Epilog 2/3

The moment the feelings were delivered, you who held my hand is nodding
-Y.Z

*****

Seperti yang bisa diduga, reaksi Ferdian adalah yang paling anti mainstream. Selain itu, kata per kata yang diucapkannya otomatis membuat Yoga teringat akan insiden di masa lampau.

Lagi-lagi, kesannya jadi seperti dejavu.

"HEH, KENCAN APAAN ITU? LO KIRA REUNI?" tanya Ferdian ngegas hingga jatuhnya seperti sedang menghardik. "Sekalian aja ajak Krisna sama Elina biar lima pasang kayak jemuran ikan asin!"

Kalimat terakhir Ferdian memancing yang lain untuk merespons dengan antusias hingga berakhir menyelutuk secara bersama-sama.

"HAH? Krisna udah jadian sama Elina?" Virga langsung julid.

"Boleh juga sarannya biar sekalian trip bareng. Yuk!" usul Nara.

"Elina siapa?" tanya Yoana polos.

"Elina itu teman SMA Berdikari, Yoana. Sekelas juga sama teman-teman bangku barisan belakang." Yoga berbaik hati menjelaskan.

"Gue suka itu; 'Teman bangku barisan belakang'. Itu kan julukan romantis dari gue." Virga menimpali sambil nyengir. "Kalo tambah tripel Yoana-Tristan-Clara, julukan kita jadi 'Couple Squad'."

Lantas, Virga kembali berfokus pada Ferdian yang ekspresinya tidak jauh dari ibu-ibu arisan yang kedatangan informan baru. "Trus-trus-trus... Krisna beneran jadian sama Elina?"

"Mana gue tau." Ferdian menjawab dengan nada menyebalkan. "Terakhir, gue denger lagi deket."

"Ho oh... bucin beneran rupanya, ya. Jadi inget kalian berdua waktu zaman bucin." Virga menuding satu per satu wajah milik duo Ferdian dan Luna.

"Kayak lo nggak aja, ya." Nara menyeletuk alih-alih Ferdian, membuat cowok itu melempar dengusan bermakna ejekan pada yang bersangkutan.

"Jadi, gimana? Kalian ngikut, kan?" Virga memilih melayangkan atensinya ke Luna untuk mendapat dukungan. "Luna, mau kan? Mumpung besok tanggal merah. Kalo jalan-jalan ke dufan juga mau-mau aja gue."

Sepertinya, situasi di antara mereka memang sudah diatur semesta untuk berkumpul bersama karena seperti yang dikatakan oleh Virga, besok adalah hari libur nasional. Juga, jadwal kuliah masing-masing sudah lebih longgar berhubung sudah padat di awal.

"Sekalian aja ke taman bermain anak-anak," usul Ferdian sarkastik. "Nyobain, mana tau bokong lo masih muat di wahana jungkat-jungkitnya."

"Usulnya menginspirasi banget. Makasih ya, cucunya Grup Samuel." Gantian Virga menyahut sarkastik meski ekspresinya masih santai seolah-olah tidak terpengaruh. "Keluarga lo kaya, trus kenapa kita nggak main di vila aja, ya?"

"Nggak usah pake nginap-nginap segala!" seru Yoga refleks. Dia segera menggelengkan kepalanya dengan sekali sentakan saat bayangan menghabiskan malam bersama para gadis mampir di dalam otaknya.

Jangankan bermalam, melihat Yoana minum-minum di indekos cowok saja memberikan kesan sangat tidak layak bagi Yoga.

Tidak, tidak. Lebih baik menghabiskan waktu di taman bermain anak-anak saja.

"Ish. Padahal seru! Kita kan bisa main Truth or--" Suara Virga terpotong otomatis saat ekor matanya menangkap tatapan tajam dari Nara di sebelahnya.

"Dare, ya?" Nara melanjutkan dengan aura berbahaya. "Atau malah drink?"

"Hng... ng-nggak kok, Sayang. Truth or Dare beneran. Atau... mau main kartu UNO juga boleh-boleh banget. Yang penting, seru banget kalo bisa nongkrong bareng. Yekan?"

"Main ke dufan aja kali ya," usul Luna kalem, bersamaan dengan anggukan setuju oleh Yoga.

"Nah iya, gue setuju sama Luna."

"Main setuju-setuju aja lo kalo Luna yang ngasih gagasan! Jangan lupa, lo itu udah punya pacar!" Ferdian lagi-lagi berseru sarkastik, membuat situasi menjadi lebih tegang.

Padahal Yoga tidak mempunyai intensi terselubung atau sejenisnya yang mengundang perkara. Dia hanya ingin mengalihkan supaya gagasan Virga tentang seru-seruan di vila tidak terealisasikan. Itu saja.

Lantas, mengapa situasinya bisa menjadi canggung begini?

Yoga refleks mengalihkan pandangan pada Yoana. Meski cewek itu tidak menunjukkan tanda-tanda kecewa atau tidak suka, dia jadi merasa tidak enak.

Hmm... Yoana marah nggak, ya?

Sepertinya tidak cukup berakhir di sana karena ada rentetan peristiwa lain yang semakin membuat hubungan Yoga dan Yoana jadi bersitegang.

Hingga dia mulai sadar kalau ini ada hubungannya dengan Virga.

Tadinya Yoga tidak memahami apa alasannya, berhubung Virga adalah oknum pertama yang mendukung hubungannya dengan Yoana. Jika dia adalah tim sukses dirinya dengan cewek itu, bukankah sudah selayaknya dia menjauhkan Yoga dari bencana seperti ini?

Nyatanya, Virga malah melakukan sebaliknya.

Kemudian, Yoga mulai paham alasannya. Virga seolah-olah ingin membiarkan semua terseleksi secara alamiah; apakah Yoga dan Tristan akan berakhir dengan masing-masing dari Zeminna bersaudara ataukah justru... Yoana bakal kembali pada Tristan?

"Lo kenapa, sih?" Sejujurnya Yoga tidak ingin bertanya, tetapi dia tidak tahan saat kedapatan Virga sengaja mengaturnya duduk bersama Luna di wahana permainan dufan untuk yang ketiga kali. Terkhusus hal ini, Ferdian terpaksa menahan diri karena dia benci dengan ketinggian.

Kecemburuan telah dikalahkan oleh fobia, ternyata.

Sebaliknya Yoana, cewek itu mendapat kesan seperti sedang diabaikan tetapi untungnya eksistensi Clara bisa mengalihkannya.

Duo bersaudara itu lebih memilih masuk ke rumah hantu. Lucunya, Tristan si bucin mau tidak mau membuntuti keduanya padahal dia sebenarnya tidak suka pada semua hal yang berbau horor.

"Gue?" Virga bertanya dengan nada polos, tetapi ekspresinya jelas tidak sinkron. "Kenapa?"

"Ini akal-akalan lo, kan?" Yoga memicingkan mata dengan penuh selidik selagi dia mendekati kawasan toilet. Dari sini cowok itu bisa leluasa bertanya tanpa cemas ketahuan oleh yang lain.

"Woya jelas, meski gue yakin gue paling penasaran sama ending kalian berdua--lo sama sepupu tercinta gue."

"Itu nambah perkara namanya." Yoga menjawab dengan tatapan datar. "Lo udah tau gue udah jadian beneran sama Yoana, soalnya. So, why?"

"Bukannya ini kesempatan yang bagus buat kalian saling menguji satu sama lain?" tanya Virga enteng, seenteng surai depan yang sengaja diayunkan dengan estetik selayaknya cowok kece yang sedang menebar pesona. "Terlepas dari siapa sama siapa, gue yakin saat jawabannya udah ketahuan nanti, hubungan kalian bakal lebih erat dari seharusnya."

Yoga tidak langsung menjawab karena langkahnya sudah sampai di depan pintu WC umum. Lantas, dia baru merespons setelah Virga menyusul tidak lama kemudian.

"Apaan?" tanya Yoga karena Virga mengalungkan lengan ke sekeliling pundaknya dan memperhatikan cowok manis itu dengan saksama.

"Jujur aja kalo Yoana sama Luna jatuh dari tebing trus lo cuma bisa nolongin satu orang, lo bakal nolongin siapa? Tambahan informasi, ada eksistensi Ferdian juga tapi sayang tangannya lagi terkilir. Apa lo bakal percayain mantan gebetan lo ke dia?"

"Kalo ada Ferdian, gue nggak usah khawatir lagi, kan? Luna bakal aman sama dia."

"Tapi tangan Ferdian terkilir, loh. Ada kemungkinan nyawa Luna dalam bahaya juga."

"Oke, gue bakal berusaha semaksimal mungkin buat nolongin mereka berdua."

"Tapi konteksnya, lo cuma bisa nolongin satu orang."

"Ribet banget sih situasinya?" protes Yoga, spontan merasa kesal.

"Jawab pertanyaan gue." Virga bersikukuh sementara langkah mereka telah sampai ke area keramaian lagi di mana ada banyak wahana permainan yang mengelilingi mereka. Teman-teman mereka sudah berpencar. Bisa jadi, Nara sudah mengajak Luna berjalan-jalan ke area lain atau Ferdian juga turut serta karena eksistensinya juga tidak ada di tempat.

"Gue mau nyari Yoana aja." Yoga berkata.

"Gue gimana, dong? Masa lo ninggalin gue di sini?" protes Virga.

"Lo kan bisa nyusul Nara atau telpon dia." Yoga menjawab kalem.

"Gue ikut lo, deh. Siapa tau bisa ngomporin."

"Nggak usah aneh-aneh ya lo." Yoga memperingatkan meski ancamannya tidak memberikan pengaruh apa pun pada Virga. Cowok itu memang tidak cocok menjadi pihak penista, tidak seperti Virga yang senang mengerjai temannya.

"Lo belum jawab gue. Jadi... lo bakal nolongin siapa?" desak Virga selagi dia menyusul langkah Yoga yang bertolak menuju area rumah hantu.

"Sepenting apa sih jawabannya sampai gue harus jawab?" tanya Yoga gusar, meski matanya tidak berhenti mencari sosok Yoana di antara keramaian.

"Penting banget," jawab Virga. Berbeda dari Yoga, dia lebih cepat menangkap sosok Yoana yang mendekat dari jurusan yang berbeda. Ekspresinya kemudian berubah antusias, sekilas dia jadi mirip serigala yang menemukan mangsa terbaik. "Buruan jawab, Ga."

"Gue bakal nolongin Yoana. Puas?"

"Yakin? Kalo berbalik posisi, takutnya malah Yoana lebih milih nolongin Tristan daripada elo."

"So what? Lagian Yoana lebih tomboi, jadi gue rasa dia bahkan lebih dari bisa nolongin dirinya sendiri tanpa bantuan gue."

"Oh... berarti kesimpulannya, lo lebih milih nolongin Luna dong kalo dia sama Yoana barengan jatuh dari tebing?" Virga bertanya dengan nada bicara yang naik satu oktaf. Meski Yoga sama sekali tidak curiga, dia sempat melayangkan pandangan pada Virga dan tersentak kaget karenanya.

"Ya... nggak gitu juga sih maksud gu--" Yoga memotong kata-katanya sendiri bertepatan dengan sudut pandangnya yang mengarah ke munculnya Yoana dari sisi barat daya. Dari ekspresi cewek itu, dia yakin kalau sebagian perkataannya sudah didengar jelas.

Atau bahkan mungkin... Yoana sudah menguping sedari tadi.

Hmm... Yoana marah nggak, ya?

Sekali lagi, pertanyaan tersebut singgah dalam kepala Yoga.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top