Nightmare 51: Resort (7-8-9)

"Penginapan"

cr: mengakubackpacker.blogspot.com

####~'

Resort 7:

"Apa?" aku menoleh dan melihat sebuah mobil kecil mengikuti taksi kami. Benar, itu memang mobil dari penginapan. Mengapa mereka mengikuti kami?

Mobil itu semakin dekat dan kami bisa melihat Ryuichi melambai dari kursi depan. Kami berpikir apa mungkin kami meninggalkan sesuatu di penginapan dan meminta sopir taksi untuk berhenti. Ryuichi berhenti tepat di samping mobil kami dan menghampiri kami.

"Kalian tak bisa pulang begitu saja!" katanya.

"Kami takkan pulang," jawab Shoji, "Kami tak bisa pulang dengan keadaan seperti ini!"

Mereka sepertinya mampu memahami perkataan satu sama lain, namun aku dan Takumi kebingungan. Kami tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

"Hei, apa yang kalian maksudkan?"

"Kalian naik ke sana, kan?" ia menatap langsung ke mataku.

Jantungku berdetak sangat kencang. Bagaimana ia bisa tahu? Aku merasa sangat takut. Aku merasa seperti ketahuan telah melakukan sesuatu yang sangat buruk.

"Ya." aku menjawab dengan jujur.

Ryuichi menghela napasnya, "Jika kalian pergi seperti ini, kalian hanya akan membawa-nya bersama kalian. Kenapa kalian harus naik ke atas sana? Seharusnya aku dengan tegas melarang kalian untuk naik ke sana."

Apa yang ia maksud? Membawanya bersama kami? Tapi, bukankah kami sudah mengakhirinya dengan pergi dari tempat itu?

Aku mulai cemas dan menatap Takumi. Namun ia sama cemasnya dengan kami. Ia menatap Shoji dan Shoji akhirnya berkata.

"Tak apa-apa, teman-teman. Kita akan diruwat. Kita akan membicarakannya ketika kita sudah sampai di sana."

Diruwat ? Semacam upacara? Aku tak mempercayainya. Apa kami kerasukan? Apa aku akan mati? Sial...sial! kenapa aku harus naik ke sana? Jika kami memang tak boleh naik sana, seharusnya sejak awal mereka mengatakannya kepada kami!

Perkataan Shoji sama sekali tak membuat Ryuichi terkesan.

"Upacara penyucian?" tanyanya.

"Ya." jawab Shoji dengan singkat.

"Kau bisa melihatnya, ya kan?" tanya Ryuichi lagi.

Shoji terdiam.

"Tunggu, apa yang kau lihat!" Takumi menuntut penjelasan.

"Maafkan aku, tapi tolong jangan tanyakan itu padaku."

Tanpa berpikir, aku segera meraih Shoji dan mengguncang-guncangkan tubuhnya, "Demi Tuhan! Apa yang terjadi! Katakan pada kami!"

Ryuichi berusaha memisahkan kami, "Hei, hentikan! Seharusnya kalian berterima kasih kepadanya."

"Tapi ia tak mau mengatakan apa yang terjadi! Kami berhak tahu!" emosiku mulai meninggi.

"Kalian beruntung kalian tak bisa melihatnya." seru Ryuichi, "Justru Shoji yang dalam masalah sekarang."

Mendengarnya, wajah Shoji berubah pucat.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Aku yang naik ke sana, bukan dia!" seruku.

Ryuchi menjawab, "Kalian berdua tidak melihatnya kan?"

"Kalian terus berbicara tentang melihatnya dan tidak melihatnya. Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?" tanyaku.

"Aku tak tahu." hanya jawaban itu yang meluncur dari mulut Ryuichi.

"Apa?" teriakku. Bagaimana ia bisa mengatakan hal seperti itu sementara nyawa kami mungkin terancam?

"Aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun ...." Ryuichi menatap Shoji, "Walaupun kalian mendapat upacara penyucian, aku pikir itu takkan banyak membantu."

"Kenapa?" Shoji bertanya dengan tatapan penuh keraguan.

"Sesuatu seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Hanya itu yang bisa kukatakan."

"Tidakkah ... tidakkah kita bisa mencoba? Siapa tahu itu bisa berhasil?" Shoji bersikeras.

"Ya, kalian bisa saja mencobanya. Namun jika itu tak berhasil, apa yang akan kalian lakukan?"

Shoji tak mampu menjawabnya.

"Begitu kau melihatnya, maka hal itu akan akan terjadi sangat cepat."

Aku sama sekali tak paham apa yang dimaksudkannya datang dengan cepat, namun begitu mendengarnya, Shoji langsung menangis. Takumi dan aku hanya berdiri di sana, tak tahu harus berbuat apa.

Merasa ada sesuatu yang terjadi, sang sopir taksi membuka jendela mobilnya dan memanggil kami, "Apa semuanya baik-baik saja?"

Kami tak mampu menjawabnya. Shoji sudah ambruk di tanah, berlutut sambil menangis. Ryuichi-lah yang kemudian berbicara dengan sopir itu.

"Maaf sudah membawa anda sejauh ini, namun bisakah anda menurunkan mereka di sini saja?"

"Hah? Tapi ..." ia menatap ke arah kami, tak yakin dengan apa yang harus ia lakukan. Ryuichi tak mengindahkan tangisan Shoji dan berbicara kepadanya.

"Kalian tahu kenapa aku sampai mengejar kalian sampai ke sini? Aku mengenal seseorang yang tahu mengapa ini semua terjadi. Aku ingin membawa kalian kepadanya sehingga ia bisa membantu kalian. Kita tak punya banyak waktu. Kumohon, percayalah kepadaku!"

"Ba ... baik ..." Shoji masih terisak. Tampak ia seakan-akan menanggung beban yang sangat berat sendirian di pundaknya. Semenjak kami mulai bersahabat, tak pernah aku melihatnya menangis seperti ini. Mendengarnya menyetujui saran Ryuichi, akupun berbicara dengan sang sopir taksi.

"Maaf, tapi sepertinya kami akan turun di sini saja. Berapa ongkosnya?" setelah membayar, kami masuk ke dalam mobil Ryuichi. Takumi dan aku duduk di bak belakang, sementara Shoji duduk bersama Ryuichi di kursi depan.

Ryuichi melajukan mobil ini secepat setan. Baik aku dan Takumi ketakutan, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan kami alami setelah ini.

Aku tak tahu berapa lama kami berkendara, namun sepertinya sangat jauh. Yang kuingat, ketika sampai, punggungku terasa sangat sakit.

Kami akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang tampak sangat normal. Di samping rumah itu berdiri sebuah torii (gerbang kuil) kecil dan tangga batu. Kami berjalan ke rumah itu dan Ryuichi menekan belnya. Setelah beberapa lama, seorang wanita keluar menyambut kami. Ia terlihat masih muda, sekitar 20 tahun.

Ia meminta kami masuk dan mengajak kami ke sebuah ruangan bergaya Jepang di bagian lain rumah tersebut. Di ruangan itu, duduk seorang biksu, seorang pria paruh baya, dan seorang lelaki tua. Ketika kami masuk, sang pria tua mulai berkomat-kamit.

Biksu itu hanya menatap kami ketika kami datang.

"Duduklah!" perintah biksu itu. Kamipun duduk dan Ryuichi duduk di samping kami.

"Ini tiga anak yang saya ceritakan kemarin ..."

"Tunggu!" tiba-tiba sang biksu menyetop perkataan Ryuichi saat ia memperkenalkan kami.

"Apa kalian yakin kalian tak membawa orang lain?" tanya sang biksu sambil memperhatikan lekat-lekat pintu geser kertas yang ada di samping kami.

~~~'

Resort 8:

Aku menoleh, dan tetap, aku tak melihat apapun di balik pintu kertas itu. Namun aku memperhatikan raut wajah Shoji amat ketakutan.

Biksu itu menoleh ke arah kami, "Jadi mana anak yang katamu bisa melihat mereka itu?"

"Shoji, anak ini." ketika Ryuichi mengatakan hal itu, pria paruh baya dan pria tua itu saling menatap satu sama lain.

Sang biksu kemudian berbicara.

"Apa dia juga yang masuk ke dalam kuil?"

"Tidak." Ryuichi menggeleng, "Itu adalah Yuuki."

"Hmm..." hanya itu yang bisa dikatakan biksu itu.

"Shoji hanya di luar dan hanya mengamati, kurasa." sambung Ryuichi.

"Begitukah?" biksu itu terdiam sesaat lalu berbicara dengan Shoji, "Apa ini kali pertamanya kamu mengalami hal seperti ini?"

"Mengalami hal seperti ini?" ia bertanya, tak yakin dengan apa yang dimaksud biksu itu.

"Ya, melihat roh atau hal-hal seperti itu."

Shoji mengangguk, "Ini kali pertamaku."

"Jadi begitu? Hmm...ini cukup aneh."

"A...." Shoji tampak hendak berbicara dan semuanya menoleh ke arahnya.

"Bicaralah." kata sang biksu.

"Apa aku akan mati?" ia tampak bergetar saat mengatakannya.

"Ya," sang biksu menjawab tanpa tedeng aling-aling, "Jika ini terus berlanjut, kau pasti akan mati."

Shoji kehilangan kata-kata. Gemetarnya berhenti seketika dan kepalanya menunduk.

Melihatnya, Takumi langsung berbicara, "Apa maksud anda dengan dia akan mati?"

"Maksudku ia akan dibawa pergi," sang biksu menjawab. Takumi dan aku masih tak mengerti dengan apa yang ia maksud. Sesuatu akan membawa Shoji pergi?

Sang biksu melanjutkan perkataannya,

"Aku tak terkejut kalian tak memahami perkataanku." Ia berpaling kepadaku, "Yuuki, ketika kamu masuk ke dalam kuil, apa kamu merasakan ada yang aneh?"

Kuil? Aku mengasumsikan yang ia maksud adalah lantai kedua hotel itu.

"Aku mendengar sesuatu. Suara garukan dan ada suara napas yang aneh. Ada banyak jimat menancap di pintu ..."

"Begitu," kata sang biksu, "Kamu mungkin tak menyadarinya, namun yang tinggal di sana bukanlah manusia."

Aku tak terkejut. Aku sudah menduganya sejak awal.

"Aku percaya bahwa kau dapat merasakan keberadaan mereka dengan indra pendengaranmu. Sedangkan Shoji, temanmu, bisa merasakan mereka lewat indra penglihatannya." biksu itu menjelaskan, "Biasanya manusia tak mampu merasakan mereka. Mereka tinggal di suatu tempat, tanpa ada yang memperhatikan, meringkuk dalam kesunyian.

"Shoji," ia berpaling ke temanku itu, "Apa kau melihatnya sekarang?"

"Tidak, namun aku bisa melihat bayangannya," ia menoleh dengan gugup, menatap pintu geser kertas yang berada di samping kami. "Ia mencakari pintu dengan sangat keras."

"Ia tak bisa masuk. Aku melindungi tempat ini, namun tetap saja ia berusaha menghancurkan pelindung itu." Ia berhenti beberapa saat sebelum kembali melanjutkan, "Tapi kalian tak bisa tinggal di sini selamanya. Aku akan meminta kalian pergi ke suatu tempat. Dan Shoji, kau harus mengerti ... mereka akan mencoba muncul kembali di hadapanmu. Aku sadar ini akan sangat sulit bagimu. Namun kau harus tetap tenang dan mengikuti apapun perintahku."

Shoji hanya mampu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kami mengikuti biksu itu dan meninggalkan rumah yang melindungi kami. Kami berjalan masuk ke torii dan menaiki tangga batu itu ke atas. Ryuichi hanya mengikuti kami sampai ke luar rumah. Ia kemudian membungkuk dan meninggalkan kami di tangan biksu itu.

Merasa ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang kami kenal, kami bertiga mengikuti biksu itu dengan enggan. Shoji terlihat sangat lelah dan ketakutan. Berupaya melindunginya, aku dan Takumi berjalan sambil mengapitnya. Kami berusaha sebisa mungkin menjaganya dari apapun yang ia lihat.

Begitu kami sampai di anak tangga terakhir, kami melihat sebuah kuil besar. Namun mengejutkan bagi kami, biksu itu tidak membawa kami ke sana; melainkan melewati sisi kanan kuil tersebut dan terus berjalan. Di sana terdapat sebuah torii lain dan tangga-tangga batu menuju ke atas. Namun sebelum kami tiba di bawah gerbang itu, sang biksu berbicara pada kami.

"Shoji, apa yang ia lakukan sekarang?"

"Ia berdiri ..." Shoji berkata, masih melihat ke sekeliling, "Ia selalu mengawasi dan mengikuti kita, kemanapun kita pergi."

"Hmm... dia sudah berdiri? Dia pasti sangat bersemangat karena kau bisa melihatnya." Biksu itu menjelaskan, "Kita sudah tak punya banyak waktu. Ayo, cepat!"

Ketika kami selesai menaiki anak-anak tangga tersebut, kami melihat kuil lain. Kuil ini lebih kecil, namun umurnya terlihat lebih tua daripada kuil yang ada di bawah tadi. Biksu itu berjalan ke bagian belakang kuil kemudian memanggil kami. Kami berjalan ke tempat dimana ia berdiri dan ia menjelaskan bahwa kami harus menghabiskan malam ini di dalam kuil untuk membersihkan diri kami dari apapun yang mencoba menempel pada kami. Begitu kami masuk, ternyata tak ada satupun sumber penerangan dan kami juga dilarang berbicara sepatah katapun hingga fajar tiba.

"Tentu kalian juga tak boleh menggunakan telepon genggam kalian juga." Sang biksu menjelaskan, "Semua yang menghasilkan cahaya tidak diperbolehkan di dalam kuil ini. Aku juga melarang kalian untuk makan dan tidur selama kalian berada di dalam kuil."

Ia memberikan kepada kami masing-masing sebuah kantong aneh dan mengatakan pada kami untuk menggunakannya apabla kami benar-benar membutuhkannya. Aku menatapnya lekat-lekat. Kantung ini untuk apa? Sebelum aku bertanya, biksu itu seakan sudah bisa membaca pikiranku dan menjelaskan bahwa kantong itu tahan air. Aku pikir itu adalah toilet kami untuk malam ini. Memang sukar dipercaya, namun kami terpaksa menerima semua peraturan yang diberikan kepada kami.

Setelah biksu itu selesai menjelaskan, kami diminta untuk meneguk air dari sebuah pipa bambu sebelum kami masuk ke dalam kuil.

Kami masuk ke dalam kuil satu-persatu, namun ketika Shoji masuk, ia menutup mulutnya tiba-tiba dan keluar untuk muntah. Takumi dan aku terkejut, namun ada yang lebih terkejut daripada kami. Biksu itu. Ia segera kehilangan postur tenangnya begitu melihat apa yang terjadi pada Shoji.

"Kalian tidak pergi ke kuil itu lagi hari ini, bukan?"

"Hah, tidak...tentu tidak." jawabku.

"Aneh. Kalian hanya masuk sekali, namun upacara pembersihan langsung dimulai begitu kalian masuk. Bahkan kalian tak bisa masuk ke dalam kuil ini..."

Aku tak mengerti apa yang biksu itu katakan, namun ia menatap tas yang dibawa Shoji.

"Selama kalian tinggal di hotel, apa seseorang pernah memberikan kalian sesuatu?"

"Kami mendapat upah kami, namun hanya itu."

Kemudian barulah kami teringat, "Oya, nyonya pemilik penginapan memberikan kami sebuah tas uang koin kecil."

"Dan onigiri." sahut Takumi.

Setelah mendengar hal tersebut, biksu itu bertanya pada Shoji, "Apa kau kebetulan membawa benda-benda itu?"

"Aku meninggalkan onigiri itu di tasku yang lain, namun kurasa aku punya uang koin dan amplop berisi upah kami." Ia membuka tasnya dan mengeluarkan amplop dan tas uang koin yang kami terima. Sang biksu mengambil tas kecil itu dan membukanya.

Semula aku berpikir tas itu akan berisi uang-uang koin sebagai bagian dari upah kami.

Namun ketika ia membukanya dan memperlihatkan isinya pada kami, kami langsung mundur dengan ketakutan.

Tas kecil itu berisi potongan-potongan kuku, sama seperti potongan kuku yang menggores kakiku kemarin. Kuku-kuku berwarna putih dan merah.

Shoji muntah lagi dan biksu itu memutuskan untuk mengambil semua barang yang kami bawa. Kami memberikannya dompet, telepon genggam, dan benda lainnya yang kira-kira kami dapatkan dari hotel. Biksu itu mengangguk pada kami dan membiarkan Shoji minum dari pipa bambu itu kembali.

Kami bertiga masuk kembali ke dalam kuil.

"Kalian tak boleh membuka pintu ini," kata sang biksu, "Aku akan berada di kuil utama. Aku akan kembali menjemput kalian esok pagi."

Ia berhenti sesaat dan menatap kami.

"Kalian tidak boleh berbicara pada apapun yang mungkin akan datang dari balik dinding. Kalian tak boleh berbicara satu sama lain juga. Kam tidak mengatakan pada siapapun dimana kalian berada, jadi tidak akan ada siapapun yang datang untuk kalian malam ini, ingat itu! Aku akan berdoa bagi keselamatan kalian."

Biksu menatap kami lagi dan kami mengangguk ke arahnya. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Kami sudah tidak diperbolehkan berbicara, sehingga kami hanya diam, ketakutan.

Biksu itu meninggalkan kami dan menutup pintu kuil itu rapat-rapat.

~~~''

Resort 9:

Terasa sangat dingin di dalam kuil. Aku khawatir dengan syarat tak boleh makan dan minum, namun aku merasa percaya diri kami bisa bertahan untuk malam ini.

Bangunan itu sendiri sudah amat tua dan banyak celah-celah di dinding dimana papan-papan kayu bertemu. Kuil juga amat kecil.

Karena masih siang, aku masih dapat melihat wajah Takumi dan Shoji lewat cahaya yang masuk melalui celah-celah di dinding kayu. Ini pertama kalinya kami tidak saling berbicara meskipun kami berada sangat dekat satu sama lain.

Aku mengangguk untuk mengatakan, "Segalanya akan baik-baik saja." Dan mereka mengangguk balik.

Setelah beberapa lama, kami berhenti saling menatap satu sama lain dan berakhir saling membelakangi. Frustasi pada kenyataan kami tak boleh saling berbicara, waktu berjalan sangat lambat. Kami tak mengetahui berapa lama kami di sini atau jam berapa sekarang. Yang dapat kami lakukan hanya duduk di sini dan menunggu dalam kebingungan.

Kami serasa menunggu sangat lama, namun masih terang di luar sana. Takumi mulai mengeluarkan suara. Heran dengan apa yang ia lakukan, aku menoleh untuk menyuruhnya diam. Ternyata ia memegang sebuah pena dan menghadapkan seutas kertas ke arah kami.

Ia tak mengindahkan apa yang dikatakan sang biksu dan membawa pena ke dalam. Kertas yang ia tunjukkan kepada kami adalah bungkus permen karet. Mungkin benda itu ada di sakunya selama ini.

Apa yang kau lakukan?

Aku memikirkannya beberapa saat. Biksu itu memang hanya melarang kami berbicara, bukan menulis, jadi sepertinya ini tak ada salahnya. Bagaimanapun aku merasa lega kami masih bisa berkomunikasi.

Aku membaca apa yang ditulis Takumi di kertas itu.

"Apa kalian baik-baik saja?"

Aku mengambil pena itu dan menulis sekecil mungkin,

"Aku baik-baik saja. Shoji?"

Aku memberikan kertas itu padanya dan ia menulis, "Aku baik-baik saja juga. Aku sudah tak mampu lagi melihat mereka."

Ia kemudian mengembalikan kertas dan pena itu pada Takumi. Kami kemudian terus menggunakannya untuk berkomunikasi satu sama lain.

"Aku masih punya 4 lagi bungkus permen karet," Takumi menulis, "Semoga ini cukup. Tulislah sekecil mungkin."

"OK" aku setuju, "Kita tak akan bisa melakukannya saat matahari terbenam, jadi ayo kita menulis selagi bisa."

"Apa kalian tahu jam berapa ini?" Takumi menulis.

"Tidak." Aku menggeleng.

"Sekitar jam 5?" Shoji menebak.

"Kita masuk ke sini sekitar jam 1." tulis Takumi.

"Jadi kita di sini baru empat jam" aku menarik kesimpulan.

"Ini akan menjadi malam yang panjang." Dengan menulis itu, Takumi menghabiskan kertas pertamanya.

"Tulisanmu terlalu besar, Yuuki." Tulisnya pada kertas berikutnya. Aku membuat gesture minta maaf dan ia memberikan pena serta kertasnya kepadaku.

"Aku lapar." Aku menyerahkan kertas itu pada Shoji, namun ia langsung memberikannya pada Takumi.

"Aku juga." balas Takumi. Ini aneh, pikirku. Saat kami tidak bisa saling berbicara tadi, ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Namun begitu kami menemukan cara untuk berkomunikasi, kami justru tak bicara banyak. Namun ada satu hal yang ingin kuungkapkan sebelum matahari terbenam.

"Apapun yang terjadi, kita akan melewati ini semua!"

"Tentu saja." tulis Shoji.

"Bagaimana jika aku tiba-tiba ingin berteriak?" tanya Takumi.

"Sumpalkan sesuatu ke dalam mulutmu." saranku.

"Seperti apa?" tanya Takumi.

"Aku akan menyumpalkan kaosku." kata Shoji.

"Berharap sajalah takkan terjadi sesuatu." Aku menulis. Namun aku sendiri meragukannya. Biksu itu memang tak mau berterus terang tentang apa sesungguhnya yang menimpa kami. Namun, ia menekankan bahwa sesuatu akan terjadi.

Dengan pikiran itu, aku berharap waktu akan segera cepat berlalu. Namun aku sangat takut, apa yang akan terjadi ketika malam tiba?

Rasa takutku ketika aku berdiri di ujung tangga di "kuil" itu kembali menyeruak. Satu-satunya yang menyelamatkanku saat itu adalah melihat teman-temanku ada di sana, menungguku.

Sedikit, aku berhasil membunuh rasa takut dengan ingatan itu, dimana teman-temanku selalu ada untukku.

Aku kembali menulis di atas kertas itu, "Kita tak punya banyak waktu lagi. Apa ada yang ingin kalian bicarakan?"

Aku hanya berharap pembicaraan sehari-hari akan sedikit menenangkan perasaan kami yang sedang kacau saat itu.

Takumi sepertinya mengerti dan mengambil kertas tersebut, "Apa yang akan kalian lakukan saat pulang nanti?"

"Pertanyaan bagus," tulisku, "Kurasa aku akan ke rental video."

"Kenapa ke sana?" tanya Shoji.

"Aku lupa mengembalikan DVD saat kita berangkat dulu."

"Hah? Serius? Ini sudah hampir sebulan. Dendanya pasti sangat mahal." balas Shoji.

"Apa itu DVD yang isinya aneh-aneh?" tanya Takumi.

Aku tersenyum. Sebenarnya itu hanya bohong belaka. Aku hanya menulis itu agar kami memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Ini bekerja, kami merasa sedikit santai setelahnya. Baik Takumi dan Shoji kemudian menulsikan rencana-rencana mereka. Cukup untuk membuat kami merasa optimis sedikit.

Ketika kertas yang kami miliki hampir habis, Shoji menulis sesuatu yang membuatku merinding.

"Aku akan melakukan apa yang dikatakan biksu itu. Aku tak mau mati."

Takumi dan aku saling bertatapan. Kami tak pernah menyinggung-nyinggung kata "mati" sebelumnya. Dan ini menyadarkanku bahwa nyawa kami mungkin dalam bahaya.

Aku hanya bisa mengangguk pada Shoji.

Setelah itu, matahari mulai terbenam. Aku merasakan kesepian yang sama ketika aku pertama masuk ke kuil ini. Suara jangkrik mulai bersahutan di luar. Namun aku segera menyadari ada yang ganjil.

Aku mendengarkan lebih saksama. Aku bisa mendengar sayup-sayup suatu suara yang aneh. Aku mencoba mendengar lebih baik. Dan semakin aku mencoba, aku mendengar suara itu semakin jelas dan jelas.

Itu suara napas yang kudengar di lantai dua penginapan saat itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top