Bab 11 Ducae Drimesa
Lagu yang telah lama hilang dari ingatannya itu samar-samar mengisi ruang kepalanya lagi.
Jasper memasuki kamar Audrina dan dia melihat kamar itu masih berantakan. Dia lalu memutar tubuhnya melihat sekeliling di mana barang-barang sang putri berceceran di lantai.
Apa karena diriku dia melarikan diri dari istana?
Sambil berkacak pinggang, Jasper memejamkan matanya. Dia mencoba tenang dan fokus. Memikirkan kemungkinan ada di mana Audrina sekarang. Lalu dia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel. Dihubunginya nomor Audrina dan dering ponselnya terdengar di kamar.
Jasper mencoba mendekati asal suara yang ternyata berada di dalam tas Audrina, dia lalu mengecek isi tasnya. Betapa terkejut Jasper melihat ponsel dan dompet Audrina masih utuh di dalam tas. Itu berarti sang putri pergi dari istana tak membawa apapun. “Astaga Audrina! Ada di mana kau sekarang!” geramnya frustrasi.
Dia bahkan bersumpah akan mencincang dirinya sendiri jika terjadi sesuatu yang buruk pada putri mahkota tercintanya itu. Ini kesalahannya! Apapun hal buruk yang terjadi pada Audrina akan selalu menjadi kesalahannya!
Jasper terduduk di atas tempat tidur Audrina, dirabanya selimut yang biasa dipakai sang putri. Sebentar lagi malam tiba dan cuaca akan semakin dingin. Jasper tak bisa membayangkan Audrina entah di mana sedang kedinginan. Tidak! Jasper tidak mau membayangkannya!
Putri, aku harap kau baik-baik saja.
Ϫ Ϫ Ϫ
Kaburnya sang putri mahkota cukup membuat seseorang di dalam istana tertawa gembira, selir Alma, menikmati aksi pelarian putri Audrina.
“Jadi itu benar Severa? Celentina melarikan diri dari Istana?” tanya Alma kepada salah satu pelayan istana.
“Kabarnya seperti itu.” Severa menjawab sambil membereskan meja di kamar selir Alma. “Putri Audrina menggunakan lift darurat padahal tidak ada tanda bahaya di istana. Semoga Tuhan melindungi putri mahkota.”
Dasar pelayan bodoh! Aku justru berharap sesuatu yang buruk menimpa putri mahkota sialan itu!
“Nona Alma, apa tidak sebaiknya kita mengadakan doa bersama untuk putri mahkota?”
“Mendoakan putri mahkota?”
“Iya, Nona Alma. Agar tidak ada hal buruk menimpa celentina.”
“Severa.” Alma menatap pelayan itu datar. “Kau hanya seorang pelayan, sebaiknya urus saja urusanmu sendiri!”
Severa kemudian menyipitkan matanya kepada Alma. Dasar jalang berbisa! Kau dulu juga seorang pelayan!
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Alma tidak suka.
“Maaf, Nona Alma.” Severa menunduk. “Saya permisi.” Dia tak mau melanjutkan perbincangan dengan Alma. Lebih baik menghindari perdebatan dengan seorang wanita yang terkenal dengan sebutan jalang berbisa itu.
Dasar pelayan rendahan! Berani sekali dia menatapku seperti itu! Alma kemudian meminum teh herbalnya, dia tersenyum, teh yang dia minum ini adalah teh kesukaan ratu Alla.
Dihirupnya aroma teh herbal itu sambil bergumam. “Teh ini tak akan membuatku bernasib sama denganmu, ratu Alla.”
Ϫ Ϫ Ϫ
“Kita sudah sampai di gerbang kota Amethyst, celentina,” ujar si penarik kuda membukakan pintu untuk Audrina.
“Terima kasih, tuan.”
“Panggil saja Raul, putri mahkota.”
“Baiklah, tuan Raul. Kalau begitu panggil saja aku, Audrina.”
“Baiklah, putri mahkota Audrina.”
Audrina tertawa mendengar ucapan Raul begitu juga pria paruh baya itu. Mereka tanpa sadar sudah akrab dari semenjak perjalanan menuju kota Amethyst.
“Celentina, maafkan aku bertanya. Tapi hari sudah mulai gelap dan sepertinya akan turun hujan deras. Yang Mulai hendak ke mana?” tanya Raul khawatir.
Audrina tertunduk lalu menatap Raul sendu. Dia kemudian menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, tuan Raul. Aku tak punya tujuan. Ini pertama kalinya aku pergi dari istana seorang diri.”
“Celentina.” Raul mendekati Audrina dan menggenggam tangannya. “Aku sangat khawatir sesuatu yang buruk akan menimpamu, apa sebaiknya putri ke rumahku saja? Bagaimana mungkin putri mahkota berada di luar malam hari sendirian? Itu akan sangat berbahaya.”
Audrina menggeleng. “Tidak, Tuan Raul. Aku tak ingin menerepotkanmu.”
Raul tersenyum. “Tidak Celentina, tentu saja tidak merepotkan. Justru akan menjadi suatu kehormatan jika Yang Mulia ingin mampir ke rumahku. Putriku pasti senang bertemu denganmu.”
“Kau memiliki seorang putri?”
“Iya, Celentina. Dia sangat mengagumimu.” Audrina terdiam sambil menatap Raul. “Aku mohon, Yang Mulia. Demi keamananmu, mampirlah ke rumahku.”
Audrina yang masih menatap Raul sejenak berpikir. Si penarik kuda tampak seperti orang baik dan mereka langsung akrab sepanjang perjalanan tadi. Jauh di lubuk hatinya, Audrina ingin sekali mampir ke rumah pria itu. Lagipula dia juga takut karena hari sudah malam.
“Baiklah, tuan Raul. Apakah rumahmu masih jauh?”
“Tidak begitu jauh,” Raul membuka kembali pintu penumpang vicallo-nya. “Naiklah! Akan kuantar celentina ke rumahku.” Pria paruh baya itu tampak senang sekali.
Audrina tersenyum dan mengangguk. Tidak beberapa lama, mereka sampai di depan sebuah gang. Raul memarkirkan kereta kudanya di depan gang tersebut, ada beberapa vicallo lain yang juga terparkir di sana, lebih tepatnya memang disediakan tempat parkir khusus untuk vicallo.
“Rumahku ada di dalam gang ini celentina, mari kita masuk,” ajak Raul.
Audrina mengikutinya dari belakang. Gerimis mulai jatuh di atas kota Amtehyst dan malam sudah menyelimuti kota itu.
Raul mengetuk sebuah pintu rumah dan pintu itu pun terbuka tidak berapa lama kemudian. Seorang wanita paru baya berdiri di ambang pintu.
“Oh, carlae! Kau sudah pulang!”
“Zilda.” Raul langsung mendekati wanita itu yang tidak lain adalah istrinya. “Aku datang bersama celentina Audrina,” bisiknya.
“Apa!?” Zilda tampak terkejut lalu matanya melihat ke arah Audrina yang sedari tadi menunduk. “Celentina?”
Audrina menengadahkan kepalanya dan tersenyum kepada Zilda.
“Astaga.” Zilda menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Salure ausfirae, fura magista.” Dia menunduk kepada Audrina.
Audrina membalas dengan menunduk. “Maaf, jika aku harus merepotkan anda.”
“Oh! Tentu saja tidak celentina! Masuklah! Hujan mulai deras!” Zilda meminta Audrina masuk ke dalam rumahnya. Audrina pun masuk lalu duduk di sofa ruang tamu rumah itu. Dia menatap sekeliling, rumah yang tampak kecil itu entah bagaimana membuat Audrina langsung nyaman begitu masuk ke dalamnya.
“Carlae, bagaimana bisa kau pulang bersama putri mahkota? Apa kau menculiknya?” tanya Zilda berbisik sambil membawa suaminya agak menjauh dari Audrina.
“Astaga Zilda! Mana mungkin aku berani menculiknya!”
“Lalu? Kenapa putri bisa berada jauh sekali dari istana seorang diri?”
“Sepertinya, dia melarikan diri dari istana.”
“Apa? Itu tidak mungkin!”
“Lantas apa yang mungkin? Aku menculiknya?”
Zilda terkekeh. “Aku hanya bercanda, carlae.”
Audrina menatap Raul dan Zilda dengan dahi berkerut. Tampak penasaran apa yang sedang mereka bicarakan sambil berbisik.
“Celentina.” Zilda mendekati Audrina dan duduk di sampingnya. “Aku akan persiapkan makan malam untukmu, kau boleh tinggal di sini sampai kau memutuskan untuk pergi.”
“Granisa.”
“Tapi, apa orang-orang istana tidak mencarimu?”
“Mereka mencariku. Tapi tenanglah, selama kalian tidak membicarakan kehadiranku di sini, mereka tidak akan tahu keberadaanku.”
Zilda mengangguk lalu menatap Audrina dalam. “Celentina, kau tahu ‘kan kalau rakyat gallael sangat mencintaimu? Kami semua mencintaimu! Kematian ayahmu adalah sebuah tragedi, tapi kau harus ingat! Kepergian Raja Ignatius bukan berarti membuatmu tak dicintai lagi! Ayahmu akan selalu dikenang sebagai Raja Gallardina di hati rakyat gallael dan kami akan selalu mencintai keturunannya!”
Audrina berkaca-kaca mendengar ucapan Zilda. “A-aku… merasa kesepian di istana.” Dan airmata pun jatuh di pipinya.
“Oh, celentina carlae.” Zilda langsung memeluk tubuh Audrina.
Raul pun ikut menangis melihat adegan penuh haru istrinya bersama putri mahkota. Baik Zilda, Raul dan bahkan seluruh rakyat gallael tahu kisah menyedihkan putri Audrina. Sang putri mahkota yang tak mengenal ibu kandungnya karena ratu Alla meninggal saat dirinya berusia dua tahun. Lalu dia melihat ayahnya tewas tergantung dan kematian ayahnya membuat dirinya menjadi terkenal di seluruh dunia seakan orang-orang tak peduli trauma yang dialaminya kemudian kakaknya terpaksa harus menjadi raja di usia sepuluh tahun dan membuat waktu kebersamaan dengan dirinya hampir tidak ada! Tentu saja semua tahu kalau Audrina pasti kesepian di istana!
“Ibu, apa makan malam sudah siap?” tanya seorang gadis kecil.
“Ah, putriku! Kemarilah! Lihat siapa yang ada di rumah kita?” Raul menarik putrinya mendekati Audrina.
Zilda melepaskan pelukannya lalu Audrina tersenyum ke arah gadis kecil itu.
“Celentina?”
“Hella, herem,” sapa Audrina, “yura ma namia?”
“Ma namia Ariana, celentina.”
“Ariana? Nama yang bagus sekali, cocok untukmu yang sangat cantik.”
“Murae granisa, fura magista.”
Audrina lalu bercengkrama dengan Ariana dan Raul di ruang tamu malam itu, sementara Zilda memasak makan malam. Hujan semakin turun deras, tapi Audrina tak merasakan kedinginan berada di rumah kecil yang dihangati hanya dengan perapian. Audrina justru merasakan kehangatan di dalam hatinya, kehangatan yang tak pernah dia rasakan di istana.
Untuk sesaat Audrina ingin sekali menjadi Ariana, gadis kecil itu masih memiliki dua orang paling berharga yang tak pernah lagi dimiliki Audrina.
Ayah, Ibu, seandainya kalian masih hidup.
Zilda akhirnya selesai memasak makan malam. Wanita itu pun menghampiri Audrina di ruang tamu. “Celentina, makan malam sudah siap.” Dia mengajak Audrina ke ruang makan. “Maaf putri, mungkin hidangan makan malamnya tak seperti hidangan di istana, tapi percayalah rasanya lezat sekali karena aku membuatnya dengan cinta.”
Audrina tertawa lalu melihat hidangan di atas meja yang hanya ada torga dan garballo juga beberapa roti dan sayuran. Makanan khas penduduk gallardina, sangat sederhana tentu saja! Dia terpukau dengan hidangan garballo. Makanan itu menggelitik ingatannya kembali ke masa lalu. Masa di mana dirinya dan kakaknya diam-diam ke dapur istana untuk memakan garballo.
Memang garballo tak dilarang di makan keluarga kerajaan. Hanya saja sate sosis bakar itu adalah camilan rakyat yang tak seharusnya terlalu sering di makan keluarga kerajaan dan bangsawan. Namun, pelayan istana setiap hari selalu memasak garballo untuk dijadikan camilan mereka dan itu membuat Audrina juga kakaknya tergiur ingin memakannya. Tanpa sadar Audrina tersenyum. “Aku sudah lupa kapan terakhir kali memakan garballo,” gumamnya.
“Celentina, apa kau menyukai garballo?” tanya Ariana.
Audrina mengangguk. “Kau mau tahu satu rahasia, Ariana?”
Ariana mengangguk dengan antusias. “Rahasia apa putri?”
Audrina mendekatkan bibirnya ke telinga Ariana lalu berbisik. “Garballo adalah makan kesukaanku dan Raja Andres.”
Ariana terkejut dan hampir memekik, tapi ditutup mulutnya dengan tangan kanannya. “Sungguh?” Audrina mengangguk dan tertawa, dia perlahan mengelus lembut kepala Ariana.
Setelah makan malam, Ariana mengajak Audrina ke kamarnya. “Celentina, bagaimana kalau malam ini kita pesta piyama di kamarku?”
Audrina menyipitkan matanya. “Hmm, terdengar menyenangkan.”
“Berarti kita akan tidur bersama! Lagipula kau tak mungkin tidur di ruang tamu, kasurku lumayan besar!” Ariana menunjuk kasurnya.
“Baiklah, tuan putri.”
“Granisa, celentina.”
Ariana dan Audrina saling tertawa bersama, lalu Zilda masuk ke kamar putrinya. “Baiklah Ariana, kau siap dengan nyanyian selamat tidur?”
“Tentu saja, Ibu,” Ariana lalu menoleh ke arah Audrina. “Celentina, apa kau mau mendengar suara paling merdu di dunia?” Audrina hanya menatap Ariana tak mengerti, Zilda lalu membimbing Audrina untuk tidur di samping putrinya.
“Dengarlah celentina, suara ibuku adalah suara paling merdu di dunia dan aku selalu senang mendengarnya setiap kali dia menyanyikan lagu kesukaanku.” Ariana lalu menggenggam tangan Audrina.
Zilda kemudian mulai menyanyikan lagu Ducae Drimesa, Carlae dan hati Audrina mulai berdesir. Lagu yang telah lama hilang dari ingatannya itu samar-samar mengisi ruang kepalanya lagi. Sang putri sedikit mengingat bagaimana dulu ibunya, Ratu Alla, dengan sangat merdunya menyanyikan lagu itu untuknya dan ketika Zilda menyanyikannya untuk Ariana, seketika Audrina ingin menangis.
Dia pun meratapi dirinya sendiri sebagai putri mahkota menyedihkan! Tak mengenal ibunya, melihat ayahnya tewas, kakaknya seakan tak memedulikannya lagi dan satu-satunya pria yang dia harap mencintainya hanya memandangnya sebagai putri mahkota yang terhormat.
Ϫ Ϫ Ϫ
------------------------------------------------------
Granisa : Terima kasih.
Carlae : Sayang.
Celentina : Putri/Putri mahkota.
Salure Ausfirae, Fura Magista : Salam sejahtera, Yang Mulia.
Murae Granisa, Fura Magista : Terima kasih banyak, Yang Mulia.
Hella, Herem : Halo, cantik.
Yura Ma Namia : Namamu siapa.
Vi Namia : Namaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top