Postlude; The Star

"Kashitarou tidak bisa datang, perutnya tiba-tiba mulas tadi pagi."

Itu adalah berita buruk di pagi hari pertama festival sekolah yang diucapkan sedemikian datarnya oleh Keiki, saat baru saja bertemu dengan ketiga temannya di ruang musik.

Padahal sudah sebulan ini latihan. Sudah susah payah memindahkan alat musik ke gedung olahraga. Sudah merajuk pada anak teater agar bersedia berbagi panggung. Jelas sekali raut kecewa ditampakkan mereka, terutama Mafumafu yang mengalah mendapatkan posisi gitaris, bukan vokalis seperti yang dia mau.

Atsuyuki tersenyum kecut. "Jadi bagaimana? Mau berhenti saja?"

"Tentu saja kita lanjutkan," tukas Amatsuki. Aura positifnya menguar, membuat semangat mereka sedikit memercik meski nyaris padam. "Tinggal tentukan siapa yang menyanyi."

"Mafu saja?"

Si albino ragu-ragu menggeleng, sedikit tidak rela. "Alergiku kambuh, hidungku umbelan gini."

Atsuyuki nyaris saja tergelak, tapi suara Keiki menyembunyikan tawanya. "Kalau begitu Amatsuki."

Terbiasa tampil di panggung dan menyanyi disaksikan banyak orang, adalah di mana tingkat kepercayaan diri Amatsuki terletak. Tanpa berpikir lebih lama, pemuda itu mengangguk. "Kita tidak punya banyak waktu, mau latihan sekarang?"

"Anak-anak klub teater sedang gladi resik di sana."

"Bagaimana dengan lagunya?"

"Kita tetap lakukan sama seperti saat latihan."

Amatsuki tampak menimang-nimang sesuatu, yang disadari ketiga temannya. Seolah kenal perangainya luar dalam, sejak setahun menghabiskan waktu dalam klub yang sama, ketiganya memberi tatapan yang berarti tanda tanya. Amatsuki tahu tidak mudah baginya menyembunyikan hal yang ingin dia sampaikan.

"Aku punya satu lagu yang ingin kunyanyikan."



⭐️




Gadis bersurai [h/c] mengembuskan napas kekecewaan, sejak beberapa menit yang lalu kehilangan jejak pemuda dengan senyuman bulan sabit yang dikaguminya. Dia sudah mengelilingi sekolah dan memeriksa ruang musik, tapi tidak didapatinya kehadiran si anak tetangga. Kini manik jernih [e/c] menelusuri gerbang depan sekolah yang mulai ramai. Mencari-cari di antara stan penjaja makanan di tepi jalan utama.

Tatapannya malah berseborok dengan sepasang netra akuamarin dan bertemu di satu titik yang sama. Senyum segera mengembang di wajah bulat yang ceria itu.

"[y/n]-chan! Ah, kupikir kamu hilang dari kelas tadi. Aku mau mengajakmu makan takoyaki yang kelihatan enak ini."

Mengabaikan Soraru yang sudah bosan menunggu antrean di tempatnya berdiri, si gadis pirang menghampiri [y/n] dan menarik lengan bajunya, seakan keduanya adalah teman yang begitu dekat. Padahal [y/n] hanya bicara pada Lon saat jam istirahat, itu pun untuk menolak ajakannya makan siang bersama.

"Maaf." Meringis, Soraru menundukkan kepalanya singkat kepada [y/n] yang terlihat bingung, sebab kawannya seenaknya menyeretnya. [y/n] hanya menggeleng samar, dengan pandangannya kembali menyapu keramaian.

"Setelah ini mau lihat apa? Lihat teater atau ke rumah hantu kelasnya Rib-san?"

"Aku ingin lihat Urata jadi Claudius."

Lon tertawa kecil. "Kamu tidak boleh meledeknya," ujarnya, mengatakan hal sungguh-sungguh di sela tawa.

Soraru hendak membuka mulut untuk membela diri sekaligus meluruskan maksudnya, namun urung saat beberapa orang melewati mereka diikuti desas-desus obrolan yang cukup lantang terdengar.

"Pertunjukkan kita jadi delay karena mereka."

Ketiganya menoleh ke asal suara. Itu adalah sekumpulan murid yang berkostum dengan membawa kotak-kotak berisi properti.

"Aku juga heran kenapa ketua kita mau berbagi panggung dengan anak-anak klub musik itu."

"Tapi setidaknya kita punya waktu tambahan untuk siap-siap."

Anak-anak itu menjauh, sementara Lon menoleh pada Soraru seraya mengerjapkan mata. "Teaternya delay," persis mengikuti kata-kata yang sembarangan ditangkap telinga.

Soraru mengangkat alis, yang gesturnya bagi Lon terbaca seperti, "Sudah kuduga Urata memang tidak cocok berperan jadi raja licik."

"Anak-anak klub musik itu maksudnya Mafu dan teman-temannya ya?"

"Eh? [y/n]-chan, mau ke mana?"

Tanpa menghiraukan panggilan Lon, gadis itu melangkah cepat menyusul rombongan murid itu dan meninggalkan dua teman sekelasnya di antrean.

Beruntung dia belum kehilangan jejak anak-anak itu. Berkat kostum yang cukup mencolok, [y/n] dapat menemukan mereka di antara murid berseragam.

Di dekat gedung olahraga, langkah [y/n] berhenti sementara memperhatikan mereka masuk. [y/n] memutuskan untuk melihat sekeliling, mencari cara agar bisa bertemu orang yang sejak pagi dicarinya tanpa terlihat mencurigakan. Gadis itu melompat-lompat di depan jendela, tapi percuma. Jendelanya terlalu tinggi untuk bisa dia jangkau.

Menoleh ke kanan dan kiri, [y/n] mendekati pintu gedung. Nyaris menyerah setelah mencoba mengintip melalui celah dan berakhir tidak melihat apapun. Akhirnya, sedikit nekat, [y/n] membuka pintu pelan-pelan.

Dari celah kecil yang dibukanya, sepasang netra [e/c] menangkap empat laki-laki duduk melingkar di tengah auditorium. Di antaranya, yang pertama kali dikenalnya adalah pemuda dengan surai cokelat dan sepasang manik rubi.

Sedikit kaget, [y/n] membalikkan badannya memunggungi daun pintu. Tak ayal, bibirnya menyunggingkan senyum.

Ketemu.




⭐️




"Yakin mau lagu ini?" Mafumafu menggaruk-garuk kepala yang padahal tidak gatal. Alis bertaut, matanya seolah menghakimi lembar tablature di hadapan. "Kelihatan susah."

"Mau ganti yang lain?" tanya Amatsuki, tidak keberatan kalau teman-temannya menolak lagu pilihannya.

Mafumafu menggeleng, lalu mulai mencocokkan setem gitarnya. "Kucoba dulu."

"Ah! Panas."

"Ayo semangat, Tanaka-kun," ucap Keiki, sedatar biasanya, tanpa kehilangan fokusnya mempelajari melodi keyboard dari earphone di sepasang telinganya.

Atsuyuki sudah merebah di lantai, tangan dibiarkan terlentang. "Jangan panggil aku seperti itu."

Sementara Amatsuki memperhatikan air muka kawannya satu persatu. Sedikit merasa tidak enak melihat mereka memaksakan untuk mengikuti permintaannya. Belum lagi keempatnya mendapat posisi yang tidak menguntungkan, sebab jadwal tampilnya menjelang sore, di mana euforia festival sudah mereda, baik bagi seluruh murid sekolah maupun mereka.

Hampir saja Amatsuki kehabisan cara untuk menyemangati teman-temannya, saat dia mengedar pandang ke seluruh sisi auditorium dan menangkap sesuatu di jendela di dekat sepasang pintu masuk. Sesuatu yang melompat-lompat.

"Kalian mau kubelikan minum?" tawar Amatsuki, tanpa mengalihkan tatapannya pada jendela.

Kalimatnya membuat ketiga temannya menoleh, tapi kemudian saling pandang dengan melempar tanda tanya satu sama lain. Sebab Amatsuki segera beranjak tanpa mendengar respons siapapun.

Tidak ingin kehilangan apa yang dia pikir hanya bayangan atau salah lihat, Amatsuki mendekati pintu, lalu membukanya—tepat saat seorang gadis berjengit pelan, kehilangan tempat sandaran punggung dan nyaris jatuh terjengkang.

Beruntung, sebelah kakinya segera mengambil satu langkah ke belakang dan menyangga tubuh, sebelum Amatsuki sempat menjulurkan tangan untuk menahannya dari benturan lantai.

"[y/n]?"

Merasa terpanggil, gadis itu lekas berbalik dan segera bertemu tatap dengan pemilik manik sewarna batu rubi.

Kontak mata singkat itu mengingatkan Amatsuki tentang sebuah perasaan lama. Tepatnya sebulan lalu, di ruang musik pada sore hari, ketika pandangannya bersinggungan dengan sosok gadis yang menatapnya dari balik jendela.

"A-aku cuma sedang lewat sini!"

Senyum Amatsuki melebar, nyaris melepas tawa. Sudah tertangkap basah tapi masih beralasan. Alasan yang sama pun masih belum mengubah apapun, bahkan getaran yang nyaris samar di rongga dada.

"Oh, aku sedang latihan band di sini."

"A-ah begitu. Aku tidak akan mengganggu, kok! Aku, aku mau menyusul Lon-san di stand takoyaki, hehe, sampai jumpa."

Sudah siap mengambil langkah seribu dan menyembunyikan malu, tapi [y/n] tertahan di dua langkah pertamanya karena Amatsuki sekali lagi memanggil namanya. "[y/n], um, boleh titip minum?"

Terpaku dengan kikuk di tempat, si gadis mengangguk. "Boleh."

"Empat botol, ya."

"Mau minum apa?"

"Terserah kamu saja."

Kata terserah itu, ketika Amatsuki yang mengatakannya, terdengar seperti dia mempercayakan pilihan terbaiknya. Sederhana dan sepele, tapi mendengarnya membuat hati kecil [y/n] senang. Sekali lagi, kepalanya mengangguk.

"Hati-hati."

Yang Amatsuki saksikan sebelum gadis itu membalikkan punggungnya adalah semburat merah di pipi, tersembunyi di balik surai-surai [h/c].

Tanpa sadar, Amatsuki menyunggingkan senyum—yang bukan ditujukan kepada siapapun.

"Lucu."

Dari dalam auditorium, Atsuyuki yang bingung memperhatikan kawannya sambil menyikut Mafu di sampingnya. "Jadi dia niat membelikan minum enggak, sih?"







Lari tergesa seperti dikejar maut, [y/n] merasa itu adalah lari terpanjang dalam hidupnya. Padahal dia hanya kabur ke lapangan sekolah.

Kedua tangan menangkup pipi yang memanas. Cuacanya memang sedang panas. Ya, pasti itulah kenapa dia berkeringat di sekujur dahi dan leher. Tapi kenapa jantungnya masih belum berhenti berdetak terlalu cepat, meski napasnya sudah tidak lagi memburu.

"Ah, apa ini," keluhnya, tidak paham kenapa jatuh cinta harus begitu melelahkan.

Sekarang, sebelum melupakan tujuan awalnya, [y/n] menegakkan badan dan mulai mencari-cari penjual minuman di antara keramaian.

Lapangan yang penuh dengan banyak orang yang berkerumun dalam kelompoknya masing-masing dan suasana bising di hadapannya sedikit membuat [y/n] kalut. Dia tidak pernah suka keramaian. Andai disuruh memilih, dia lebih suka pulang ke rumah yang jaraknya dua stasiun untuk minum daripada harus berkumpul dengan banyak orang dalam antrian.

Tapi ini untuk Amatsuki. Jemarinya diremas dalam kepalan tangan, tekad pun bulat.

Sambil memperhatikan tulisan berupa menu yang tergantung di atas tenda, [y/n] mendekati satu yang kelihatannya menjual air kemasan. Di antara pembeli lainnya, gadis itu melihat sekeliling sampai gilirannya dilayani.

"Halo, selamat datang di warung 12-C. Apa yang mau kamu beli?" sapa si penjual, yang merupakan kakak kelas itu, dengan ramah meski wajahnya tidak terlihat demikian.

[y/n] baru saja hendak menyuarakan pesanannya, ketika sebelah bahunya tersenggol sesuatu dan mendorongnya ke samping.

"Hei! Kau tidak apa-apa?"

Bukan hanya terjatuh, tapi dia juga menyenggol meja dan menyebabkan mangkuk-mangkuk yakisoba berserakan. [y/n] tidak yakin kalau dia baik-baik saja.

"Maaf!" Panik, orang yang menyenggolnya segera mengulurkan tangan.

"Kony! Makanya hati-hati," seru dua temannya yang menghampiri, hanya untuk kemudian melangkah mundur pelan-pelan. Sebuah gestur pura-pura tidak tahu dan tidak ingin terlibat. Karena saat Kony sedang sibuk membantu [y/n] berdiri, kakak kelas terlihat begitu marah menyaksikan barang dagangannya berhamburan di tanah.

[y/n] tidak kaget ketika kakak kelasnya meledak dan menyuruh mereka membereskan kekacauan. Dia hanya malu karena beberapa orang sengaja menghentikan langkah hanya untuk menonton mereka.

"Cepat bersihkan!" serunya galak.

Menggumamkan kata iya yang nyaris tak terdengar, dua murid malang itu mulai melakukan tanggung jawabnya, membungkuk dengan serok dan sapu di tangan. Kony diam-diam mencuri pandang pada kakak kelas sambil membatin sumpah serapah, sebelum akhirnya kembali menunduk saat pandangan kakak kelas itu mengawasinya lagi.

Kony beringsut mendekati [y/n] yang sungguh-sungguh di sampingnya. "Maaf, ya, kamu jadi kena imbasnya."

Gadis itu hanya menggeleng. Lagipula, Kony mungkin akan kewalahan kalau membersihkan semuanya sendirian. Hitung-hitung bantu orang, pikirnya.

"Omong-omong, kamu [y/n] yang sekelas sama Amatsuki, ya?"

Pertanyaan itu sontak membuat [y/n] menoleh dengan raut kaget dan bingung. "Tahu dari mana?"

"Amatsuki sendiri yang cerita," ujarnya kalem.

Sedangkan si gadis yang mendadak kegirangan berusaha untuk tidak tersenyum mendengar ucapannya, menunduk lagi. "Ah, begitu."

"Kalian dekat, ya?"

"Dia tetanggaku."

"Oh, pantas saja aku sering lihat Amatsuki pulang sama kamu. Kukira kalian pacaran."

Diucapkan sedemikian polosnya oleh lelaki inosen itu, mau tak mau membuat telinga [y/n] memerah. Berusaha mencari kata-kata yang pas untuk meresponsnya, tapi tidak ada lagi yang keluar dari bibir gadis itu selain sebuah tawa canggung.

"Oh, kita tinggal membuang sampah-sampah ini, kan?" Setelah mengumpulkan hasil kekacauannya dalam sebuntal plastik, Kony mengangkatnya. "Biar aku saja."

[y/n] tidak bisa berhenti memperhatikannya. Teramat ingin membantu, hanya untuk mengekorinya ke tempat pembuangan di belakang sekolah. Dia tidak mau berlama-lama di sekitar kakak kelas galak. Makanya, ketika Kony pergi, [y/n] buru-buru mengikuti langkahnya.

"Kubilang aku saja yang melakukannya," tegur Kony saat dia menyadari [y/n] di belakangnya. "Duluan saja."

"Ah, terima kasih." Gadis itu membungkuk, membiarkan pemuda bersurai cokelat terang itu melanjutkan langkahnya.

Tidak ingin menghadapi masalah yang sama, [y/n] memutuskan untuk tidak kembali mendekati keramaian di tenda-tenda penjaja makanan. Gadis itu memilih untuk mendekati vending machine di dekat gedung sekolah. Memasukkan sejumlah koin, [y/n] menekan tombol empat kali selagi memunduk; memperhatikan empat buah botol keluar dari kotak kecil di bawah.

Harusnya begini saja dari tadi.







"Ah, deg-degan."

Ketiga kepala menoleh pada Keiki, yang ekspresinya tidak sesuai dengan kalimatnya barusan.

Amatsuki dan rekan setimnya sedang berada di belakang panggung, persis di menit-menit terakhir sebelum pertunjukan mereka. Berawal dari ide iseng yang dicetuskan mendadak, akhirnya mereka sampai di sini.

"Sebenarnya aku tidak ingin bilang ini, tapi Kashi-san tidak datang ada faedahnya juga."

Mafumafu dan Atsuyuki tergelak, seketika lupa dengan grogi yang menggerogoti perut, lepas menjadi tawa ringan. Sementara itu, Amatsuki tidak hentinya menoleh ke pintu yang menghubungkan backstage dengan koridor auditorium, menduga-duga kehadiran seseorang.

Kedua matanya membulat dan lengkungan bulan sabit terbit di bibir, saat menyaksikan wajah yang menyembul dari balik pintu, melongok ke dalam ruangan kecil itu.

"Amatsuki!"

Panggilan itu seketika disambut riang olehnya. Amatsuki menghampiri [y/n] yang segera menyerahkan botol-botol di tangan, sedangkan tiga kepala lainnya menoleh.

"Ini juga untuk kalian," ucap [y/n] sembari membagikan botol kepada masing-masing di antara semuanya, tak lupa menatap mereka satu persatu. "Semoga sukses penampilannya."

"Terima kasih!" Atsuyuki berujar senang, sedari tadi ingin sekali membasahi kerongkongan yang kering. Matanya melirik Amatsuki yang balas tertawa hambar. "Maaf juga karena Amatsuki malah merepotkanmu."

"[y/n]-san datang untuk menonton kami, kan?" tanya Mafu.

Anggukannya kecil [y/n] lagi-lagi menyebabkan kedua sudut bibir Amatsuki terangkat. Lamat-lamat ditatapnya manik sewarna [e/c] yang saat itu, akhirnya, tidak menolak untuk bertemu pandang. "Nanti lihat penampilanku, ya."

Jawabannya tentu saja, "Iya."

Mendengarnya, Amatsuki merasa sedikit tenang. Secuil gugup yang sedari tadi disembunyikan perlahan sirna. Dia berbalik menghadap teman-temannya, mengangguk mantap. "Kita ramaikan panggungnya."

Dibalas seruan Atsuyuki, Mafumafu, dan Keiki yang saling mengangkat tangan.

Seorang murid yang berjaga di tepi pintu yang mengarah pada panggung menghampiri mereka. "Oke, segera masuk panggung setelah musiknya berhenti."

Keempat anak itu mengangguk mendengarkan arahan panitia. Tak lama kemudian, lampu sorot panggung sedikit meredup dan musik yang menggema di sana kian melirih. Memberi tanda saatnya mereka tampil; pertama kalinya sebagai sebuah band, disaksikan banyak orang.

Sebelum punggung pemuda itu menjauh, [y/n] sekali lagi menggapainya dengan panggilan kecil.

"Amatsuki."

Setiap mendengarnya, Amatsuki tahu kepada siapa pandangannya harus bertemu.

"Ya?"

Itu adalah sebuah senyum manis, senyum yang hangat berpendar di belakang panggung yang remang. Mengingatkan Amatsuki tentang sinar bintang terterang di langit, pada malam hari, yang ditemukannya saat berjalan pulang bersama gadis yang dia sukai.

"Semangat."

Fin ⭐






a/n

halo! kaget nggak ternyata crescent ada sekuelnya? gimana, gimana, apa rasa suka kamu pada amachan semakin bertambah ( ˙ ︶ ˙ )

pertama-tama, author minta maaf karena menyisipkan banyak pairing kesukaan pribadi di sini huhueheuehe /tertabok/

terus sekadar info: atsuyuki dan keiki itu drummer dan pianis honeyworks. atau kamu sudah sadar dari awal? kalo iya, selamat, kamu benar!

semoga reader-chan puas dengan sekuel ini. kalo nggak puas, sana halu sendiri /tertabok (2)/

sekian!






Amatsuki menatap ke hadapannya, kepada puluhan pasang mata yang melihatnya. Di antara wajah-wajah penasaran itu, dia berhasil menemukan yang dicarinya.

Gadis itu.

Ketika pandangannya dengan [y/n] bertemu, Amatsuki tersenyum tipis.

Dia seperti kejora di antara ribuan konstelasi.

Dan untuknya, Amatsuki bernyanyi.

[the star]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top