9). Lovesick
Even if I try to pretend to be bold
I'm always surprised when I see you smile
-Y.Z
*****
Jika Yoana harus memilih di antara buah bibir yang sedang diperbincangkan di seluruh penjuru kampus, dia akan condong pada julukan sadgirl untuknya. Bahkan, dia juga tidak keberatan kalau faktanya kini dia dijodohkan dengan Yoga Pradipto, cowok yang senasib dengannya.
Setidaknya itu lebih baik daripada rumor tentang dia mencium Tristan atau merebut gebetan kakaknya sendiri, meski Yoana bisa menganggap semua itu selayaknya kotoran ayam yang harus melewati proses hangat terlebih dahulu sebelum berubah menjadi dingin dan terabaikan.
Yoana bisa merasakan bagaimana semua mata tertuju padanya seperti magnet selagi mereka berempat menghuni meja di sudut kafetaria kampus. Clara meletakkan kotak P3K yang dijinjingnya sejak tadi ke atas meja sebelum mengeluarkan sejumlah atribut untuk membersihkan darah di hidung Tristan serta menempelkan plester di beberapa spot hasil cakaran adiknya.
Yoana berekspresi datar dan jengah ketika menyaksikan semuanya itu, tetapi berjengit heboh tatkala bagian pipinya yang luka bersentuhan dengan sesuatu yang kurus dan pipih.
"Astaga, kok perih banget sih?" Yoana memundurkan kepalanya untuk menghindar, tetapi Yoga menarik bagian dagunya untuk mendekat.
Sama seperti insiden semalam saat Yoga bersikeras melarangnya merebut sloki--lagi-lagi, cowok itu tidak merasa gentar dengan tatapan berbahaya yang Yoana tujukan padanya.
"Diem dulu," bisik Yoga. Sebelah tangannya masih menempel di bagian bawah wajah Yoana sementara tangannya yang lain sibuk mengobati luka. Ditilik dari ekspresi dan caranya merawat luka, kentara sekali seberapa telatennya dia hingga Yoana jadi geregetan.
Masalahnya selain bagian wajahnya serasa diiris-iris oleh rasa nyeri, Yoana juga risih dengan tiupan samar dari Yoga seolah-olah dia yang merasakan luka itu.
Lagi pula, Yoana merasa perlakuan Yoga agak berlebihan. Walau bagaimanapun, luka luarnya jauh lebih baik daripada kepunyaan Tristan.
Lantas, mengapa perlakuan Yoga terkesan terbalik dengan cara Clara ke Tristan?
Entahlah. Bisa jadi, Yoga memang selembut itu pada semua cewek yang dikenalnya. Kemudian, asumsi tersebut membuat Yoana refleks menarik senyum getir karena merasa cowok itu mempunyai kesamaan dengan Tristan sebelum mengusir jauh-jauh pemikiran itu.
Nggak, Yoana. Mereka itu beda. Yoga nggak bakalan sebrengsek Tristan yang ngebalas ciuman lo sementara di hatinya ada cewek lain.
Dari jarak sedekat ini, indera penciuman Yoana secara spontan membaui aroma tubuh Yoga. Cukup menakjubkan sebenarnya karena dia sempat mengira kalau Yoga tidak memakai parfum berhubung keduanya pernah berdempetan hingga kesannya berpelukan gegara insiden belakangan ini.
Meskipun demikian, alih-alih baper, Yoana malah merasa tidak nyaman dengan posisi ini dan dia refleks mengembuskan napas lega setelah Yoga memundurkan kepalanya.
Tristan mengembalikan posisi duduknya ke depan dan matanya langsung menjurus ke Yoana. Walau masih sungkan, cowok itu akhirnya memberanikan dirinya untuk memanggil Yoana.
"Na...."
"..."
"Na—–"
"Ngomong ya ngomong aja! Nggak usah Na-no-na-no! Berisik, tau!"
Tristan terkesiap, tetapi akhirnya dia melanjutkan setelah berdeham keras, "Oke. Na, gue mau jujur sejujur-jujurnya sama lo."
"Kayaknya lo memang harus ditabok dulu supaya mau jujur." Yoana menyindir sembari memicingkan matanya dengan sengit. "Lo seharusnya udah jujur selagi gue masih waras. Dengan begitu, seenggaknya hidung mancung lo bisa diselamatkan, kan?"
Tristan melirik Yoga, berharap agar cowok itu bersedia membantu. Namun sayangnya, hal tersebut sama sekali tidak berefek karena dia telah beranjak dari duduknya.
Yoana menahan tangan Yoga. "Lo mau ke mana?"
"Tristan mau ngomongin hal yang privasi, kan? Nggak sopan rasanya kalo gue masih di sini."
Alih-alih melepas cekalan tangannya, Yoana justru memaksa Yoga duduk kembali dengan sekali tarikan. "Do you expect me to have something private with him after all what happened? Oh, come on... we're even listed in trending topic now."
"Still, I've nothing to do with both—–no, I mean... three of you." Yoga melirik Clara.
"Two." Clara menyeletuk tiba-tiba. "I want no ties."
"Clara!" panggil Tristan dengan tatapan tidak percaya, jelas terkhianati.
"Na, sampai kapan pun aku nggak akan pernah punya akhir sama Tris—–"
"Gue tau lo sukanya sama gue!" potong Tristan. "Dan gue sukanya sama lo. Kenapa sih, semuanya jadi ribet gini?"
"Nggak bakalan ribet kalo lo berani jujur sedari awal, Tristan!" sembur Yoana, emosinya terpacu kembali. "Seven years, are you killing me?"
"Itu karena gue mencoba untuk berusaha, Yoana. Karena gue tau ini juga kemauan Clara!"
"Kalo gitu lo seharusnya berusaha sampai akhir, Tris. Kenapa lo harus ungkapinnya sekarang?" tanya Clara dingin, mengalahkan intensi Yoana yang sudah membuka mulut untuk menyerukan kata-kata menusuk lainnya. "Kenapa lo harus ungkapinnya setelah gue punya keinginan untuk move on? Dan kenapa... lo harus jujur di saat gue udah tertarik sama Yoga?"
Yoga seakan dipaku di tempat duduknya selagi mendengar namanya disebut. Memang, dia masih ingat Tristan melapor tentang cowok yang disukai Clara adalah dirinya, tetapi mendengar bagaimana Clara mengatakannya secara langsung membuatnya merasakan sensasi yang belum pernah dirasakannya.
Gimana ya, belum pernah ada yang menunjukkan ketertarikan pada Yoga sejelas ini. Yang terhitung sebagai rekor hanya sampai pada tahap main mata atau mengajaknya berbasa-basi random selayaknya pendekatan biasa.
Mendengar kata-kata itu tentu cukup membuat Yoga merasakan efek panas dingin. Yahhhh... setidaknya selama beberapa saat dia jadi merasa tidak semenyedihkan sadboy dalam drama-drama yang eksis di layar lebar.
"Hati gue nggak terima, Ra, waktu tau lo suka sama orang lain."
"Trus gimana sama gue?" bisik Yoana, tetapi tatapannya masih setajam yang sudah-sudah. "Tujuh tahun langsung jadi nggak ada artinya setelah lo denger Kak Clara suka sama cowok lain. Sesederhana itu, ya?"
"Yoana, bukan itu maksud gue. Plisss...." Tristan memohon. Sepertinya kali ini serius karena bagian putih pada matanya berhasil memerah. Jelas, dia merasa tersudutkan dan putus asa. "Semua perlakuan gue tulus sama lo, Na. Salah gue... gue hanya terlambat menyadari kalau suka sama cinta itu beda...."
"... dan lo sadarnya waktu tau Kak Clara suka sama Yoga. Ya, kan?" Yoana melanjutkan dengan ringan dan tanpa beban, meski siapa saja yang mendengarnya tentu bisa mengerti betapa hancur hatinya saat ini.
Efeknya malah beralih ke Clara, karena air mata di bagian pelupuknya sudah menggenang meski dia masih bisa menahannya dengan baik agar tidak tumpah.
"Gue udah ngerti sekarang." Yoana berkata setelah jeda beberapa lama. Harus dia akui setelah mengarungi sejumlah peristiwa yang menjadi tamparan untuknya, cewek itu bisa melihat bagaimana kemantapan hati Tristan Aditya hanya tertuju pada kakaknya, Clara Zeminna.
Hasil finalnya tidak lain tidak bukan adalah ketiadaan kesempatan untuknya lagi. Dia tahu kalau dia harus menyerah.
Lantas, apakah dia bisa? Yoana tidak tahu dan dia tidak berani membayangkan bagaimana hari-harinya akan terlewatkan mulai sekarang karena jelas, dia harus merelakan cowok yang disukainya menjalin cinta dengan kakaknya sendiri.
Yoana jadi bertanya-tanya apakah ada cewek yang bisa melewati itu semua tanpa hambatan? Sebab kalau ada, dia ingin sekali menanyakan tipsnya.
Yoga mengalihkan atensinya pada Yoana. Mau tidak mau, cewek itu mengingatkannya kembali pada momen kisaran sebulan yang lalu.
Seperti dejavu, kejadiannya juga di kafetaria kampus dan posisinya bahkan persis sama.
"Jadi, sama seperti tanda tangan kontrak atau dokumen untuk menunjukkan keabsahannya, apa gue boleh meluk lo untuk mengesahkan persahabatan kita lebih resmi lagi? Sekalian untuk mengingatkan ke gue kalo mulai hari ini gue bener-bener harus melepas lo sebagai gebetan dan menyambut lo sebagai sahabat gue."
Itu adalah kata-kata Yoga yang terakhir sebagai gebetan pada Luna. Meski situasinya mungkin berbeda karena Clara belum menyambut perasaan Tristan secara resmi, Yoga harus mengakui kalau ekspresi Yoana yang sekarang persis dirinya; mencoba untuk menerima takdir yang terlalu sulit diterima.
Jika Yoana memeluk Tristan sekarang, pastilah pelukannya juga akan seerat yang dilakukan Yoga pada Luna di kala itu—–berusaha tegar, tetapi di sisi lain juga tidak rela untuk melepas.
Tristan hanya bisa melongo melihat reaksi Yoana yang sudah tidak sebarbar tadi sementara Clara masih berusaha menahan air mata dengan cara mendongakkan kepalanya ke atas dan memutuskan kontak mata dengan semua orang.
Beruntung kafetaria tidak seramai biasa dan meskipun beberapa pengunjung masih setia menaruh perhatian pada keempatnya, tetap saja belum ada yang berani membentuk kerumunan atau menyerukan yel-yel seperti di kelas.
"Gue lepasin lo, Tristan. Mulai hari ini. Jadi, awas aja kalo lo berani plin-plan atau bikin kakak gue nangis!" ancam Yoana. Dia memerankan perannya dengan baik karena Yoga tentu tahu hatinya tidak sedang dalam kondisi yang bagus.
"Na...."
"Jangan bohongin perasaan lagi, Kak." Atensi Yoana beralih ke Clara yang sudah mau menitikkan air mata. "Aku tau Kakak suka sama Tristan. Aku aja yang egois dan sengaja pedekate duluan karena takut Kakak rebut--eh, tau-taunya jodoh emang nggak ke mana, ya."
"Semalam lo mabuk, Na, jadi lo salah—–"
"Hayoloh, Kak. Aku tadi nggak bahas tentang mabuk, loh. Artinya Kakak ngaku suka sama Tristan. Ya kan?"
"Hah?" Ekspresi Clara seperti tertampar dan seluruh wajahnya memerah.
"See? Kalo gitu, gue duluan. Bentar lagi ada kelas." Yoana beranjak dari duduknya terlalu cepat seakan tersengat arus listrik dan keluar dari kafetaria tanpa menunggu respons yang lain.
Alasannya? Karena Yoana harus melindungi harga dirinya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah melepas cinta tujuh tahunnya dengan dagu yang terangkat ke atas untuk menunjukkan sisi tegarnya.
Andai saja... dia bisa melupakan Tristan segampang melumpuhkan lawan.
Air mata Yoana masih mengalir dan dia tidak mau repot-repot mengusap jejaknya, tetapi tangannya otomatis melindungi wajah ketika merasakan ada seseorang yang mendekat.
Betapa kagetnya dia karena ada kain yang menutup kepalanya. Aksi yang memberikan dejavu tersebut tentu segera diketahui oleh Yoana kalau pelakunya adalah Yoga.
"Jaket lo ketinggalan, jangan salah paham." Yoga menjelaskan sementara Yoana menyunggingkan senyum palsunya setelah mengusap sisa air mata dengan gerakan cepat.
"Itu jaket lo, Yoga." Yoana meralat.
"Kayaknya lo lebih perlu. Nggak perlu sungkan, pake aja. Gue masih ada jaket lain."
"Oke, trims." Alih-alih memakai hoodie tersebut, Yoana malah menyampirkannya pada salah satu lekukan lengannya.
"Hmm... yang tabah ya, Na. Sebagai temen lama lo, gue hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Semoga--"
"Bener. Lo itu temen lama gue sekaligus sama-sama mempunyai nasib yang sama. Nggak nyangka, ya."
Yoga terdiam, tetapi pada akhirnya dia menganggukkan kepalanya sebagai persetujuan.
"Kalo gitu, lo pasti tau cara menghibur orang yang dicampakkan. Secara... lo udah pernah ngerasainnya.
"Gue boleh minta tolong, nggak?" lanjut Yoana.
"Hmm... apa?" tanya Yoga. Entah kenapa, dia seperti merasakan semacam firasat buruk apalagi dia tidak bisa menebak apa isi pikiran Yoana dari cara dia menatapnya sekarang.
Benar saja, Yoga langsung terpaku di tempat ketika mendengar Yoana meminta ini secara terus terang, "Gue mau nangis. Boleh nyandar di bahu lo, nggak?"
Sekali lagi, Yoga harus diingatkan oleh kenangan lamanya bersama Luna.
"... penawaran gue tetap berlaku sampai kapan pun. Lo diizinkan untuk bebas bersandar ke gue kapan pun lo butuh."
"Let me dry your tears from now. You know why? Because you should get something like reward for your sacrifice. So, please lean yourself to me. You are very allowed to do that."
"Apa pun itu, gue harap gue bisa membantu supaya perasaan lo lebih baik, Na. Gue ngomong ini bukan karena mau mengingatkan lo dengan perasaan gue, tapi gue benar-benar menganggap lo sebagai teman dekat. Menurut gue, menjadi teman dekat itu jauh lebih baik daripada kita nggak terikat hubungan apa pun."
Kenapa? Kenapa Yoana harus mengingatkannya kembali pada masa lalunya, pada kisah cintanya?
Mata Yoga membelalak lebar dan setiap sel dalam tubuhnya serasa tersengat arus listrik ketika mendadak saja Yoana mengalungkan lengan ke sekeliling pinggangnya dan menyandarkan kepala ke pundaknya.
Tangisan yang menyusul segera memberitahu Yoga seberapa hancur hatinya sekarang, bahkan dia bisa menjamin kalau efek yang dirasakan Yoana dua kali lebih parah dari dirinya waktu itu.
Mungkin... lebih dari itu.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top