SQ Vol. 1 - Piece B

Kakimu mulai melangkah ke kanan. Mungkin bersembunyi dalam kegelapan bisa menyelamatkanmu. Dengan sedikit trik, kau bisa berjalan tenang tanpa suara karena kegelapan membutakan mata manusia. Rasa tenang dan kelegaan hampir mengisi hatimu yang sedari tadi merasa gelisah. Sebelum satu hal mengacaukan ketenangan dan rencanamu yang sudah tersusun rapi dalam otak.

Ponsel yang masih berada di genggamanmu berkedip kemerahan. Sial, kenapa baterainya harus habis di saat-saat seperti ini? Dengan begini, orang yang mengejarmu juga akan tahu kau mengarah ke mana. Rencanamu sudah hancur. Secepat kilat kau mematikan ponselmu. Namun, sudah tidak ada lagi ketenangan. Kau mulai berlari dalam kegelapan, menenggelamkan dirimu ke dalamnya. Semua tetap berjalan seperti pada awalnya. Hingga, cahaya yang terang menghampirimu.

Kau melihat kesempatan, dalam cahaya itu kau menoleh ke belakang. Melihat orang yang berhasil membuat dirimu kelelahan disaat yang lain sedang beristirahat dengan tenang. Matamu terbelalak, menemukan kenyataan bahwa orang yang mengejarmu sedari tadi adalah orang yang kau kenal. Suara keras dan asing mencapai telingamu. Kau tidak menghiraukannya. Dengan suara yang kau paksakan untuk lebih keras, kau memanggil namanya.

"Takamura-san, apa yang--"

Sayang sekali, kalimatmu tidak bisa berlanjut. Karena cahaya yang menghampirimu, memerangkapmu dalam kegelapan lagi.


SQ X Lied Vol. 1 - CROSS NOTES

Starring Takamura Shiki from SolidS

Kieru Hibana

SolidS belongs to Tsukino Talent Production

Tsukipro belongs to Fujiwara-san from MOVIC


Takamura Shiki menyesap pelan kopinya dalam diam. Matanya terpaku pada judul utama koran hari ini--yang tidak sengaja ia temukan di samping mesin pembuat kopi otomatis--dengan tatapan kosong. Ia membaca pelan artikel di bawahnya, meski ia tahu itu hanya akan menambah rasa sakit dan bersalah dalam hatinya.

Tatapannya memang tertuju pada koran, namun pikirannya tidak menghiraukan kata-kata yang tercetak dan malah membawanya pergi ke kejadian yang disesalinya.

"A ... Aku menyukaimu, Takamura-san."

"Begitukah? Maaf, aku tidak bisa memberimu jawaban."

"..."

"Daripada itu, ini sudah malam. Mau kuantar pulang?"

"Tidak, terima kasih."

"Oh, apa kau ingin pulang bersama Shuu? Mau kupanggilkan? Kalian searah, bukan?"

"Tidak perlu, Takamura-san. Aku bisa pulang sendiri."

Kalau ia ingat lagi kejadian itu, seratus persen ia yakin kalau ialah yang menyebabkan [name] terjebak dalam tidur panjang yang tidak bisa ia bangunkan dengan ciuman. Meskipun ia bisa membangunkan [name] dengan ciuman darinya, ia tidak akan melakukannya. Karena hubungan mereka hanya produser dan penyanyinya, tentu saja.

Pikirannya yang logis memang mengatakan hal itu. Tetapi hatinya yang tidak bisa berbohong menaruh sedikit harapan agar suatu hari nanti, ia tidak akan mengabaikan perasaannya yang sebenarnya kepada [name]. Sehingga ia bisa dengan mudah mengucapkan kebenaran yang telah ada dalam hatinya sejak dulu.

"Shiki, maaf. Aku harus pulang. Maaf tidak bisa menemanimu di sini."

"Tidak apa-apa. Ada pekerjaan?" Shiki tahu kalau permintaannya untuk ditemani sedari tadi oleh teman yang ia miliki adalah sesuatu yang egois.

"Ya. Hanya beberapa photoshoot dan interview untuk majalah bulan depan."

"Kalau begitu, semoga beruntung."

"Jaga [name] ya, Shiki."

Shiki hanya mengangguk pelan untuk menjawabnya.

"Oh, dan jangan lupa jaga dirimu sendiri," tambah Rikka sebelum ia akhirnya berlalu menuju lift di ujung lorong.

Ah, untuk hal itu. Sepertinya Shiki tidak bisa menjaminnya.

***

Jam yang berdetak, bunyi statis alat penunjuk detak jantung [name], detak jantungnya sendiri, semua menemani Shiki dalam kesunyian antara dirinya dan [name]. Pandangannya berpindah antara kertas-kertas di genggamannya, malam sibuk Tokyo yang terpantul di jendela, carnation cerah yang mekar di sudut ruangan, serta wajah tenang [name] yang terjebak dalam tidur panjang.

Shiki menatap deretan garis paranada di hadapannya lama. Garis-garis itu masih tetap kosong, seakan melodi yang sudah ada masih terjebak dalam mimpi. Shiki sendiri tidak tahu mengapa jeritan hatinya (yang seharusnya semakin keras) tidak bisa mencapai ujung bolpoin. Ia tidak tahu mengapa kesedihan yang ia rasakan tidak bisa tertuangkan di atas kertas. Yang ia tahu, ini bukan dirinya yang seperti biasa.

Shiki menatap wajah tidur [name], merasa semakin bersalah. Jemarinya bergerak tanpa sadar menuju rambut yang menghalangi mata [name], menyingkirkannya pelan. Memperhatikan wajah [name] lekat-lekat.

"Aku mencintaimu." Kata-kata itu meluncur begitu saja. Ah, andaikan ini tadi malam, bukan hari ini. Masa depan mungkin bisa berubah.

Kalau saja bisa, Shiki ingin melintasi ruang dan waktu, pergi ke masa lalu. Menemui [name]. Menanyakan apa keputusan [name] jika ia mengatakan kebenarannya. Mengubah segalanya. Jujur akan perasaannya. Tapi, apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tidak ada. Sesuatu yang bisa ia lakukan berada di masa lalu. Saat ini, apapun yang ia lakukan, tidak akan ada yang berubah.

Shiki mencoba berpikir seperti dirinya yang biasa. Ia yakin, sebenarnya ada sesuatu yang bisa ia lakukan. Peran yang hanya bisa ia mainkan. Disaat inilah pikirannya yang masih sangat mencintai pekerjaan mengambil alih. Memang ada satu hal yang bisa ia lakukan sekarang.

Membuat lagu. Menciptakan keajaiban. Satu-persatu not mulai berjatuhan. Mengisi kekosongan dalam partitur. Dengan lagunya, ia akan melintasi waktu. Hanya untuk bertemu lagi dengan [name]. Mewujudkan harapannya kepada malam tanpa akhir.

"Meski cahaya belum mencapaimu, debar ini mungkin bisa meraihmu, [name]."

***

Suara langkahnya bergema sepanjang lorong. Memangnya itu penting sekarang? Seharusnya ia masih belum terlambat. Melihat waktunya, saat ini [name] seharusnya ada di....

Shiki membuka pintu ruangan yang ia tuju dengan terburu-buru. Hanya untuk menemukan bahwa ia tetap sendiri. Mengapa? seharusnya di tempat dan waktu yang sama, ia dan [name] sedang membicarakan tentang rencana solo debutnya. Apa ia salah? Entahlah, ingatannya tetang sesuatu yang baru terjadi semakin memudar dalam kepalanya. Haruskah ia ... menyerah sekarang?

Shiki menggeleng cepat. Ia baru mencari di satu tempat. Mungkin [name] berada di tempat lain yang masih bisa dijangkaunya. Ia berlari ke seluruh tempat yang ia tahu. Warna suaranya selalu mencari [name], terus memanggil namanya. Hanya untuk menekankan fakta, bahwa ia hanya sendiri di dunia ini.

***

Jarum panjang jam sudah berotasi tepat dua kali. Shiki menyesap kopi dinginnya perlahan. Mencoba menghilangkan rasa lemah dan keraguannya. Mencoba untuk tidak berputus asa. Meski ia tahu, waktu yang dimilikinya tidak banyak lagi.

Waktu di tempat ini tetap berjalan. [Name] di masa lalu yang sebenarnya sudah pergi pulang pada jarum jam yang sama seperti jam dalam ruangan tempat Shiki sekarang berada. Menimbang ingin pergi ke mana lagi, Shiki berjalan gontai membuang gelas kertas. Mungkin, ia bisa keluar saja. Tidak ada gunanya memutari bangunan ini sekali lagi.

Angin dingin, gelapnya malam, bulan yang tertutup awan. Semua tetap sama seperti waktu itu. Hanya keberadaan [name] yang membedakan segalanya. Shiki berjalan tanpa arah. Menyerahkan seluruh kendali pada kakinya. Sementara otaknya mengingat sekali lagi kejadian yang sebenarnya.

[Name] yang memutuskan pulang sendirian membuatnya tidak tenang dalam mengerjakan pekerjaannya. Shiki berniat melihat [name], memastikan bahwa ia aman. Tapi, ia merasa itu tidak cukup. Hatinya yang keras kepala menambah tujuannya menjadi "harus memastikan [name] kembali ke apartemennya dengan selamat".

Sepertinya, ia jadi kelewat batas. Kalau diingat lagi (meskipun sebenarnya ia sendiri tidak ingin mengingatnya). Daripada terlihat sebagai seseorang kenalan yang khawatir, ia lebih terlihat seperti fans fanatik yang mengikuti [name] kemanapun ia pergi. Hal yang wajar jika [name] berlari. Pergi darinya, meninggalkannya.

Dalam ketidakpastian dan segala perasaan yang tidak tergambar di wajahnya Shiki melangkah. Pandangannya hanya tertuju pada dataran yang ia pijak. Terus berjalan tanpa melihat ke depan. Hingga dinding tinggi menghentikannya.

Dan menyadarkannya.

Entah bagaimana, kakinya mengingat jalan yang dilalui [name] malam itu.

Kalau begitu setelah ini adalah ...

Shiki langsung menuju ke kanan. Sambil memutar kembali adegan yang terlalu sering ia ingat. Dirinya yang mencoba mengejar [name]. Cahaya redup dari smartphone [name] yang memandunya, seperti percikan api kecil yang memberikan harapan untuknya. Cahaya yang langsung menghilang, dipadamkan oleh [name]. Sebelum ia berhasil menangkapnya.

Terus mengejar figur [name] dalam kegelapan. Mencoba memanggilnya, namun tidak bisa. Hingga cahaya yang lebih terang mengungkap sosoknya. Sebelum ia sempat menjelaskan segalanya, [name] sudah terenggut oleh cahaya terang yang menghampirinya.

"Ah, maaf."

Tanpa ia sadari, ia menabrak seseorang yang berjalan didepannya. Ini bukan sepenuhnya salahnya, bukan? Malam ini memang gelap.

Orang itu menoleh. "Kalau begitu, permisi."

Shiki tersentak. Masih menatap punggung kecil itu. cahaya yang minim memang membuat wajah gadis tadi tidak terpantul dengan jelas di matanya. Namun, keputusasaan yang selalu mengisi hatinya membuatnya menginginkan harapan. Ia melihat beberapa kemiripan antara gadis itu dengan [name]. Rambut [hair length]nya yang diterpa angin malam terlihat begitu mirip dengan [name] malam itu.

Ia tidak ingin kesempatan pergi dari genggamannya lagi. Ia berusaha mengejar punggungnya. Menahan langkah gadis didepannya dengan memegang--lebih tepatnya, mencengkeram tanpa sadar--bahu gadis itu.

Gadis itu menoleh lagi. Figurnya terpantul lebih jelas. Tatapan penuh ketakutan dan tubuh yang bergetar. Mengiris hati Shiki perlahan. Ketika ia sadar, ialah yang menyebabkan seluruh ketakutan [name].

"Tolong, jangan pergi." Cengkeramannya tanpa sadar menguat. Hal yang malah membuat [name] semakin bergetar. Mata yang terpantul di irisnya mulai berkaca-kaca.

"Jangan tinggalkan aku lagi ..., [name]."

Bahu yang dipegangnya menegang. "Ba-Bagaimana Anda bisa tahu namaku?"

"Karena aku produsermu."

"Pro ... produser apa?"

Tangannya membeku. Ia hanya terus menatap [name]. Tepat di mata. Apa [name] di dunia ini ... tidak mengingatnya? Apa saat ini ia bukan siapa-siapa bagi [name]? Tapi apa yang ia harapkan adalah ....

"Maaf, aku benar-benar tidak paham."

Tangannya meluncur dari bahu yang sedari tadi dipegangnya. Pemilik bahu itu kembali berlari, ketakutan. Ia mengejarnya lagi. Jangan lupa, ia rela melintasi waktu hanya untuk menemui [name]. Ia sudah tidak bisa berhenti lagi.

Meski [name] dihadapannya berhenti medadak.

Menyadari hal yang sama akan terulang kembali. Menyadari bahwa cahaya terang itu berasal dari mobil yang tidak mempedulikan orang lain. Shiki mempercepat larinya. Berteriak. Meneriakkan nama [name] keras-keras. Hingga ia berhasil mendekapnya. Sebelum cahaya terang itu, menelan mereka bulat-bulat.

***

Suara detak jantung membangunkannya. Ah, ia masih hidup rupanya. Atau mungkinkah itu bukan detak jantungnya? Syukurlah, kalau begitu [name] bisa terbangun lagi. Ia sudah merasa senang jika takdir mereka tertukar.

Sayangnya tidak.

Matanya mengerjap ketika cahaya perlahan merambat masuk melalui kedua kelopak matanya. Pemandangan yang dilihatnya tetap sama. Malam sibuk Tokyo yang memikat, bunga carnation yang mekar dengan indah di pojok ruangan, dan wajah [name] yang ...

Yang ...

Yang tersenyum lembut kepadanya.

"Ah, bagaimana tidurmu, Takamura-san?"

Shiki hanya berkedip beberapa kali. Mengira ini adalah bagian dari mimpi. Meski ia tidak cukup bodoh untuk memastikannya dengan mencubit pipinya sendiri.

"Ini kenyataan?"

"Tentu saja, Takamura-san."

"Kau ... mengingatku?"

"Kecelakaan ini tidak membuatku amnesia, kok. Aku masih ingat semuanya. Tenang saja."

"Kau terbangun. Kau hidup. Dan aku juga ... masih hidup."

"Takamura-san baru saja bermimpi buruk?"

Ia mendesah berat. "Sepertinya begitu."

"Itu sudah tidak penting lagi, kan? Karena sekarang Takamura-san sudah terbangun."

"Ah, benar juga. Lagunya." Shiki menggali tumpukan kertas yang ia bawa. Menemukan coretan berharga yang ditulisnya sebelum ketiduran. Deretan not yang menciptakan melodi yang belum lengkap. Belum sempurna. Ia mencermatinya lagi, menambahkan bagian yang dirasa kurang dan mengganti bagian yang menurutnya bisa lebih baik lagi.

[Name] hanya tersenyum sambil mengamati Shiki yang tatapannya tidak tertuju padanya lagi. Menyadari tatapan [name], Shiki menatap balik.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Takamura-san lanjutkan saja. Kalau tidak salah, deadline-nya sebentar lagi, kan? Maaf. Karena aku, Takamura-san jadi tidak bisa pergi ke agensi. Takamura-san sedang sibuk-sibuknya mengurusi debut, kan? Lebih baik Takamura-san mengerjakannya saja tanpa memedulikanku. Aku sudah baik-baik saja."

"Tidak. Karena hal yang paling penting bagiku bukan pekerjaan ini."

"Jangan mengatakannya di depan kertas-kertasmu. Takamura-san."

"Shiki saja."

"Ah, kalau begitu, hal yang paling penting bagi Takamura-san--uh, maksudku Shiki-san--pasti musik, bukan? Benar juga, berarti waktu itu jawaban Shiki-san sebenarnya adalah 'aku lebih mencintai musik daripada apapun di dunia ini'. Namun karena tidak ingin menyakiti perasaanku,Shiki-san tidak mengatakan jawaban itu. Aku kekanak-kanakan sekali, menyatakan perasaanku tanpa berpikir terlebih dahulu."

"Kau."

"Aku? Ada apa denganku?"

"Hal terpenting dalam hidupku."

"Ah, aku tahu. Shiki-san ingin aku tetap menyanyi, kan? Shiki-san pernah bilang suaraku ini hal paling indah di dunia. Tenang saja. Setelah bisa keluar dari rumah sakit. Aku akan menyanyi la--"

Ucapan [name] terhenti. Sesuatu yang lembut membungkam kedua bibirnya. Ia bisa merasakan sedikit rasa kopi dari sana. Kedua kelopak matanya refleks menutup ketika iris keunguan yang menatapnya semakin dekat.

Seorang Takamura Shiki yang dimata orang lain hanya mencintai musik dan kerja, saat ini mencium [name] tanpa disangka-sangka oleh keduanya. Ciuman itu terasa bagai sihir yang sangat singkat. Hanya dua bibir yang bersentuhan. Namun hal itu telah berhasil membuat detak jantung [name] menari dalam irama yang terlalu cepat. Mewarnai pipinya dengan semburat merah.

"Bukan hanya suaramu. Seluruh bagian dari dirimu adalah hal paling berharga dalam hidupku. Inilah jawaban yang seharusnya kuberikan padamu malam itu, [name]. Aku juga mencintaimu."

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top