18). Jealous? It Should be

If all was a dream, please wake me up because I still can't believe what is destined.
-Y.P.

*****

"Luna, lo kenapa?" tanya Yoga, hatinya serasa mencelus selagi menghampiri Luna yang tampak bersedih.

Jika tebakan Yoga benar, bisa dipastikan ini ada kaitannya dengan Ferdian karena hanya dia yang bisa menggonjang-ganjing perasaan Luna yang aslinya moodbooster dan murah senyum, bahkan kepada orang asing sekali pun. Tambahannya, oknum yang dimaksud tidak berada di kelas, padahal biasanya dia tidak akan membiarkan Yoga dekat-dekat dengan mantan gebetannya itu.

Kelas sudah berakhir seperempat jam yang lalu dan ruangan tersebut sudah kosong ketika Yoga kembali. Lagi-lagi situasi Luna mengingatkannya kembali akan kenangan lama saat dia bersembunyi untuk meluapkan kegundahan dalam hatinya. Sendirian.

Dan lagi-lagi dalam situasi yang sama pula, Yoga tergerak untuk menghibur Luna meski dia sudah membentengi diri sendiri untuk tidak menuruti kemauan egoisnya.

Seperti memeluk Luna atau mempengaruhinya putus dari Ferdian, misalnya--tidak, dia bukan tipikal berengsek seperti itu. Lantas, sama seperti janjinya yang telah meresmikan Luna sebagai teman dekatnya, Yoga mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk punggung cewek itu dengan lembut, setidaknya sebagai formalitas kalau dia akan selalu ada sebagai sahabat.

Luna tersenyum lebar selagi berusaha menghapus jejak air matanya. "Ma-makasih ya, Yoga. Seperti biasa, lo selalu muncul setiap gue sedih terutama kalo ada hubungannya sama Ferdian."

"Lo lupa ya, Luna. Gue kan si sadboy. Kalo dalam versi drama, gue ini Hwang Inyeop dari True Beauty." Yoga bermaksud melucu, tetapi ekspresi Luna berubah iba.

"Maaf ya, Ga. Gara-gara gue, lo ketiban imbasnya." Luna menundukkan kepala dengan ekspresi bersalah. "Maafin gue."

"Kenapa minta maaf, Na? Gue udah pernah bilang kan kalo lo nggak boleh sedih karena gue bakal ikutan sedih dan lo harus seneng biar gue juga bisa seneng. Lagian... perasaan gue hanya milik gue sendiri, jadi nggak ada hubungannya sama lo."

Luna mengeluarkan dengus samar ketika ada memori singkat yang mampir sejenak dalam otaknya. "Nyontek kutipan Ferdian, nih?"

"Itu kutipan umum, Na, jadi bukan Ferdian pencetusnya." Yoga tersenyum lebar hingga sepaket dengan lesung pipi tunggal sebelah kanan. "Lo udah senyum, bagus deh."

"Kalo lo sibuk, duluan aja, Ga. Gue udah baikan kok."

"Nggak apa-apa, cerita aja. Gue bisa ngasih tau Yoana. Cuma makan siang biasa, kok."

"Ya ampun, Yoga. Itu kan kencan. Nanti salah paham, gimana? Gue balik aja, ya? Udah baikan kok, suer."

"Nggak apa-apa, Luna. Cerita aja sama gue lagian Yoana juga bisa gabung--eh, bentar ya."

Karena ponsel Yoga berdering dan layarnya menunjukkan notifikasi dari Yoana.

"Siapa, Ga? Yoana, ya? Pasti dicari tuh.... Udah, samperin sana--"

"Dibatalin, nih." Yoga menunjukkan layar ponselnya pada Luna. Benar saja, isinya tentang pembatalan sepihak karena Yoana beralasan kalau dia mempunyai janji temu mendadak dengan yang lain.

Yoga tidak tahu saja kalau sebenarnya Yoana telah sampai di kelas sedari tadi dengan tangan memeluk erat tas bermotif lucu yang tentunya berisi bekal makanan.

Niatnya mau masuk, tetapi dia urungkan saat melihat Yoga sedang menghibur Luna terutama ucapan 'Cuma makan siang biasa' entah mengapa memberi damage yang cukup serius pada Yoana.

Ya iya dong, Yoga, menghibur Luna jauh lebih penting dari makan siang karena lo masih punya perasaan sama dia. Tapi tunggu, kenapa gue jadi ngambekan gini?

*****

"Menurut lo, normal nggak sih gue kayak gini?" tanya Yoana pada Leo yang sedang asyik mengunyah. Bekal yang seharusnya menjadi bagian Yoga sudah dipindahtangankan sekarang.

Sama seperti duo Yoga dan Luna, Yoana kini berdua dengan Leo di kelasnya yang sudah kosong. Cewek itu juga menyantap porsi miliknya, tetapi caranya mengunyah kalah jauh dari Leo yang kentara sekali ambisiusnya seolah-olah belum makan selama tiga hari.

"Nggak normal." Leo menjawab setelah menelan habis suapan terakhir. "Woahhh... enak banget, sih. Gue jadi bertanya-tanya apakah Tristan sengaja gantungin lo gegara bekal makan siang?"

Yoana mendengus keras. "Konyol. Betewe, kenapa nggak normal?"

"Ya iyalah. Sejak kapan lo kayak cewek sebelah yang cepat ngambekan? Kecuali...."

"Kecuali?"

"Kecuali lo mulai ada rasa sama Yoga, muehehehe...."

"Secepat itu?" tanya Yoana takjub seakan dia mencetak rekor prestasi, tetapi itu semua hanyalah prank semata karena ekspresi datarnya menyusul. "Kalo mau asal-asalan tuh yang bener dikit, kek! Lo udah dapet makanan gratis, loh!"

"Bener dong, Yoana. Lo itu lagi cemburu. Mau bukti?"

"Oh, ada uji kelayakan nih?"

"Ada. Kita tanya ke pakarnya langsung." Lantas, Leo mengeluarkan ponsel setelah menunjukkan sorot jenakanya yang khas. Ternyata dia menghubungi seseorang. "Bro, ke sini dong karena ada yang mau konsul sama lo. Dijamin lo bakal berterima kasih sama gue."

"Siapa, sih?" tanya Yoana sebelum menyendokkan nasi ke dalam mulutnya dengan ogah-ogahan. Caranya mengunyah seperti sedang dipaksa mengonsumsi potongan karpet; setengah hati dan bersusah payah.

"Virga."

"Sialan! Kenapa malah nyuruh mulut ember ke sini?" protes Yoana. Saking kagetnya, dia lupa menghabiskan makanan dalam mulutnya.

"MULUT LO TUH YANG EMBER, ISINYA BOCOR KE MANA-MANA!" hardik Leo ngegas saat Yoana 'menyembur'-nya. "ASTAGA!"

"Maap, Bro, kelepasan." Yoana terkekeh. "Tapi dari sekian cowok yang lebih berakhlak, kenapa milih Virga?"

"Pertama, dia itu deket sama Yoga. Mana tau kan lo bisa mengetahui sesuatu yang hanya Virga ketahui?"

"Ah, nggak taulah, pusing gue." Yoana mengeluh. "Tapi tetep aja konsekuensinya, mulut Virga nggak bisa di-rem. Gitu-gitu lo nggak jadi masuk ranking pertama soal kepo-kepoan dan bocor-bocoran berkat Virga!"

"Daripada clueless? Hayooo... pilih yang mana? Dari Virga, lo bisa tau gimana perasaan Yoga yang sebenarnya."

"Kayak cenayang aja." Yoana lagi-lagi mengeluh, memutuskan untuk menghabiskan bekalnya saja.

"Woya jelas, Virga itu cenayang. Lo nggak tau aja siapa yang menjodoh-jodohkan lo sama Yoga. Tanpa dia, mungkin kalian nggak akan lebih deket dari yang seharusnya. Nggak akan pernah!"

"Ngaco lo!" Sekali lagi Yoana hampir saja menyemprot Leo dengan makanan dalam mulutnya, tetapi beruntung tidak jadi karena setidaknya cewek itu masih memiliki sejumput hati nurani. "Yang nembak Yoga tuh gue, bukan Virga!"

"Woahhh... lo nembak Yoga?" Leo bertanya takjub, membuat Yoana menampar bibirnya spontan. "Terniat banget, sih."

"Siapa nembak Yoga?" tanya suara lain yang sudah bisa ditebak siapa orangnya tanpa menoleh sekali pun.

Siapa lagi kan kalo bukan Virga Aditya? Ibarat mempunyai antena khusus di kepalanya, dia segera memasang telinga sebagai penangkap sinyal. "Yoana, lo emang jjang! Tapi sayangnya gue udah tau soal itu."

Virga mengacungkan dua jempol pada Yoana sebagai pujian. Jjang memang berarti hebat dalam bahasa Korea.

"Tuh kan, bener. Yoga itu deket banget sama Virga sampai-sampai dia bisa tau topik privasi kayak gini." Leo berujar dan menunjukkan ekspresi songongnya pada Yoana.

"Lebih tepatnya, gue yang memborbardir Yoga dengan beragam pertanyaan," timpal Virga dengan nada bangga. "Tenang aja, Yoana. Luna sama Yoga nggak akan punya akhir kecuali Ferdian tiba-tiba berpindah haluan."

"Emang bisa?" tanya Yoana kepo, tetapi dia menyesal setelah mendengar jawaban absurd Virga.

"Berpindah haluan jadi cewek maksud gue."

"Ck."

"Tapi...." Virga mengelus dagunya dengan sebelah tangan, seperti biasa ketika dia sedang mengemukakan hipotesanya. "Lihat lo kayak gini gue jadi sadar. Ternyata lo sesuka itu ya sama Yoga?"

"Hah?" Yoana melongo.

"Lo jelas suka sama dia. Hebat ya, ternyata ada juga definisi cinta berpindah haluan walau durasinya ngalah-ngalahin bocah lulus SD. Hmm... bakal jadi teori baru nih buat sesi konseling gue selayaknya pakar cinta."

Yoana memutar bola matanya jengah sementara Leo tampak berpuas hati.

"Bener kan, Bro? Gue pernah bilang kalo hubungan Yoana sama Tristan mungkin sebenarnya bukan rasa cinta cewek ke cowok, tapi bisa aja hubungan yang disalahartikan."

"Gue--"

"Bisa jadi, lo kayak Tristan yang ngira kalian tuh berjodoh tapi ternyata bukan," potong Leo sembari menaikkan sebelah alisnya.

Virga menuding Leo berkali-kali dengan ekspresi kagum. "Gue setuju. Setelah bergaul lama sama gue, ternyata lo bisa juga ya kecipratan ilmu cenayangnya gue."

"Plis deh... kenapa makin gaje gini, sih?"

Virga justru menepuk tangannya dengan keras alih-alih merasa tersinggung. "Tuh-tuh-tuh, ekspresi lo persis Yoga kemaren yang ngeluh gaje! Emang cucok deh kalian!"

"Ah, udahlah! Gue mau balik aja."

"Maklum sih, katanya tuh kalo kita suka seseorang, kita bisa ketularan sama vibes-nya dia." Virga menyeletuk dari balik punggung Yoana yang menjauh bersama tas bekalnya. "Dia jadi kayak Yoga si savage kalo lagi sensi."

"Hmm... relate."

"Sok tau padahal jomblo," ledek Virga.

"Cariin makanya," balas Leo. "Biar gue nggak terserang sindrom uwuphobia. Satu per satu dari kalian udah punya jodoh sedangkan gue masih single."

"Mau konsul, nih? Ya udah, yuk--"

"Nggak jadi deh."

"Loh, kenapa?"

"Mulut lo kayak ember bocor. Gue nggak mau masuk trending topic list. Lo juga gaje-an orangnya, males gue."

"Ish!"

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top