Epilog 1/3
I'm gonna confess when I wake up again
-Y.Z.
*****
Mengetahui keberhasilan hubungan Yoana dan Yoga selaku mantan pacar dengan sahabat, Tristan tentu lega tetapi dia heran sendiri saat merasakan ada denyutan samar yang menyusul di waktu yang bersamaan.
Tadinya, dia mengira gemuruh tersebut hanyalah kecemburuan yang wajar mengingat hubungannya dengan Clara belum ada kejelasan, meski mereka sudah sepakat dalam arti tersirat untuk saling berbicara. Lantas, pikirannya mulai melantur saat melihat Yoana tersenyum terlalu lebar dan bagaimana pandangan matanya hanya berfokus pada Yoga, cowok yang sudah mengisi sebagian besar ruang dalam hatinya.
Di sana, Tristan melihat cewek itu melambai pada Yoga di percabangan koridor dari kejauhan. Keduanya jelas akan berpisah menuju departemen jurusan mereka masing-masing.
Dari sini, Tristan bahkan bisa merasakan sekuat apa chemistry mereka. Pemandangan tersebut lantas membuatnya terpekur sementara hati kecilnya seperti ada yang menohok, mirip dengan ledakan penyesalan seperti cinta satu sisi--one sided love.
"Saat kau pergi... berlinanglah air mataku...."
Tanpa perlu menoleh ke belakang, Tristan tentu mengenal suara yang bernyanyi di belakang dengan nada penuh penghayatan seolah-olah sedang mengadakan konser dadakan.
"... betapa singkat kurasakan... kebahagiaan itu... kini lenyaplah sudah... oh...."
Sekali lagi, seolah-olah tidak cukup, Virga mendekat sembari terus melantunkan lirik jadul yang berjudul 'Saat Kau Pergi' oleh Vegatoz yang pernah viral pada masanya.
Tristan tentu tahu apa judulnya karena keluarga besar bernama belakang Aditya sering menyanyikan lagu tersebut setiap ada sanak saudara yang sedang mengalami patah hati atau sejenisnya.
"... tak pernah kuinginkan... perpisahan ini terjadi--hmmphh!!!" Virga dipaksa berhenti karena Tristan telah menyumpal paksa mulutnya dengan kertas lusuh yang kebetulan berada di tangannya.
"YA AMPUN, INI KERTAS LOH! MASA MULUT AKU DIJEJALIN SAMA INI, SIH?" Virga misuh-misuh usai membuang objek yang tidak layak dikonsumsi itu, tetapi diabaikan oleh Tristan.
Namanya juga sedang dalam fase tidak keruan, bukan?
"Lagu itu nggak cocok buat gue," kata Tristan akhirnya setelah jeda yang cukup lama sambil bertolak menuju gedung Fakultas Psikologi. Awalnya dia bermaksud mengabaikan sepupunya hingga akhir, tetapi dia merasa harus mengatakan sesuatu agar tidak disalahpahami oleh Virga si mulut ember.
"Lo jelas cemburu." Virga berkata lugas, lebih mengarah ke nada yang menuduh daripada mengajukan asumsi.
"Gue sukanya sama Clara, lo lupa?" tanya Tristan pede, tetapi dia salah berbelok saat berada di percabangan rute sehingga Virga yang iba terpaksa membantu dengan merangkul sepanjang pundaknya.
"Udah gue bilangin, kisah cinta lo itu rumit banget." Virga lagi-lagi menggunakan nada andalannya untuk menuduh. "So... lo udah nyesel, belum?"
"Apaan, sih?" Tristan sewot setelah menghentakkan bahunya sendiri hingga rangkulan Virga terlepas. Yang kecipratan emosi hanya menaikkan sebelah alis dengan ekspresi menyebalkan seolah-olah sepupunya bersikap berlebihan. "Gue nggak cemburu, cuma iri aja karena gue sama Clara belum ada ending."
"Masih untung ye Clara mau ngomong sama lo. Kalo gue, udah gue tendang masuk tong sampah--serius." Virga menambahkan dengan ekspresi menantang saat mendapat hadiah sorot tatapan tajam dari sepupunya. "Udah gue bilangin, lo nyadarnya kelamaan. Wajar kali kalo lo sampai dibenci sama Zeminna bersaudara, terutama Clara."
"Trus, gue harus gimana dong?" tanya Tristan dengan nada frustasi. "Ngasih solusi, kek. Gue bener-bener kehabisan akal buat bikin Clara maafin gue sepenuhnya."
"Hmm... intuisi gue mengatakan lo harus pake konsep menyiram bensin di atas bara api yang berkobar-kobar." Seperti biasa, Virga bergaya selayaknya pakar konsultan cinta. "Gue yakin ini cara yang jauh lebih efektif daripada lo harus capek-capek memohon kayak bucin kronis alias stadium tingkat akhir."
Sempat mencibir, tetapi konyolnya Tristan mau-mau saja mendekat untuk mendengar gagasan Virga yang segera membisikkan ide dengan antusias berlebihan.
*****
"VIRGA! SIALAN LO!" teriak Tristan ngegas sewaktu dia kembali ke indekos tiga jam kemudian, tepatnya saat keadaan di luar sudah menunjukkan tanda-tanda sore hari.
Ceritanya, Tristan naik darah karena realita yang dia hadapi melenceng jauh dari ekspektasi yang Virga sampaikan padanya di kampus.
Namun parahnya, Virga tidak merasa bersalah. Cowok itu bahkan tenang-tenang saja sewaktu sang sepupu melabraknya di kamar Yoga.
Sebenarnya Tristan tidak sedang ingin bertatapan muka dengan Yoga--entahlah dia juga merasa konyol dengan fakta tersebut, hanya saja dia tidak punya pilihan lain karena Virga memilih nongkrong di sana.
Tristan curiga kalau Virga sengaja melakukannya untuk menambah bibit-bibit kontroversi.
Maka Alih-alih Virga, malah Yoga yang kaget saat mendengar teriakan dari Tristan sewaktu masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa, Tris?" tanya Yoga, sempat membuat yang dipanggil serasa mati gaya walau hanya berlangsung selama sepersekian detik karena Tristan segera menetralkan ekspresinya meski jatuhnya jadi kaku.
Entahlah, lagi-lagi Tristan merasa clueless. Ekspresinya seolah-olah sedang salah tingkah saat berhadapan dengan gebetan atau senior kece; super canggung dan sangat ingin menjaga image.
"Kenapa? Si Clara bilang apa, berhasil nggak?" tanya Virga dengan nada mendesak karena Tristan masih terpaku di tempat.
"Boro-boro berhasil, yang ada Clara makin sensian sama gue!" omel Tristan, segera mengalihkan atensinya pada Virga. "Ini semua gara-gara lo, tau nggak?"
"Kalo gitu lo salah ambil kesimpulan, Bro. Justru cara lo berhasil, tinggal tunggu waktu aja dia ngasih kode."
"Apaan, sih?" tanya Yoga kepo. Dia heran saja melihat kemantapan Virga atas asumsinya sendiri, sebaliknya Tristan merasa kecewa atas fakta yang dia hadapi.
Tristan menghela napas super berat seperti bapak-bapak yang kehilangan semangat sebelum menceritakan kembali momen yang membuatnya frustasi.
"Ra." Tristan memberanikan diri untuk mengeluarkan suara usai mendaratkan bokongnya di sebelah Clara di tribun kelas.
Yang dipanggil hanya menatap balik tanpa menjawab. Meski masih ada gelombang samar pada alis Clara, setidaknya kadar kesensiannya sudah berkurang banyak.
"Gue mau minta pendapat lo."
Clara hanya mengangguk sebagai tanda kalau dia mendengarkan.
"Virga laporin ke nyokap soal gue udah putus sama Yoana. Juga... tiba-tiba ada cewek yang nembak gue, katanya dia rela jadi pengganti biar gue bisa cepat move on."
"Oh. Trus?" Clara bertanya kalem, tetapi lipatan pada dahinya semakin dalam.
"Gue sebenarnya nggak sreg sama cewek itu. Hmm... maksud gue, gue mau nolak dia. Jadi...."
"Jadi pendapat yang lo mau dari gue... apakah seharusnya lo nerima cewek itu atau nggak. Begitu?"
"Nyariin cewek buat gue."
"Hah?"
"Lo yang nyariin. Kita kan udah lama temenannya." Tristan menjawab dengan cengiran lebar, seolah-olah sepede itu untuk yakin kalau Clara akan setuju memenuhi keinginannya. "Gue rasa lo lebih dari tau tipe idaman gue yang kayak gimana."
"Gue nggak tau, sori aja ya." Clara menjawab dingin, kentara sekali nada bicaranya memberi kesan tidak suka. "Yang pacaran kan elo. Atau bagusnya lagi, lo terima aja cewek yang nembak lo itu."
Clara tidak memberi Tristan kesempatan untuk merespons. Lantas dengan gerakan cepat, dia meninggalkan ruang kelas dan baru kembali bertepatan saat dosen memasuki kelas. Cewek itu juga memilih tempat duduk yang sangat jauh, padahal ada banyak kursi kosong nan strategis di dekat Tristan.
"Tanggung jawab lo pokoknya!" Tristan bersungut-sungut setelah menceritakan tragedi secara detail di kelas tadi. "Gue jadi makin jauh dari Clara. Gimana dong?"
"Gini ya, Tris. Gue kasih tau. Cowok itu kalo minta cewek nyariin pacar buat dia, artinya tuh ngasih kode. Kode apaan? Ya kode kalo cowok tuh punya rasa dan berharap sama dia." Virga lagi-lagi mengemukakan hipotesanya sepaket dengan gaya.
"Hah?" Yoga refleks menyeletuk sementara Tristan memandang sepupunya dengan tatapan jengah. "Masa iya?"
"Tuh. Yoga aja nggak percaya." Tristan mengompor dengan harapan bisa menyudutkan Virga. "Lagian, teori dari mana tuh? Yang ada, Clara anggap gue player."
"Percaya sama gue, perasaan Clara pasti lagi cenat-cenut gegara mengetahui fakta lo mau move on ke cewek lain, apalagi konteksnya mau ngegantiin posisi Clara di hati lo. Faktanya jadi mirip strateginya Yoana ke Yoga, kan? Jadi, lo pasti bisa nebak dong kayak gimana kegundahan hati Clara."
"Masa, sih? Gue malah ngerasa hubungan gue sama Clara jadi makin aneh, apalagi setelah ngikutin saran lo yang super duper konyol itu." Tristan mencibir parah, tetapi segera sumringah saat memikirkan sebuah ide dari dalam kepalanya. Perhatiannya kini berfokus pada Yoga sepenuhnya. "Ga, gue jadi punya ide."
"Gue?" tanya Yoga memastikan.
"Ya iya! Emang siapa lagi?"
"Virga juga dipanggil 'Ga', loh."
"Iya, ya. Muehehehe.... Gue jadi punya ide, Yoga."
"Apa?"
"Ayo kita nge-date bareng."
"Ya ampun, Tristan. Berpindah haluan ya nggak gini juga caranya!" Gantian Virga misuh-misuh.
"Ck. Maksud gue, double date--kencan ganda. Oke?" Tristan menjelaskan dengan kesabaran hakiki, tetapi bernada sarkastik.
"Make it triple. I wanna join."
"Kencan massal, ya? Mungkin seru." Tristan menyeringai refleks saat membayangkan sederet imajinasi bagaimana dia akan berkencan dengan Clara. Tatapannya berpusat pada satu titik di langit-langit kamar selagi kepalanya dia sandarkan pada lemari plastik di belakang.
Sedangkan Virga, cowok itu lebih suka melirik Yoga yang tampak tidak tahu harus merespons apa.
"Lo pasti ragu karena belum pernah kencan rame-rame begini," kata Virga sambil mendekatkan diri untuk berbisik ke telinga Yoga. "Setidaknya biarin Tristan bahagia dulu di awal, trus setelah itu kita bisa berpencar. Eh, tapi... perlu ajak Luna sama Ferdian, nggak?"
"Gue nggak yakin Ferdian sudi ikutan kencan rame-rame begini." Tristan ikut nimbrung dan ternyata bisa mendengar semuanya, padahal kepalanya masih mendongak ke atas. "Nggak usah, deh. Bakal terlalu rame nggak, sih?"
"Kita coba ajak aja." Virga menaikkan sudut bibirnya, yang semakin tertarik ke atas selagi memperhatikan reaksi Yoga. "Mana tau malah semakin seru."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top