5. CRUSH HOUR
Seda menatap sekretaris barunya dengan mata jeli. Berusaha untuk tak begitu terlihat mencolok, karena pegawai barunya pasti tak akan nyaman diperlakukan demikian. Tak ada Mayang yang membantu laki-laki itu. Sebab selepas jam makan siang, Mayang resmi mengundurkan diri dan hebatnya sosok pengganti Mayang ini mampu menjalankan tugasnya dengan cukup baik. Hampir tidak ada kesalahan. Mungkin karena jenis kelaminnya laki-laki, yang berarti saat bekerja tak banyak menggunakan rasa di hati, melainkan logika yang berjalan di otak.
"Kamu sudah menikah?" tanya Seda seraya menumpuk tugasnya menandatangani program baru salah satu divisi.
Deprima menatap kebingungan pada atasannya yang memang sudah ruwet sejak awal. "Belum, Pak."
"Pacar?"
Deprima menggeleng pelan. Meski tak tahu apa hubungannya status pribadinya dengan pekerjaan, Deprima tetap menjawabnya.
Seda menutup berkas yang baru akan dibacanya. Menghela napas keras, lalu mendongak tegas kepada Deprima.
"Nggak mungkin dengan penampilan kamu yang seperti ini nggak laku. Jujur saja. Kamu oleng atau impoten?"
Itu menyinggung ego pria yang dimiliki Deprima. Sangat. Namun, dia menyadari betul membutuhkan pekerjaan di bawah tangan pria itu. Sekalipun kendali Seda satu paket dengan mulut pedasnya.
"Nggak keduanya, Pak. Saya belum menemukan yang pas saja. Tapi saya tetap melakukan penjajakan, kok."
"Caranya?" sambar Seda dengan cepat.
Sekretaris baru Seda itu mengalihkan tatapan kemana-mana lebih dulu sebelum menunjuk ponsel yang ada di meja bos-nya itu.
Bukannya langsung mengerti, Seda justru semakin ingin dijelaskan. "Apa? Kamu bahas apa? HP saya kenapa kamu tunjuk-tunjuk?"
"Eh..." Deprima menggaruk alisnya. "Maksud saya, penjajakan yang saya lakukan dengan menggunakan aplikasi kencan di ponsel, Pak."
Penasaran, Seda mengambil ponselnya dan mencoba membuka apa saja yang ada di dalamnya.
"Aplikasi? Namanya apa? Di saya nggak ada aplikasi semacam itu."
Diam-diam Deprima menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Bingung dengan sikap unik atasannya yang kuno.
Merogoh saku jas-nya sendiri, Deprima mengotak atik ponselnya sendiri hingga menemukan aplikasi yang dia gunakan.
"Ini, Pak. Yang seperti ini."
Terlihat sekali Seda Dactari membuat ekspresi begitu tertarik, penasaran, terhadap aplikasi yang Deprima tunjukkan.
"Pak?" Deprima memanggil atasannya dengan tangan yang dilambaikan di depan wajah Seda. "Pak?"
"Saya... saya akan coba pasang--"
"Eh-jangan, Pak!" larang Deprima cepat.
"Kenapa?! Kamu barusan melarang atasanmu?!" Seda sedikit terpengaruh untuk menaikkan nada bicaranya.
"Bukan begitu, Pak." Kini Deprima merasa begitu serba salah. "Bapak lebih baik jangan pakai aplikasi ini. Karena bapak sudah menikah."
Seda mengerutkan dahi. "Apa hubungannya?!"
"Ini untuk orang yang punya kepentingan mencari pasangan, Pak." Deprima menatap takut. "Memangnya bapak ada niatan mencari pasangan lagi?"
Menggebrak mejanya. Seda langsung mengalah marah. "Kamu pikir saya pria tidak setia!? Saya mau pasang aplikasi itu untuk membantu acara baru yang akan tayang! Berhubungan dengan acara kopi darat pasangan! Kamu nilai saya mau selingkuh!! Kurangajar kamu!"
"Maaf, Pak. Maaf. Saya salah."
Menyadari bahwa Deprima tak sepenuhnya salah dengan kesimpulannya, Seda menghela napas bersabar.
"Beritahu saya, bagaimana cara menggunakannya. Saya ingin riset untuk program acara Jodoh Pickup."
Deprima tak ingin ada masalah yang timbul untuk keluarga atasannya. Mencari cara, Deprima mengajukan saran.
"Bagaimana kalau bapak riset melalui ponsel saya? Bapak bisa coba chatting dengan teman saya di aplikasi ini. Jadi, nggak akan menunjukkan masalah di rumah bapak nanti sama istri, kalau hp bapak di cek. Gimana, Pak?"
Tidak terlalu buruk. Seda akan mencoba cara itu. Untuk melakukan riset, sekaligus membaca bagaimana perempuan ingin diperlakukan.
*
Odessa mengernyit ketika balasan yang datang di jam kantor terasa berbeda sekali dari pesan yang biasanya Deprima kirimkan. Karena sepertinya Odessa tak bisa langsung membalas pada saat atasannya menatap pada kubikelnya, maka Odessa berfokus pada layar komputer dan pekerjaannya.
"Odessa." Akhirnya namanya diserukan juga.
"Ya, Bu?" Semula Odessa memanjangkan lehernya guna melirik sang atasan. Pada akhirnya dia tetap berdiri untuk menemui wanita yang tak kunjung menikah meski sudah kepala tiga.
"Ke ruangan saya, ya. Sekarang."
Tampaknya, Odessa memang sudah diawasi sejak tadi. Firasat Odessa tidak salah. Memang dirinya yang sudah diamati dengan cermat belakangan ini, pada waktunya akan tetap berhadapan dengan kepala divisinya.
"Permisi, Bu."
"Duduk, Odessa. Kita bicara langsung saja, ya."
Odessa mengangguki. "Iya, Bu."
"Belakangan kamu ngerasa ada keluhan saat bekerja?" tanya Dertaya.
Kali ini Odessa menggeleng. "Tidak, Bu."
Dertaya menimang. "Hm... gitu, ya?"
Meski terdengar ragu, ternyata Dertaya tak ragu sama sekali untuk mengangsurkan lembaran surat untuk Odessa.
"Ini... apa, Bu?"
"Odessa. Saya minta maaf sebelumnya, tapi ini keputusan bulat dari atasan kita dan HRD. Saya juga merasa memang harus melakukan tindakan ini. Kamu dipecat, Odessa."
Boom! Odessa sepertinya tak merasa jiwanya masih berada dalam raga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top