6). Tell Honestly
Clara Zeminna dan adiknya boleh saja mempunyai wajah yang mirip hingga disangka kembar, tetapi sifat keduanya berbeda. Bahkan kembaran yang identik saja bisa mempunyai karakter yang bertolak belakang.
Tidak usah jauh-jauh, dari segi penampilan saja sudah berbeda meski cukup banyak yang masih salah menebak. Jika Clara selalu mengenakan pakaian yang cenderung simpel dan kesannya itu-itu saja, Yoana lebih suka pakaian bervariasi dengan pilihan warna yang dominan terang. Jika Clara suka menggelung rambutnya ke atas, adiknya selalu membiarkannya tergerai. Jika Clara lebih suka sepasang sneakers untuk menemaninya di setiap kesempatan, Yoana selalu memakai boots dengan berbagai variasi.
Kesannya malah seakan-akan Clara lebih tomboi, padahal aslinya tidak demikian. Dia boleh saja terlihat cuek dengan penampilan, tetapi dia tidak pernah bertutur kata kasar atau kurang berakhlak seperti adiknya. Bisa jadi, itulah yang menjadi penyebab utama banyak orang salah memanggil nama mereka.
Yoana dan Clara selalu begitu. Kesukaan dan kebiasaan mereka seakan ditukar satu sama lain. Dulu, Yoana tomboi habis sedangkan kakaknya senang memakai rok ke mana-mana. Kini, penampilan keduanya terbalik.
Hanya Tristan satu-satunya yang tidak pernah salah membedakan keduanya--tentu saja. Bisa dibilang, cowok itu adalah teman masa kecil mereka. Tristan juga dekat dengan Clara berhubung keduanya seangkatan dan selalu sekelas.
Bahkan, jurusan mereka sama meski terkhusus kali ini, Tristan yang sengaja mengikuti pilihan Clara. Alasannya karena tidak biasa saja jika mereka harus berpisah kelas di kampus, padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.
Tidak munafik, Clara tentu tahu sespesial apa perhatian Tristan pada dirinya. Dia cukup tahu kalau dia yang ada dalam hati Tristan dan memandangnya lebih dari sekadar teman dekat. Dia juga mengerti kalau cintanya Tristan masih setia terarah padanya sementara dia populer di antara cewek-cewek cantik.
Clara juga tahu dengan jelas kalau Yoana menyukai Tristan. Perhatian khususnya bahkan persis dengan cara Tristan padanya, yang menunjukkan seberapa jelas prioritasnya.
Lantas, bagaimana dengan perasaan Clara? Apakah dia menyukai Tristan dengan cara yang sama dengan cara Tristan memandangnya?
Seharusnya iya, karena cinta itu muncul seiring berjalannya waktu. Katanya, cinta bisa tumbuh dan berkembang jika kita sering berinteraksi dengannya, apalagi jika dia satu-satunya yang berada di sisi kita ketika sedang mengalami keterpurukan.
Juga, Clara tipikal cewek yang cepat baperan. Berbeda dengan Yoana yang bisa santai saja berdekatan bahkan rangkul-rangkulan dengan teman cowok sebayanya, kakaknya tidak demikian. Tristan-lah satu-satunya teman cowok yang dekat dengannya, menjadi wadah curhatnya, dan yang menjadi moodbooster untuknya.
Meskipun demikian, Clara tidak mau dan tidak bisa egois. Selayaknya kakak yang baik, dia tidak ingin menyakiti perasaan Yoana. Lagi pula selama tujuh tahun pertemanan mereka, Tristan tidak pernah mengungkapkan perasaannya.
Bagi Clara, ini bagus karena dia tidak tega saja jika harus menolak Tristan dan dia tidak bisa membayangkan jika hubungan persahabatan mereka menjadi rusak gegara fakta ini.
Kemudian, ketika dia melihat kemesraan gebetannya dengan adiknya sendiri, Clara tentu sakit hati karena dia bukan robot yang tidak mempunyai perasaan.
Dia ingin egois, tetapi dia sadar kalau dia tidak akan pernah bisa melakukannya. Jika diharuskan memilih antara adiknya dan Tristan, Clara tentu condong ke adiknya sendiri tanpa berpikir dua kali. Keduanya memang sama pentingnya, tetapi Yoana berbagi darah yang sama dengannya.
Yoana Zeminna adalah adik kandungnya.
Tambahannya, masih banyak cowok di dunia ini. Clara selalu menghibur diri sendiri dengan cara itu. Hingga pada suatu saat ketika dia melihat dan mengenal Yoga Pradipto di perpustakaan kampus, cewek itu merasa kalau sudah saatnya dia move on.
Tujuh tahun sudah terlampau lama. Sampai kapan dia harus tetap berpijak di posisi yang sama? Sampai kapan dia harus mempertahankan perasaan yang sangat mustahil untuk dibalas? Dan sampai kapan dia harus menatap punggung Tristan?
Yoga Pradipto jelas bukan kandidat yang buruk, apalagi setelah mendengar rumornya yang membuat namanya melejit seperti roket terbang. Dia dibicarakan oleh orang banyak dan masuk dalam trending topic di hari yang sama ketika mantan pacar gebetannya kembali. Julukan sadboy pun segera dinominasikan untuknya.
Clara tentu berharap dia memiliki kesempatan. Kapan lagi, kan? Daripada dia ikut-ikutan menjadi sadgirl di antara cinta adiknya dan Tristan, cewek itu tentu lebih memilih terlibat asmara dengan Yoga walau teknisnya dia lebih tua setahun.
Namun, entah semesta sedang menggariskan takdir yang lain atau Clara sedang diberi ujian hidup, cewek itu tidak tahu. Yang jelas, Tristan tiba-tiba saja mengungkapkan perasaannya.
Malam ini.
Dan itu berarti, apa yang Clara khawatirkan selama ini telah menjadi kenyataan.
Reaksi Yoana adalah satu-satunya yang menjadi sumber kekhawatiran Clara.
Benar saja, malam itu menjadi malam terpanjang yang pernah Clara lewati setelah mendengar seluruh isi hati adiknya.
Terdengar bunyi samar khas kode sandi sedang ditekan, lalu Yoana masuk ke dalam dibarengi langkahnya yang terseok-seok pasca menutup pintu kembali dengan kasar.
"Oh, Clara-ku udah pulang duluan." Yoana terkekeh selagi menghampiri kakaknya dengan nada bicara yang ditarik-tarik dan senyuman yang terlalu lebar.
"Na, kamu mabuk?" Clara bertanya cemas sembari memimpin Yoana dan mendudukkannya di sofa. Dugaannya benar, karena dia bisa membaui alkohol yang menguar dari bibir mungilnya. "Bentar ya, aku buatin teh jahe biar mendingan."
Namun, gerakan cewek itu berhenti karena Yoana mencekal pergelangan tangannya. "Gue mau lo jujur sama gue."
Ini kebiasaan Yoana. Jika ingin membicarakan hal serius, dia akan menggunakan format lo-gue dalam berkomunikasi. Jika sudah demikian, biasanya Clara akan menghentikan apa pun aktivitasnya dan berfokus padanya.
Mata Yoana menatap sayu, tetapi Clara bisa melihat dengan jelas bagaimana tatapan itu sarat akan luka.
"Jujur sama gue, apa pendapat lo soal Tristan?"
"Sahabat, kan?" Clara menjawab lancar, seperti biasa. Jika tidak, bagaimana bisa dia melindungi perasaannya di hadapan Yoana selama tujuh tahun belakangan ini? "Nggak kayak kamu ke Tristan."
"Nggak usah bohong, Kak. Gue bukan orang lain."
"Ya iya, dong. Kamu itu adik aku. Satu-satunya." Dua kata terakhir juga selalu sengaja ditekankan oleh Clara, sekaligus menjadi peringatan untuk dirinya sendiri kalau-kalau dia lengah.
"Justru itu. Nggak boleh bohong sama adik sendiri, kan?"
"Aku nggak bohong," kilah Clara. Bahkan dia bisa menatap langsung ke sepasang netra Yoana tanpa ragu.
Sekuat itu kemunafikannya, yang menunjukkan sebesar apa kasih sayang Clara ke adiknya.
"Gue udah ciuman sama Tristan dua kali. Mau tau kronologinya?"
"Kenapa kamu harus kasih tau aku?" Clara memutuskan duduk di lantai dan mendongakkan kepalanya supaya bisa melihat langsung ke mata Yoana. Sebuah alibi yang hebat sekali karena selama sepersekian detik belakangan, dia berusaha meredakan gemuruh di dalam batinnya.
"Come on, Clara. I know you're telling a lie, just like a loser. Hahaha...." Tawa Yoana lepas, tetapi isinya kosong dan jelas dipaksakan.
Clara sama sekali tidak tersinggung karena selain Yoana berada di bawah pengaruh alkohol, tidak munafik dia juga sadar kalau adiknya pasti bisa mengerti apa makna tersirat Clara yang sesungguhnya.
Intuisi wanita memang tidak pernah bisa dianggap remeh.
Yoana bergoyang random selagi berusaha untuk tetap sadar dan mengeluarkan semua unek-uneknya tanpa hambatan. Tangannya digerakkan ke sana kemari dan hampir saja dia oleng jika tidak bersandar di lengan sofa. "Pertama, gue duluan yang nyium Tristan trus dia bales ciuman gue. Gue seneng, karena ciuman pertama gue dibales oleh cowok yang gue suka."
"Yoana--"
"YANG KEDUA," potong Yoana dengan suara lantang, lantas terkekeh sendiri selama beberapa saat meski berujung pada tawa yang masih sarat akan kegetiran. "Gue nyium dia lagi buat mastiin kalo perasaan gue terbalaskan dan perhatiannya hanya tertuju pada gue. Lagi-lagi, Tristan bales ciuman gue. Kalo lo jadi gue, apa lo bisa ragu sama perasaan dia?"
"..."
"Mau gue nyium Tristan berkali-kali pun, gue yakin dia bakal bales ciuman gue.
"Tapi apa? Dia berterus terang kalo dia mau memperjelas hubungan gue dan dia trus mau jelasin ke lo tentang perasaan dia yang sebenarnya," lanjut Yoana. Bagian putih dalam netranya kini memerah parah dan cairan yang menumpuk di bagian pelupuknya jelas memberitahu Clara kalau sebentar lagi pertahanan Yoana akan jebol. "Gimana mungkin selama tujuh tahun gue ngenal dan deket sama dia, posisi gue ternyata bertepuk sebelah tangan?"
"Na...."
"Mungkin ini karma." Suara Yoana bergetar selagi air matanya menetes satu per satu dan dia berkali-kali menghapusnya dengan kasar, meski sia-sia saja karena intensitas cairannya terus berkesinambungan. "Gue tau lo suka sama Tristan, tapi gue pura-pura buta dan tuli."
"Nggak gitu, Yoana. Dengerin aku--"
"YA MEMANG GITU!" hardik Yoana nyolot. "Cuma... cuma... gue cuma kecewa plus nggak nyangka aja. Kalo selama ini dia nggak pernah ada perasaan sama gue, lantas sikap manisnya selama ini ke gue itu apa, Kak?"
Clara sudah membuka mulutnya, tetapi lagi-lagi Yoana menghalanginya. "Lo juga suka sama Tristan, kan? Jujur sama gue."
"Kamu lagi mabuk, Na. Udah malem juga, besok--"
"GUE NGGAK MABUK, JAWAB GUE!"
"Oke, aku jujur. Dulunya iya, sekarang udah nggak."
"Kalo bohong nggak usah setengah-setengah, Kak. Percuma."
"Serius."
"BOHONG!"
"Na, gue harus jawab apa sih biar lo paham?" Clara mulai habis kesabaran, kentara sekali dari format bicaranya yang seketika berubah.
"Jawab yang jujur. Sejujur-jujurnya."
"Gue udah jujur--oke, aku jujur. Jawabannya iya." Clara menjawab pasrah pada akhirnya setelah menangkap sorotan horor dari adiknya.
"Oke, selamat buat kalian. Tenang aja, aku restuin kok," kata Yoana kalem, tetapi air matanya tidak sinkron karena tangisannya telah berubah menjadi sesenggukan. "Tapi aku perlu waktu."
"Na, jangan gini dong...."
"Maaf ya, Kak. Seharusnya aku nggak ngerebut Tristan dari Kakak." Kestabilan Yoana diragukan karena dia masih terpengaruh efek mabuk. Alhasil, tangisannya menjadi-jadi dan dibarengi dengan luapan emosi yang meledak.
Clara juga tidak tahan untuk tidak menangis. Pertahanannya ikut bobol dan dia segera menarik sang adik ke pelukannya.
"Yoana, maafin aku, ya."
"Kakak nggak salah." Lagi-lagi, Yoana membohongi dirinya sendiri. Dia bisa saja tersenyum dan berusaha tegar, tetapi air matanya tidak bisa berbohong. "Aku capek. Aku balik ke kamar, ya."
Clara mau menahan adiknya, tetapi terlambat. Yoana telah melepaskan pelukannya dan segera beranjak untuk meninggalkan ruang tamu.
Lebih tepatnya, melanjutkan tangisannya di area yang lebih privasi.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top