup rapi. Ranti cemberut dan mengadah pada Alva, meminta dukungan. Alva diam sejenak, lalu tersenyum.

"Namanya juga nada kromatis. Nanti juga manis kalo udah biasa dengernya," jawab Alva, mati-matian menahan diri untuk tidak menepuk kepala Ranti. Satu usaha yang aneh mengingat itu adalah hal yang biasa dia lakukan dulu.

"Tuh, belajar sama yang ahli! Gombalannya filosofis gitu," kata Salsa sambil menepuk bahu Ranti.

"Lah, apa bedanya sama gombalan gue tadi?!?!" tanya Ranti sewot, benar-benar tidak habis pikir dengan ejekan Salsa yang sukses membuatnya makin malu.

"Udah pada selesai belum nih? Gue mau mandi terus jemput Mel, lo pada pulang sana," Alva memburu-buru Ranti dan Salsa untuk keluar dari rumahnya sebelum mereka asyik berdebat. Semakin lama mereka bersama, semakin takut Alva ketahuan sedang bersikap aneh.

Setelah kedua sahabatnya pulang, Alva tidak langsung mandi seperti ucapannya barusan. Dia merebahkan diri di sofa. Alva mencoba mengkaji sejak kapan keanehan ini terasa, mengapa berada di dekat Ranti jadi terasa berbeda, sampai berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang. Alva mengingat-ingat kembali persahabatannya dengan Ranti. Awal mereka berkenalan, lalu sampai bersahabat seperti sekarang.

Ini cukup ... cukup ...

Alva meringkuk. Ia memeluk bantal sofa erat-erat.



... then why it hurts so bad?    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top