Bad Day The 13th
"Can you photoshop your life with better decisions?" - April Ludgate
***
Seperti yang sudah bisa diduga seluruh umat manusia yang mengenal Ranti dan Reza, mereka lolos tahap kedua kompetisi apps tingkat Nasional tersebut bersama tujuh kompetitor lain.
Di tahap ini mereka diwajibkan mengikuti serangkaian workshop dari cara pembuatan apps sampai akhirnya dapat mempresentasikan apps rancangan mereka kepada dewan juri. Rangkaian workshop dan presentasi final akan dilaksanakan selama seminggu di Bandung. Ya, mereka akan menginap di Bandung. Terbayang kan hebohnya Salsa?
Dalam satu minggu Ranti sibuk mengurus izin kampus untuk tidak mengikuti kegiatan perkuliahan selama seminggu karena di Bandung nanti mereka akan membawa nama almamater.
Dalam minggu itu pula Salsa tidak habis-habis noraknya. Apalagi kalau sudah melihat Reza dan Ranti berduaan kesana kemari. Salsa pasti tidak pernah absen menggoda mereka. Setiap malam Salsa meminta update cerita pada Ranti sampai Ranti malu sendiri. Ini yang sedang jatuh cinta Ranti, tapi kok Salsa yang lebih ekspresif?
Tapi bagi Ranti kehebohan Salsa itu malah menjadikan hari-harinya tambah manis. Dengan Reza yang makin dekat dengannya dan Salsa yang terus mengingatkan betapa dekatnya mereka berdua, untuk pertama kalinya Ranti merasa mengerti apa yang dulu Alva maksud dengan "The One".
Ngomong-ngomong soal Alva, dia juga tidak kalah sibuk. Sibuk menghindari Ranti dan memupuk rasa kembali pada Melisa.
Alva menepis semua insting dan pikirannya tentang Ranti. Bagi Alva, kewajibannya sekarang adalah berkomitmen pada pilihannya. Untuk apa menyesal? Melisa adalah perempuan yang baik dan sangat menyayanginya. Sementara Ranti, kapan sih Ranti bisa melihat Alva sebagai seorang laki-laki? Tidak pernah. Sejak awal Alva sudah terjebak di zona pertemanan Ranti. Kini sudah saatnya Alva belajar menerima kenyataan itu.
Alva berniat menata hatinya kembali agar dapat menjadi sahabat yang pantas bagi Ranti dan kekasih yang pantas bagi Melisa. Pokoknya komitmen jadi harga mati!
Meskipun sudah agak lama Alva mulai menghindari Ranti, tapi Alva rasa Ranti tidak begitu memperhatikannya. Pikiran dan hati gadis itu memang lagi dipenuhi Reza. Begitu pula hari-harinya. Tapi itu bukan urusan Alva. Bukan juga waktunya bagi Alva untuk gusar mengingat Ranti akan ke Bandung berdua dengan Reza. Mereka tidak sedang berlibur dan di sana pasti Ranti akan sekamar dengan sesama peserta perempuan. Lagipula Alva sadar diri, bukan kewajibannya mencemaskan Ranti.
Alva mati-matian menghimpun kembali fokusnya kepada perempuan yang setia menemani hari-harinya sekarang, Melisa. Tentu saja selain pada perkuliahannya yang makin lama makin menyita waktu. Kini jadwal nge-band selalu dipadatkan Aldy di waktu weekend sehingga kuliah Alva tidak terganggu.
Imbas dari padatnya weekend Alva dengan jadwal manggung adalah alokasi waktu mengerjakan tugas yang sudah tidak bisa ditunda-tunda seperti dulu. Jumlah tugas paper yang menggila membuat Alva menjadi penghuni perpusat dalam sebulan terakhir. Bahkan beberapa kali Melisa harus menghampiri sehingga mereka berkencan di kafe perpusat. Juara banget memang usahanya Melisa untuk bersama Alva.
Hari ini tidak begitu berbeda rasanya. Dia duduk setelah membaca beberapa jurnal yang telah ia download lalu mengerjakan tugas-nya di salah satu meja di pojokan perpusat lantai tiga. Saat sedang larut dengan teori yang baru saja dipahaminya, Alva dikagetkan dengan gebrakan buku dari seberangnya. Salsa dengan wajah jutek sudah duduk dan menatapnya. Alva memasang cengiran geli.
"Si sombong sekarang jadi tukang ngumpet juga!" kata Salsa pelan tapi tajam.
"Apaan sih ..." jawab Alva sambil tersenyum geli.
"Elo tuh kenapa sih, Va, ngga ngumpul lagi sama gue dan Ranti?? Padahal kan lagi seru nih si Ranti sama Reza! Gue ngga ada temen ngobrol untuk menganalisa mereka berdua nih!!" sembur Salsa. Alva langsung tertawa.
"Gaya lo pake menganalisa. Paling juga mau ngegosipin!" Kata Alva sambil tertawa geli.
"Ya mau apa kek intinya jadi ngga bisa gara-gara lo sok sibuk banget," balas Salsa manyun.
"Sorry, kita udah beda aliran sih," jawab Alva asal sambil lanjut mengetik.
"Lebay gila! Advert sama broadcast ngga sejauh FISIP sama MIPA kali!"
"Iyaaa... sorry, sorry. Lagi rame job manggung gue, semua dipepes pas weekend. Jadi pas weekdays ya gini. Sibuk ngerjain tugas sama absen muka ke Mel biar masih inget kalo dia punya pacar. hehehee ..." jawab Alva lebih rinci. Salsa menatapnya lekat-lekat.
"Bukan karena Mel ngga suka sama gue dan Ranti kan?" tanya Salsa memastikan. Lagi-lagi Alva tertawa.
"Trauma ya lo gara-gara Sofia dulu?" tanya Alva geli.
"Iya. Selera lo dulu si princess gitu, takutnya sekarang ngga berubah," kata Salsa tiba-tiba jadi merajuk.
"Mel justru nanyain lo berdua terus sih. Bosen dia ketemu anak-anak band, cowo semua. Kalo ada lo berdua kan seru jadi ada temen ngobrol. Cuma ya emang ngga sempet ngumpul lagi aja kita. Huhu ..." kata Alva. Mendengar penjelasan Alva itu, Salsa menjadi lega. Sampai sekarang penilaian dia tentang Melisa semakin naik.
"Sabtu ini lo manggung di mana? Gue sama Ranti samperin deh!" Ujar Salsa semangat. Alva langsung menghentikan pekerjaannya.
"Hah? Ngapain?? Ngga usah udah ..." jawab Alva. Hati gue belum siap, begitu batinnya menambahkan.
"Usah! Harus mau! Kalo perlu gue langsung tanya ke Aldy!" Salsa tidak mau kalah.
"Yaudah yaudaaahh nanti gue kirimin lokasi manggung gue. Jangan ngerusuh tapi lo berdua ya, gue full manggung hari itu ngga bisa ngejagain lo berdua," kata Alva seperti Bapak-bapak. Salsa langsung tersenyum puas mendapatkan keinginannya.
"Kita ngga perlu lo jagain, Va. We're big girls."
"Yea right, one is a spoiled and one is purely innocent. Ngga pernah ada masanya gue tenang bisa ngelepas lo berdua," kata Alva sambil kembali berkutat dengan tugasnya. Salsa tersenyum senang mendengar ucapan itu. Tipikal Alva sekali, satu-satunya laki-laki yang selalu ada di antara mereka untuk melindungi.
***
"Harus ngasih kado banget, Mel?" Alva mengikuti Melisa di dalam sebuah Mall dengan malas.
"Kamu tuh sahabatnya bukan? Lomba ini kan penting buat Ranti. Apa salahnya kalo kasih kado? Biar dia makin semangat, Va ..." kata Melisa bersemangat. Akhirnya Sabtu ini dia tidak lagi menjadi cewe satu-satunya dan membuatnya merasa menjadi groupies band Alva di beberapa weekend belakangan. Sabtu ini Salsa dan Ranti akan datang. Melisa yang senang dengan kabar ini langsung membuat persiapan untuk nanti.
"Aneh lah. Aku ngga pernah tuh ngasih kado selain lagu ke mereka." Ucapan Alva ini membuat mata Melisa terbuka lebar. Bagaimana mungkin ada sahabat yang tidak pernah bertukar kado seperti Alva?! Emang ngga modal atau kelewat bangga sama lagu bikinannya sih??
"Ih! Ngga modal dasar! Kasian Ranti sama Salsa ... berarti kado ini makin harus kita beli. Ini kado dari kita, oke? Dari aku sama kamu. Sepaket. Jangan sampe aku ketularan imej pelit kamu," Melisa langsung menyemprot Alva, walau tangannya tidak berhenti saling bergenggaman dengan tangan Alva.
Alva tersenyum dan mengangguk. Melisa memang berbeda darinya. Melisa bahkan bisa tiba-tiba memberikan sesuatu tanpa ada momen istimewa. Contohnya saat memberi Alva kotak musik orgel itu. Ah, hati Alva jadi hangat kembali tiap mengingatnya.
"Sekarang coba aku tanya kamu, Ranti itu sukanya apa?" Tanya Melisa dan seketika kehangatan di hati Alva berubah runyam. Mengingat kembali Ranti dan kesukaannya membuat Alva kembali merasakan perasaan aneh itu.
Alih-alih menjawab Mel, Alva malah langsung beranjak. Melisa mengikuti walaupun dia tidak mengerti. Alva masuk ke toko buku. Setelah beberapa saat mencari, dia mengambil sebuah file holder berwarna biru tua, sebuah notes yang juga biru tua dengan motif floral, serta sebuah bolpoin yang juga berwarna senada. Alva baru mau menuju ke kasir sebelum Melisa menariknya.
"Alva! Kok ini aja sih?! Kamu beneran pelit banget ya sama temen sendiri," protes Melisa.
"Mel sayang, kamu percaya sama aku ya. This is the perfect gift for her," jawab Alva dengan senyum penuh keyakinan. Melisa cukup tertegun dengan kepercayaan diri Alva saat itu sampai-sampai dia melepaskan tarikannya. Alva menuju kasir, memilih kertas kado dan meminta tolong untuk membungkus apa yang tadi dipilihnya dengan balutan kertas kado pilihannya. Sebuah kertas kado berwarna biru lagi, dengan motif bunga-bunga.
Alva memanggil Melisa sambil tersenyum sementara Melisa menjawab senyum itu dengan gugup. Ada perasaan tak nyaman ketika dia bisa menebak bahwa Ranti menyukai warna biru tua dan floral pattern dari barang-barang pilihan Alva ...
***
Siang itu memang sangat panas meskipun Ranti dan Salsa sudah berada di tenda backstage bersama Melisa dan member grup band Alva yang lain. Ranti mengutuki dirinya yang memakai kemeja berbahan flannel yang membuat dirinya makin kegerahan. Ia melihat iri Salsa dan Melisa yang hanya memakai kaos tanpa lengan dan celana selutut.
"Salah kostum nih gue," sahut Ranti sambil mengipas-ngipasi dirinya dengan tangan.
"Nih Ran!" Aldy dengan sigap memberi kipas angin kecil berdaya besar yang sudah fully charged. Ranti kegirangan bukan kepalang sementara Salsa dan Melisa menatap Aldy tidak percaya.
"Ranti doang yang dikasih?!" sindir Salsa. Spontan dia mengikuti gerakan mengipas-ngipas Ranti tadi.
"Ah, kayak pada kekurangan cowo yang bisa dimintain tolong lo berdua! Udah ah, bye!" Aldy langsung pergi mengurus jadwal manggung dan teknis sound band-nya. Alva hanya duduk-duduk saja sambil tertawa-tawa kecil. Dia masih mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Ranti. Kali ini ada Melisa, dia harus bersikap biasa.
"Oke guys, ngumpul yuk!" Aldy memberi aba-aba sambil menepuk tangannya penuh semangat. Perhatian anggota band-nya langsung tertuju padanya. Mereka semua pun menghampiri Aldy dan membentuk lingkaran. Sebuah ritual sebelum mereka manggung.
"Guys, hari ini emang tanggal 13. Banyak yang bilang hari ini hari sial ..." Aldy membuka persiapan yel-yel dengan nada suram, membuat anggotanya bingung.
"Harus ngingetin banget ya kalo kita manggung pas angka sial?" Tanya Alva terganggu.
"Yeeehh ... dengerin dulu! Banyak yang bilang hari ini hari sial, tapi kita ada di sini untuk matahin anggapan itu! Bikin orang-orang ngerasa beruntung karena ngeliat performance kita! Jangan lupa main puas, oke?!" Akhirnya kata-kata Aldy lebih terdengar memotivasi. Seluruh anggotanya kembali bersemangat. Mereka pun meneriakkan yel-yel mereka.
Melisa mengajak Ranti dan Salsa duduk bersama Alva. Alva masih punya waktu sekitar 10 menit sebelum harus bersiap di balik panggung. Kini posisi Ranti dan Salsa besebrangan dengan Melisa dan Alva. Satu meja berukuran sedang menjadi pemisah mereka berempat. Tapi percakapan yang terjadi cukup hangat dan rapat. Alva pun menjadi semakin santai. Benar juga, biar bagaimanapun Ranti itu kan sahabatnya. Tidak mungkin dia tiba-tiba menjadi asing sama sekali hanya karena ada yang berubah dalam perasaannya.
"By the way, Ran, selamat ya ... kapan berangkat ke Bandung?" tanya Melisa.
"Senin Mel. Doain ya, hehehe ..." kata Ranti sambil menaikkan cengirannya. Topik tentang kompetisi bersama Reza ini selalu sukses menaikkan mood-nya.
"Pasti," jawab Melisa yakin. Ranti sedikit tertegun mendengarnya. Jawaban dan ekspresinya mirip Alva saat beberapa waktu lalu Ranti minta didoakan juga.
Ranti mengulum senyum, perempuan yang dihadapannya ini benar-benar cocok dengan Alva. Ranti tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari ada perempuan yang bisa terlihat lebih cocok dari Alva dibanding dirinya dan Salsa. Ada sedikit kesepian ternyata setelah posisi itu diisi orang lain. Tapi tentu saja rasa sepi itu tidak ada apa-apanya dibanding perasaan senang karena akhirnya Alva menemukan seseorang yang bisa se-frekuensi seperti Melisa ini.
"We have a gift for you," kata Alva sambil menyodorkan sebuah hadiah kepada Ranti. Mata Ranti dan Salsa tidak mampu menyembunyikan rasa terkejut mereka. Bolak-balik Ranti dan Salsa memandang hadiah yang baru diberikan tadi dan Alva-Melisa yang saling bertatapan penuh arti. Alva merangkul lembut Melisa, memperlihatkan tanda yang jelas bahwa hadiah itu adalah ide Melisa.
"MEEEELLL!!! YOU ARE SUCH AN ANGEL!!" kata Salsa nyaris berteriak.
"KEEP HER, ALVA! FOR THE SAKE OF US!" Ranti pun tidak kalah heboh reaksinya. Alva langsung mendecak malu sementara Melisa hanya tertawa-tawa.
"Yaampun ... Alva si pelit bin merki akhirnya ngadoin orang ... gue terharu ..." Salsa mulai berlebihan.
"Bawel ah semua. Siniin deh kadonya, ngga jadi!" Alva meraih-raih hadiah yang sudah di tangan Ranti saking risihnya sementara Ranti dan Salsa spontan menarik hadiah itu untuk menjauhkannya dari Alva.
"Buka dong, Ran," kata Melisa menengahi. Ranti langsung membuka hadiah tersebut dengan wajah tak sabar. Alva menahan senyum melihat reaksi Ranti. Sudah lama Alva tidak melihat Ranti. Melihat sahabatnya itu dari tadi bicara dan tertawa terasa menyegarkan sekali. Setelah Ranti melihat isi hadiahnya, matanya menjadi sangat berbinar.
Ekspresi itu tertangkap jelas oleh Alva, membuatnya puas tidak terkira. Alva tahu hadiahnya itu terkesan sederhana, tapi memang hal itulah yang benar-benar Ranti suka. Sebuah perlengkapan menulis dan dokumentasi.
"Yaampun!! Thank you so much, Mel! It's such a perfect gift for me!!" kata-kata Ranti membuat Mel merasa déjà vu.
"Gue yang milih itu, terima kasihnya ama Mel doang?" tanya Alva ketus.
"Thank you, Vaaaa ..." kata Ranti kelewat girang.
"Aku bilang juga apa, Sayang ... Ranti tuh senengnya ya yang kayak gini ini ..." kata Alva pada gadis dalam rangkulannya.
"Iya, yang kayak gini aja Alva ngga pernah ngasih sebelum ada lo, Mel," balas Ranti jahil. Wajah Alva langsung cemberut lagi. Kenapa sih sahabat-sahabatnya ini tidak ada yang berusaha membangun imej baik Alva di depan pacarnya?
"Tapi kece juga lo, Va. Bisa dapet warna biru tua senada gini. Terus notebook-nya selera Ranti banget nih floral pattern gini," komentar Salsa.
"Makanya beli beginian di toko buku gede. Lengkap tuh semua gradasi warnanya," jawab Alva ringan. Mereka semua tertawa. Tak berapa lama Aldy memanggil Alva untuk bersiap-siap di backstage.
Melisa, Salsa dan Ranti pun langsung menuju ke tempat penonton di barisan agak depan. Saat menonton Alva manggung, Melisa mendengar Ranti berkata, "Udah lama ngga denger Alva nyanyi, makin bagus aja ya nyanyinya."
Ya, semakin lama Alva terdengar makin menghayati lagu-lagu yang dibawakannnya. Melisa menahan keresahannya mengingat lagu yang dibawakan band Alva adalah lagu tentang patah hati dan bertepuk sebelah tangan.
***
"Kamu jadi manggung di Jogja bulan depan?" tanya Alva.
"Jadi, kita udah lolos babak kualifikasinya gitu. Jadi bisa perform di festivalnya deh," jawab Melisa ceria. Saat itu mereka hanya berdua menikmati makan malam sambil istirahat selesai loading alat-alat musik dari lokasi festival ke rumah Aldy.
Hari itu berjalan jauh lebih lancar dari ekspektasi Alva. Perasaan anehnya saat melihat Ranti tidak muncul lagi. Penampilan band-nya juga memuaskan sampai penonton meminta encore. Hari itu benar-benar hari baik. Entah Aldy yang kelewat sakti atau 13 angka sial itu hanyalah mitos.
"Keren banget sih band kamu," balas Alva.
"Ngga sekeren band kamu lah, tiap minggu manggung terus."
"Alah itu mah ngga keren. Itu si Aldy ngejar setoran."
Melisa tertawa mendengar candaan Alva tentang managernya itu. Dia lalu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali melahap makanannya.
"Kita sampe kapan ya, Va, bisa begini?"
"Begini?"
"Nge-band."
"Ya ... selama yang kita bisa, Mel."
Keduanya tahu mereka harus menghadapi kenyataan. Sesuka mungkin mereka pada dunia musik, mereka sadar bahwa ini bukanlah jalur karir yang menjanjikan. Ada hal lain yang harus mereka lakukan agar dapat menghidupi diri sendiri kelak. Impian tentang menjadi musisi semakin terkikis saat mereka beranjak dewasa karena persaingan di dunia ini sangat ketat. Tapi di masa ini mereka memilih untuk menikmati masanya bisa bebas memilih musik. Bebas melakukan apa yang mereka sukai.
"Kalo kamu sama aku, kira-kira sampai kapan?"
"Kamu maunya sampai kapan?"
"Selamanya bisa?"
"Bisa dong."
Mereka berdua tersenyum. Menikmati momen itu. cukup lama sampai Melisa membuka mulut lagi.
"Kalo kamu sama Ranti?"
"Kok tiba-tiba Ranti sih, Mel?" nada Alva langsung berubah. Entah mengapa dia sangat tidak nyaman menerima pertanyaan itu. Debaran di dadanya jadi sulit diatur.
"Kenapa sensi banget?"
"Aku ngga sensi ..."
"Kamu sama Ranti tuh sebenernya ada apa sih, Va?"
"Ngga ada apa-apa ya, Mel. Kamu jangan mulai. Ngga hari ini ya, please ..."
Hari ini harusnya menjadi hari yang sempurna. Hari yang cukup menenangkan bagi Alva. Dia bisa berkumpul lagi dengan Salsa dan Ranti, dengan teman-teman band-nya, dengan Melisa. Alva puas bersenang-senang manggung dan berinteraksi dengan semua orang-orang terdekatnya hari ini. Tanpa ada drama perasaan berlebihan kepada Ranti. Tanpa ada perasaan khawatir akan perasaannya sendiri. Semua berjalan begitu mulus, sampai saat ini. Kenapa Melisa harus mengungkit ini?!
"Kalo ngga hari ini berarti nanti-nanti ada ya masanya kamu bakal cerita tentang kamu dan Ranti?"
"Mel ... don't ask something you don't want to know."
"Why? Do you think I can't handle the truth?" Alva berhenti makan dan menatap tajam Melisa. Perempuan yang tadinya santai itu langsung menegakkan tubuhnya, menyadari ada keanehan yang terpancar dari Alva.
"Ngga gitu ..." jawab Alva selang beberapa detik. Wajah Melisa berubah panik.
"Wow ..." Melisa kehilangan kata-kata. Perasaan buruknya makin menggila.
Ada yang bilang kalau kita mencintai seseorang, kita akan jadi lebih peka terhadap tiap gerak-gerik orang itu. Melisa selalu merasa ada yang beda dari cara Alva menatap dan tersenyum pada Ranti. Cara yang Mel harap hanya diberikan Alva untuknya. Tadinya Melisa pikir itu hanya perasaannya saja yang sedikit cemburu. Tapi cara Alva menjawab Melisa kali ini membuatnya yakin tentang kebenaran insting tersebut.
"Mel, please ..."
"So you DO think I can't handle the truth, don't you?" Melisa tertawa sinis. Hatinya berdebar, ketakutan. Dia tidak siap dengan percakapan ini. Dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri karena telah membawa topik sial ini ke dalam percakapan mereka.
"Ngga ada yang harus didebatin di sini," Alva mencoba menenangkan Melisa, tapi perempuan itu tidak melanjutkan makannya dan merapikan diri dan tasnya.
"Iya, emang ngga ada. Kamu ngehindarin pertanyaan tentang ada apa antara kamu sama Ranti itu udah jawaban mutlak, ngga perlu didebatin lagi."
"Melisa, I told you we have nothing, didn't I?!"
" Listen, if you choose to be with someone, you need to be sure about it. Kamu mau sama aku tuh harus karena kepastian, bukan kesepian! Better kita take a break dulu deh, kamu hubungin aku kalo emang udah yakin mau sama aku," kata Melisa yang berusaha menjaga nadanya agar tetap tenang tapi tetap tegas. Dia tidak ingin bertengkar, tidak dengan Alva. Untuk memastikannya dia menghampiri Alva sebelum beranjak pergi dan berkata, "Aku siap nunggu kamu sampai kamu siap bersama aku, Va."
Suara langkah Melisa semakin jauh meninggalkan Alva yang duduk sendiri. Sekarang kepalanya pusing bukan main. Bagaimana caranya keluar dari situasi ini tanpa menyakiti siapapun?
Tiba-tiba Alva teringat saat dia duduk berdua dengan Ranti di halte saat hujan deras turun. Mereka membicarakan tentang hujan yang saking derasnya menjelma menjadi mesin waktu. Saat itu Ranti bilang dia lebih memilih untuk pergi ke masa depan ketimbang ke masa lalu. Bisakah mesin waktu itu muncul lagi sehingga Alva bisa memilih untuk pergi ke masa lalu saja dan mengubah pilihan-pilihan hidupnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top