12). Sacrifice and Being Selfish

What would you do if it wasn't for me?
Look at this, I'm always taking care of you
-Y.P.

*****

Ibarat mengorbankan nyawa sebagai umpan, Yoana jelas telah menyeret Yoga masuk ke dalam perangkap yang disiapkan Virga.

Yoana baru sadar setelah Yoga membekap mulutnya dan memberi tatapan peringatan, bersamaan dengan sorotan mata puluhan mahasiswa yang kadar kejulidannya menjadi-jadi. Cewek itu melebarkan netranya, seketika merasa bersalah dan menyesal.

Namun, ucapan yang keluar tidak mungkin bisa ditarik kembali. Yang benar adalah, semua yang terucap akan diterima dan disebarluaskan.

"Ups, maaf." Yoana berucap pelan sementara Yoga menunjukkan reaksi mental breakdown yang kentara.

Jika diperbolehkan memilih, Yoga lebih suka trending topic-nya yang pertama tentang julukan sadboy ketimbang yang sekarang; terlibat asmara dengan Yoana Zeminna yang notabenenya adalah bucin sahabatnya sendiri.

Ini berarti merujuk pada situasi Yoga diseret ke dalam masalah percintaan orang lain. Mau tidak mau dia diingatkan kembali akan Luna yang juga berada di posisi sama, meski yang menjadi pembedaannya sekarang adalah cinta Yoana tak terbalaskan.

"CIEEEEEEE!" Lagi-lagi, dia dan Yoana menjadi pusat perhatian di tengah keramaian.

Beruntung, salah seorang dosen killer menyelamatkan situasi sehingga kerumunan yang tadinya mengalahkan aksi unjuk rasa, dalam sekejap segera bubar.

Sepertinya, acara danus-an kali ini tidak berlangsung sesuai fungsinya.

"Ck, ini gimana jualnya nih?" keluh Yoana seraya mengedarkan pandangannya ke semua jajanan yang harus dijual. "Gue belum pernah ikutan danus, soalnya."

"Lo bukan anggota danus?" Yoga berekspresi kaget. "Trus kenapa ikutan?"

"Karena nggak pernah nyoba," jawab Yoana. "Lagian acaranya di sini, jadi anggap aja gue bantuin temen sejurusan."

"Sejurusan? Lo anak Manajemen?" tanya Yoga lagi, semakin syok.

"Ho oh. Lucu ya, padahal kita satu departemen tapi lo nggak pernah tau. Jadi inget, dulu kita juga satu SMP tapi kayak nggak saling ngenal padahal pergaulan gue merambah sampai angkatan kelasnya Tristan."

Alih-alih merespons Yoana, Yoga memilih untuk duduk di kursi plastik yang tersedia. Lantas, cewek itu mengikuti jejaknya.

Masalahnya, Yoana mendekatkan kursi plastik terlalu dekat di sebelahnya, membuat Yoga menatapnya dengan tatapan bertanya.

Yoana malah menatapnya balik dengan cara yang sama. "Kenap—–oh, nggak boleh terlalu deket? Santai aja lagi, wong udah dipasangkan juga."

"Tapi faktanya kita nggak lagi pacaran, Yoana."

"Boleh aja kalo lo mau," kata Yoana terus terang. "Lo bukan kandidat yang buruk menurut gue. Kenapa kita nggak coba aja, berhubung kita ini sad couple yang lagi booming?"

"Faktanya, mencari pelarian untuk move on nggak akan bisa membantu," ujar Yoga. "Yang ada, lo malah nambah perkara baru."

"Seenggaknya, gue punya distraksi biar nggak kepikiran terus," balas Yoana, mempertahankan argumennya. "Gue udah pernah ngaku sama lo kan kalo gue perlu waktu seumur hidup buat lupain Tristan? Jangankan gue, lo aja belum berhasil move on dari Luna. Yekan?"

"Jangan sok tau kalo lo belum ngenal lama sama orang itu." Yoga menukas datar.

"Kalo gitu kita bisa ngenal dekat mulai dari sekarang."

"Ya nggak gitu juga konsepnya, Yoana."

"Kayak foto prewedding aja pake konsep-konsep segala," cibir Yoana. "Emang lo mau kita temenan yang kayak gimana?"

"Gue bersedia jadi temen lo, tapi... jangan baper, ya. Maaf kalo lo tersinggung." Yoga berucap sopan. "Maksud gue, sebatas teman yang nggak akan melewati batas."

"Lo takut jadi sadboy lagi, nih?"

"Anggap aja iya."

"Tapi gue nggak takut jadi sadgirl."

"..."

"Gue lebih takut menyesal kalo nggak berusaha," lanjut Yoana. "Maaf ya kalo waktu itu sempat nyakitin hati lo. Gue nggak bermaksud sok tau atau menggurui, cuma... gue mau berusaha. Seenggaknya, dia tau kalo cinta gue tulus."

"Iya. Gue juga minta maaf ya kalo menyinggung perasaan lo."

"Nggak apa-apa, gue malah mau ngucapin terima kasih."

"Hng?"

"Hmm... apa, ya? Lo kayak selalu muncul tiap gue lagi patah hati. Seperti gue bilang tadi, lo kayak pengalihan di saat gue merasa sulit untuk lupain Tristan. Gue tau ini bersifat sementara, tapi gue harap lo bersedia deket sama gue."

"Yo—–"

"Setidaknya sampai gue bisa nerima kalo Tristan memang layak dipasangkan sama Clara. Plissss...." Yoana mencondongkan tubuh ke arah Yoga, melebarkan mata selayaknya sedang memohon dengan sangat, dan memperlihatkan keimutannya dengan menipiskan bibir. "Let's be friends, Yoga."

"Just friend?"

"Just friend."

"Okay, then. Let's be friends, Yoana."

"Thank youuuuu—–ups, sori."

Karena Yoana refleks mau memeluk Yoga dari samping, tetapi terhalang oleh aksi Yoga yang menahan kening cewek itu dengan jari telunjuknya.

"Just friend. I don't accept any kinds of skinship."

"Ck."

*****


Tristan memang sengaja menghindari Yoana saat mendengar acara danus-an kali ini berlokasi di pelataran gedung fakultas Ekonomi. Katakan dia pengecut—–oke, tidak apa-apa karena dia memang layak mendapat ganjaran yang lebih ekstrem dari ini.

Tristan merasa sangat bersalah pada Yoana, tetapi rasa cemasnya pada Clara lebih besar. Dia takut, sangat takut jika cewek itu menjalin asmara dengan cowok lain.

Alasannya selain kehilangan Clara sebagai gebetannya, dia juga akan kehilangan Clara sebagai sahabatnya.

Benar, kan? Ferdian saja begitu posesif dengan pacarnya hingga tidak mengizinkan Yoga mendekat barang sesenti pun. Maka... membayangkan saja sudah membuat Tristan panas dingin tidak keruan.

Meski sekarang situasinya Clara mengikuti jejaknya yang menghindari Yoana, Tristan tahu kalau akan ada waktunya Clara mengerti alasannya berlaku demikian.

Namanya cinta, pastinya sudah sepaket dengan keegoisan dan pengorbanan, kan? Sama definisinya dengan skala prioritas, bukankah orang yang kita cintai dengan tulus menjadi fokus utamanya?

"Ra... Ra... Clara!" Tristan memanggil dari balik punggung Clara yang menjauh. Ditilik dari reaksinya, cewek itu jelas berpura-pura tuli.

Pantang menyerah, cowok itu mengejar Clara dan mencekal pergelangan tangannya lalu berujar, "Ra... plis jangan kayak gini."

Clara menarik tangannya dengan sekali sentakan sebagai responsnya sebelum melanjutkan langkah dengan jutek. Bahkan balas menatap Tristan pun tidak.

"Ra—–"

"Seharusnya kalo orang tersebut nggak merespons atau menghindar, lo tau artinya apa." Clara akhirnya berbicara dan langsung menatap ke mata teduh Tristan yang sarat akan tatapan dingin nan menusuk. "Artinya jelas, dia nggak respek lagi dengan lawan bicaranya itu. Apalagi, kita ini kuliahnya jurusan Psikologi. Masa hal dasar kayak gini aja lo nggak peka?"

"Gue memang nggak peka, gue memang pengecut, gue memang dan memang sesuai pikiran lo yang sekarang." Tristan menarik pergelangan tangan Clara lagi sampai posisi keduanya berhadapan. "Tapi gue terpaksa harus egois."

"Egois aja nggak apa-apa, itu hak kita sebagai manusia. Manusia itu makhluk egois. Jadi sama halnya dengan gue, gue juga berhak untuk egois." Clara menarik tangannya lagi supaya lepas, tetapi Tristan mengeratkan cekalannya. "Lepasin gue. LEPASIN, NGGAK?"

Emosi Clara memuncak. Bisa dibilang untuk pertama kalinya dia berteriak seperti itu pada Tristan, sukses membuatnya mirip dengan karakter adiknya yang barbar.

Bukannya tanpa alasan, dia hanya khawatir pertahanannya akan runtuh dan yang terburuk mungkin Tristan akan melihat dia menangis. Tidak, Clara tentu tidak ingin insiden ini sampai terjadi.

"Gue tau ini udah telat, tapi gue nggak mau lepasin lo." Tristan berusaha menjelaskan. Belenggunya pada tangan Clara refleks mengerat lagi hingga buku-buku pada jemarinya memutih. "Gue baru sadar setelah denger lo suka sama orang lain, Ra, dan gue nggak rela."

"Trus mengorbankan adik gue?" tanya Clara menusuk. Dia yakin bagian tangannya memerah bekas cekalan Tristan dan mungkin bakalan sakit, tetapi rasa sakit dalam hatinya yang menjadi fokusnya sekarang. "Lo nyakitin dia sama seperti lo nyakitin gue. Kita nggak mungkin bisa bersama, Tris. Plis... sadar akan posisi lo."

"Katanya, akhir nggak akan benar-benar menjadi akhir sebelum orang itu menerimanya sebagai akhir." Kali ini, Tristan mengucapkannya dengan dingin. "Tujuh tahun mungkin udah terlalu lama, tapi gue belum berusaha dan lo belum jadian sama siapa-siapa. Jadi... gue masih punya kesempatan, kan?"

"Tris—–"

"Lo pikir dengan memaksakan perasaan, Yoana bakal bahagia? Justru gue bakal makin nyakitin dia, Ra!"

"Gue denger, lo balas ciumannya Yoana." Clara menimpali tak kalah dinginnya. "Munafik kalo lo bilang nggak ada perasaan sedikit pun buat Yoana. Lagian udah tujuh tahun, Tris, TUJUH TAHUN! Lo anggap Yoana itu apa?"

Clara menggunakan tangannya yang lain untuk melepaskan belenggu itu, tetapi yang terjadi adalah aksi Tristan selanjutnya. Dengan sekali tarikan, cowok itu berhasil memaksa Clara masuk ke dalam pelukannya.

Pelukan itu jelas memaksa, karena cewek itu menolak mentah-mentah. Untungnya, lokasi di mana keduanya berada sekarang cukup sepi berhubung Clara sengaja melewati bagian belakang gedung demi menghindari Tristan. Tambahannya meski mereka tepat berada di dekat jendela, ruangan tersebut kosong dan gelap.

Bisa jadi, Tristan berani melakukan kontak fisik gegara tidak ada siapa-siapa di antara mereka. Lagi pula, sesuai obsesinya untuk egois pada cinta, cowok itu tentu tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut.

"CLARA, LO ITU SUKANYA SAMA GUE! CUMA SAMA GUE!" hardik Tristan ngegas, saking frustasinya dia karena Clara bersikap defensif. "PLIS RA, GUE MOHON SAMA LO!"

"LEPASIN GUE, TRISTAN!"

"NGGAK!" Pelukan tersebut jadi terkesan menganiaya karena cara Tristan memenjarakannya membuat Clara sulit bernapas hingga terbatuk-batuk. Lantas, cowok itu kaget sendiri dan melepas pelukannya dengan gestur telah melakukan dosa. "Eh, maaf banget ya. Gue meluknya terlalu erat, ya?"

Alih-alih menjawab, Clara menggunakan kesempatan untuk kabur dari Tristan.

"HEI, HEI, CLARA! YA ELAH—–padahal udah mendramatisir banget, kenapa jadinya gini?" keluh Tristan sebelum mengejar Clara. Beruntung kakinya lebih jenjang dan bertenaga sehingga lagi-lagi dia bisa memblokir cewek itu.

"Tris, gue capek."

"Gue juga."

Clara menatapnya dengan tatapan penuh celaan.

"Lo sukanya sama gue." Sekali lagi, pernyataan Tristan mengandung penegasan yang kental. "Gue yang bodoh karena nggak menyadari lebih awal dan berpikir lo lebih bahagia kalo gue bales perasaan Yoana."

"Emang iya."

"Dan usaha itu nggak berhasil. Perasaan gue masih sama; gue sukanya sama lo."

"Tris—–" Ucapan Clara terpotong sendiri karena aksi Tristan yang membuatnya syok, melebihi aksi pelukan paksa tadi.

Karena tanpa aba-aba, cowok itu menempelkan bibirnya ke bibir mungil milik Clara. Awalnya hanya sekadar menempel yang berlangsung selama sepersekian detik sebelum Tristan memperdalamnya dengan memiringkan kepala dan merengkuhnya.

Jika ini ciuman pertama, Clara tidak tahu kalau efeknya bisa semengerikan ini.

Alasannya? Karena otaknya serasa lumpuh sementara dia merasa seakan-akan ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya dan bersiap untuk meledak.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top