17). Yoana's Efforts
Why are you brushing against my hands
Make my heart flutter so much
-Y.Z.
*****
"Bro, Yoga mana?" tanya Yoana pada Ferdian sewaktu berpapasan di koridor gedung fakultas. Tepatnya, sepaket dengan Luna yang berada di sisi cowok itu.
"Palingan di perpus," jawab Ferdian enteng, seenteng ekspresi yang tampaknya selalu mencari kesempatan untuk menjadikan Yoga sebagai bahan gunjingan. "Kalo nggak di perpus ngerjain tugas orang secara cuma-cuma, ya balik ke kosnya. Hidupnya memang se-sad julukannya, ya."
"Iyan," tegur Luna.
"Muehehehe... iya deh iya, gatel aja rasanya kalo nggak ghibah-in dia. Lo nggak hubungi Yoga aja?"
"Udah, tapi nggak jawab."
"As expected from fake-nerd Yoga." Ferdian menyeletuk lagi. "Pantesan nggak laku-laku—–ck, iya-iya... kok belain Yoga terus, sih? Gue cemburu, nih...."
Karena Luna masih melayangkan tatapan mencela pada pacarnya sementara Yoana meneruskan langkah menuju perpustakaan, memutuskan untuk mengabaikan duo sejoli yang sekarang terlibat debat absurd gegara Yoga.
Benar saja, Yoga memang berada di perpustakaan. Rupanya dia tidak sendiri karena ada Clara yang duduk di dekatnya.
Yoana hendak membuka mulut untuk menyapa, tetapi kejadiannya benar-benar seperti kebetulan yang direncanakan. Pasalnya, Yoana baru menyadari eksistensi Tristan di sekitar sana. Jika ditilik dari gerakannya mendekati meja panjang, kentara sekali kalau dia baru saja sampai.
Mungkin saja, Tristan sedang dalam proses mau 'melabrak' duo Yoga-Clara.
Meski teknisnya Yoga memang belum resmi menjadi pacar Yoana, mengapa dia merasa tidak suka dengan situasi ini? Mengapa dia merasa tidak setuju dengan apa yang terlihat di hadapannya sekarang? Dan mengapa... dia merasa ingin mengikuti jejak Tristan juga?
Apakah reaksi Yoana terlalu berlebihan sekarang?
Bisa jadi, karena cewek itu sudah melesat dan tahu-tahu dia sudah sampai terlebih dulu, membuat Tristan terbengong-bengong karena kehadirannya otomatis terabaikan.
Padahal cowok itu telah menyiapkan kata-kata sakti agar pembawaannya bisa lebih menjiwai demi misi menarik simpatik Clara.
"Yoga," panggil Yoana, tidak menyembunyikan ekspresinya yang mencela. "Abis ini lo free, kan?"
"Ra, lo ngapain?" Tristan bertanya pada Clara meski nadanya lebih terdengar seperti syok daripada kepo.
"Lagi ngerjain tugas," jawab Yoga dan Clara hampir bersamaan meski dalam intonasi yang berbeda; Yoga menjawab kalem sedangkan nada bicara Clara lugas.
"Tugasnya siapa?" tanya Yoana lagi, seketika teringat kata-kata Ferdian tadi. "Jangan bilang lo ngerjain tugas punya mahasiswa lain?"
Tuduhan Yoana tepat karena ekspresi Yoga berubah. Selain itu, buku-buku referensi yang terhampar di hadapannya jelas bukan berasal dari prodinya.
Lantas seakan menjawab pertanyaan Yoana, ada salah seorang mahasiswa yang Yoana kenal sebagai salah satu teman kosnya Yoga yang mendekat.
"Bro, udah sampai mana perkembangannya? Makasih loh, Ga. Gue terbantu banget."
"Oh... jadi tugas yang dikerjain Yoga tuh punya lo, ya?" tanya Yoana sinis, mengalahkan suara Yoga yang hendak menjawab. Cewek itu menuding dengan ekspresi galak. "Heh, Anthony! Tugas mahasiswa tuh kerjain sendiri dong, masa nyuruh Yoga?"
Saking barbarnya, Yoana sampai lupa dia berada di perpustakaan. Alhasil, aksinya menjadi tontonan gratis plus desisan keras dari sejumlah mahasiswa yang merasa terganggu.
"Yoga aja nggak keberatan," balas Anthony nyolot. "Lo bukan pacarnya, tapi kok sewot gitu?"
"Mulai hari ini gue nggak akan biarin Yoga ngerjain tugas yang bukan tugasnya. Enak banget ya kalian, bukannya nambah pinter! Kalah dong sama mereka yang berusaha ngerjain walau hasilnya nggak seberapa. Namanya mahasiswa ya harus ngerjain tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa, dong!" Tidak tanggung-tanggung, Yoana juga menuding ke beberapa pengunjung perpustakaan yang terlihat tidak setuju. Jika masam, bisa disimpulkan mereka pastilah oknum-oknum yang terbiasa meminta bantuan Yoga.
"Bener," timpal Tristan secara tidak terduga, mengalihkan perhatian mayoritas yang hanya bisa menyimak. "Biasa gue ngasih tau malah nggak ada yang dengerin. Kalo mau di-salto-in sama Yoana, silakan dilanjutin."
Ekspresi ngeri sejumlah mahasiswa bisa menjadi jawaban yang positif bagi Yoana. Lantas setelah menghela napas puas, cewek itu mengalihkan atensinya pada Yoga. "Udah free dong, Ga? Cabut, yuk. Ke kafetaria juga boleh buat makan siang."
"Hmm...." Yoga tampak clueless, juga karena dia tampak kalut dengan buku-buku referensi yang berantakan di meja termasuk laptop dan beberapa barang miliknya.
Dengan senyum lebar setelah mendecakkan lidahnya sekilas, Yoana memutari meja dan membantu Yoga membereskan barang-barangnya. "Sini, gue bantuin."
"Bu-bukan itu maksud gue. Emang harus ditemenin, ya?"
"Woya jelas. You're my person now. Mulai hari ini kita ibarat sepaket yang harus bareng ke mana-mana kecuali ada kelas sama pulang ke rumah. I've got your schedule, remember?"
Clara tentu menyaksikan semua lewat ekor matanya. Dia turut senang, tetapi dia terpaksa menyembunyikan kesenangannya dalam hati demi rasa gengsi di depan Tristan. Dia tidak mau saja jika cowok itu sampai salah paham gegara dia menyunggingkan senyum lebar karena kesannya dia jadi melunak.
Ya, setidaknya... sang adik tidak berlarut dalam kesedihan terlalu lama, apalagi untuk laki-laki seperti Tristan Aditya.
Yoana menumpuk banyak buku supaya bisa membawanya sekaligus hingga menutupi wajah selagi dia membawa semuanya kembali ke rak, mengabaikan tatapan mencela dari Yoga.
"Itu berat banget, Yoana." Yoga menunjukkan gestur untuk merebut bawaan Yoana, tetapi cewek itu lebih gesit menghindar.
"Udah biasa. Referensi Manajemen juga pada tebal-tebal. Lo susun barang-barang lo aja biar kita nggak kesiangan, ya. Gue udah laper banget."
Kedengarannya serasa salah, tetapi Yoga tidak punya pilihan lain. Meskipun demikian, pada akhirnya sesuai keinginan Yoana, mereka bisa keluar dari perpustakaan lebih cepat dari seharusnya karena Yoga biasanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mengembalikan buku ke tempatnya masing-masing.
"Gue jadi ngerti kenapa lo selalu sibuk." Yoana memulai pembicaraan selagi keduanya beriringan menuju kafetaria kampus. Lokasinya berbeda dengan yang biasa, berhubung mereka memilih spot yang letaknya dekat perpustakaan. "Ternyata lo ngerjain tugas yang lain. Itu manjain namanya, bukan bantuin!"
"Iya, gue tau cuma tetep aja gue nggak bisa nolak."
"Lo bener-bener sadboy yang paling sadboy, deh."
Yoga sudah paham dengan karakter Yoana yang kadar nyolotnya tidak bisa dilawan kecuali dibawa sampai konflik, sehingga dia tidak mau capek-capek membantah Yoana. Lagi pula alasan yang diungkapkan cewek itu tidak salah. Hanya saja, satu-satunya yang membuat dia tidak pernah protes adalah dia turut menikmati kesibukannya yang seperti rush-hour di tengah kemacetan lalu lintas.
"Gue kasih tau ya, mulai sekarang jangan ngerjain tugas mereka lagi. Gue tau lo mahasiswa yang penuh dedikasi sama layak jadi panutan, tapi bukan gini konsepnya."
"Iya." Yoga menjawab patuh.
"Mending hang out sama temen—–tunggu, gue baru nyadar kalo lo sebenarnya malah nggak punya temen dekat. Kalopun punya... semua udah pada berpasangan, kan?"
Sedikit terhenyak gegara tebakan Yoana yang tepat, tetapi akhirnya Yoga mengangguk.
Keduanya terpaksa menunda obrolan karena mereka sudah sampai di kafetaria dan Yoana memilih meja di sudut yang bersisian dengan jendela.
"Kalo gitu nggak usah khawatir, Yoga. Lo punya gue sekarang." Yoana tersenyum lebar.
Yoga yakin ini kebetulan semata, tetapi berkas cahaya yang memantul ke jendela mengalami pembiasan yang jatuhnya estetik saat mengenai sisi wajah Yoana.
Wajahnya memang cantik apalagi ketika dia menyipitkan matanya karena terganggu oleh sinar, membuat Yoga merasa betah melihatnya lama-lama tetapi radar kepekaannya mendominasi.
Caranya adalah dengan menarik tangan Yoana agar duduk di sebelahnya yang aman dari pantulan sinar matahari.
Yoana bukan tipikal cewek yang cepat terpesona oleh aksi gentleman cowok, sehingga reaksinya hanya mengungkapkan terima kasih sekilas sebelum mengembalikan atensinya pada menu kafetaria yang berada dalam pangkuannya.
"Lo mau makan apa, Ga?" Ditilik dari reaksi Yoga maupun Yoana, sepertinya mereka sama-sama telah melupakan kata-kata manis yang sempat diungkapkan oleh Yoana.
"Gue minum aja, deh. Gue makan siangnya di kos aja."
"Makan apa emangnya?"
"Nugget, paling. Atau mi instan kalo habis."
"Ck. Siklus hidup lo ternyata persis Tristan."
"Namanya tinggal di kos, Yo. Lo nggak bisa expect makan makanan mewah atau terstruktur kayak di rumah. Kudu hemat juga, kan?"
"Bener, makanya gue nanya buat mastiin karena udah gue duga kalo dilihat dari cara lo yang agak sungkan waktu gue ajak ke kafetaria tadi. Tenang aja, gue yang traktir."
"Ya ampun, Yoana. Gue bukannya mau ditraktir." Yoga membelalakkan matanya dengan tatapan tidak percaya. Tak ayal, dia juga terlihat sedang tersinggung.
"Ish, juga bukan maksud gue underestimate lo. Salahin mulut gue yang kebiasaan ngeluarin kata-kata terlalu frontal sekaligus ambigu." Yoana menampar bibirnya sendiri dengan spontan hingga ada terdengar bunyi tamparan. "Gini, loh. Gue sekalian mau tau kesukaan lo apa aja biar gue bisa masakin sekalian."
"Hah?" Yoga malah melongo.
"We're close friends, remember? Dan gue tipikal sahabat yang suka berbagi apa aja, termasuk makanan. Cuma... berhubung tadi agak buru-buru ke kampus dan stok di kulkas habis, tadi pagi gue cuma makan mi instan. Mulai besok kita makan makanan rumahan ya. Tenang aja, masakan gue enak pake banget."
"Ng-nggak usah repot-repot—–"
"Hobi gue masak, jadi nggak bakalan repot. Lagian gatel aja rasanya kalo bergaul sama anak kos yang makannya nggak bergizi sedangkan gue makan makanan yang sehat. Gue malah sering banget masakin buat Tristan tapi berhubung dia udah bukan prioritas gue lagi, jadinya beralih ke elo sekarang."
"Tapi gue bukan—–"
"I've asked you to focus on our happiness start from now. Gue serius, emangnya lo nggak lihat kesungguhan gue dari usaha buat nyimpen jadwal kuliah lo?"
"Still—–"
"Lupain Tristan bakal susah, Yoga. Kalo nggak pake cara ini, gue yakin gue bakal jadi perawan tua dan gue nggak mau hadapi risiko itu. Menikah sama lo berjuta-juta kali lebih mending—–"
Lagi-lagi, mulut Yoana yang tak ubahnya mulut bebek yang seenaknya ber-kwek-kwek membuat Yoga spontan membekapnya persis kejadian terlahir kali. Dengan reaksi impulsif yang mengental, Yoga mengedarkan pandangan ke sekeliling yang untungnya aman dari telinga-telinga julid.
"Yoana, enteng banget sih kalo ngomong." Yoga menegur, tetapi ekspresinya tidak lagi setegang sewaktu insiden pertama kali.
Mungkin sudah mulai terbiasa.
"Muehehehe... sori. Intinya, lo paham kan maksud gue?"
"..."
"Yoga."
"Oke, oke. Iya-in aja biar cepet."
"Ck."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top