Bab 4 A Venomous Bitch
It’s true, i’m a venomous bitch inside The Fuchsia De Capri Blue.
“Dengan segala hormat, Yang Mulia Raja, maafkan kelancanganku bertanya. Apakah kau benar-benar akan menjadikan Alma Lucrecia sebagai selir?”
Raja Ignatius mengangguk dengan tegas. “Iya, Gustav. Katakanlah aku melakukan hal yang benar.”
“Tapi, apa alasannya? Bukankah Yang Mulia sangat mencintai mendiang ratu Alla?” Gustav masih tak bisa mempercayai keputusan Raja Ignatius, ini bahkan baru setahun kematian sang ratu.
Raja menatap lekat wajah Gustav. Sebuah alasan? Jika Gustav mengetahui alasan sebenarnya, dia pasti akan memandang rendah dirinya sebagai raja. Dan bagaimana dengan pendapat juga pandangan para dewan dan pejabat kerajaan? Orang-orang di dalam istana? Penduduk Gallardina? Jika mereka semua mengetahui apa yang sudah raja mereka lakukan terhadap pelayan pribadi mendiang istrinya itu.
Aku harus menjaga kehormatanku dan kerajaan, tentu saja jika Alla masih hidup, dia tidak akan memaafkanku.
Melihat sang raja tak menjawab dan menatapnya lekat membuat Gustav merasa sudah mempertanyakan hal yang tak sepantasnya. “Aras auffarlae, Fura Magista.”
“No, no ficare, Gustav.” Raja mendesah pelan. “Kau bertanya alasannya bukan? Katakanlah aku membutuhkan seseorang untuk merawat putra dan putri mahkota. Aku rasa, Alma Lucrecia yang dulu adalah pelayan pribadi mendiang istriku adalah orang yang pantas. Dia menjadi selirku, di mana dia memiliki kekuasaan atas istana fuchsia de capri blue, tapi tak memiliki kekuasaan apapun atas kerajaan dan negara ini.” Raja memberi jeda dengan menatap Gustav. “Jadi, bagaimana menurutmu? Aku melakukan hal yang benar bukan?”
Gustav membalas tatapan Raja. Ditemukannya sedikit keraguan pada kedua mata Raja Ignatius. Dia menyadari ada sesuatu yang salah atas keputusan sang raja dan berencana mencari tahu. “Yang Mulia, jika menurutmu itu adalah keputusan yang benar maka sudah seharusnya itu adalah keputusan yang benar.”
“Terima kasih atas pengertianmu, Gustav. Aku harap kau tak mempertanyakan hal ini lagi.”
“Baik, Yang Mulia. Aras endirae.”
Keputusan raja menjadikan pelayan pribadi mendiang ratu Alla sebagai selir menjadi pembicaraan hangat ke penjuru negeri Gallardina. Beberapa menyetujui keputusan raja yang merasa hal itu wajar jika seorang raja memiliki selir, terlepas dari tidak tahunya mereka alasan sebenarnya. Beberapa lagi tidak menyetujui dan sangat tidak menyukai Alma Lucrecia. Mereka adalah yang mencintai ratu Alla dan setia kepada sang ratu.
Sore itu, Alma Lucrecia yang kini sudah bergelar selir sedang melayani raja di balkon istana yang luas. Selir Alma menghidangkan teh herbal kesukaan ratu Alla kepada raja.
“Alma.”
“Ya, Yang Mulia.”
“Aku ingin mengingatkanmu satu hal. Meski kini kau bergelar selir, tapi kekuasaanmu hanya ada dalam istana, tidak atas kerajaan dan negara ini. Kau paham ‘kan peraturannya?”
Alma menundukkan kepalanya. “Aku paham, Yang Mulia.” Tentu saja aku paham dan tahu betul tentang peraturan itu! Kalau tidak, untuk apa aku merencanakan hal ini! Aku ingin kau menjadikanku ratu, tapi aku malah bergelar selir!
“Baguslah kalau kau paham, Alma. Dan satu lagi, aku harap kau bisa merawat putra dan putri mahkota. Aku memberikan kekuasaan penuh padamu.”
Alma lalu tersenyum licik. “Granisa, Fura Magista.”
Raja lalu beranjak dari balkon istana menuju kamarnya, sekali lagi, dia tak meminum teh herbal yang sudah disiapkan. Alma menatap datar secangkir teh herbal yang masih terisi penuh di atas meja, wajahnya berubah menjadi terlihat kesal karena raja tak meminumnya.
“Alma,” panggil putri mahkota dengan manjanya.
Alma yang sedang dalam suasana hati buruk nampak semakin kesal melihat wajah cantik putri Audrina yang selalu bisa membuatnya iri. Ingin rasanya Alma melempar sang putri dari balkon istana saat itu juga, tapi diurungkan niat buruknya itu.
Dengan senyum penuh kepalsuan, Alma melanjutkan sandiwara liciknya. Disentuhnya pipi Audrina dengan lembut. “Au lara, carlae?”
“Aku merindukan ibu, bisakah kau menyanyikan lagu Ducae Drimesa untukku?” pinta putri Audrina.
Alma tersenyum tipis sambil mengelus lembut pipi Audrina. Aku benci sekali lagu itu! Mengingatkanku betapa beruntungnya dirimu memiliki seorang ibu yang bisa menyanyikan lagu anak-anak yang menyebalkan itu untukmu! Tapi tenang saja putri mahkota, aku akan menghapus ingatanmu itu, akan kubuat kau tak pernah mengingat ibumu! “Kemarilah.” Alma meminta Audrina mendekatinya lalu dia mengangkat sang putri ke atas pangkuannya. “Aku tak bisa menyanyikan lagu itu untukmu, tapi mulai saat ini, aku akan melakukan dan memberikan apa saja yang kau inginkan. Bagaimana? Apa yang kau inginkan selain aku menyanyikan lagu itu untukmu?”
Audrina menatap Alma dengan sendu. “Aku ingin ibu.”
“Kalau begitu, mulai saat ini aku akan menjadi ibumu.” Audrina masih menatap Alma dengan sendu dan tak mengerti. Aku akan mengendalikan hidupmu, Putri Mahkota!
Ϫ Ϫ Ϫ
Malam itu turun hujan lebat di kota Dorado, seorang wanita terburu-buru memasuki sebuah rumah peternakan yang besar. Setelah beberapa kali mengetuk pintu, seorang pria menyambutnya dengan sangat ramah dan gembira.
“Felicas wella, adikku sayang.” Pria itu merentangkan tangannya dan wanita itu pun memeluknya. “Tunggu dulu, apa kini aku harus memanggilmu Yang Mulia Selir Alma?” tanyanya menggoda.
“Jangan menyindirku, Xav! Aku hanya seorang selir.” Alma memukul bahu kakaknya, Xavier Alfonso, kemudian mendorongnya.
Xavier terkekeh. “Akhirnya kau mengunjungiku, Alma. Apa raja memberi izin?”
Alma mengangguk. Digantungnya trenchcoat basah yang dikenakannya lalu dia duduk di sofa ruang keluarga rumah itu.
“Astaga Alma, kau basah kuyup! Apa kerajaan tak menyediakan payung untukmu?”
Alma mendengus. “Kerajaan memberikanku mobil, Xav. Meski sebenarnya aku tak butuh.”
Xavier tertawa sambil menuangkan segelas furae. “Setidaknya kini kau bukan lagi pelayan istana.”
“Aku ingatkan padamu, Xav. Dulu aku bukan sembarangan pelayan. Aku pelayan pribadi ratu Alla yang kini bergelar selir.”
“Jadi, bagaimana kini gelar selirmu? Kekuasaanmu kini yang tertinggi setelah mendiang Ratu Alla.” Xavier lalu memberikan segelas minuman sari bunga fuchsia kepada Alma.
“Tidak, kau salah Xav.” Alma kemudian mengambil gelas yang diberikan Xavier. “Kekuasaanku hanya sebatas di dalam istana, tidak atas kerajaan dan negara. Aku sungguh berharap raja bodoh itu menjadikanku ratu, tapi aku malah terjebak dengan gelar selir.”
Xavier kembali tertawa. “Maksudku, kekuasaan di dalam Istana,” cibirnya dan sukses membuat Alma memelototinya sambil meneguk furae.
“Setidaknya raja bodoh itu memberikan kekuasaan penuh padaku atas kedua anaknya. Itu memudahkanku untuk mengendalikan kehidupan putri mahkota.” Alma tersenyum tipis.
“Lalu, bagaimana dengan putra mahkota?” tanya Xavier.
Alma mengembuskan napas kasar. “Andres memergokiku sedang menggoda Ayahnya dan semenjak itu dia membenciku.” Terdengar decakan. “Pangeran kecil kita sangat pintar, dia bahkan baru berusia lima tahun saat itu dan dia sudah bisa mencium kebusukanku.”
Xavier mendelik, menatap adiknya dengan curiga. “Aku penasaran.” Dia mendekatkan dirinya ke Alma. “Apa mungkin kau yang membunuh ratu Alla?” tanyanya berbisik. Alma dengan cepat menatap balik Xavier, dia tak menjawabnya. Xavier menjauhkan dirinya dan merebahkan punggungnya ke belakang sofa. “Aku hanya penasaran Alma. Karena seperti yang kau tahu, rakyat gallael mencurigai kematian ratu Alla yang tiba-tiba. Dan sekarang, tepat setahun kemudian, raja Ignatius menjadikanmu selir.” Xavier mendesah. “Kau tak membunuh ratu Alla, kan?”
Alma hanya mengendikkan bahu. Kembali dia teringat teh herbal yang sangat disukai ratu Alla dan raja sama sekali tak meminumnya setiap disuguhkan teh tersebut.
“Alma, kau sungguh tak terduga.”
“Xav, aku tak mengatakan bahwa aku yang membunuhnya.”
“Kau memang tak mengatakannya, tapi kau menyiratkan.”
“Menyiratkan bukan berarti memang aku yang melakukannya, kan?”
“Aku memberikan saran padamu, Alma. Aku yakin sekali pengawal pribadi raja, Gustavo Emiliano, dia itu tidak bodoh. Kau harus berhati-hati dengannya. Dan….”
“Dan apa?”
“Apa kau tahu, rakyat gallael yang setia pada ratu memberikanmu gelar yang menurut mereka sangat pantas untukmu?”
“Oh ya? Gelar apa itu?”
“Jalang berbisa.”
Seketika tawa Alma meledak. “Gelar yang sangat pantas untukku ya?” Dia lalu menepis rambut ikalnya yang terjuntai di bahu dengan sangat angkuh. “It’s true, I’m a venomous bitch inside The Fuchsia De Capri Blue,” lanjutnya menyombongkan diri.
Ϫ Ϫ Ϫ
------------------------------------------------------
Aras Auffarlae, Fura Magista : Hamba meminta maaf, Yang Mulia.
Granisa, Fura Magista : Terima kasih, Yang Mulia.
Aras Endirae : Hamba mengerti.
No ficare : Tidak apa-apa
Au Lara, Carlae? : Ada apa, sayang?
Felicas Wella : Selamat datang.
Ducae Drimesa : Mimpi Indah (lagu tradisional anak-anak Gallardina).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top