5). Truth or Drink (2)

Peringatan ⚠️
Part ini mengandung konten alkohol.
Mohon bijak dalam membaca, ya.
Sebagai pengulangan informasi, sudah saya sertakan peringatan ini di bagian deskripsi cerita.
Terima kasih atas perhatiannya, ya.
Happy reading ❤️

You sparkle even more
Gathering all the feelings
-Y.P.

*****

Yoga tidak tahu saja kalau minum minuman keras sudah sangat biasa bagi Yoana.

Yoga tidak tahu saja kalau keluyuran sampai lewat tengah malam sudah bukan pengalaman baru bagi Yoana.

Yoga tidak tahu saja kalau mengunjungi indekos cowok bukan pertama kali bagi Yoana.

Tentu saja Yoga tidak tahu semua itu karena dia tidak pernah keluar dari kamarnya lewat jam sembilan malam. Terkesan sangat terstruktur dan kentara alimnya, tetapi percayalah, bukan berarti dia bocah umur lima tahun yang sudah rebahan di kasur sebelum pukul sembilan malam selepas cuci kaki dan minum susu—–bukan, bukan seperti itu. Hanya saja... fokusnya lebih terarah di malam hari, jadi biasanya dia mengerjakan tugas dan belajar pada jam seperti itu.

Terkadang saking terlenanya, Yoga baru tidur ketika waktu telah berganti hari alias subuh.

Itulah sebabnya, penilaian Yoga atas Yoana lebih tinggi dari seharusnya. Melihat dia berada di antara cowok terutama kehadirannya di larut malam seperti ini, cukup membuat Yoga membayangkan sekelebatan adegan yang tentu saja akan berbahaya jika diabaikan.

Salahkan pikiran Yoga yang telanjur berasumsi kalau Yoana bakal diapa-apain sama cowok-cowok indekos daripada fakta ini semua sudah biasa bagi Yoana.

Lantas, Yoga bisa saja cuek dan kembali ke kamar seolah-olah tidak ada interupsi, tetapi naluri kemanusiaan melarangnya untuk mengabaikan cewek itu.

"Nggak usah jawab, Yoana. Virga sengaja mancing lo." Yoga memberitahu Yoana, yang balas menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

Namun, Virga tidak mau ketinggalan mencari celah. "Apa gue nggak salah lihat? Demi Yoana, lo rela jadi ksatria hitamnya—–oke, oke. Kita lanjut lagi."

Virga auto dibuat kicep ketika melihat sorot tajam Yoga sementara yang lain terang-terangan menunjukkan persetujuan atas komentarnya Virga. Ibarat lepas dari mulut harimau jatuh ke lubang buaya, aksi heroik Yoga justru memberikan asumsi lain yang misterius nan menantang untuk digali lebih dalam lagi.

Dan ini sama sekali tidak diperhitungkan oleh Yoga sebelumnya, membuat cowok itu seketika menyesal karena terlalu berfokus pada satu hal tadi.

Botol kosong diputar kembali dan kali ini tertuju pada Yoga. Lagi-lagi, Virga memutarnya dengan perlahan seolah-olah sudah menargetkan keduanya.

"Vir, ini curang namanya." Yoga memprotes.

"Tenang aja, jatah alkohol buat kalian cukup satu botol." Virga terkekeh. "Kapan lagi sih bisa ngajak lo main yang kayak gini? Nggak nyangka gue, lo bersedia ikut karena mau melindungi Yoana. Ya kan?"

"Konyol." Yoga mencibir kalem. Untungnya, dia bisa menanggapi dengan kepala dingin sehingga tidak menimbulkan kecurigaan lainnya. Begitu pun dengan Yoana yang tidak terpengaruh alias tidak baper.

Setidaknya, Yoga bisa bernapas lega.

"Truth or drink?" Virga bertanya.

Alih-alih menjawab, Yoga mengambil sloki yang tersedia dan menenggak isinya sampai habis. Aksinya cukup keren dan kesannya cepat beradaptasi, membuat takjub sebagian besar penghuni kos.

"Wow, I think you're such a good drinker." Yoana berkomentar, "Hmm... gue rasa batas toleransi alkohol lo lebih tinggi dari Virga."

"Heh, gue sanggup minum langsung sebotol loh, ya. Plis deh."

"Pendapat gue aja, sih. Soalnya gue inget awal-awal, lo udah kejang-kejang padahal baru aja sloki kedua."

"Ini kan kadar alkoholnya memang rendah." Virga tidak terima.

"Waktu itu juga sama, kali. Gue masih inget. Mereknya aja sama."

"Sialan, belain Yoga aja terus."

"Gue ngomong fakta. Mau Yoga atau siapa, kek. Gue tetap bakal ngomong gini."

Mereka melanjutkan permainan hingga beberapa ronde, meski teknisnya tidak cocok disebut sebagai permainan karena Yoga selalu berakhir menenggak isi sloki setiap mulut botol tertuju padanya atau Yoana. Dia memutuskan untuk membiarkan Virga berlaku sesuka hatinya, lagi pula entah bagaimana caranya, dia merasa minuman tersebut tidaklah buruk.

Untuk sesaat, cowok itu merasa beban di pundaknya sedikit terangkat.

Entahlah, kesannya jadi seperti mendukung minum minuman keras, tetapi percayalah, dia hanya bersikap selayaknya manusia normal yang berpikir secara spontan kalau dia menemukan distraksi yang sangat instan.

Itulah sebabnya mengapa—–untuk sejumlah kasus, banyak yang lebih senang minum minuman beralkohol untuk menenangkan kegundahan dalam hati. Yoga tentu sudah cukup umur dan sesuai umurnya, dia seharusnya bisa memilah yang mana baik atau buruk, yang mana boleh diteruskan atau tidak, dan yang mana bisa diteladani atau tidak.

Untuk konteks ini, Yoga tidak akan meneruskannya ke depan hari tetapi dia ingin menikmatinya sekarang.

Bukankah normal jika manusia ingin mencoba-coba hal baru? Yang terpenting adalah, salah jika membenarkan sesuatu yang tidak seharusnya dibenarkan.

Yoga sudah hampir meminum sloki yang baru ketika tangan Yoana merebut dan segera menandaskannya dalam sekali teguk.

"Lo mulai mabuk jadi udah cukup." Yoana menjelaskan aksinya.

Pasalnya, Yoana merasa tidak enak hati karena Yoga berkali-kali menggantikannya minum seperti di awal-awal. Rasanya tidak tega saja jika cowok itu sampai mabuk beneran atau bahkan yang terburuk, sampai drop.

Maka, Yoana mengatakan ini pada Virga, "Vir, udah cukup. Kalo lo masih mau lanjut, gue bakal laporin ke Nara."

Virga seperti tertampar secara abstrak, meski di sisi lain dia juga ingin membela dirinya. Lantas, pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas berat dan setidaknya dia bisa menghibur diri kalau duo Yoga dan Yoana sudah menanjaki level yang lebih tinggi dari sebelumnya.

"Gue nggak mabuk, kalo pusing baru iya." Yoga berujar, menatap Yoana dengan tatapan seolah-olah dia terlalu berlebihan. "Gue masih sanggup ngerjain tugas."

"Gejala mabuk ya gini, nggak mau ngaku udah mabuk."

"Udah gue bilang, gue nggak mabuk!" Yoga berseru tidak terima sementara Virga menatapnya simpatik.

"Derita sadboy, Yoga kasihan banget." Virga mulai melancarkan aksinya dan dalam hati dia berharap supaya Yoana bisa terpancing. "Dia senasib sama lo, Na."

"Iya, gue ada denger rumor itu." Yoana mengalihkan atensinya pada Virga. "Terlibat friendzone trus jadi sadboy di antara Luna Lovandra sama Ferdian Michiavelly, kan?"

Mata Yoga sudah terpejam, meski dia masih bisa mendengar pembicaraan antara Virga dengan Yoana. Dia ingin sekali bergerak untuk kembali ke kamarnya, tetapi terhalang oleh rasa pusing di kepalanya.

"Tapi ini masih belum apa-apanya ketimbang gue," kata Yoana sembari menyeringai, lebih tepatnya mengejek diri sendiri. Sebenarnya dia juga sudah berada di bawah pengaruh alkohol karena sempat menenggak beberapa sloki selagi Yoga lengah. "Gimana dengan gue yang mengira udah jadi cewek Tristan trus ternyata dia sukanya sama kakak gue? Belum lagi durasinya yang ngalah-ngalahin bocah lulus SD!"

Virga bungkam, tidak menyangka saja Yoana akan menceritakan ini padanya. Selama ini, pertemanan mereka plus Nara hanya sebatas akrab tetapi belum pernah menyentuh dunia privasi, apalagi hubungan Tristan dengan Yoana hampir tidak pernah cekcok. Kalaupun ada, itu hanya sebatas cekcok debat yang sarat akan humor.

Ruang tengah sudah lebih renggang berhubung permainan sudah berakhir dan mereka mencari kesenangan lain. Satu-satunya yang masih bergeming adalah Leo.

"Lo mungkin udah tau dari Tristan, tapi gue rasa gue harus ngasih tau lo juga. Gimana sama gue? Kalo segini doang Yoga dipanggil sadboy, trus gue apa?"

"Grieve girl," celetuk Leo sebelum tertawa lepas. "Cocok banget, kayak kuburan level kesedihan lo."

"Sialan."

"Lo nggak cocok jadi sadgirl, Na. Lagian hubungan lo sama Tristan lebih ke kakak-adek atau teman masa kecil kalo menurut gue," lanjut Leo. Dia tergerak untuk menghabiskan keripik kentang milik Virga yang sempat terabaikan, tetapi refleks menyumpah-nyumpah setelah mencicipi sedikit, "SIALAN! UDAH MELEMPEM BEGINI!!!"

"Salah sendiri!" Virga terkekeh, menertawakan kebodohan Leo. "Udah pasti lembek, lah! Wong gue nggak ikat pake karet!"

"Iya juga, ya. Muehehehe...."

"Yo, menurut lo gimana kalo Yoga sama Yoana dijodohin? Sama-sama korban yang menyedihkan, cocok kan?" tanya Virga enteng, sama sekali tidak memedulikan tatapan tajam Yoga yang matanya mendadak terbuka. Sementara Yoana, cewek itu melanjutkan aktivitasnya menenggak beberapa sloki lagi.

Entahlah, tiba-tiba saja Yoana merasa baper padahal dia sudah bersikeras untuk bertahan agar besok bisa kuliah dengan tenang. Ditilik dari caranya meminum alkohol itu, sepertinya dia tidak akan berhenti secepat itu.

Yoga yang melihatnya segera menahan tangan Yoana. "Katanya besok kuliah pagi, kenapa lo malah minum?"

"Lepasin," kata Yoana, suaranya terdengar ditarik-tarik. "Lo masih nggak ada apa-apanya dibanding gue, jadi lo nggak berhak ngatur-ngatur gue!"

Untungnya, Yoga sudah merasa lebih baik sehingga tenaganya lebih kuat daripada Yoana yang sudah setengah mabuk. Keduanya tidak sadar kalau Virga dan Leo sedang menyaksikan dalam diam meski tatapan mereka sarat akan intensi lain.

"Hmm... gue jadi paham kenapa lo bisa punya niatan buat jodohin Yoana sama Yoga." Leo mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh penghayatan.

"Lo liat deh chemistry mereka," kata Virga, semakin gencar untuk membenarkan asumsinya. "Tristan malah nggak ada apa-apanya."

"Nggak ada apa-apanya?" ulang Leo. "Trus skinship mereka selama ini tuh apa?"

"Alahhhhhh palingan peluk-pelukan biasa doang. Kayak lo rangkul-rangkulan sama Yoana, kan? Bukan berarti itu disebut pacaran!" Virga masih berpegang teguh pada hipotesanya sendiri, bahkan mengelus dagunya berkali-kali.

"Bukan itu. Gue denger Yoana udah biasa ciuman sama Tristan."

"Alahhhhhh ciuman mah udah—–APA LO BILANG???" Virga memekik setelah kesadaran menamparnya secara abstrak. "TAU DARI MANA LO?"

Alih-alih menjawab, Leo mengarahkan dagunya ke arah Yoana yang masih bersikeras untuk merebut sloki-nya dari Yoga.

Tidak menyerah, cewek itu mengambil botol alkohol lainnya yang belum dibuka, tetapi lagi-lagi Yoga merebutnya.

"Lo kenapa sih? Gue mau minum, jadi suka-suka gue!"

"Udah malem, lo sebaiknya pulang." Yoga menjawab kalem, masih sesabar itu menghadapi Yoana yang mencak-mencak. "Besok ada kelas juga, kan?"

"Leo bilang dia yang bakal nganter gue pulang," kata Yoana dan dia mengalihkan pandangannya pada Leo di seberangnya. Setelah mendapat anggukan sesuai keinginannya, cewek itu menoleh lagi ke Yoga dengan tatapan penuh kemenangan. "Tuh, kan? Siniin botolnya!"

Yoga menggeleng, berhasil mengeluarkan emosi Yoana yang persis dengan ledakannya di kafetaria.

"BERANI-BERANINYA LO LARANG GUE! GUE MAU MINUM SEBANYAK APA TERSERAH GUE! LO PACAR GUE AJA BUKAN! TRISTAN AJA NGGAK SUDI PACARAN SAMA GUE, DIA LEBIH SUKA PACARAN SAMA—–"

Perkataannya terpotong gegara Yoga menutup kepalanya begitu saja dengan hoodie, tepatnya jaket miliknya. Serasa dejavu, segala emosi Yoana menguap secara otomatis.

"Leo, antar dia pulang." Yoga berujar selagi Yoana setengah sadar karena tidak mengerti asal muasal penglihatannya berubah menjadi gelap dalam sekejap.

"Oke."

"Harusnya lo nyuruh Yoga yang anter Yoana pulang," protes Virga.

"Maunya gitu, cuma Yoga minum banyak alkohol juga tadi." Leo menjelaskan selagi berdiri dan merenggangkan tubuhnya. "Next time gue bakal nyuruh Yoga ngegantiin gue."

Yoga tidak tahu harus merespons apa, jadi dia memilih diam saja.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top