21). Crush to Lover

Gathering all the feelings
I feel the flutters
-Y.P.

*****

"Kak," panggil Yoana setelah duduk di sofa, memperhatikan Clara yang duduknya melantai dan menggunakan meja kaca untuk memudahkannya mengerjakan tugas kuliah. Ditilik dari buku-buku referensi serta sejumlah kertas yang berantakan, sepertinya dia telah menghabiskan beberapa jam di area tersebut.

Clara mengalihkan perhatian pada sang adik, ekspresinya menunjukkan kalau dia baru sadar akan kedatangan Yoana. "Oh, baru pulang? Udah makan belum, Na?"

"Masih kenyang, Kak."

"Oh, oke. Nanti kita makan bareng, ya. Kakak kelarin tugas ini dulu, lagi tanggung nih."

"Kak."

"Hm?"

"Kenapa lo masih nolak ngomong sama Tristan?"

Seperti biasa Yoana mengubah percakapannya menjadi informal saat ingin membicarakan topik yang serius, membuat jemari Clara yang sedang asyik menari di atas keyboard spontan dibuat membeku. Lantas, dia bersikap seolah-olah tidak ada interupsi dengan melanjutkan aktivitas mengetiknya.

"Kak."

"..."

"Kak Clara."

Gerakan Clara berhenti lagi, kemudian membalikkan posisinya untuk menghadap Yoana. "Na, could we stop talking about that guy? I don't expect you forgive him very soon."

"It doesn't mean forgiveness, neither forgetting. Gue cuma merasa kita bertiga ada di lingkaran permasalahan yang nggak ada habisnya aja."

"Yoana."

"Lo ngerasa nggak, sih? Kayak lingkaran setan, gitu."

"Ya nggak sekejam itu juga dong, Yoana. Masa lingkaran setan?"

"Ya iya. Kita suka sama cowok yang sama. Untungnya aku punya kakak yang hatinya seluas samudra. Coba kalo nggak? Mungkin udah sampai ke telinga Papa sama Mama. Ini udah lewat tujuh tahun loh, bayangin deh."

"I do care of you. That's why. Lagian bukan cuma dia satu-satunya yang harus direbut di dunia ini. Andaikan Kakak udah ketemu Yoga dari awal, mungkin dia bisa jadi distraksinya Kakak."

"Ya ampun, Kak!" Yoana menatap Clara mencela.

"Kenapa? Kayaknya kamu udah mulai suka sama dia."

"S-siapa bilang?" Yoana berkilah, tetapi ekspresi wajahnya memperlihatkan sebaliknya.

"Tebakan Kakak bener. Yang di perpustakaan itu... kamu lagi cemburu lihat kedekatan Kakak sama Yoga, kan?"

"Ish, nggak gi--"

"Kamu udah suka sama Yoga. Kakak yakin."

"Kalo gitu... Kakak juga masih suka sama Tristan, kan?"

"Kok bahas dia lagi, sih?" Clara mendengus keras. "Kakak masih kesel sama dia."

"Tadi Tristan mabok dan ternyata udah beberapa hari dia kayak gini gegara Kakak diemin dia."

"Emang dasar Tristan bego."

"Aku ngajak Kakak ngomong cuma mau bilang kalo... kalo Kakak jangan sampai nolak jadian sama Tristan gara-gara aku. Aku udah bener-bener fix ngelepasin Tristan, Kak."

"Berkat Yoga, ya?"

"Hng... menurut Kakak juga gitu, ya?"

Clara mengangguk. "Seperti kamu bilang tadi, selama tujuh tahun kita bertiga berada di dalam lingkaran setan. Kalo bukan karena Yoga, apa masuk akal kamu bisa lepasin Tristan gitu aja?"

"Hmm... iya juga, sih. Oke, kita anggap aja faktanya gitu. Nah makanya, Kak. Kakak jangan nolak Tristan lagi karena aku, ya. Aku tau perasaan kalian sama."

"That's not the point, Na. Intensi Kakak bukan ingin menjadi pacarnya Tristan."

"Trus?"

"Vibes-nya udah beda, Yoana. Kakak nggak bisa anggap dia sebagai gebetan lagi. Tiap mandangin dia, Kakak kebayang terus kalo dia itu gebetannya kamu. Kayak gimana ya... nggak layak aja lanjut ke hubungan yang lebih serius sama dia."

"Yang terpenting, Kakak udah paham kan kalo aku udah ngelepasin Tristan dan ngasih restu ke kalian?"

"Tambahannya... jadian sama Yoga juga, kan?"

"Ish, nggak gitu konsepnya! Aku cuma ngerasa... dia memang cowok yang baik. Somehow, I just want to make him happy by myself. Yaaa... walau kesannya dari luar dia tuh nggak kelihatan menyedihkan banget, tapi aku ngerasa senasib juga sama dia. Lagian dia udah setuju mau membuka diri, jadi aku pikir... why not?"

"Oh ya? Kok bisa?"

Yoana tersenyum tipis selagi membiarkan memori dalam otaknya menceritakan ulang kenangan setengah jam yang lalu....

Yoana turun setelah motor yang dikendarai Yoga sampai di pelataran gedung apartemen yang cukup bergengsi, hampir mengalahkan rumah susun berjenis penthouse.

"Thank you, Ga. Hmm... apa mau masuk dulu?" Yoana bermaksud basa-basi, tetapi Yoga menunjukkan gestur penolakan yang terkesan berlebihan.

"Nggak usah. Hmm... ngapain juga?"

"Ketahuan nggak pernah ngapelin cewek, nih? Nggak usah dramatis gitu. Bokap nyokap jarang mampir kok, palingan Kak Clara aja karena tipikal anak rumahan."

"Justru sebaliknya," kilah Yoga. "Lebih buruk lagi kesannya kalo gue masuk ke apartemen yang isinya nggak ada orang tua lo."

"Oh, oke. Kalo gitu lain kali gue yang ngapelin ke kos lo, ya."

"Hah? Kok gitu?" Yoga membelalak protes.

"Kita belum nyoba kencan kalo lo belum gue ingetkan."

"Kita ini temen, Yoana." Yoga tampak canggung selagi mengatakannya. "Lagian, bukannya lo udah nyerah?"

"Siapa bilang--oh... lo bahas yang di kampus barusan? Gue nggak bilang nyerah, gue cuma bilang gue tau diri."

"Lo juga bilang, lo terlalu gencar pedekate sama gue." Yoga menambahkan, lalu seketika merasa aneh sendiri berhubung obrolan absurd tersebut terjadi di tengah arus lalu-lalang pejalan kaki. Mayoritas adalah penghuni apartemen jika ditilik dari jurusan yang mereka tuju.

"Masa waktu kita dua bulan dan gue bahkan belum mulai," ujar Yoana frontal. "Jadi... gue belum boleh nyerah. Lagian, gue jadi punya motivasi sekarang."

"Motivasi?" tanya Yoga clueless.

Yoana mengangguk dengan yakin, lantas tersenyum lebar, "Iya, tapi nggak bakal gue reveal sebelum berubah jadi kenyataan. So, yang gue pinta sekarang adalah... gue cuma minta perhatian lo.

"Consider me as your part of priority, Yoga. Just like a crush to his lover." Yoana melanjutkan kata-katanya selagi Yoga bergeming seakan terpaku di tempat, tidak tahu harus merespons apa. Dia lebih memilih menerima helm yang dilepas Yoana, membuat cewek itu melengos kesal karena diabaikan.

Itulah sebabnya, Yoana seperti tersentak kaget saat mendengar suara Yoga dari balik punggungnya seakan durasi jeda yang tadi tidak eksis.

"Waktu itu lo bilang perlu selamanya buat lupain dia."

Yoga sadar pernyataan tersebut mungkin akan terdengar ambigu atau tersirat nada menuduh, tetapi dari insiden di bar hingga fakta Tristan mabuk gegara belum ada kejelasan status antara Yoana-Clara, mau tidak mau dia merasa kalau keputusan Yoana untuk move on mungkin sudah benar.

Hanya saja, Yoga merasa perlu memastikan sekali lagi.

"Hah?" Yoana memutar tubuh menghadap Yoga dan mendekat.

"Lo pernah bilang bakal sulit lupain Tristan."

"Itu sebelum ketemu lo, Ga." Yoana menjawab yakin. "Sebenarnya gue belum mau ngasih tau dulu, tapi gue bilang aja deh. Motivasi yang gue maksud tuh... gue mau ngasih tau Kak Clara kalo gue udah bener-bener fix ngelepasin Tristan. Jadi, Kak Clara nggak perlu dibayang-bayangi keraguan lagi."

"Seyakin itu?" Yoga bertanya takjub. Berhubung dia pernah merasakan cinta yang tidak berujung dengannya, dia tentu salut dengan kepastian Yoana seolah-olah tidak terbebani.

"Mungkin karena lo belum yakin sama hati lo, tapi gue malah jadi punya prinsip. Dari lo, gue belajar untuk mengembalikan kebahagiaan sesuai kepatutan dan kelayakannya.

"Inget nggak waktu kita bertengkar untuk pertama kali?" lanjut Yoana. "Lo bilang... andai aja gue nggak egois, apakah takdirnya akan berubah? Perjuangan gue malah jadi sia-sia pada akhirnya dan Kak Clara terkena imbasnya. Gue jadi sadar kalo lingkaran setan di antara kami bertiga akan terus ada, bahkan sampai sekarang. Jadi, gue harus bertindak."

"Oke."

"Oke apa?"

"Soal lo bilang tadi, tentang mempertimbangkan lo sebagai gebetan. Gue juga akan berusaha."

Yoana spontan melongo, seperti bocah yang diizinkan bermain seharian setelah belajar maraton. Lebih tepatnya, ekspresi itu adalah wujud rasa senang yang berlebihan hingga tak bisa berkata-kata.

"Lo... serius, Ga?"

"Dua bulan, kan?"

"Mau lebih juga boleh, muehehe...."

"Jalani saja dulu, Yoana. Kalo kata pepatah, 'Jangan memberi harapan terlalu tinggi. Lebih baik kaget daripada kecewa'."

"Wow, dia bilang gitu?" tanya Clara dengan senyum lebar usai mendengar kilas balik Yoana. "As expected from warm-hearted man."

Yoana mengangguk. "Indeed."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top