2). Yoana as Sadgirl

You're here
Try pinching me
-Y.P

*****

Yoana tidak sadar sejak kapan dia sudah beranjak dan menyerang Tristan. Yang jelas, dia ingat kalau amarahnya sudah melewati batas kesabaran.

Seperti bom waktu, emosinya telanjur meledak tanpa bisa dicegah.

Jika saja Yoga tidak menyelip di antara mereka, mungkin visual Tristan tidak akan layak dibanggakan lagi.

Yoana murka, tetapi luka di hatinya dua kali lebih besar. Bagaimana bisa Tristan dengan gampangnya mengutarakan semua itu?

"Clara curhat ke gue kalo dia suka sama temennya Virga, yang artinya gue berada dalam bahaya sekarang."

"Selama ini cewek yang gue suka itu Clara, bukan lo. Awalnya gue memang tertarik waktu lo nyatain perasaan lo ke gue, tapi lama-lama gue jadi suka sama Clara. Gue nggak pernah bilang karena selain takut lo marah, gue nggak mau hubungan kita rusak. Trus, kalo hubungan kita rusak, gue nggak bisa deketin Clara. Jadi sebelum semuanya terlambat, gue harus perjelas hubungan kita dan jelasin ke dia."

Lalu, apa maksud semua perlakuan manis yang Yoana dapatkan selama ini? Apa maksud semua respons positif Tristan? Bagaimana bisa semua itu menjadi tidak ada artinya sekarang?

Bagaimana bisa waktu yang mereka habiskan selama kurang lebih tujuh tahun lamanya menjadi tidak berarti?

Mengapa kejujuran itu harus terucap di saat cinta Yoana sudah bertumbuh terlalu lama?

Semua pertanyaan di benak Yoana lantas dimanifestasikan menjadi cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya--yang tadinya memerah, bersiap untuk tumpah. Rasa-rasanya, memukul Tristan hingga babak belur tidak akan cukup untuk memuaskan sakit hatinya.

Maka, fokus Yoana sekarang adalah menangkap Tristan dan melakukan perhitungan padanya.

Kalau perlu, dia akan membuat cowok itu menyesal karena sudah dilahirkan.

"LO--" Saking fokusnya Yoana pada Tristan, dia tidak sadar telah menubruk Yoga hingga kesannya dia memeluk cowok itu. Jarak keduanya menipis, bahkan mendekati nol. "SINI, NGGAK!"

Meskipun demikian, tampaknya itu tidak memberikan pengaruh romantis pada Yoga karena dia juga memainkan perannya dengan baik sebagai penengah dan pelindung Tristan.

"LO UDAH JANJI NGGAK BAKAL MARAH SAMA GUE, NGGAK BAKAL MUKUL GUE, NGGAK BAKAL--"

"DIEEEMMMMMM!" raung Yoana, segera memancing kerumunan untuk menonton adegan action gratis. Sebagian mendukung Tristan, meski tidak sedikit pula yang mendorong Yoana untuk terus melancarkan aksinya.

Hingga pada satu titik, melihat bagaimana Tristan yang tampak ketakutan melihatnya ngamuk, membuat batinnya tertohok dan merasa tertampar.

Bisa jadi, Tristan tidak pernah menyukainya karena sifat barbarnya. Bisa jadi, Tristan tidak pernah melihatnya dari sudut pandang cowok ke cewek yang seharusnya karena karakter tomboinya. Atau bisa jadi, Tristan tidak pernah menganggap serius perasaannya karena perangai buruknya itu.

"YOANA ZEMINNA, PLIS!" Tristan memohon dengan ekspresi ngeri, sukses melemahkan dirinya dan cengkeraman pada salah satu telinga cowok itu pun melonggar selagi air matanya turun setetes demi setetes hingga dalam sekejap, pipinya penuh dengan air mata.

Tristan berhasil kabur dan saat itulah Yoana sadar kalau dia diperhatikan oleh orang banyak. Betapa malunya dia. Kini, julukannya sebagai budak cinta Tristan harus diperparah dengan fakta dia meneriaki cowok itu dengan kesopanan yang mendekati nol, bahkan minus.

Yoana segera menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangan. Dia yakin wajahnya sudah semerah saga sekarang.

"Malu banget gue! Huaaaaaaa...."

Siapa sangka, ada sesuatu yang menutup kepala Yoana. Lantas setelah diperhatikan, ternyata Yoga melepas hoodie-nya dan meletakkannya di atas kepalanya.

Saking kagetnya dengan aksi tersebut, air mata Yoana seakan tersedot kembali ke netranya.

"Pakai ini biar nggak malu." Yoga menjelaskan. "Adiknya Clara."

"Hah?"

"Lo adiknya Clara, kan?" tanya Yoga balik. "Yoana Zeminna kalo nggak salah denger nama lo."

"Kok tau?" tanya Yoana dengan nada bloon karena kedua matanya membulat sempurna selayaknya anak balita bertanya.

"Dari Tristan. Tadi dia manggil lo gitu, kan?"

"Oh." Yoana menyedot cairan dalam hidungnya tanpa segan, tetapi konyolnya dia mengedarkan pandang ke sekelilingnya dengan sungkan. "Malu banget gue."

"Nggak usah malu, soalnya itu menunjukkan kalo lo punya perasaan." Alih-alih menertawai kepolosannya, Yoga tersenyum samar meski ada getir di dalamnya seolah-olah menertawakan diri sendiri.

"Hmm... gue pinjem jaket lo boleh nggak? Gue bakal cuciin bersih--kalo perlu, gue pake jasa laundry."

Yoga mengangguk. "Mau langsung kembalikan juga nggak apa-apa."

"Nggak, gue bakal cuciin." Yoana nyolot. Kesannya jadi lucu karena insiden tegang tadi sepertinya jadi terlupakan. Kerumunan yang tadinya ramai pun secara perlahan mulai melonggar.

Kemungkinan besar, mereka sudah terbiasa dengan karakter santainya Yoana atau reaksi Yoga yang biasa-biasa saja saat menyerahkan hoodie-nya.

Entahlah, terkadang tidak semua aksi uwu bisa ber-damage separah seperti sinetron atau pun drama.

"Lo... baik-baik aja, kan?" tanya Yoga, merasa dia harus memenuhi kewajiban bertanya sementara keduanya keluar dari kafetaria. Cowok itu sudah mendapatkan notifikasi dari Luna kalau diskusi mereka akan ditunda satu jam lagi gegara insiden tadi.

Sudah jelas, Luna juga sudah melihat semuanya.

Mata Yoana masih bengkak, jadi dia memakai jaket Yoga dan menutupi sebagian wajahnya dengan tudung dari jaket itu. Kesannya jadi adorable karena hoodie itu oversized untuk ukuran tubuhnya yang pendek.

"Lo lupa ya sama gue?" Alih-alih menjawab pertanyaan Yoga, Yoana malah balik bertanya. "Lo Yoga Pradipto, kan?"

"Iya. Dan lo Yoana Zeminna."

"Bener. Trus?" tantang Yoana, sengaja menghentikan langkahnya untuk memperhatikan wajah Yoga secara detail. "Lo nggak berubah, cuma makin ganteng aja. Apalagi tanpa kacamata."

Yoga ikut berhenti, meski kesannya tidak seimbang karena posisinya beberapa langkah di depan Yoana. Maka, dia memutar tubuhnya dan membalas tatapan cewek itu. "Lo kenal gue?"

"Beda kelas, sih. Lo inget nggak cewek bego yang pernah nantangin kakak kelas, trus tau-taunya kalah dan akhirnya nyemplungin diri ke comberan? Kalo lo inget, itu gue."

Mata Yoga membelalak lebar. "I-itu lo?"

Yoana mengangguk yakin sembari menunjukkan seringainya. "Akhirnya lo inget. Tapi gue dulunya memang tomboi banget sih. Dibanding sekarang, gue udah mau nyoba-nyoba pake baju cewek sama manjangin rambut. Kalo dulu, sih... boro-boro. Rambut gue aja nggak pernah melewati bahu gue."

"Hmm, iya. Lo makin cantik sekarang." Yoga meneliti wajah Yoana dan mulai membandingkannya dengan Yoana versi zaman SMP. Jika dibandingkan, yang sekarang sudah jauh lebih feminin meski karakter barbar masih melekat kuat padanya.

Rambut Yoana sudah mencapai batas punggung, berponi tipis, dan terlihat sekali dia merawat rambutnya dengan baik. Selain itu, ada sapuan make up samar dan bibirnya diwarnai dengan liptint yang girly. Sepertinya, kosmetik yang dipakainya anti luntur karena tidak berpengaruh pasca badai air mata tadi.

Overall, penampilannya memang layak disebut sebagai cewek yang anggun.

"Thank you. Hmm... makasih juga buat yang tadi."

"Sama-sama. Lo yang sabar, ya."

"Lo juga."

"..." Yoga hanya memandangi Yoana.

"Bener, kan? Lo juga lovesick, sama kayak gue."

"Nggak ada apa-apanya dibanding lo." Yoga tersenyum lebar hingga menunjukkan lesung pipi tunggalnya, tetapi Yoana menggeleng sebelum ikut tersenyum tidak kalah lebarnya.

"Cinta itu nggak bisa dibandingin dari seberapa lama lo jadi bucinnya dia karena jatuh cinta nggak membutuhkan waktu yang lama. Menurut gue, yang sulit malah melupakan. Gue mungkin perlu waktu seumur hidup buat lupain Tristan."

"Jatuh cinta mungkin hanya memerlukan tiga detik, tapi melupakan dia mungkin memerlukan tiga kali hidup gue. Maafin gue, Ga."

Kata-kata Luna di masa lalu menggema di dalam pikiran Yoga sekarang, malah terasa seperti dia mendengar secara langsung.

Akhirnya, Yoga menyadari mengapa hari ini untuk pertama kalinya, dia bersedia menguping dan melibatkan diri dalam permasalahan cinta yang dihadapi Yoana-Tristan. Jawabannya bukan pada dia kepo atau karena mengenal Tristan, melainkan pada fakta bahwa Yoana mengingatkan dirinya pada apa yang pernah dialaminya.

Seperti dejavu.

Mendadak, Yoga teringat kutipan yang relate untuk situasinya sekarang.

Dari Master Oogway, film animasi Kungfu Panda, 'One often meets his destiny on the road he takes to avoid it.'

Dengan kata lain, mirip seperti ungkapan 'Semakin denial seseorang, semakin membuka jalan takdir'.

Nggak. Nggak lucu kalau gue ngalamin yang ketiga kalinya.

"Good luck ya, Yoana. Berhubung udah sampai di departemen gue, gue masuk dulu."

Kemudian tanpa mau menunggu respons dari Yoana, Yoga sudah mempercepat langkahnya tanpa menoleh lagi.

"Kenapa sih tuh anak? Baru aja gue mau ngasih tau departemen kita sama, sama-sama Fakultas Ekonomi. Gue kan jurusan Manajemen." Yoana menggerutu, tetapi tidak berlangsung lama karena pengalihan distraksinya sudah menghilang.

Yoana bersedih lagi. Dia mengembuskan napas super panjang sembari melangkahkan kakinya ogah-ogahan. Sesekali, cewek itu menendang residu gejala alam demi melampiaskan emosinya.

Sepertinya itu tidak cukup menghibur perasaannya karena aksi tersebut diakhiri dengan tangisan yang segera berubah menjadi sesenggukan.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top