05 | penghuni perpus

Entah mimpi apa Juna semalam sampai-sampai kayaknya dia lagi menyerap kesialan orang sejagat raya hari ini. Karena sejak pagi buta hujan, Juna salah mengira hari masih kelewat pagi dan malah makin menenggelamkan diri di kasur padahal aslinya sudah siang banget.

Kakaknya kemudian datang dan membangunkan Juna dengan cara yang sumpah, bikin dia kelewat dongkol sampai sekarang. Ia tiba di sekolah pas-pasan bel masuk kelas dan nggak sempat sarapan.

Kesialan Juna pokoknya berbuntut panjang kayak monyet colobus. Pelajaran pertama Juna salah bawa buku sebab kovernya sama-sama hijau. Jam ketiga, Juna nyaris kena timpuk penghapus nyasar dan kena cipratan kemarahan guru sejarah gara-gara teman sebangkunya ribut. Pokoknya capek, mana dia lemes banget belum sempat makan.

Istirahat kedua, Juna beranjak ke perpus untuk mengembalikan buku LKS yang sempat dia pinjam sebelum guru datang. Niat numpang tidur bentar juga, sih, soalnya dia bete banget dari tadi nggak ada yang berjalan lancar buatnya. Siapa tahu habis tidur dikit dia ngerasa baikan.

Di koridor menuju perpustakaan, nggak ada banyak siswa yang terlihat. Yah, karena emang letak perpus ini agak terpencil, mepet ruang kebersihan dan gudang di ujung gedung kelas sepuluh, jadi, ya, sepi. Soalnya kebanyakan murid di jam segini kalau nggak di kantin atau kelas, pasti pada ngadem di bawah pohon dekat lapangan. Bagus, sih, jadinya Juna bisa istirahat sejenak dan bebas dari gangguan.

Waktu ia memasuki ruangan yang penuh dengan rak itu, Juna mendapati seseorang yang nggak dia sangka-sangka akan ia temukan di sana. Misel dengan jas OSIS yang pasti punya Candra-soalnya setahu Juna, sih, ini cewek nggak ikut OSIS, dan di antara temannya Misel, cuma Candra yang anak OSIS-lagi berdiri di depan meja administrasi perpus. Kayaknya baru mengembalikan buku. Waktu Juna mau nyamperin, itu anak udah bubar duluan menuju ke rak yang ada di sudut terjauh.

Juna nggak terlalu terpikirkan kenapa dia mengikuti langkah gadis itu setelah menyapa Ibu penjaga perpus dengan anggukan sopan. Itu terjadi begitu saja, dan saat ia melihat Misel lagi jinjit-jinjit di depan rak, dengan sebuah buku di ujung jarinya Juna nggak bisa buat nggak mendengus geli. Ia berjalan mendekati Misel, dan saat cewek itu menoleh, Juna sudah berdiri bersisian dengannya dan tanpa banyak usaha berarti, buku yang dimaksud Misel sudah ada di tangan Juna.

"Nih." Juna menyerahkan buku bersampul kuning itu ke Misel, yang kini menatapnya dengan alis berkerut dan tak kunjung menerima uluran benda di tangan Juna. "Kenapa?"

"Lo kayaknya hobi banget bantuin orang," kata Misel.

Sekarang Juna yang bingung. "Is that a bad thing, tho?"

Misel menggeleng. "Gue nggak mau ngambil itu buku, tapi ngembaliin ke tempat yang seharusnya."

"Hah?"

"Anyway, lo tinggi banget kayak titan."

" ... " Juna makin melongo di tempat.

Misel mendengus geli. "Karena lo hobi bantuin orang, tolong taruh lagi bukunya ke tempat tadi, ya." Habis itu, Misel beralih ke rak satunya dan mengambil satu buku di deret ketiga. Meninggalkan Juna yang tak mampu berkata-kata soalnya lagi malu sendiri gara-gara sok tahu.

Anjir, ini gue ketempelan setan kali, ya, sialnya awet banget kayak spidol permanen. Juna membatin nelangsa. Setelah bisa mengendalikan diri sehabis agak terguncang tadi, Juna buru-buru mengembalikan buku di tangannya ke tempat semula dan berjalan menuju sisi ruangan di mana kursi dan meja ditata dekat dengan jendela. Di sana Misel duduk sambil baca buku ketika Juna menghempaskan diri di depannya.

Karena Misel kelihatan serius banget dengan bukunya, terus seakan nggak terganggu dengan kehadiran Juna, ia jadi gentar buat memulai percakapan. Itu cewek beneran nggak terusik saat Juna perhatiin sampai ke judul dan nama penulis buku di tangan Misel. Into the Magic Shop by James R. Doty. MD. Sampulnya yang berwarna biru terlihat penuh kontradiksi, entah isinya tentang magic sesuai judul atau malah soal syaraf-syaraf manusia.

Juna nggak memikirkan lebih lanjut, sudah lebih dulu menyilangkan kedua tangan di atas meja dan sudah siap buat tidur siang seandainya cewek di depannya nggak tiba-tiba bersuara.

"Tumben lo ke sini."

Sejenak Juna memikirkan beberapa tanggapan yang tepat saat mendengar Misel berbicara duluan kepadanya, sebelum balik bertanya. "Emang lo sering ke sini?"

Misel menurunkan bukunya sejenak hanya untuk melihat Juna. Ia kemudian menaruh benda itu di atas meja, lalu menumpu kedua tangannya di dekat bukunya. "Kalau kepengen aja," katanya terus lanjut baca.

"Buku apa, sih?" Juna mengintip buku di atas meja. Tapi, mundur lagi saat melihat isinya menggunakan bahasa asing. Ia merasa akan sakit mata kalau melihatnya lebih lama.

Misel cuma melirik Juna yang memasang muka kayak gumoh. "Gue baru baca, belum bisa ngeringkas isinya soal apa."

Juna berdehem. "It seems that you like to read a lot."

"Book is my comfort thing ... maybe." Habis itu Misel tampak asik membalik-balik halaman bukunya. Seakan tadi dia nggak lagi ngomong sama siapa-siapa, dan Juna mendadak jadi debu micro super invisible.

Tapi, Juna nggak mencoba mengganggu lagi soalnya kalau kayak gini, ya, Misel kelihatan nyaman dengan dunianya sendiri. Mukanya adem dan rileks, nggak terdistraksi bahkan dengan keberadaan seenggok manusia segede Juna. Nggak seperti Misel yang selalu ia lihat di luar sana dengan wajah tanpa ekspresi dengan alis mengernyit persis orang lagi pusing, dan bakalan kayak kebingungan sendiri tiap jam olahraga seperti anak hilang.

Dan yang bikin Juna batal tidur, ya, itu. Misel kelihatan flawless banget apalagi sisi wajahnya yang terkena sinar dari luar jendela.

Juna salah fokus, dengan jarak sedekat ini, ia jadi leluasa melihat wajah cewek itu yang barely from her template expressions. Misel punya fitur muka yang bulat, tapi kalau rambutnya digerai kayak sekarang, wajahnya jadi kelihatan kecil. Apalagi ini anak habis potong rambut, kan. Lengkung matanya, hidung, dan bibir itu membentuk wajah Melvin-putra sulung Hadikusuma-dalam versi feminim. Juna pernah melihat lelaki itu di laman instagram forbes Indonesia kalau nggak salah.

Ia jadi teringat kata-kata Jo yang dikutip cowok itu dari teman sekelas Misel bahwa she's nothing compared to Mikayla Hadikusuma. Padahal, ya, nggak juga. Menurut Juna pribadi, Mikayla memang cantik yang betulan cakep kayak Dewika alias dewi kahyangan. Tapi, bukan berarti Misel jadi kurang dibanding Mika. Ini anak malah punya aura yang sama kayak tiap kali Juna mendengar cerita tentang Galuh Candra Kirana. Kayak gimana gitu, ya. Susah kalau dijelasin, mah.

Beberapa menit kayak gitu, akhirnya bel masuk kelas berbunyi. Misel kemudian mengalihkan perhatian dari bukunya yang mana bikin Juna terkesiap terus buru-buru menguap lebar. Padahal dalam hati sudah dugun-dugun takut ketahuan matanya lagi jelalatan.

Misel menutup buku itu lalu berkata, "Gue belum selesai baca kalau lo masih pengen tahu isi bukunya, sih."

"Mm-hm?"

"Tapi, ada beberapa kutipan bagus di bab awal yang gue suka." Misel berkata begitu. " ... people see only what they think is there rather than what's actually there. It sees what it expects to see."

Juna masih mencerna yang dikatakan Misel barusan saat cewek itu sudah beranjak dan kemudian berkata, "Ayo balik. Lo nggak niat bolos, kan?"

Gitu, deh, Juna tanpa bisa menyadari dirinya malah membuntuti Misel yang berjalan di depannya, bahkan ketika cewek itu berhenti di bagian administrasi perpus untuk meminjam buku tadi Juna juga ikutan diam. Mereka berjalan bersisihan menuju koridor kelas yang ramai oleh siswa yang kayaknya masih belum rela kembali ke kelas dan memilih nongkrong sejenak sebelum guru datang.

Di jalan, mereka ketemu Zidan. Cowok itu cengar-cengir datang dari arah berlawanan sebelum menyapa Juna, lalu beralih setengah memiting leher Misel yang tampak pasrah dan berakhir ikutan jalan bersama mereka. Misel jadi kelihatan jadi liliput di antara dua manusia tiang.

"Jas si Candra lo bawa aja dulu katanya. Lo, kan, nggak bawa jaket tadi pagi," kata Zidan.

"Oke. Bilang makasih, ya, ke dia."

"Eum. Tadi juga lo dicariin temen kelas lo, tuh." Zidan ngomong ke Misel setelah menusuk-nusuk pinggang cewek itu dengan telunjuk. Mukanya tengil nggak ketolong.

Padahal setahu Juna, Zidan ini punya image pure, kalem, dan di beberapa keadaan bisa menjadi dewasa kalau Candra sudah nge-reog. Ini adalah sisi seorang Zidan yang baru Juna lihat, dan itu karena Misel.

"Siapa?" Rambut Misel kelihatan mencuat sana-sini habis diterjang Zidan.

"Namanya Sho kalau nggak salah."

Juna nggak bisa buat nggak menoleh. "Sho?"

"Yoi. Lo kenal?"

Juna mau ngakuin temen, tapi, ya, gimana. Namun, akhirnya dia cuma mengangguk lemah. "Temen gue sejak SMP."

"Emang kenapa?" tanya Misel heran.

"Nggak tahu, pas gue tanyain anaknya udah ilang duluan te-"

"WI-I MEAN, MICHELIAAAA!"

Di depan kelas IPS 3, Sho dadah-dadah dengan berlebihan ke arah mereka. Untung banget anak-anak lain udah pada masuk kelas, kalau nggak, pasti mereka bakal jadi tontonan dadakan. Misel segera menghampiri Sho diikuti Zidan, dan Juna yang memelototi Sho soalnya tahu banget ini anak maunya apa.

"Sho, kenapa?" Misel bertanya.

Zidan yang notabene-nya anak IPA yang kelasnya ada di atas nggak beranjak. Itu cowok berdiri di samping Misel sambil menatap Sho dengan muka agak serius. Raut tengilnya tadi entah hilang ke mana. Hm, Juna bisa nebak kalau Zidan lagi nungguin Sho mengutarakan maksud dan tujuannya ke Misel. Such a protective friend. Juna paham. Soalnya dia juga bakal kayak gitu kalau sudah sama Sharon, bahkan sebelum ia sadar punya perasaan lebih ke cewek itu.

Aduh, malah mikirin itu cewek lagi.

"Misel! Gue cariin habis kelas lo langsung ngilang-oh wait, eh, Bro!" Sho menyapa Juna begitu sadar. "Kenapa lo di sini, nggak masuk kelas?" tanyanya pada Juna.

"Lo yang kenapa belom masuk kelas terus nyegat orang sembarangan kayak gini." Juna memutar bola matanya capek.

"Gue mau ngajak Misel kerja sama." Sho berkata dengan muka cemerlang. "Lo mau jadi guest star di konten vlog gue selanjutnya nggak?

Ada beragam ekspresi yang ditimbulkan oleh perkataan Sho barusan. Zidan yang sejenak nggak paham tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi saat bibirnya terbuka, itu tertutup lagi. Misel kembali dengan ekspresi stoic dengan kerut di dahinya, tampak nggak paham Sho ngomong apa. Juna sendiri sudah tepuk jidat tiga kali nggak habis pikir sama kelakuan ajaib temannya.

to be continued.

12/18/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top