10). Conflict?

I gather my courage towards you
-Y.Z.

*****

Yoga masih membeku di tempatnya berpijak selama beberapa menit ke depan, tepatnya dia sedang mempertimbangkan apakah dia harus menerapkan apa yang pernah dia sampaikan pada Luna terkait memberikan sandaran di saat dia membutuhkan.

Selayaknya mengambil keputusan—–apa pun hasilnya, tentu dibarengi dengan konsekuensi yang harus dihadapi setelahnya. Tentang Yoana, jika benar Yoga setuju untuk menghiburnya, apakah ini sesuatu yang benar untuk dilakukan?

Yoga sudah pernah memantapkan dirinya sendiri untuk tidak terlibat dalam kisah cinta orang lain, dia tidak ingin lagi menjaga jodoh orang lain seperti yang pernah dialaminya dua kali, dan dia tidak mau menjadi sadboy untuk yang ketiga kalinya.

Bahkan untuk Yoana Zeminna, itu juga berlaku sama.

Itulah sebabnya, Yoga tidak akan mengutarakan kata-kata yang sama dengan apa yang pernah diucapkan pada Luna dulu. Tidak, dia tidak ingin lagi menerima risiko itu.

Cukup hari ini saja cowok itu mengizinkan Yoana melampiaskan kegundahan dalam hatinya.

Meski sempat ragu di awal, tidak berselang lama Yoga akhirnya mendaratkan kedua lengan di punggung Yoana untuk membalas pelukan itu. Keraguan tersebut sebenarnya dibarengi oleh rasa sungkan karena keduanya tengah berada di persimpangan koridor menuju gedung fakultas Ekonomi, tepatnya persis di mana dia dan Yoana berpisah di satu titik selepas pertemuan di kafetaria.

Cukup banyak mahasiswa yang berlalu-lalang di sana--memang, tetapi beruntung mayoritasnya berada di rush hour dan sedang hectic oleh kesibukan mereka masing-masing. Tambahannya, kadar julid mahasiswa dari departemen Ekonomi tidak separah departemen lain.

Yoana masih belum puas menangis. Alih-alih mereda, tangisannya malah semakin keras tepat di saat Yoga membalas pelukannya. Bisa jadi, dia menafsirkannya sebagai situasi ketika dia merasa diperhatikan dan memiliki seseorang di sisinya.

Posisi tersebut bertahan hingga seperempat jam kemudian.

"Ma-makasih...." Suara Yoana terdengar sengau seperti sedang flu berat—–yang memang demikian karena hidungnya telah penuh hingga sulit bernapas. Yoga bisa melihat warnanya semerah matanya yang kini membengkak setelah jarak di antara mereka melebar.

Ya, luka karena patah hati memang sesakit itu. Yoga tentu mengerti bagaimana rasanya. Maka, dia menuntun Yoana ke bangku panjang terdekat dan mendudukkannya di sana. "Gue beliin minum, ya?"

"Mau soju kalo ada—–bercanda, ya elah. Ya kali di kafetaria ada jual minuman kayak gitu?" Yoana mendecakkan lidahnya geregetan saat melihat Yoga menatapnya penuh celaan.

Oke, fix. Melihat bagaimana respons Yoana sekarang, bisa disimpulkan kalau suasana hatinya sudah lebih mendingan.

Yoga kembali beberapa menit kemudian dengan sebelah tangan menjinjing kantong kresek, lantas mengeluarkan sebotol air mineral pada Yoana.

"Perasaan gue udah lebih baik, tapi gue nggak yakin kalo sendirian." Yoana mengaku setelah meneguk isinya hingga menyisakan setengah botol. Sepertinya cairan tubuhnya terkuras banyak setelah tangisan yang dramatis tadi. "Lo... gimana caranya lo lupain Luna?"

Pertanyaan yang seharusnya berkesan ringan, tetapi entah kenapa serasa berat bagi Yoga. Maka, diam adalah cara halusnya untuk menolak memberi jawaban.

"Hmm... kayaknya pertanyaan gue terlalu frontal, ya? Maaf." Yoana menoleh canggung saat menyadari ekspresi Yoga yang berubah. "Gue cuma ngerasa salut aja sama lo."

"Salut sama gue? Kok bisa?"

Yoana menyeringai, tepatnya sindiran itu ditujukan pada dirinya sendiri. "Katanya, dua temen yang beda gender tuh nggak mungkin bisa lanjutin hubungan pertemanan mereka setelah salah satunya pacaran sama yang lain. Gue salut aja sama lo karena tetep bisa sahabatan sama Luna, padahal dia pacarannya sama Ferdian."

Yoga terdiam selama beberapa saat. Ditilik dari reaksinya, dia jelas sedang mengemas kata-kata supaya bisa disampaikan dengan cara yang simpel, sesederhana ekspresi yang dia tunjukkan pada Yoana.

Mengingat ini tentang kisah cintanya sendiri, cowok itu belum pernah menyampaikannya pada siapa pun, bahkan Luna saja tidak tahu detailnya.

"Gue...."

"Oke, skip. Nggak apa-apa, jangan terusin kalo lo merasa canggung atau susah jelasin. Tetep aja, makasih ya.

"Lo jadi pendengar aja kalo gitu," lanjut Yoana sembari menunjukkan senyum lebar meski kentara sekali kalau dia berusaha ceria. "Ceritanya berawal waktu SMP. Untuk pertama kalinya gue suka sama Tristan dan di saat yang sama, gue juga tahu kalo Kak Clara suka sama dia. Menurut lo, apakah gue milih nyerah?

"Jawabannya, nggak." Yoana melanjutkan lagi tanpa menunggu respons Yoga. "Gue egois sama perasaan gue. Menurut gue, Tristan lebih cocok sama gue. Secara, gue aktif, humoris, asik, nggak neko-neko, easy going—–walau gue lebih jelek dan kurang pinter dari Kak Clara, tapi gue tau nilai plus gue juga sama banyaknya."

Yoana mengeluarkan satu per satu jemarinya dengan semangat, tetapi gerakannya melemah sewaktu mengutarakan kalimat akhir. Tingkahnya super adorable, lagi-lagi mengingatkan Yoga atas sikapnya setelah insiden di kafetaria setengah bulan yang lalu. Cewek itu cepat teralihkan oleh sesuatu yang bahkan sepele.

Itulah sebabnya, emosinya juga cepat meledak-ledak oleh sesuatu yang sama simpelnya.

"Gue tau gue egois. Gue tau gue adik yang nggak punya akhlak. Gue juga tau gue cewek yang jahat, tapi setidaknya gue mau tau gimana perasaan Tristan ke gue. Cinta tuh harus diperjuangin, kan? Lo setuju nggak sama gue?"

"Kalo mengungkapkan—–iya, tapi kalo perjuangin... nggak."

"Loh, kenapa?" tanya Yoana, mulutnya sampai mangap saking syoknya. Menurutnya, aneh saja jika mencintai seseorang tetapi tidak memperjuangkan.

"Dari cerita lo tadi, lo pasti juga udah tau gimana perasaan Tristan yang sebenarnya, kan?"

"Ap—–"

"Lo tau Tristan dari awal sukanya sama Clara, tapi lo denial sama perasaan lo sendiri." Yoga memotong. "Cinta nggak bisa dipaksain mau sekeras apa lo berusaha. Yang ada, lo bakal semakin terluka."

Entahlah, Yoga juga tidak mengerti mengapa dia harus baper di saat dia bisa saja mengiya-iyakan semua curahan hati Yoana supaya obrolan mereka tidak berkepanjangan.

Bisa jadi, secara tidak langsung dia kembali diingatkan tentang kisah cintanya sendiri atau merasa tersindir atas usahanya yang tidak optimal dalam memperjuangkan Luna.

Yoana membuang napas pendek yang seperti dengusan, lantas menatap Yoga dengan tatapan tidak percaya. "Jadi maksud lo, kalo kita suka sama seseorang, kita diem aja?"

"Tadi gue udah bilang kalo mengungkapkan boleh-boleh aja, tapi untuk memaksakan—–"

"Sekarang gue tau alasan sebenarnya kenapa lo nggak pernah bisa dapetin Luna."

Ekspresi Yoga berubah drastis yang tadinya kalem menjadi tidak santai. Kentara sekali bagaimana amarahnya memuncak gegara satu kalimat yang dilontarkan oleh Yoana. "Maksud lo?"

Alih-alih menunjukkan ekspresi bersalah, Yoana bersikukuh pada prinsipnya. "Bener, dong. Andai aja lo berjuang lebih optimal lagi, menurut lo, apakah takdirnya akan berubah?"

"Trus gimana sama lo?" tanya Yoga, berusaha menahan diri untuk tidak kebablasan emosi. "Lo berusaha selama tujuh tahun dan apa? Cinta lo nggak dibalas dan akhirnya luka lo lebih dalem dari seharusnya."

"Masih mending gue!" Yoana nyolot. "Gue tau Ferdian lebih ganteng, tapi lo juga nggak kalah! Muka lo imut, manis lagi! Trus—–"

"Ketulusan nggak menuntut balasan," potong Yoga. "Cinta tulus bukan berarti kita harus berakhir sama dia, tapi yang terpenting dia bahagia sama siapa."

"Makanya udah gue simpulkan, Ga. Itulah alasannya kenapa lo nggak berakhir sama Luna. Itulah alasannya kenapa lo yang jadi sadboy-nya."

"Sama juga." Yoga menimpal dingin. "Itulah alasannya kenapa Tristan sukanya sama Clara, bukannya lo."

"Heh, Maksud lo ap—–"

"Bener, dong? Andai aja lo nggak egois dan membiarkan Tristan yang milih, menurut lo apakah takdirnya akan berubah? Gue rasa iya, soalnya lo memaksakan dia untuk berada di samping lo..."

"Yog——"

"... dan lo yang nyium dia duluan." Yoga menyelesaikan kata-katanya seakan tidak ada interupsi sebelumnya. "Perjuangan lo malah sia-sia. Hasilnya, nggak ada yang bahagia di antara kalian. Clara juga kena imbasnya."

"Oh, jadi lo bela Clara sekarang?" tanya Yoana sarkastik, memelototi Yoga dengan penuh amarah. Saking kesalnya, dia melemparkan hoodie Yoga ke pemiliknya. "Clara udah bilang suka sama lo, jadi kenapa lo nggak terima aja?"

"Lo nggak berhak ngatur-ngatur gue!" Nada bicara Yoga naik satu oktaf seraya membuang balik jaket itu ke arah Yoana.

"Ohhh... bisa marah juga ya lo. Ternyata kayak gini ya modelan sadboy yang emosional." Yoana nyolot balik dan dia mengangkat jaket Yoga dengan gerakan setengah hati. "Ini kan jaket lo, kenapa balikin ke gue?"

"Oke." Yoga merebut hoodie itu dengan sekali tarikan hingga lepas, lantas berbalik untuk meninggalkan lokasi.

"Heh, Yoga! Kok malah nyolot, sih? HEI!!!" Yoana berteriak dari balik punggung Yoga, tetapi percuma saja karena cowok itu tidak bereaksi.

Yoga marah—–tentu, karena dia merasa Yoana tidak layak menilai takdirnya.

Tidak, karena cewek itu tidak tahu apa-apa.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top