20). Savior

I don't know when it starts, but I think I have some feelings to you.
-Y.P.

*****

"Kita mau ke mana, sih?" tanya Yoana datar selagi Tristan menariknya. Walau masih kesal hingga rasanya ingin balas dendam, Yoana tidak lagi bersikap defensif seperti awal-awal.

Entahlah, apakah karena dia sudah puas dengan kondisi Tristan yang tampak kurang bersemangat? Atau... apakah karena Yoana masih mempunyai perasaan yang tersisa pada Tristan?

Bisa jadi yang kedua, karena pada beberapa situasi yang sudah teruji kebenarannya, terkadang rasa benci pada orang yang disayang hanya bisa tersalurkan dari dalam batin. Mulut bisa saja mengucapkan sederet kata-kata kejam, tetapi aksi selalu sulit untuk direalisasikan.

Alih-alih menjawab, Tristan memberi isyarat lewat ekor mata usai duduk di motornya sendiri. Tentu saja, dia bermaksud memerintahkan Yoana untuk nebeng.

Sempat memberi tatapan datar lagi, tetapi akhirnya Yoana mengikuti kemauan Tristan. Motor melaju dalam kecepatan sedang dan tidak ada yang berbicara hingga mereka sampai di salah satu bar yang tidak terlalu jauh letaknya dari kampus.

"Mau minum-minum sampai mabok?" tanya Yoana frontal setelah turun dari motornya Tristan. "Itu bukan distraksi yang efektif, Tristan Aditya."

"Sejak serba salah sama kalian berdua, hanya ini satu-satunya cara yang bisa menghibur gue," sahut Tristan enteng, memberi kesan ngawur bagi Yoana.

"Yang mulai duluan siapa, yang ngawur duluan siapa." Yoana menyeletuk sarkastik. "Masalah itu dihadapi, bukannya malah lari ke minum-minum."

"Udah, tapi Clara masih diemin gue." Tristan menghela napas panjang selagi kaki jenjangnya melangkah ke pintu utama bar. "Setidaknya walau sinis, lo satu-satunya yang masih mau ngomong sama gue."

Yoana menyusul, lantas berhenti memdadak seolah-olah baru menyadari perbuatannya. "Iya, ya. Kenapa gue mau-mau aja sih ngikut lo sampai ke bar? Gue balik sekarang, deh."

"Eitsss... Yoana, jangan gitu dong. Temenin gue ya, plis?" pinta Tristan dengan ekspresi memelas yang selalu dia tunjukkan pada Yoana.

"Kenapa gue harus minum sama lo?" tanya Yoana dingin.

"Hmm... interaksi kita dah lama, Na. Walau hubungan kita udah awkward gini, gue masih mau sahabatan sama lo."

"Nggak bakal berhasil kalo salah satu udah baper, Tris." Yoana berujar lugas. "Kalopun bisa, gue butuh waktu."

"Yoana...."

"Cuman kali ini aja nemenin lo minum. Nggak ada next time lagi." Yoana memberi nada yang tidak bisa diganggu gugat selagi langkahnya dipercepat ke arah pintu bar. Dia tentu tidak ingin berjalan bersisian dengan Tristan.

*****

"YOGA! GAWAT... GAWAT... GAWAT!" Virga berseru heboh usai mendobrak pintu kamar Yoga sementara sang penyewa kamar baru saja melepas jaketnya.

"Kenapa, Vir?" tanya Yoga kalem, bahasa tubuhnya menunjukkan dia sama sekali tidak terpengaruh dengan ketidaksopanan dan kehebohan Virga. Lebih tepatnya, dia sudah terbiasa.

"Yoana dalam bahaya. Dia diculik Tristan!" jawab Virga lebay, bahkan dia sampai mondar-mandir di kamar Yoga seperti alat setrikaan.

"Tristan sepupu lo, kan?" Yoga bertanya balik setelah menggantung jaketnya di balik pintu.

Virga mengangguk.

"Nggak usah cemas kalo gitu," jawab Yoga, masih dengan nada santainya. "Bukan berarti setelah insiden terakhir, Yoana nggak boleh ngomong pribadi sama dia kan?"

"Iya, sih. Tapi lo nggak tau aja Tristan bawa dia ke mana."

"Nggak usah julid, Virga." Yoga memperingatkan. "Itu urusan mereka, lo nggak berhak ikut campur apalagi gue."

"Tapi lo itu gebetannya Yoana."

"Udah gue bilangin, itu cuma status aja. Lebih tepatnya, gue cuma jadi media distraksinya Yoana. Kalo mereka ternyata mau balikan, itu malah bakal jadi kabar yang bagus."

"Gue yakin lo cemburu," tuduh Virga. "Tuh-tuh-tuh, lo ngehindar!"

Virga menuding Yoga berkali-kali dengan bangga selagi Yoga mengembalikan atensinya dengan kesal.

"Kayaknya gue pernah bilang kepengen kuliah dengan tenang sampai wisuda, deh." Yoga berujar tegas, "Jadi, jangan main jodoh-jodohin terus. Gue sama Yoana bener-bener nggak seperti yang lo kira."

"Biasa yang denial terus bakal jadi, loh. Percaya deh sama gue."

Alih-alih berdebat dengan Virga yang tidak ada habis-habisnya, Yoga memilih untuk menyalakan laptop setelah sebelumnya memakai kacamata belajar.

Tidak menyerah, Virga merogoh ponsel dari dalam saku celana dan menempelkannya ke telinga usai mengusap layarnya.

"Tuh-tuh-tuh, Tristan nggak angkat teleponnya lagi--halo, Bro? Tristan? Loh, Yoana? Mana Tristan?" Yoga mendengar Virga berbicara. "APA? Tristan mabok? Trus lo gimana? Halo? Halo? Hei!"

"Yoga, GAWAT INI!" Virga memanggil lebay setelah selesai menelepon. "Tristan mabok! Lo nggak cemas ya dia berdua doang sama Yoana?"

Yoga melepas kacamata dan memutar kursi belajarnya untuk berhadapan langsung dengan Virga. "Lo nggak lagi mendramatisir, kan?"

"Ya ampun, Yog--"

"Oke, kasih tau gue di mana barnya."

*****

Sambungan telepon diputuskan secara sepihak. Sebenarnya bukan disengaja, karena Tristan yang merebut ponsel miliknya dan menatap Yoana dengan tatapan yang tidak lagi berfokus. Jelas, cowok itu memang sudah setengah mabuk.

"Lo nelpon siapa?" tanyanya dengan nada diulur-ulur.

"Sepupu lo nelpon." Yoana menjawab datar. "Rencananya tadi mau sekalian nyuruh Virga yang nganterin lo pulang."

"Gue bisa pulang sendiri lagian gue masih belum selesai di sini."

"Ya udah, semerdeka lo. Gue mau balik."

"Kok gitu? Gue udah bilang ke mereka kalo gue yang bakal anterin lo pulang."

"Nggak usah dan sekali lagi, gue bisa pulang sendiri."

"Yoana!" Tristan menuding Yoana berkali-kali dengan tawa getir. "Kok malah nggak mau nurut, sih? Lo lupa ya siapa gue?"

"Lo udah mabok. Gue saranin jangan minum lagi. Tunggu di sini, gue mau kabarin Virga lagi." Yoana hendak merogoh ponselnya sendiri, tetapi ditahan oleh Tristan.

"Gue nggak mau dijemput Virga." Kali ini Tristan berekspresi serius seakan sedang membuat perhitungan dengan Yoana. "Gue nggak mau dia."

"Trus, maunya siapa? Clara?"

"Ho oh."

"Kalopun gue hubungin kakak gue, dia nggak bakal bisa nganter lo pulang dalam keadaan kayak gini."

"Gue yang bakal nganter dia pulang. Udah gue bilangin, gue nggak mabuk!"

"Terserah, gue nggak mau tau lagi. Gue udah cukup nemenin lo di sini, jadi gue pulang."

"Clara...."

"Gue bukan Clara, sialan lo!" Yoana menghardik sembari melepas cekalan Tristan yang tidak lagi sekuat sebelum mabuk.

"Oke, berarti lo Yoana. Kalian mirip, jadi jangan salahin gue."

"Yoga bilang walau kembar pun, gue tetap beda sama Kak Clara." Yoana mendadak sensian, padahal dia seharusnya tidak perlu mengindahkan kata-kata Tristan yang teknisnya sudah ngawur. "Gue ya gue, begitu juga dengan Kak Clara."

"Yoana," panggil Tristan, tangannya mencekal pergelangan tangan milik Yoana lagi. "Gue boleh balikan sama lo, nggak?"

"Apa-apaan lo?"

"Yaaa... kalo Clara nolak gue, gue masih punya--"

"Lo makin ngawur, Tris. Udah, lepasin gue!" Yoana menarik tangannya sendiri, tetapi kali ini genggaman Tristan sudah menguat.

"Lo masih suka kan sama gue?" Tristan beranjak dan mempersempit jarak di antara keduanya. "Gue yakin lo masih suka sama gue, nggak berkurang sedikit pun."

"Lo egois, Tris." Yoana membuang wajah saat Tristan mendekat. "Awas aja lo berani nyium gue."

"Ayolah, lo pasti mau."

"Tristan!" Yoana melotot memperingatkan. Tangannya sudah terkepal untuk menghajar hidung Tristan sampai berdarah seperti terakhir kali ketika ada tangan lain yang memblokir dan mendorong wajah Tristan hingga menjauh.

"Yoga?" Yoana memanggil seakan melihat alien. Dia tidak menyangka saja ternyata Yoga yang datang alih-alih Virga.

"Wow, Yoga." Tristan terkekeh saat melihatnya. "Nggak salah, ya? Sejak kapan lo mau peduli sama hal ginian? Kerjaan lo kan cuma ngampus sama ngerjain tugas."

"Yuk, pulang. Lo udah mabuk." Yoga menjawab kalem.

"Udah dibilangin, gue nggak mabuk! Apa-apaan sih kalian?" protes Tristan.

"Lo tunggu di sini, ya. Gue anter Tristan pulang dulu." Yoga berkata pada Yoana. "Jangan ke mana-mana."

"Gue bisa pul--" Yoana memotong kata-katanya sendiri saat melihat tatapan mencela Yoga. "Oke, gue tunggu. Sekalian gue urus pembayarannya."

"Ish, galak banget sih." Yoana mencibir selagi menatap punggung duo Yoga dan Tristan yang menjauh, tetapi berubah ceria saat berbicara dengan bartendernya. "Mas, berapa totalnya?"

Seperempat jam kemudian saat Yoga kembali, Yoana sudah menunggunya di halaman dekat pintu utama.

"Gue anter pulang," kata Yoga setelah berada dalam jarak pandang Yoana dan memberinya helm.

"Oh, oke." Yoana menjawab canggung.

Yoana merasakan nuansa yang berbeda saat menempati jok belakang motor. Menurutnya, ini bukan disebabkan oleh pengendara yang asing mengingat dia sering nebeng di motor random, termasuk ojol.

Entahlah, jika memang harus mendeskripsikan seperti apa tepatnya, Yoana mungkin akan menarik kesimpulan kalau Yoga memang berbeda dari cowok kebanyakan.

"Udah, Yoana?" tanya Yoga sejurus kemudian. Kepalanya tertoleh ke samping dari balik helm sebagai formalitas untuk mengajukan pertanyaan.

"Hmm... udah."

"Trus kenapa nggak pegangan?"

"Hah?"

"Nyander ke gue, biar nggak jatuh." Yoga menarik satu tangan Yoana hingga jarak di antara mereka menipis.

"Oh, oke." Seperti biasa, Yoana baru bisa mencium aroma tubuh Yoga dari jarak sedekat ini. Juga... diberi izin seperti ini entah kenapa membuatnya geregetan.

Rasanya jadi pengen meluk beneran. Kenapa gue jadi baperan begini?

"Udah, Yoana?" tanya Yoga lagi.

"U-udah."

"Oke, gue starter ya?"

"I-iya."

"Rumah lo di mana?"

"Lebih tepatnya apartemen, deket Mall Ciputra."

"Oke, pegangan ya."

Oh, jadi boleh meluk nih?

Yoga cukup kaget saat merasakan Yoana memeluknya dari belakang, bahkan tanpa sungkan menyandarkan sisi kepala ke bahunya.

Berasa seperti pacaran benaran, tetapi Yoga tidak tega jika protes. Lagi pula, dia sendiri yang sempat menyarankan Yoana bersandar padanya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top