Bab 3 Scandal

A Scandal inside palace that shouldn’t happen.

Setahun berlalu sejak kematian ratu Alla, sang raja belum bisa menerima kenyataan bahwa istrinya telah tiada. Dirundung rasa sedih dan rindu yang teramat dalam, Raja Ignatius setiap hari meminum furae beralkohol.

Tepat hari ini, memperingati satu tahun kematian ratu Alla, rakyat gallael mendatangi Kathedral Amuria dengan membawa lilin dan rangkaian bunga fuchsia. Mereka hendak mendoakan sang ratu yang kini sudah berada di surga.

Raja Ignatius memandang ke arah kathedral melalui jendela kamar utama kerajaan di lantai tujuh istana sambil meneguk minuman furae beralkohol dan menggenggam seikat bunga fuchsia yang kemudian didekapnya.

“Alla…,” gumam raja dengan terpejam dan setetes bulir air mata jatuh di pipinya.

Tetesan airmata sang raja yang tak pernah dia perlihatkan kepada siapapun. Tak ada yang menyangka, raja Ignatius begitu lemah dan tak berdaya merindukan mendiang istrinya, Ratu Allanira Rosarie La Cementine De Gallardino.

Raja Ignatius tak pernah menunjukkan kesedihannya meski semua orang di Gallardina mengetahui bahwa sang raja sangat terpukul akan kematian ratu Alla yang tiba-tiba. Ratu Gallardina yang sangat dicintai raja juga rakyat gallael.

“Ayah, apa kau menangis?” tanya pangeran Andres yang masuk ke kamar raja secara diam-diam.

Buru-buru sang raja menghapus airmatanya. “Tidak, tentu saja tidak!” jawabnya tegas kemudian tersenyum.

“Rakyat gallael menunggumu di kathedral, Ayah. Apa kau tidak ke sana?”

“Tentu saja Ayah akan ke sana, hari ini peringatan kematian ibumu.”

“Aku… merindukan ibu,” ucap pangeran Andres pelan sambil menundukkan kepalanya.

Raja Ignatius memandang putranya dengan iba. Putra semata wayangnya yang kelak akan menggantikan dirinya menjadi raja Gallardina, Andres, harus menerima kenyataan bahwa telah kehilangan ibunya. Kedua tangannya lalu mengusap pipi Andres, kemudian ditegakkan kepalanya agar melihat wajahnya.
“Ayah juga merindukannya, Andres.” Raja Ignatius menatap lekat kedua mata putranya dengan raut wajah yang serius. “Tapi kau harus menegakkan kepalamu, tak peduli betapa sedihnya dirimu, betapa hancurnya hatimu atau bahkan betapa beratnya beban dipundakmu. Kau harus selalu menegakkan kepalamu! Karena kau adalah calon raja Gallardina di masa depan! Kau paham, Putra Mahkota!?”

Pangeran Andres yang melihat ketegasan Ayahnya lalu mengangguk kemudian menjawab dengan tegas layaknya seorang Putra Mahkota yang terhormat. “Aku paham, Yang Mulia Raja!”

Raja Ignatius tersenyum puas dengan jawaban putranya. Dia lalu mengecup puncak kepala Andres dan menepuk pelan bahunya. “Sekarang, temuilah adikmu. Kita akan bersama-sama ke kathedral,” perintahnya.
Pangeran Andres mengangguk lalu permisi keluar dari kamar utama kerajaan. Tepat pada saat itu, pengawal pribadi Raja, Gustavo Emiliano memasuki kamar.

Salure, Fura Magista.”

Salure, Gustav,” balas sang Raja.

“Sesuai perintah, vicallo kerajaan sudah siap untuk mengantarkan Yang Mulia Raja beserta Yang Mulia Putra dan Putri Mahkota menuju kathedral Amuria De Gallardine.”

Granisa, kita akan pergi sebentar lagi. Putraku sedang menjemput adiknya.” Gustav mengangguk. Sang Raja lalu menatap pengawal pribadinya dengan dahi mengkerut. “Gustav, siapa nama putramu? Berapa usianya?”

“Namanya Jasper Emiliano, Yang Mulia. Usianya kini 14 tahun.”

“Hmm.” Raja mengangguk. “Apakah dia dipersiapkan untuk menjadi penerusmu? Menjadi pengawal pribadi kerajaan?”

“Seperti yang kau ketahui, Yang Mulia. Keturunan Emiliano sudah bersumpah akan mengabdi dan setia pada kerajaan. Tentu saja, putraku sedang dipersiapkan untuk menjaga dan melanjutkan sumpah tersebut.”

Raja lalu kembali menatap Gustav dengan serius. Pengawal pribadinya yang sudah setia bersamanya bahkan pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu dulu adalah pengawal pribadi Ayahnya, Raja Theodorus Montega La Corsiva De Gallardino. Pewaris kerajaan Gallardina generasi ke delapan belas.

“Gustav, suatu hari jika umurmu panjang dan aku menjamin kau akan berumur panjang, kelak kau harus mengawal putra mahkota.” Gustav mengkerutkan dahinya mendengar perkataan Raja. “Tapi kau tak bisa juga mengawal putri mahkota. Aku ingin putramu kelak yang akan mengawal putriku, Audrina.” Raja menegaskan bahwa kata-kata yang baru diucapkan adalah sebuah perintah.

Gustav menundukkan kepalanya. “Yang Mulia, itu suatu kehormatan.”

“Jika sudah tiba saatnya, aku akan memberi titah pada putramu.” Gustav masih menundukkan kepalanya. “Sekarang, tegakkan kepalamu.”

Gustav lalu melihat sang raja memandang keluar jendela, melihat dari jauh rakyat gallael yang sudah berkumpul di kathedral untuk memperingati kematian mendiang ratu Alla. Sebuah pemandangan yang menandakan betapa rakyat begitu mencintai ratunya.

Sorot mata sang raja terlihat sendu seakan ingin menceritakan sesuatu yang terpendam di dalam hatinya. “Aku tak akan lama lagi hidup di dunia ini, Gustav,” gumamnya.

Gustav tak berkata apa pun. Dia tahu betul raja tak akan bisa hidup tanpa ratu Alla. Dia juga tahu betapa sang raja sangat mencintai ratu Alla, bagi raja, mendiang istrinya bukan hanya belahan jiwa tapi juga napasnya, kehidupannya.

Beberapa saat kemudian, pangeran Andres beserta putri Audrina masuk ke kamar utama kerajaan. Setelahnya, sang raja mengajak kedua putra dan putri mahkota menuju chapel kathedral untuk mendoakan dan memperingati kematian ratu Alla.

Setibanya di kathedral, rakyat gallael memberi salam dengan etika terhormat kepada raja beserta putra dan putri Mahkota.

Salure ausfirae, Fura Magista!

Ϫ Ϫ Ϫ

Malamnya selepas rangkaian acara memperingati kematian ratu Alla, raja kembali mengurung diri di kamarnya. Dia benar-benar membutuhkan seseorang untuk menjadi sandaran berbagi kesedihannya.

Sang raja meneguk kembali minuman furae beralkohol, matanya sembab, kesendirian dirinya di kamar utama kerajaan yang hanya diterangi beberapa lampu antik membuatnya leluasa untuk mengeluarkan air mata tanpa siapapun mengetahuinya.

“Yang Mulia, aku membawakan teh herbal untukmu.” Seseorang tiba-tiba sudah memasuki kamar.

“Alma?” Raja tampak sangat terkejut. “Tak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu?”

Alma lalu menundukkan kepalanya dalam. “Aras auffarlae, Fura Magista.” Untuk beberapa saat Alma menundukkan kepalanya dan menahan napasnya menunggu perintah.

“Tegakkan kepalamu.”
Alma menegakkan kepalanya dan memandang raja. “Vi auffar, tadi aku sudah mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban.”

“Baiklah, tidak apa-apa,” Raja bangkit dari tempat duduknya lalu mendekati Alma. “Berikan teh herbalnya kepadaku.”

Alma memberikan secangkir teh herbal kepada Raja. “Yang Mulia Ratu, sangat menyukai teh herbal ini.”

Raja menghirup dalam-dalam wangi teh herbal yang kemudian mengingatkannya kepada istrinya. “Wangi teh ini membuatku merindukan Alla,” gumamnya.

Aras auffarlae.

“Kenapa kau meminta maaf, Alma?”

Vi auffar, karena telah menyuguhkan teh ini untuk Yang Mulia.”

Raja hanya tersenyum, lalu meletakkan cangkir teh di atas meja setelah menghirup aromanya. Dia tak meminumnya. “Aku lelah, Alma. Aku akan beristirahat. Apa kau bisa menemaniku malam ini?”

Alma mengernyitkan dahinya. Dia tak mengerti kenapa raja memintanya menemaninya malam ini. Lalu dia melihat beberapa botol furae beralkohol yang sudah habis di minum raja. Apa Raja sedang mabuk?

Senyum licik pun tersungging di sudut bibir Alma. Dia berpikir untuk melakukan sesuatu yang mungkin akan memuluskan rencananya.

Malam itu, tanpa sepengetahuan Raja yang sudah terlelap. Alma membuka satu persatu pakaian di tubuhnya, lalu dengan perlahan dia menaiki ranjang raja kemudian merebahkan dirinya yang sudah polos tanpa busana di atas ranjang yang biasa menjadi tempat tidur ratu Alla, tepat di samping raja!

Keeseokan paginya, raja dengan terkejutnya mendapati Alma sedang duduk di samping tempat tidurnya sambil terisak. Alma dengan tampang dan tubuh polos yang menjijikkan menangis di hadapan raja seolah dirinya adalah sebuah korban atas perlakuan tak senonoh.

Raja masih mencoba mencerna apa yang terjadi dengan bertanya kepada Alma. “Apa yang kau lakukan di ranjang istriku?” tanyanya pelan menahan emosi. Tentu saja dia kalap karena ada wanita lain tidur di ranjang mendiang istrinya.

“Yang Mulia, semalam kau memintaku untuk menemanimu,” jawab Alma hati-hati disertai isakan yang tentu saja itu semua hanya sandiwaranya.

Raja mencoba mengingat kejadian semalam, sehabis meminum furae beralkohol dia sedikit mabuk dan dia pun akhirnya ingat meminta Alma menemaninya.

“Astaga, kenapa aku sebodoh ini? Alla, kau pasti membenciku!” geram Raja penuh penyesalan.

Alma lalu turun dari ranjang dengan selimut menutupi tubuh polosnya, dia kemudian menundukkan kepalanya. “Aras auffarlae, Fura Magista.

Raja menatap Alma, pikirannya berkecamuk. “Aku sudah melakukan kesalahan fatal, ini skandal yang seharusnya tak terjadi.” Alma masih menundukkan kepalanya dan tak berkata apa pun. “Apa aku melakukan sesuatu padamu tadi malam, Alma?”

Raja benar-benar tak ingat apa yang terjadi semalam. Dia pun tak bisa membayangkan telah melakukan hal itu pada Alma. Apakah karena terlalu merindukan istrinya, sampai-sampai dia bisa melakukan hal seperti ini?

Raja masih berusaha keras mengingat kejadian semalam, dia merasa tak melakukan sesuatu. Memang dirinya meminta Alma menemaninya karena dia merasa butuh seseorang untuk menemaninya yang sangat merindukan mendiang istrinya. Tapi bukan menemani di ranjang!

Alma mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya. Dia tak menjawab, tapi terdengar isakan. Raja paham dan tahu jawabannya biarpun Alma tak menjawabnya.
“Baiklah, anggap ini tidak pernah terjadi karena aku akan bertanggung jawab.” Raja mengembuskan napasnya. “Aku akan menjadikanmu selir, Alma Lucrecia, sekarang tegakkan kepalamu dan berpakaianlah!”

Alma menegakkan kepalanya dan menatap Raja yang sedang menunduk dengan pikiran yang tidak keruan. Tatapannya dingin. Selir katamu, Raja Ignatius? Aku ingin kau menjadikanku Ratu! Dasar Raja bodoh! Aku ingin menjadi Ratu Gallardina!

------------------------------------------------------

Furae : Minuman sari bunga fuchsia dan anggur (nirae).

Granisa : Terima kasih.

Salure : Salam.

Salure Ausfirae : Salam sejahtera.

Fura Magista : Yang Mulia.

Aras Auffarlae : Hamba meminta maaf.

Vi Auffar : Saya minta maaf / Maafkan saya.

Vicallo : Alat transportasi tradisional Gallardina. Sebuah kereta kuda (Vicar berarti kereta dalam bahasa gallea) dan (Caballo berarti kuda dalam bahasa Spanyol).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top