16). Clara's Problem

I'm sorry if you were shocked by my loud heartbeat
Look at me with those eyes from the dream.
-Y.Z.

*****

Hari sudah menjelang siang ketika Yoga memilih untuk mengademkan diri di perpustakaan selepas dua sesi perkuliahan berturut-turut di pagi hari, bertukar posisi dengan Yoana yang kini sedang berada di kelasnya. Bagi Yoga ini cukup melegakan--bukannya fobia sih, hanya saja dia merasa belum terbiasa dengan fakta di permukaan yang diiming-imingi serangkaian celetukan setiap kali dia kedapatan sedang berdua dengan Yoana.

Pasalnya, Yoana benar-benar berpegang pada prinsip perihal menjadikan Yoga Pradipto sebagai distraksi. Saking niatnya, cewek itu sudah mempunyai jadwal kuliah Yoga supaya bisa mencocokkan dengan jadwalnya sendiri.

Rencananya, dia mau sering-sering berinteraksi dengan Yoga setiap ada waktu luang.

Jujur saja, ini membuat Yoga kewalahan. Fakta ini bahkan lebih mengerikan daripada berpacaran dalam artian yang sebenarnya.

Yoga spontan merasa lega sesampainya di perpustakaan yang mana sesuai fungsi harfiahnya tidak akan disalahgunakan oleh mahasiswa julid untuk kepo-kepoan. Dia segera menjamah rak bagian keuangan seperti biasa, tetapi ekor matanya menangkap sesosok familier.

Clara Zeminna. Melihatnya dari belakang seperti ini, Yoga merasakan kesamaan postur tubuhnya dengan Yoana. Tidak heran awalnya dia sempat mengira kalau mereka adalah kembaran alih-alih kakak beradik.

Ekor mata Clara secara otomatis menyambut tatapan Yoga selagi menuruni tangga portabel dengan buku referensi di salah satu tangan. Lantas, cewek itu tersenyum lebar.

"Sendirian aja ya, Ga?"

Yoga mengangguk terpatah dan kentara sekali kalau tingkahnya agak canggung. Sebenarnya bukan tanpa alasan, karena dia spontan teringat akan pengakuan Clara di kafetaria waktu itu.

"... dan kenapa lo harus jujur di saat gue udah tertarik sama Yoga?"

Clara sepertinya cukup peka untuk mengerti sebab dia turut menunjukkan gestur yang canggung di depan Yoga. Kemudian dia berdeham samar sebelum berucap, "Hmm... Yoga, soal kemaren.... G-gue...."

"Kita duduk dulu," kata Yoga. Dia mengajak Clara menempati kursi terdekat. Dipikir-pikir, spot tersebut persis di mana mereka bertemu untuk pertama kali.

Berawal dari mendapatkan cokelat dari Luna Lovandra hingga berlanjut ke sesi perkenalan singkat dengan Yoga Pradipto, Clara tidak akan melupakan peristiwa itu.

Karena kesan pertama menjadi tolok ukur penilaian seseorang dan bisa dibilang, duo Luna-Yoga menempati ruang tersendiri dalam bilik hati Clara.

Ingatan Clara seketika bernostalgia selagi dia mengikuti langkah Yoga....

Saat itu Clara sedang dikejar deadline ditambah dia harus menyempatkan waktu untuk belajar berhubung Ujian Tengah Semester tinggal beberapa hari lagi.

Entah berapa lama Clara menghabiskan waktunya di perpustakaan, yang jelas pagi itu dia melewatkan sarapan dan tahu-tahu hari sudah siang. Saat itulah atensinya terpecah. Dia melihat ada seorang cowok yang memberikan cokelat batangan pada cewek yang duduk semeja dengannya. Lebih tepatnya, cewek itu duduk menghadap dinding kaca sedangkan Clara berada di ujung.

Clara mengenalnya. Statusnya maba, tetapi dia populer di kampus berkat murah senyum dan supelnya.

Luna Lovandra. Namanya se-feminim penampilan dan tingkah lakunya. Cewek itu membuktikannya dari bagaimana dia merespons cowok random tersebut dengan senyum manis, lantas menumpukkan cokelat tersebut di antara tumpukan lain yang disusun hingga membentuk gundukan.

Refleks, Clara merasakan gemuruh di dalam perutnya. Dia lapar.

"Permisi, Dek. Gue boleh minta, nggak? Lagi laper nih," tanya Clara sopan, membenarkan posisi kacamata minusnya ketika menegakkan punggung.

Luna mengangguk lantas beranjak dari kursinya sembari membawakan beberapa cokelat sekaligus untuknya. "Ambil aja sebanyak yang lo mau. Semangat, ya."

"Lo baik banget. Lo pasti Luna Lovandra, kan? Lo sepopuler itu di kampus padahal status lo masih maba. Kenalin, gue Clara. Gue anak Psikologi, semester tiga."

"Ah, nggak juga. Itu karena gue nggak tega nolak perhatian mereka. Eh iya kalo lo anak Psikologi, berarti kenal Nara sama Virga dong? Masih maba juga sih, setingkat sama gue."

Luna kembali ke kursinya, bermaksud untuk mengambil tas dan buku serta sisa cokelat di meja ketika Clara bangkit dari duduknya dan pindah ke kursi dekat Luna.

Entahlah, Clara juga tidak mengerti mengapa dia bisa dengan gampangnya mendekat dan berinisiatif memberikan feedback padahal dia tipikal kalem dan teknisnya Luna adalah orang asing yang belum dikenalnya.

Apakah Luna memang se-easy going yang dibicarakan para mahasiswa atau ini hanya sebagai usaha Clara atas kebaikan hatinya memberi cokelat?

"Barang lo lebih banyak. Gue aja yang duduk di sini," kata Clara sambil tersenyum. "Balik ke yang tadi. Nara-Virga, ya? Kenal dong soalnya yang cowok tampilannya kayak bad boy gimanaaaa gitu tapi rupanya korban bucin."

Luna refleks tertawa. "Ternyata Virga populer juga, ya."

"Lebih tepatnya kayak brondong gemesin. Hahahaha.... Ngomong-ngomong, lo jurusan apa? Kalo nggak salah, Akuntansi ya?" Clara bertanya lebih lanjut, seketika melupakan tugasnya.

Luna mengangguk dan perhatiannya terpecah karena ekor matanya menangkap sesuatu di titik lain.

Tepatnya, sesuatu itu adalah seorang mahasiswa.

Sama halnya kasus Luna, Clara juga mengenal cowok itu karena dia sering terlihat berdua dengan cewek feminin tersebut. Wajahnya tampak kecil, begitu manis, dan ada lesung pipi tunggal yang nangkring di pipi sebelah kanan selagi dia tersenyum pada Luna.

Fix. Wajahnya perpaduan antara ganteng dan manis. Good looking banget.

"Wah kalo Virga disebut gemesin, yang ini manisnya dobel dan kayaknya berisiko diabetes kalo natap lama-lama," celetuk Clara dengan mata terpana. Refleks.

"Kenalin. Dia Yoga Pradipto, satu jurusan sama gue," jelas Luna sementara tatapan mata Yoga kini berhadapan dengan mata milik Clara.

Clara membenarkan posisi kacamatanya dengan gemetar seakan mendadak terkena sindrom random. Lagi-lagi, Clara tidak mengerti apa sebabnya. Apakah karena selama ini dia tidak pernah diperkenalkan pada cowok secara langsung? Atau... apakah karena dia terlalu lama berinteraksi dengan Tristan sehingga tidak pernah ada cowok lain yang masuk dalam fokusnya? "Hmm... gue Clara, anak Psikologi. Ya udah deh gue lanjut sama tugas gue, ya. Sekali lagi makasih Luna, atas cokelatnya. Membantu gue banget."

Walau gimanapun, saat itu dia merasa tidak nyaman saja jika dia terus nimbrung di antara keduanya. Lagi pula, kentara sekali kalau Yoga mencari Luna karena ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat atau melakukan aktivitas lain.

"Sama-sama, Clara. Senang bisa bantu," balas Luna dengan senyum manisnya lagi.

Dugaan Clara tepat karena Yoga kemudian mengobrol dengan suara rendah pada Luna dan mereka meninggalkan perpustakaan tidak lama kemudian.

Clara meletakkan buku referensinya di atas meja dan menempati kursi di ujung, persis terakhir kali dan itu adalah spot favoritnya. "Hmm... gue minta maaf, ya?"

"For?" tanya Yoga.

"Lo pasti kaget karena gue ngomong terus terang soal gue tertarik sama lo." Clara menundukkan wajah, mendadak lebih tertarik menatap kakinya sendiri.

"Nggak apa-apa," jawab Yoga cepat. "Semua orang pasti punya distraksi yang--"

"Lo juga ngerasa gitu, ya?" potong Clara.

"Hah?"

"Hmm... sori, maksud gue... asumsi lo mikirnya gue tertarik sama lo karena menghindari Tristan, ya?"

Yoga mengangguk meski ditilik dari gesturnya, dia setengah yakin.

"Bisa iya... tapi bisa juga nggak, sih." Clara masih betah memandang kakinya selagi berusaha menyusun kata-kata dalam pikirannya. "Soalnya gue memang sempat merasa tertarik sama lo."

"..."

"Seperti yang dibilang temen-temen yang lain, walau nasib lo jadi sadboy, tapi lo tetap tulus sama Luna. Lo baik hati, Ga. Itu juga yang menambah daya tarik lo. Gue yakin, bukan cuma gue satu-satunya yang tertarik sama lo."

"Thank you, Ra. Hmm... buat pujiannya."

"Maksud gue, Yoana termasuk di antara teman-teman yang lain."

"Hah?"

"Yoana cerita ke gue. Lo tau nggak lucunya, apa?" Clara tersenyum lebar. "Dia bilang, dia pacaran sama lo."

"Itu cuma--"

"Iya, gue tau itu cuma distraksi, tapi entah kenapa gue bisa rasain kalo Yoana memang seserius itu terutama setelah gue ngasih tau ke dia kalo gue nggak lanjut sama Tristan.

"Sampai kapan pun gue nggak akan bisa lanjut sama Tristan, Ga." Clara melanjutkan dengan lugas. "Jadi Yoana punya firasat kalo gue bakal lanjutin perasaan gue ke lo."

Yoga berdeham, tetapi tidak mengatakan apa pun setelahnya seakan memberi Clara ruang untuk menjelaskan hingga akhir.

"Kesannya jadi kayak Yoana selalu selangkah lebih maju dari gue. Dulu waktu zamannya Tristan juga gitu; Yoana bergerak lebih cepat dari gue dan saat gue punya target lain, Yoana juga udah maju duluan."

"Di hati lo ada Tristan, kan?" tanya Yoga pelan seakan ada sesuatu yang menahannya untuk bertanya, tetapi dia memberanikan diri. Tak ayal, dia merasa simpatik dengan kisah asmara Clara.

"Lo pasti nyaranin gue untuk ngikut kata hati gue, kan?" tebak Clara sembari tersenyum lagi. "Tapi gue takut, Ga. Hubungan Yoana udah terlalu lama sama Tristan, trus lo nyadar juga kan ada kemiripan antara muka gue sama adek gue? Gue khawatirnya Tristan sebenarnya memang punya perasaan cinta sama Yoana."

"Walau muka kalian kembar, kalian tetap berbeda." Yoga merespons. "Jangankan gue, Tristan pasti juga bisa bedain lo sama Yoana."

"Bukan semata-mata karena wajah yang mirip doang, Yoga. Gue hanya khawatirnya Tristan nggak bisa menafsirkan rasa suka itu. Bisa jadi, dia memang suka sama Yoana dan nyamannya sama gue. Atau kebalik? Gue juga nggak paham."

"Tapi gue yakin itu juga berlaku buat penafsirannya." Yoga berkata lagi. "Waktu tau gue deket sama Yoana aja, Tristan keliatan nggak peduli. Dia malah galau karena lo nggak peduli sama dia."

"Bisa jadi itu karena dia menyayangkan sikap gue yang nggak kayak dulu lagi," kilah Clara. "Gue kecewa atas perlakuannya ke adek gue dan bisa dibilang, sikap gue udah nggak bisa sama dengan yang dulu lagi ke dia.

"Risiko berteman sama lawan jenis, kan?" lanjut Clara. "Makanya gue salut sama lo yang tetap bisa berhubungan baik sama Luna padahal dia udah pacaran sama Ferdian. Gue kepengen kayak lo, Ga, tapi gue nggak bisa."

"Ga... gue boleh nanya, nggak?" tanya Clara setelah jeda yang cukup lama di antara keduanya. Ada beberapa mahasiswa yang bergabung di meja panjang, tetapi untungnya tidak ada yang mengambil posisi terlalu dekat dengan duo Yoga dan Clara.

"Ya?"

"Setelah ini... kalo gue juga manfaatin lo buat manas-manasin Tristan, boleh kan?"

Yoga masih diam, tetapi sepasang matanya melebar maksimal tatkala mendengar permintaan dari Clara.

"Tenang aja, permintaan gue nggak sama dengan Yoana. Gue cuma mau ngehindarin Tristan doang.

"Anggap aja, gue sekarang ngikut cara dia mempermainkan dua orang. Ini juga bagus buat Yoana. Pilihannya jadi ada dua sekarang; apakah dia bakal serius lepas dari Tristan atau... dia serius fokus sama lo?" lanjut Clara.

"Ini bakal jadi rumit banget, Clara." Yoga mengeluh.

"Jadi cinta segi empat, ya?" Alih-alih merasa miris, Clara malah tersenyum lagi. "Ini juga bagus buat lo, Yoga. Lo bakal jadi happyboy mulai sekarang karena diperebutkan dua cewek. Dua Zeminna bersaudara."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top