23). Is it Too Late? Maybe

When it's too late
It becomes irreversible
This is a chance to hold onto me
-Y.Z.

*****

"Halo, Yoana?" Yoga menjawab dari seberang telepon usai nada dering tersambung beberapa kali.

"Yoga, are you free?"

"Hmm... di sini ada Nara sama Vir--hng? Kenapa?" Karena secara bersamaan, ada suara lain yang mencela. Meski bernada rendah, tetap saja Yoana bisa mendengarnya.

Padahal, dari kata-kata Yoga yang terpotong saja sudah menunjukkan kalau ada orang lain di sisinya.

"Ya ampun! Kenapa dikasih tau, sih?" Yoana mengenali suara Nara yang memprotes.

"Biarin aja, Nara. Mana tau Yoana mau ngapelin Yoga--" Suara Virga menimpali keras, tetapi segera kicep saat mendengar desisan lugas.

"Oh, ada Nara sama Virga nih?" tanya Yoana bersemangat. "Seru ya, kayaknya."

"Lo udah makan belum, Yoana?" tanya Nara alih-alih Yoga. Jelas, ponsel cowok itu berhasil dipindahtangankan.

"Udah sama Kak Clara tadi, Ra."

"Oh, ya sudah. Yoga mau ngajak lo nonton film. Lo mau--hei, ekspresi lo kok kayak gitu, Ga? Kalian harus kencan!"

"Setuju banget sama Nara-ku Sayang." Virga lagi-lagi menimpali dengan keras.

"Hmm... Yoana, lo mau... lo mau nonton?" Suara Yoga lantas memecahkan keheningan yang menyusul selama beberapa saat.

Meski kalem, pertanyaan Yoga spontan menarik seulas senyum di bibir Yoana. Jatuhnya jadi imut selagi dia membayangkan ekspresi Yoga yang sedang canggung parah. "Boleh. Mau ketemuan di mana? Mau gue samperin atau langsung ketemu di mal aja?"

"Di mal aja. Berhubung apartemen lo deket Mall Ciputra, kan? Atau... lo mau gue jemput sekalian?"

"Iya, Yoga. Hmm... nggak usah, deh. Nanti gue jalan aja ke sana. Pulangnya gue bareng elo, ya."

"Oke. Nanti gue hubungin ya kalo udah sampai."

"Cieee... akhirnya kamu kencan juga sama Yoga. Tuh kan Kakak bilang apa, kamu udah suka sama dia." Clara menyambar usai Yoana memilih opsi memutuskan percakapan telepon. "Senyuman kamu uwu banget kayak cewek yang memang lagi kasmaran."

"Ya ampun, Kak." Yoana mengeluh selagi rona merah samar merekah di kedua pipinya.

"Ya sudah, siap-siap dulu biar nggak telat."

"Masih sejam kok, Kak. Aku mampir ke minimarket dulu, ya. Sabun cuci piring udah habis, kan?"

"Bisa nanti-nanti kok, Yoana."

"Trus siapa yang beli? Kan nanti aku juga keluar."

"Oke, oke. Kamu keras kepala banget, sih. Ya sudah, hati-hati di jalan, ya?"

"Siap, Kak."

Yoana Zeminna tidak pernah tahu kalau keputusannya pada malam itu akan berpengaruh besar atas hubungannya dengan Yoga Pradipto.

*****

Yoana mendorong pintu kaca supaya bisa keluar dari toko serba ada dengan salah satu tangan sementara tangannya yang lain menjinjing kantong belanjaan. Suasana sudah tidak seramai sebelum dia masuk, sehingga dia tersentak kaget saat mendapati sesosok familier yang sedang menempati bangku plastik.

Tristan Aditya. Ditilik dari bahasa tubuhnya, dia juga tidak sadar akan eksistensi Yoana. Mungkin saja keduanya sempat berpapasan di dalam barusan, tetapi belum ada yang menyadarinya.

Netra Tristan menyambut Yoana, bertepatan saat dia membuka kertas penutup mi instan. Asap dari mi instan yang sudah siap dikonsumsi segera mengepul sementara gerakan cowok itu membeku di udara, meski pada akhirnya dia duluan yang menarik senyum di bibirnya.

"Yoana." Tristan memanggil kaku. "Lo belanja juga?"

"Modus. Jelas-jelas ada toko serba ada deket kos, kenapa belanjanya di sini?" Yoana malah mencibir dan bertanya balik, alih-alih memberikan jawaban.

"Hmm... iya, g-gue sebenarnya mau...."

"Apa?" tantang Yoana galak, tetapi dia menarik kursi dan duduk di hadapan Tristan. "Ngomong yang jelas."

"Gue mau minta maaf sama lo."

"Hah?"

"Apa suara gue masih nggak jelas? Atau lo nggak percaya? Tenang aja, gue udah sadar kok. Nggak mabok lagi."

"Oh, udah sadar rupanya. Kirain lo masih meracau."

"Gue nggak meracau."

"Waktu lo mabuk, semua kata-kata lo ngawur." Yoana menatapnya jengah.

"Makanya... gue mau minta maaf sama lo." Tristan menghela napas berat. Ditilik dari reaksinya yang lebih memilih mengabaikan mi instan hingga membengkak lebih dari selayaknya untuk dikonsumsi, Yoana jadi sedikit melunak.

Entahlah, terkadang meredakan emosi bisa sesederhana helaan napas yang diembuskan atau semudah membalikkan telapak tangan.

"Yoana, maafin gue. Gue minta maaf, ya?"

"For?"

"Everything. You're my best friend I've ever had and also... you're my first love."

"Hah?"

"Gue nggak mabok, Yoana. Gue bener-bener seratus persen sadar dengan apa yang gue bilang sekarang."

"Kalo lo nggak mabok, mungkin lo sedang bercanda." Yoana menghempaskan napas kasar. "First love? Did you knock your head somewhere before came here?"

"Soal pernyataan tadi... itu bener, Yoana. Lo memang cinta pertama gue. Gue yakin soal itu. Awalnya--"

"Oh oke. Kalo awalnya gue percaya," potong Yoana getir dan terkesan salty. "Setelahnya atau lebih tepatnya seiring berjalannya waktu... lo malah suka sama Kak Clara. Bener, kan?"

Tristan mengangguk terpatah. Sikapnya jadi seperti seorang murid yang takut berhadapan dengan guru killer yang hendak mengultimatum sebuah hukuman.

Tristan sudah memperhitungkan konsekuensi atas permintaan maafnya, bahkan sudah memperkirakan hidungnya akan menjadi samsak tinju Yoana seperti kejadian di kelas Yoga. Oleh karenanya, dia kaget sendiri saat memperhatikan reaksi Yoana yang justru bertindak sebaliknya.

Tidak ada tanda-tanda serangan. Alih-alih bersikap brutal seperti yang sudah-sudah, Yoana hanya menunjukkan ekspresi datarnya yang khas. "Oke, sama seperti yang gue bilang di kafetaria waktu itu, gue udah bersedia lepasin lo, Tristan. Gue maafin. Mau tau kenapa? Karena gue udah bertekad buat keluar dari lingkaran setan di antara kita; lo, gue, sama Kak Clara."

Tristan sedang dalam proses membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi Yoana segera menghalanginya. "Kalo lo masih mau perjuangin Kak Clara, gue rasa inilah saatnya."

"Yoana--"

"Gue rasa... Kak Clara punya perasaan yang sama dengan lo. Selama ini dia udah mengalah sama gue, jadi udah selayaknya buat ngembaliin semua ke jalan takdir yang seharusnya. Maafin gue ya, Tris. Gue terlalu memaksakan kita buat bersama. Tapi walau begitu, gue bisa rasain usaha lo buat membalas perasaan gue. Bagi gue, lo cinta pertama yang memberikan banyak kenangan indah meski pada akhirnya, gue bukan untuk lo dan lo bukan untuk gue."

Tristan mengerjapkan mata sekali dan ajaibnya, sepasang netra tersebut memerah dan berair. Bibirnya bergetar selagi menyorot Yoana dengan tatapan teduh. Nuansa haru segera menguasainya.

"Yoana... lo malah... lo malah...."

"Udah, Tris. Habisin mi instan lo, udah kembang tuh kayak pipi gembul lo."

"Na--"

"Gue duluan, ya. Gue mau siap-siap. Gue ada janji kencan sama--"

Yoana sudah bergerak melewati bangku Tristan selagi berbicara dan kata-katanya terpotong secara otomatis ketika ada tubuh yang memeluknya dari belakang.

Benar, itu Tristan yang melakukannya. Tristan Aditya, yang menangis terharu selagi merengkuh Yoana ke dalam pelukan hangat.

"Makasih, Yoana. Thank you."

Yoana beringsut mundur, seketika merasa agak canggung tetapi Tristan bersuara lagi, "Anggap aja pelukan terakhir, Yoana. Di satu sisi, gue... gue juga butuh hiburan. Plis, cuma bentar aja. Boleh, kan?"

Yoana mematung selagi berpikir, sehingga dia diam saja selama beberapa detik sebelum akhirnya dia bergerak untuk memutar tubuh dan membalas pelukan Tristan.

Pelukan itu bermakna ringan dan tidak sarat akan menuntut seperti yang biasa dilakukan oleh sebagian pasangan yang melepas rindu, tetapi persepsi itu tidak berlaku untuk sepasang mata yang memperhatikan keduanya dari seberang jalan.

Dia mengendarai motor, bagian kaca pada helmnya telah terbuka sepenuhnya, menunjukkan siapa pelaku yang sudah memperhatikan duo Yoana dan Tristan sejak awal.

Dia--Yoga Pradipto, yang segera menutup kaca helmnya kembali setelah menyaksikan Yoana membalas pelukan Tristan, lantas membelokkan motornya ke jurusan lain.

Tentu saja, dia kembali ke kos. Atau bisa jadi, dia malah bertolak ke tujuan lain.

Entah ke mana, yang jelas bukan ke Mall Ciputra ataupun Yoana Zeminna.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top